“Sayang,” panggil Julia. “Jadi, mau sampai kapan kau akan berada di kamar ini?” tanya Julia.
Mendengar pertanyaan dari Julia, Edward benar-benar terdiam dengan kebingungannya. Julia memang sedang sakit, Edward tentu saja tidak lupa tentang itu. Hanya saja, apakah seorang Ibu yang sakit bahkan tidak memilki niat sama sekali untuk memeriksa keadaan anaknya?Edward tidak bisa berkata-kata, dia diam dan hanya membiarkan saja Julia berpikir semaunya.“Sayang, kenapa tidak menjawab?” tanya Julia yang masih menunggu jawaban.Alenta yang mendengar itu merasa sedih, tidakkah kakaknya itu ingin melihat dulu keadaan Elea? Kalaupun memang tidak memiliki ikatan batin atau yang biasa disebut bonding, apakah bisa seorang Ibu kandung begitu acuh terhadap anaknya sendiri?Tadinya Alenta tidak ingin mengatakan apapun, tapi dia merasa sakit seolah mewakili perasaan Elea.“Kak, Elea sedang demam tinggi, apa kakak tidak ingin memeriksa keadaan El“Elea, Ayah berangkat kerja dulu ya?” pamit Edward. Selesai sarapan, Elea langsung mengajak Alenta untuk bermain di teras depan rumah.Elea menganggukkan kepalanya patuh, dia tentu sempat ingin meminta Ayahnya untuk menggendong dan membawanya serta. Tapi, larangan dari Alenta membuat Elea mematuhinya. Edward tersenyum sembari mengusap kepala putrinya, lalu Sebentar mencium pipinya. Cup!Alenta membulatkan matanya, Dia benar-benar sangat terkejut karena Edward mencium pipinya padahal saat itu mereka berada di teras rumah dan bisa saja nanti Julia melihatnya. “Kak, jangan macam-macam!” peringat Alenta.Edward terkekeh pelan, mengabaikan saja peringatan dari Alenta. “Aku berangkat dulu ya, sayang...” bisik Edward dengan sengaja menggoda Alenta. Alenta menggigit bibir bawahnya, rasanya kesal sekali tapi dia juga tidak bisa berbuat apa-apa. Edward mulai berjalan, saat dia akan masuk ke dalam
“Kau pasti sengaja mencelakai ku supaya kau bisa mengambil kesempatan, kau bermimpi ingin menjadi Nyonya rumah ini?” sindir Julia. “Kau benar-benar si cacat yang tidak tahu malu!”Tes....Air mata Alenta berjatuhan begitu saja, hatinya sakit luar biasa mendengar apa yang diucapkan oleh kakaknya barusan. Jika soal fisiknya yang tidak bisa dia elak, apakah pantas seorang Kakak kandung mengatakan semua itu? Alenta ingin marah, dia ingin membuat kakaknya mengerti bahwa apa yang dia ucapkan barusan sangat menyakiti hatinya. Tapi, mengingat semua hal buruk terjadi juga karena dirinya, lidah Alenta begitu kelu. Kakaknya koma, penyebabnya adalah dirinya. Kakaknya marah, sakit hati dan kecewa juga karena dirinya. Melihat air mata Alenta jatuh, Julia semakin terprovokasi. Ditatapnya kembali wajah sang adik yang terlihat tak berdaya, matanya yang mencoba untuk menghindari kontak langsung dengannya seolah seperti solar yang membarakan ke
