Alenta tersenyum lega, pembicaraannya dengan Sofia berakhir baik.
Sempat tidak menyangka bahwa Sofia akan menikah dengan pria lain, mengingat sebelumnya Dia terlihat begitu obsesi terhadap Edward.Alenta mulai tersadar bahwa, tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini.Dulu, Dia pikir dia tidak akan pernah berani mencintai seseorang apalagi memikirkan untuk dicintai.Hidupnya terlalu sampah yang tak memiliki arti, sekarang semuanya menjadi kebalikannya.Dia dicintai oleh Edward, mencintai Edward, memiliki anak, memiliki keluarga.“Rasanya, kehidupan benar-benar berubah dengan sangat cepat.” gumam Alenta.Ingat bahwa barang belanjaannya belum dia susun, Gegas Alenta mengerjakan itu.Hari ini ia membeli banyak sekali stok makanan dan juga buah, belanja sendiri sangat menyenangkan hingga tidak menyadari seberapa banyak yang dibelinya.Sekitar hampir 1 jam, menyusun belanjaan akhirnya selesai.Edward dan Alenta datang ke rumah Karina saat malam hari, menjemput anak-anak mereka untuk pulang. Namun, karena Ron tiba-tiba saja tidak mau diajak pulang, terpaksa juga Alenta dan Ron menginap di sana.“Aku pikir, Ron pasti akan menangis saat kami berdua datang ke sini karena tidak betah dengan Nenek yang galak,” ujar Edward menduga-duga.Kesal mendengar ucapan putranya itu, bantal kecil di sofa tempat ia duduk segera ia lemparkan kepada Edward. “Bicaramu itu kurang ajar sekali, Edward!” Karina mendengus kesal. Edward tertawa kecil, Karina pun tersenyum. Sudah lama dia tidak bercanda seperti ini dengan Edward, ternyata menyenangkan juga. Mereka kembali mengobrol, hingga pada akhirnya makan malam bersama. Ron dan Elea tidur di kamar tamu bersama dengan perawatnya Elea. sementara itu, Edward dan Alenta kini ada di kamar milik Edward yang digunakan Edward saat dia tinggal di rumah itu. “Wah, ternyata selera
Alenta, Edward, dan seluruh penghuni rumah baru saja sampai di rumah. Tidak ada banyak waktu yang tersisa, Edward segera menuju ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan bersiap pergi ke kantor. Untungnya, sebelum kembali ke rumah mereka, tadi sudah sarapan di rumah Karina dan Horrison. Elea dan Ron, mereka langsung menyerbu mainan mereka. Alenta pun segera membantu apa saja yang dibutuhkan Edward agar tidak membuatnya terlambat. Satu setel pakaian kantor, sepatu dan juga kaos kaki, jam tangan, dan juga dasi. Laptop juga segera Alenta masukkan ke dalam tasnya, ponsel tidak lupa. Begitu keluar dari kamar mandi, Edward tersenyum lebar karena semuanya sudah dipermudah oleh Alenta. “Terima kasih, Sayang.” ucap Edward. Alenta pun menganggukkan kepalanya.“Sudah tidak ada lagi yang diperlukan, kan? Aku mau ke dapur dulu untuk buat jus. Edward mengusap kepala Alenta dengan lembut. “Tidak ada, kalaupun
