Edward perlahan membuka pintu ruangan di mana Alenta berada. Begitu pintu terbuka, dia terdiam takjub melihat Alenta yang terlihat sangat cantik dengan gaun pengantin putih yang mengekalkan lekuk tubuhnya dengan sempurna. Riasan wajahnya yang natural namun memukau, membuat Edward terpana seketika.Tak sadar, mata Edward mulai memerah dan berkaca-kaca, terhanyut dalam keindahan wajah istrinya yang begitu luar biasa. “Bagaimana bisa malaikat secantik ini ternyata adalah istriku?” ungkapnya. Dalam langkah pasti, Edward berjalan mendekati Alenta yang tersenyum lembut, tatapannya penuh kasih dan kebahagiaan. “Pujian yang berlebihan seperti itu membuatku justru tidak nyaman,” ungkap Alenta. Edward meraih tangan Alenta yang halus, menggenggamnya erat sambil mengucapkan terima kasih dari lubuk hatinya. “Terima kasih, Sayang. Aku tidak tahu bagaimana lagi mengungkapkan perasaan bahagiaku ini, aku juga sangat bersyukur karena ternyata kau adalah istriku, dan ibu dari anakku.” ucapnya dengan
“Bagaimana?” tanya Edward, menyambut di depan pintu saat Alenta keluar dari kamar mandi. Tidak langsung menanggapi pertanyaan Edward dengan kata-kata, Alenta langsung memberikan tes kehamilan mandiri kepada Edward. Segera Edward menerima itu, menatapnya dengan seksama. Senyum di bibir Edward mengembang sempurna melihat itu. “Dua garis, kau hamil!” ucapnya bersemangat.Alenta tersenyum, namun dia tidak terlihat bersemangat bahkan sampai Edward memeluknya dan terus mencium pipinya. Ron masih terlalu kecil, masih juga dia harus menjaga Elea. Melakukan aktifitas semacam itu dengan kehamilan, Alenta merasakan takut yang luar biasa. Dia harus bisa memaklumi dan mengutamakan kesehatan diri karena ada bayi di dalam perutnya. Namun, bagaimana dengan Ron juga Elea? Memperbanyak istirahat akan membuat waktu bersama kedua anaknya itu berkurang jauh. Keluhan kehamilan seperti, mual, pusing, dan banyak hal lainnya lagi akan menghambat beberapa aktivitas.Alenta sebenarnya bahagia karena akan k
Julia dan Helios mengepak barang-barang mereka dan siap untuk berlibur bersama Elea. Tidak lupa juga, mereka mengajak perawat Elea untuk memastikan kebutuhan anak tersebut terpenuhi sepanjang perjalanan, memastikan keamanan Elea. “Sayang, sudah siap, kan?” tanya Julia untuk memastikan. Mendengar pertanyaan dari ibunya, Elea pun menganggukkan kepalanya. Setelah tiba di tempat tujuan, mereka mulai menjelajahi berbagai tempat menarik dan mencoba berbagai aktivitas untuk memahami selera Elea.“Sayang Kalau ada yang kau mau, cepat katakan kepada Ibu, ya...” pinta Julia yang langsung mendapatkan anggukan setuju dari Elea. Suatu waktu, mereka berjalan-jalan di pasar buah setempat. Julia terkejut saat melihat Elea menunjuk-nunjuk buah yang beraneka ragam. “Ibu, Elea mau beli buah ini!” ucap Elea dengan semangat. Julia tersenyum dan membelikan buah yang diminta Elea, kemudian mereka menikmatinya bersama di taman, tentu juga bersama dengan Helios. Sambil menikmati buah-buahan, Julia berbic
Alenta duduk di kursi empuk dengan bayinya yang masih berusia 5 bulan digendongnya, Reiner. Senyum bahagia terpancar dari wajahnya saat panggilan video dengan Elea akhirnya tersambung. “Selamat pagi, Elea, kesayangan ibu...” sapa Alenta dengan suara bersemangat. Wajah Elea yang ceria segera muncul di layar ponselnya, tampak baru saja pulang sekolah dengan seragamnya yang masih rapi.“Hai, Ibu Alenta! Selamat pagi juga!” balas Elea, tersenyum lebar. “Wah, Adik Reiner sudah semakin besar, pipinya sangat gendut! Adik Reiner sudah makan?”Alenta tersenyum lembut, “Adik Reiner baru saja selesai minum susu, bagiamana denganmu, Sayang? Semalaman Ibu ingin menghubungi mu karena tidak bisa tidur. Ngomong-ngomong, bagiamana hari pertama sekolah?” Ia kemudian mengayunkan Reiner yang mulai merengek, membuat bayi itu kembali tenang.“Semuanya menyenangkan! Aku punya banyak teman, Ibu!” jawab Elea yang membuat Alenta bahagia. Ron yang mendengar pembicaraan mereka segera mendekat dan ikut serta d