“Buka pintu gerbangnya, biarkan dia pergi!” perintah Julia. Alenta tidak memiliki niat untuk bereaksi, dia terlalu lelah. Penjaga pintu gerbang mengangguk pasrah, Julia adalah Nyonya rumahnya yang utama. Dengan terpaksa dia mulai mengeluarkan kunci, membukakan pintu gerbang tanpa kata. Melihat pintu gerbang sudah terbuka, Alenta bergegas menuju ke sana untuk keluar. “Jangan biarkan dia masuk ke rumah ini, kau akan diberhentikan kerja dan kesulitan mendapatkan pekerjaan baru kalau sampai kau tidak mematuhi apa yang aku ucapkan!” peringat Julia. Satpam penjaga gerbang mengangguk dalam diam, namun tetap dia harus menghubungi atau mengirimkan pesan kepada Edward. Walaupun Julia adalah salah satu majikannya, tapi Edward jelas adalah penguasa rumah tersebut. Sejak awal, ia hanya menerima perjanjian dan menyanggupinya kepada Edward saja. Julia meninggalkan tempatnya, dia ingin segera masuk ke dalam kamarnya. Dia juga sud
Alenta mengerutkan dahinya, perlahan dia menggerakkan matanya yang tertutup agar terbuka. “Kau sudah bangun?” Suara itu terdengar jelas, Alenta bergegas menatap ke arah sumber suara. “Kak Edward?” ucapnya lirih. Edward tengah duduk di pinggiran tempat tidur, sejak tadi dia hanya memandang wajah Alenta saja. “Berbaringlah saja dulu, pelayan sedang memesankan makanan untukmu,” titah Edward. Alenta tidak ingin mengatakan apapun, dia terlalu lemah untuk itu. “Aku akan keluar sebentar, kau tidurlah lagi saja dulu,” ucapnya. Alenta mengangguk lemah. Edward bangkit, berjalan untuk keluar dari kamar itu. Alenta terdiam saat matanya bisa dengan jelas memperhatikan bahwa itu bukanlah kamar yang ada di rumahnya Edward, juga tidak seperti di hotel. “Kita bicara di depan saja,” ucap Edward kepada dokter yang beberapa saat tadi memeriksa keadaan Alenta. “Baik,” jawab Dokter itu.
“Apa yang kak Edward katakan sebenarnya?” tanya Alenta. Sorot matanya penuh tanya, otaknya yang penuh dengan rasa penasaran membuatnya menuntut Edward untuk menjawab semua rasa penasarannya. Melihat tekanan yang diberikan oleh Alenta melalui matanya Edward mulai mencoba untuk diam agar bisa berpikir dengan baik dan menyampaikan yang sebenarnya tanpa perlu melebih-lebihkan dan menutupi. “Kenapa kak Edward diam? Jangan bilang, kak Edward sendiri tidak tahu alasannya. Atau mungkin, kak Edward sedang berbohong?” tuntut Alenta. Edward mengarahkan tatapannya, jelas dia menunjukkan kepada Alenta secara langsung bahwa dia membantah pertanyaan yang juga tuduhan kepadanya. “Terlalu aneh jika aku mengatakan yang sebenarnya sekarang, kau akan menganggapku pria brengsek yang tidak berperasaan,” ungkapnya. Alenta semakin tidak mengerti, namun dia seperti putus asa untuk bertanya karena dia tidak akan mendapatkan jawaban yang memuaskan.