Alenta menggeleng tak percaya mendengar cerita Julia. Dia hampir lupa bernafas bahkan, tapi Julia bisa dengan santainya berbicara tentang masa lalunya hingga sampai terjadi begini. “Ternyata, ada banyak kegilaan yang terjadi di antara kalian berdua, ya.” ucap Alenta yang merasa begitu keheranan. Julia pun mengangkat kedua bahunya, menghela nafasnya pasrah karena memang seperti itulah kenyataannya. “Kak, pernikahan seperti itu apa kak Julia akan baik-baik saja nantinya?” tanya Alenta yang begitu penasaran dan juga khawatir. Mengingat hubungan pernikahan Julia dengan Edward sebelumnya, siapapun juga tidak menduga bahwa pada akhirnya mereka akan bercerai. Parahnya, Alenta harus terlibat, dan menjadi titik final hingga Julia dan Edward memutuskan untuk berpisah. Mendengar pertanyaan dari Alenta, Julia memahami kekhawatiran adiknya itu. Ia sendiri ragu tentang pernikahan ini, namun sadar juga tidak ada jalan untuk mundur atau kabur. Julia memaksakan senyumnya, “Pernikahan yang suli
“Hentikan!” ucap Alenta kepada Herin dan juga Wilhem. “Aku tidak menginginkan hal semacam ini, apalagi sampai Ayah dan Ibu bersujud di hadapanku. Bangunlah, Jangan membuatku terkesan sangat jahat kepada kalian! Sungguh, aku mohon...”Tanpa izin dari Alenta, wilhem bangkit, membungkuk, dan langsung memeluk Alenta erat. “Ayah akan berusaha untuk menebus dan memperbaiki diri agar kau bisa menyayangi Ayah seperti seharusnya.”Hanya bisa membisu mendengar ucapan Ayahnya, tidak tahu harus mengatakan apa. Sebenarnya, siapapun jelas tidak ingin memiliki hubungan yang buruk dengan Ayahnya sendiri maupun Ibunya. Namun, sejak tidak terlalu dekat dan tidak tinggal di rumah kedua orang tuanya, Alenta merasa hidupnya baik-baik saja. Kelegaan yang dia dapatkan sangat luar biasa saat jauh dari kedua orang tuanya. Sungguh, berbeda jauh dari anak lainnya.Herin bangkit dari posisinya, menyeka air matanya. Tidak berani dia memeluk Alenta, namun dia akan berusaha untuk menjadi Ibu yang baik sehingga p
Edward perlahan membuka pintu ruangan di mana Alenta berada. Begitu pintu terbuka, dia terdiam takjub melihat Alenta yang terlihat sangat cantik dengan gaun pengantin putih yang mengekalkan lekuk tubuhnya dengan sempurna. Riasan wajahnya yang natural namun memukau, membuat Edward terpana seketika.Tak sadar, mata Edward mulai memerah dan berkaca-kaca, terhanyut dalam keindahan wajah istrinya yang begitu luar biasa. “Bagaimana bisa malaikat secantik ini ternyata adalah istriku?” ungkapnya. Dalam langkah pasti, Edward berjalan mendekati Alenta yang tersenyum lembut, tatapannya penuh kasih dan kebahagiaan. “Pujian yang berlebihan seperti itu membuatku justru tidak nyaman,” ungkap Alenta. Edward meraih tangan Alenta yang halus, menggenggamnya erat sambil mengucapkan terima kasih dari lubuk hatinya. “Terima kasih, Sayang. Aku tidak tahu bagaimana lagi mengungkapkan perasaan bahagiaku ini, aku juga sangat bersyukur karena ternyata kau adalah istriku, dan ibu dari anakku.” ucapnya dengan
“Bagaimana?” tanya Edward, menyambut di depan pintu saat Alenta keluar dari kamar mandi. Tidak langsung menanggapi pertanyaan Edward dengan kata-kata, Alenta langsung memberikan tes kehamilan mandiri kepada Edward. Segera Edward menerima itu, menatapnya dengan seksama. Senyum di bibir Edward mengembang sempurna melihat itu. “Dua garis, kau hamil!” ucapnya bersemangat.Alenta tersenyum, namun dia tidak terlihat bersemangat bahkan sampai Edward memeluknya dan terus mencium pipinya. Ron masih terlalu kecil, masih juga dia harus menjaga Elea. Melakukan aktifitas semacam itu dengan kehamilan, Alenta merasakan takut yang luar biasa. Dia harus bisa memaklumi dan mengutamakan kesehatan diri karena ada bayi di dalam perutnya. Namun, bagaimana dengan Ron juga Elea? Memperbanyak istirahat akan membuat waktu bersama kedua anaknya itu berkurang jauh. Keluhan kehamilan seperti, mual, pusing, dan banyak hal lainnya lagi akan menghambat beberapa aktivitas.Alenta sebenarnya bahagia karena akan k