“Tapi, semua itu tidak ada hubungannya sama sekali dengan apa yang terjadi kepada kita sekarang ini, kak!” ucap Alenta frustasi. “Ada!” Bentak Edward. Tatapan mata Edward yang begitu tegas, dia jelas ingin membuat Alenta tersadar dan berhenti menolak untuk mempercayainya. “Itu adalah alasan aku menikahi kakakmu, alasan aku membiarkan orang lain menyalahpahami segalanya! Aku melakukan kesalahan itu, dan aku tidak menyadarinya lebih awal,” ungkapnya jujur. Alenta masih tidak memahaminya. Dia ingat kalau dia memang pernah menyelamatkan seseorang beberapa tahun yang lalu, tapi dia tidak menyadari jika orang itu ternyata adalah Edward. “Aku selalu memberikan uang kepada kakakmu untuk biaya kehidupanmu, aku juga yang sudah membayar biaya sekolahmu sampai kau lulus kuliah. Aku memiliki niatan awal untuk menikahi mu, tapi kau masih terlalu muda. Aku bingung, lalu kakakmu memberikan saran untuk menjadi Kakak iparmu saja, menjadi suaminya kaka
“Tidak apa-apa, Kak. Pulang saja dulu, Elea pasti akan berhenti menangis kalau Kak Edward pulang,” pinta Alenta. Mendengar cerita dari Edward tentang Elea, dia merasa tidak tega. Rasanya, dia benar-benar ingin cepat berlari untuk mendapatkan Elea. Tapi, sadar tak bisa melakukan semua itu dan hanya bisa mengandalkan Edward sekarang. Edward menghela nafas, tentu dia sadar dia tidak memiliki pilihan lain. Meski berat harus meninggalkan Alenta di sana, nyatanya dia juga tidak bisa mengabaikan Elea. “Baiklah. Kau perbanyak istirahat, jika membutuhkan apapun kau tinggal panggil pelayan rumah. Ingat, jangan coba kabur karena itu akan percuma saja!” Peringat Edward. “Ngomong-ngomong, kita ada di rumah siapa?” tanya Alenta. Edward tersenyum. “Rumah kita!” jawabnya. Mendengar jawaban Edward, Alenta benar-benar hanya bisa bengong sendiri. “Aku pergi dulu ya, Sayang...” ucap Edward seraya bangkit dari duduknya. Meni
“Istrimu adalah aku, Edward! Aku yang berhak untuk cincin itu, kenapa aku harus membiarkan wanita lain menggunakannya?” tanya Julia menunjukkan benar kekecewaan yang dia rasakan. Edward menarik lengannya, itu sungguh membuatnya tidak nyaman. Mendengar apa yang diucapkan oleh Julia, sebenarnya hal itu memang benar dan wajar. Akan tetapi, mengingat kembali bagaimana pernikahan mereka bisa terjadi serta perlakuan Julia kepada Alenta, rasanya dia lelah untuk memaklumi.“Tetapi, kenyataan bahwa Alenta juga adalah istriku tidak bisa dielak. Kau benar-benar terlalu kejam karena menyalahkan Alenta sepenuhnya, Padahal semua ini terjadi juga karena ibumu sendiri,” ungkap Edward.Dia berharap, Julia berhenti menyalahkan Alenta dan tersadar benar bahwa semua ini terjadi bukan karena keinginan Alenta sendiri. Lemas rasanya mendengar ucapan Edward, hubungan Edward dan Alenta sepertinya lebih dalam dibandingkan yang dia pikirkan. Kedua bola
“Pendonoran sumsum tulang belakang 7 bulan yang lalu dinyatakan sukses, Tuan dan Nyonya.” ucap dokter yang selama ini menjadi dokter yang merawat Johnson. Aruna menangis haru, segera Ron memeluk bahagia istrinya itu. Edward juga langsung memeluk Alenta yang menangis haru, begitu juga dengan kedua orang tua Aruna yang ada di sana. Violet menyeka air matanya, Reiner mengusap kepalanya dengan lembut, lalu merangkulnya. Ada Arabella di gendongan Reiner yang tertidur pulas sejak tadi. “Tapi, untuk mengantisipasi kemungkinan dan bahkan selalu ada, di saat kelahiran bayi kedua anda nanti, pastikan untuk menyimpan darah tali pusat di rumah sakit, Nyonya dan Tuan.” saran dari Dokter itu. Aruna dan Ron menganggukkan kepalanya, dan akhirnya anggota keluarga besar saling berpelukan erat. Walaupun memang benar kemungkinan terburuk selalu ada, s