Julia dan Helios mengepak barang-barang mereka dan siap untuk berlibur bersama Elea. Tidak lupa juga, mereka mengajak perawat Elea untuk memastikan kebutuhan anak tersebut terpenuhi sepanjang perjalanan, memastikan keamanan Elea. “Sayang, sudah siap, kan?” tanya Julia untuk memastikan. Mendengar pertanyaan dari ibunya, Elea pun menganggukkan kepalanya. Setelah tiba di tempat tujuan, mereka mulai menjelajahi berbagai tempat menarik dan mencoba berbagai aktivitas untuk memahami selera Elea.“Sayang Kalau ada yang kau mau, cepat katakan kepada Ibu, ya...” pinta Julia yang langsung mendapatkan anggukan setuju dari Elea. Suatu waktu, mereka berjalan-jalan di pasar buah setempat. Julia terkejut saat melihat Elea menunjuk-nunjuk buah yang beraneka ragam. “Ibu, Elea mau beli buah ini!” ucap Elea dengan semangat. Julia tersenyum dan membelikan buah yang diminta Elea, kemudian mereka menikmatinya bersama di taman, tentu juga bersama dengan Helios. Sambil menikmati buah-buahan, Julia berbic
Alenta duduk di kursi empuk dengan bayinya yang masih berusia 5 bulan digendongnya, Reiner. Senyum bahagia terpancar dari wajahnya saat panggilan video dengan Elea akhirnya tersambung. “Selamat pagi, Elea, kesayangan ibu...” sapa Alenta dengan suara bersemangat. Wajah Elea yang ceria segera muncul di layar ponselnya, tampak baru saja pulang sekolah dengan seragamnya yang masih rapi.“Hai, Ibu Alenta! Selamat pagi juga!” balas Elea, tersenyum lebar. “Wah, Adik Reiner sudah semakin besar, pipinya sangat gendut! Adik Reiner sudah makan?”Alenta tersenyum lembut, “Adik Reiner baru saja selesai minum susu, bagiamana denganmu, Sayang? Semalaman Ibu ingin menghubungi mu karena tidak bisa tidur. Ngomong-ngomong, bagiamana hari pertama sekolah?” Ia kemudian mengayunkan Reiner yang mulai merengek, membuat bayi itu kembali tenang.“Semuanya menyenangkan! Aku punya banyak teman, Ibu!” jawab Elea yang membuat Alenta bahagia. Ron yang mendengar pembicaraan mereka segera mendekat dan ikut serta d
“Pendonoran sumsum tulang belakang 7 bulan yang lalu dinyatakan sukses, Tuan dan Nyonya.” ucap dokter yang selama ini menjadi dokter yang merawat Johnson. Aruna menangis haru, segera Ron memeluk bahagia istrinya itu. Edward juga langsung memeluk Alenta yang menangis haru, begitu juga dengan kedua orang tua Aruna yang ada di sana. Violet menyeka air matanya, Reiner mengusap kepalanya dengan lembut, lalu merangkulnya. Ada Arabella di gendongan Reiner yang tertidur pulas sejak tadi. “Tapi, untuk mengantisipasi kemungkinan dan bahkan selalu ada, di saat kelahiran bayi kedua anda nanti, pastikan untuk menyimpan darah tali pusat di rumah sakit, Nyonya dan Tuan.” saran dari Dokter itu. Aruna dan Ron menganggukkan kepalanya, dan akhirnya anggota keluarga besar saling berpelukan erat. Walaupun memang benar kemungkinan terburuk selalu ada, s
Anara menutup mulutnya menggunakan telapak tangan, matanya menatap benda mungil yang menjadi bagian dari kebahagiaannya. Alat penguji kehamilan yang menyatakan bahwa Aruna tengah hamil. “Ini benar-benar nyata, kan?” tanya Aruna, air matanya sudah mulai mengembung di pelupuk matanya. Padahal, 3 Minggu bersama Ron artinya pun dia sudah melewati 1 Minggu masa datang bulannya. Hanya saja, Aruna cukup stres dengan apa yang terjadi sekarang. Fokusnya benar-benar tertuju kepada Johnson, sampai dia tidak ada waktu untuk memikirkan yang lainnya. Tes! Jatuh sudah air mata Aruna, dia merasa bahagia karena bisa mengantisipasi hal buruk yang mungkin akan terjadi kepada Johnson. Mengenai donor sum-sum tulang belakang yang dijalani Ron dan Johnson beberapa waktu sebelumnya jelas
Ron merasakan denyut jantungnya yang berpacu kencang saat ruangan operasi dihiasi dengan suara bip mesin monitor yang terus menerus. Tangan Johnson yang lemah terkulai di samping tubuhnya, pucat dan tidak berdaya. Mata Ron berkaca-kaca saat dia menatap putranya yang terbaring tak sadarkan diri, berharap dan berdoa dalam diam bahwa semua ini akan membawa keajaiban untuk kesembuhan Johnson. “Johnson, sembuh lah....” Harap Ron di dalam hati, “jika menunggu adikmu terlalu lama, maka sembuhlah dengan cara ini, Ayah mohon. Ibumu pasti akan sangat menderita jika terjadi sesuatu padamu, berjuanglah terus, ya....” Dokter yang berpengalaman itu mengenakan sarung tangan sterilnya, seraya memeriksa kembali alat-alat medis yang telah disiapkan. Ron, dengan keberanian yang dipaksakan, berbaring di sisi lain ruangan yang sama, siap untuk mendonorkan sumsum tulang bela
“Maafkan aku, tapi semua ini terjadi juga di luar dugaan ku, James.” ucap Aruna jujur, berharap kejujurannya itu dapat dirasakan oleh pria itu. “Aku pikir, aku akan memulai hidup baru bersama Johnson dan kedua orang tuaku saja. Tapi, Johnson mengalami sakit yang benar-benar tidak ada dalam rencana ku, leukimia.” Mendengar itu, James pun terkejut, lupa untuk bernafas hingga beberapa saat. “Leukimia?” James benar-benar lemas, tidak menyangka kalau Johnson akan memiliki sakit mengerikan itu di usianya yang masih begitu kecil. “Kau benar-benar tidak sedang membohongiku, kan? Mana mungkin Johnson sakit seperti itu? Jangan bilang, kau cuma mengada ada supaya bisa menjalin hubungan dengan Ron lagi, Aruna,” harap James. Mendengar itu, jatuh sudah air mata Aruna. Ron, pria itu benar-benar seperti tidak tahu harus mengatakan apa. Jika membuat kebohongan seperti itu sangatlah mudah, maka
Aruna benar-benar menyuapkan makanan ke mulutnya Ron. “Makanlah....” Ron, pria itu benar-benar kehabisan kata-kata, padahal sudah bukan hanya satu atau dua kali dia menolak, dan meminta Aruna untuk fokus makan sendiri saja. Masih memangku laptop, pada akhirnya Ron membuka mulutnya, menerima suapan makanan dari Aruna. Nyut!!!! Nyeri, sungguh nyeri sekali dadanya. Kenapa begitu sakit? Ron seperti mendapatkan balasan dari luka yang dia berikan kepada Aruna, tertampar oleh fakta yang ada. Andai saja luka itu tidak pernah tertoreh, mungkinkah hubungan mereka akan lebih jujur dan diliputi kelegaan? Mata Ron memerah, pelupuknya sudah mulai dipenuhi dengan air mata. Melihat itu, Aruna menjadi bingung. Tidak ad