Anara menutup mulutnya menggunakan telapak tangan, matanya menatap benda mungil yang menjadi bagian dari kebahagiaannya. Alat penguji kehamilan yang menyatakan bahwa Aruna tengah hamil. “Ini benar-benar nyata, kan?” tanya Aruna, air matanya sudah mulai mengembung di pelupuk matanya. Padahal, 3 Minggu bersama Ron artinya pun dia sudah melewati 1 Minggu masa datang bulannya. Hanya saja, Aruna cukup stres dengan apa yang terjadi sekarang. Fokusnya benar-benar tertuju kepada Johnson, sampai dia tidak ada waktu untuk memikirkan yang lainnya. Tes! Jatuh sudah air mata Aruna, dia merasa bahagia karena bisa mengantisipasi hal buruk yang mungkin akan terjadi kepada Johnson. Mengenai donor sum-sum tulang belakang yang dijalani Ron dan Johnson beberapa waktu sebelumnya jelas
Ron merasakan denyut jantungnya yang berpacu kencang saat ruangan operasi dihiasi dengan suara bip mesin monitor yang terus menerus. Tangan Johnson yang lemah terkulai di samping tubuhnya, pucat dan tidak berdaya. Mata Ron berkaca-kaca saat dia menatap putranya yang terbaring tak sadarkan diri, berharap dan berdoa dalam diam bahwa semua ini akan membawa keajaiban untuk kesembuhan Johnson. “Johnson, sembuh lah....” Harap Ron di dalam hati, “jika menunggu adikmu terlalu lama, maka sembuhlah dengan cara ini, Ayah mohon. Ibumu pasti akan sangat menderita jika terjadi sesuatu padamu, berjuanglah terus, ya....” Dokter yang berpengalaman itu mengenakan sarung tangan sterilnya, seraya memeriksa kembali alat-alat medis yang telah disiapkan. Ron, dengan keberanian yang dipaksakan, berbaring di sisi lain ruangan yang sama, siap untuk mendonorkan sumsum tulang bela
“Maafkan aku, tapi semua ini terjadi juga di luar dugaan ku, James.” ucap Aruna jujur, berharap kejujurannya itu dapat dirasakan oleh pria itu. “Aku pikir, aku akan memulai hidup baru bersama Johnson dan kedua orang tuaku saja. Tapi, Johnson mengalami sakit yang benar-benar tidak ada dalam rencana ku, leukimia.” Mendengar itu, James pun terkejut, lupa untuk bernafas hingga beberapa saat. “Leukimia?” James benar-benar lemas, tidak menyangka kalau Johnson akan memiliki sakit mengerikan itu di usianya yang masih begitu kecil. “Kau benar-benar tidak sedang membohongiku, kan? Mana mungkin Johnson sakit seperti itu? Jangan bilang, kau cuma mengada ada supaya bisa menjalin hubungan dengan Ron lagi, Aruna,” harap James. Mendengar itu, jatuh sudah air mata Aruna. Ron, pria itu benar-benar seperti tidak tahu harus mengatakan apa. Jika membuat kebohongan seperti itu sangatlah mudah, maka
Aruna benar-benar menyuapkan makanan ke mulutnya Ron. “Makanlah....” Ron, pria itu benar-benar kehabisan kata-kata, padahal sudah bukan hanya satu atau dua kali dia menolak, dan meminta Aruna untuk fokus makan sendiri saja. Masih memangku laptop, pada akhirnya Ron membuka mulutnya, menerima suapan makanan dari Aruna. Nyut!!!! Nyeri, sungguh nyeri sekali dadanya. Kenapa begitu sakit? Ron seperti mendapatkan balasan dari luka yang dia berikan kepada Aruna, tertampar oleh fakta yang ada. Andai saja luka itu tidak pernah tertoreh, mungkinkah hubungan mereka akan lebih jujur dan diliputi kelegaan? Mata Ron memerah, pelupuknya sudah mulai dipenuhi dengan air mata. Melihat itu, Aruna menjadi bingung. Tidak ad