Mendengar permintaan maaf yang diucapkan oleh Ron, Aruna pun terdiam karena tidak tahu harus mengatakan apa. Tidak menyangka kalau pria yang dulu begitu angkuh dan juga arogan bisa mengucapkan kata ‘maaf’ namun dengan ekspresi yang begitu tulus. Tes! Tanpa sadar air mata Aruna terjatuh, luka yang seolah sudah sedikit sembuh kini terasa kembali. Semua rasa sakit yang diberikan oleh Ron kembali teringat olehnya. Melihat Aruna meneteskan air mata tanpa kata, Ron benar-benar semakin merasa bersalah. Dia seperti tengah menghianati dirinya sendiri, padahal menyakiti wanita bukanlah sesuatu yang biasa untuk dia lakukan. “Maaf, itu pasti sangat menyakitkan untukmu, bukan? Maaf, aku sungguh meminta maaf untuk apa yang terjadi, dan apa yang sudah aku lakukan padamu, Aruna.” Suara R
Ron merasakan beratnya kelopak matanya saat dia mengedipkan mata beberapa kali, mencoba untuk sepenuhnya terjaga. “Sudah mulai sore rupanya,” batin Ron. Ruangan itu dipenuhi oleh sinar sore yang menembus tirai, menciptakan pola cahaya dan bayangan yang bergerak pelan di dinding. Aruna, di sisi lain tempat tidur, tampak begitu damai dalam tidurnya. Rambutnya yang panjang terhampar di bantal, wajahnya tenang meski terlihat ada sedikit kelelahan yang tersisa. “Biarkan saja deh dia lanjut tidur,” gumam Ron. Dengan hati-hati, Ron menyelinap keluar dari selimut dan perlahan-lahan beranjak dari tempat tidur. Ia menatap jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 3 sore. Mereka telah terlewat makan siang, tetapi Ron tahu bahwa Aruna membutuhkan istirahat ini lebih dari apapun. Dengan langkah yang hampir tidak terdengar, d
Ron dan Aruna memutuskan untuk kembali ke rumah, sementara itu Edward dan Alenta tengah menemani Johnson. Sudah 2 hari full Ron dan Aruna di rumah sakit, walaupun ada saatnya Ron meninggalkan Aruna karena ada pekerjaan penting yang harus diselesaikan. Sesampainya di rumah, Mereka langsung masuk ke kamar. “Kau istirahat saja dulu, aku akan pergi ke luar sebentar. Ada yang harus aku kerjakan, mungkin cuma 1 jam saja.” ucap Ron, langsung mendapatkan anggukan setuju dari Aruna. Bergegas Ron mengganti pakaiannya, dia akan bertemu dengan Ben di kantor cabang karena dia beberapa dokumen yang harus ditandatangani oleh Ron. Sejenak meninggalkan Aruna, Ron menyelesaikan pekerjaannya secepat yang dia bisa. Selama dua hari di rumah sakit, Ron juga tidak bisa tidur nyenyak sama sekali. Johnson selalu menangis, lebih cengeng dari biasanya. Mungk
“Kamila, aku mengatakan kepada suamiku untuk membiarkan kau bekerja di perusahaannya karena aku merasa kasihan padamu. Padahal, bagian personalia mengatakan kau tidak dibutuhkan di perusahaan itu.” ujar Violet, tersenyum tak peduli kalau ucapannya barusan sangat tidak nyaman untuk Kamila dengar. Kamila menggigit bibir bawahnya, campur aduk perasaan. Dia tidak menyangka kalau Violet mengetahui banyak hal, namun memilih untuk tidak mengatakan apapun. “Sebenarnya, seberapa banyak hal yang tidak kau katakan padaku, Violet?” tanya Kamila, kali ini dia benar-benar terlihat emosi. Merasa dikhianati, namun sadar pula dia tidak berhak untuk menunjukkan secara jelas kemarahannya. Mendengar pertanyaan dari Kamila, sontak saja sorot mata Violet terarahkan padanya, “Kau sungguh ingin tahu?” Violet mendekati Kamila, “Hampir semua aku tahu, Kamila. Niat mu datang ke apartemen ku, dan kau y