Mendengar permintaan maaf yang diucapkan oleh Ron, Aruna pun terdiam karena tidak tahu harus mengatakan apa. Tidak menyangka kalau pria yang dulu begitu angkuh dan juga arogan bisa mengucapkan kata ‘maaf’ namun dengan ekspresi yang begitu tulus. Tes! Tanpa sadar air mata Aruna terjatuh, luka yang seolah sudah sedikit sembuh kini terasa kembali. Semua rasa sakit yang diberikan oleh Ron kembali teringat olehnya. Melihat Aruna meneteskan air mata tanpa kata, Ron benar-benar semakin merasa bersalah. Dia seperti tengah menghianati dirinya sendiri, padahal menyakiti wanita bukanlah sesuatu yang biasa untuk dia lakukan. “Maaf, itu pasti sangat menyakitkan untukmu, bukan? Maaf, aku sungguh meminta maaf untuk apa yang terjadi, dan apa yang sudah aku lakukan padamu, Aruna.” Suara R
Ron merasakan beratnya kelopak matanya saat dia mengedipkan mata beberapa kali, mencoba untuk sepenuhnya terjaga. “Sudah mulai sore rupanya,” batin Ron. Ruangan itu dipenuhi oleh sinar sore yang menembus tirai, menciptakan pola cahaya dan bayangan yang bergerak pelan di dinding. Aruna, di sisi lain tempat tidur, tampak begitu damai dalam tidurnya. Rambutnya yang panjang terhampar di bantal, wajahnya tenang meski terlihat ada sedikit kelelahan yang tersisa. “Biarkan saja deh dia lanjut tidur,” gumam Ron. Dengan hati-hati, Ron menyelinap keluar dari selimut dan perlahan-lahan beranjak dari tempat tidur. Ia menatap jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 3 sore. Mereka telah terlewat makan siang, tetapi Ron tahu bahwa Aruna membutuhkan istirahat ini lebih dari apapun. Dengan langkah yang hampir tidak terdengar, d
Ron dan Aruna memutuskan untuk kembali ke rumah, sementara itu Edward dan Alenta tengah menemani Johnson. Sudah 2 hari full Ron dan Aruna di rumah sakit, walaupun ada saatnya Ron meninggalkan Aruna karena ada pekerjaan penting yang harus diselesaikan. Sesampainya di rumah, Mereka langsung masuk ke kamar. “Kau istirahat saja dulu, aku akan pergi ke luar sebentar. Ada yang harus aku kerjakan, mungkin cuma 1 jam saja.” ucap Ron, langsung mendapatkan anggukan setuju dari Aruna. Bergegas Ron mengganti pakaiannya, dia akan bertemu dengan Ben di kantor cabang karena dia beberapa dokumen yang harus ditandatangani oleh Ron. Sejenak meninggalkan Aruna, Ron menyelesaikan pekerjaannya secepat yang dia bisa. Selama dua hari di rumah sakit, Ron juga tidak bisa tidur nyenyak sama sekali. Johnson selalu menangis, lebih cengeng dari biasanya. Mungk
“Kamila, aku mengatakan kepada suamiku untuk membiarkan kau bekerja di perusahaannya karena aku merasa kasihan padamu. Padahal, bagian personalia mengatakan kau tidak dibutuhkan di perusahaan itu.” ujar Violet, tersenyum tak peduli kalau ucapannya barusan sangat tidak nyaman untuk Kamila dengar. Kamila menggigit bibir bawahnya, campur aduk perasaan. Dia tidak menyangka kalau Violet mengetahui banyak hal, namun memilih untuk tidak mengatakan apapun. “Sebenarnya, seberapa banyak hal yang tidak kau katakan padaku, Violet?” tanya Kamila, kali ini dia benar-benar terlihat emosi. Merasa dikhianati, namun sadar pula dia tidak berhak untuk menunjukkan secara jelas kemarahannya. Mendengar pertanyaan dari Kamila, sontak saja sorot mata Violet terarahkan padanya, “Kau sungguh ingin tahu?” Violet mendekati Kamila, “Hampir semua aku tahu, Kamila. Niat mu datang ke apartemen ku, dan kau y