Restoran kelas atas itu terasa begitu mewah dan eksklusif saat Edward sengaja memboking seluruh tempat hanya untuk dirinya dan Alenta. Cahaya redup dari lampu gantung menciptakan suasana yang sangat romantis. Alenta tampil mempesona dengan gaun hitam ketat yang menonjolkan lekuk tubuhnya, sementara Edward tampak gagah mengenakan setelan jas hitam yang serasi.“Gila.... Istriku benar-benar sangat cantik malam ini,” ujar Edward, menatap Alenta dengan kekaguman. Mendengar pujian dari Edward, Alenta pun tersenyum malu. “Berlebihan sekali!” Mereka duduk berhadapan di meja yang telah disiapkan dengan apik, lengkap dengan bunga mawar merah di tengahnya.Anak-anak mereka telah dititipkan kepada Karina dan Horrison, sehingga malam itu mereka bisa menikmati makan malam romantis berdua tanpa gangguan.Pelayan yang sigap mengantarkan hidangan lezat yang telah dipesan oleh Edward. “Ya ampun... Ini sepertinya aku akan panen kalori malam ini, ya.” ujar Alenta melihat menu makan yang jelas tinggi
“Berikan jasku,” pinta Helios kepada Julia. Mendengar itu, Helios pun dengan segera mengambilkan jas untuk Helios kenakan. “Hari ini, biarkan saja Elea sekolah sendiri. Gurunya juga sudah bilang agar kau tidak perlu khawatir, tidak perlu menunggunya di sana. Nanti, kalau Elea sudah selesai, kau bisa menjemputnya, atau biarkan sopir yang melakukan itu.” ucap Helios. Julia masih belum rela, dia menghela nafas, dan jelas ekspresi tidak rela begitu terlihat. “Tidak bisa. Aku selalu saja merasa tidak tenang, bahkan kalau boleh aku ingin berada di sebelah Elea sepanjang hari.” Helios membalikkan tubuhnya, menatap Julia dengan tatapan yang terlihat keheranan. “Aku tahu kau sangat mengkhawatirkan Elea. Tapi, membiarkan dia memiliki kemandirian dan juga kepercayaan diri adalah hal yang sangat penting. Gurunya Elea menghubungi ku kemarin, kau terlalu mengkhawatirkan Elea sampai kau terus berdiri di jendela untuk memperhatikannya.” Helios menatap Julia dengan tatapan serius. “Kalau kau benar-
Alenta dan Edward dengan gembira menyambut kedatangan Julia, Helios, serta keponakan mereka, Elea, di rumah mereka. Begitu pintu terbuka, Alenta langsung melompat memeluk erat Julia, kakak perempuannya yang telah lama tidak berjumpa. “Akhirnya kalian sampai juga!” ujar Alenta merasa lega sekaligus bahagia. Keduanya berbagi kehangatan, mengekspresikan rasa rindu yang terpendam.Setelah melepaskan pelukan, Alenta beralih untuk memeluk Elea, keponakannya yang sudah satu tahun terpisah darinya. Alenta membelai lembut rambut Elea dan mencium keningnya, seakan mencoba mengejar ketinggalan waktu yang telah lama mereka lewatkan.“Sayang, Ibu rindu sekali,” ujar Alenta sembari menciumi pipi Elea. “Pokoknya, selama di sini harus tidur dengan Ibu!” ucap Alenta memaksa. Sementara itu, Edward yang biasa bersikap dingin terhadap Julia dan Helios, tak bisa menyembunyikan kebahagiaannya saat melihat Elea. Ia segera mengangkat tubuh mungil Elea dari Alenta dan memeluknya erat. Keduanya tampak begi
Di gedung perkantoran yang megah, sebuah mobil mewah berhenti di depan pintu utama. Dari dalam mobil itu, terlihat seorang pria muda berusia 26 tahun yang tampan dan elegan turun dengan percaya diri. Dia adalah Reiner, CEO muda perusahaan tersebut, yang sukses menggantikan posisi Ayahnya, Edward, sebagai pemimpin perusahaan.“Kulitnya benar-benar selalu bersinar, aku yang sudah melakukan perawatan selama 3 tahun ini bahkan tidak pernah mendapatkan kulit secerah itu,” ucap seorang gadis, salah satu pegawai kantor dengan tatapan kagum. Pegawai lain menganggukkan kepalanya, setuju. Rambut Reiner tergerai sempurna dengan kesan rapi namun santai, matanya yang tajam menatap lurus ke depan, dan senyum tipis di bibirnya menambah aura karismatik nya. Begitu ia melangkah, langkahnya mantap dan terarah, menggambarkan betapa ia adalah seorang pemimpin yang tegas.“Dia jauh lebih muda dariku, tapi kenapa pesonanya sangat luar bi
“Pendonoran sumsum tulang belakang 7 bulan yang lalu dinyatakan sukses, Tuan dan Nyonya.” ucap dokter yang selama ini menjadi dokter yang merawat Johnson. Aruna menangis haru, segera Ron memeluk bahagia istrinya itu. Edward juga langsung memeluk Alenta yang menangis haru, begitu juga dengan kedua orang tua Aruna yang ada di sana. Violet menyeka air matanya, Reiner mengusap kepalanya dengan lembut, lalu merangkulnya. Ada Arabella di gendongan Reiner yang tertidur pulas sejak tadi. “Tapi, untuk mengantisipasi kemungkinan dan bahkan selalu ada, di saat kelahiran bayi kedua anda nanti, pastikan untuk menyimpan darah tali pusat di rumah sakit, Nyonya dan Tuan.” saran dari Dokter itu. Aruna dan Ron menganggukkan kepalanya, dan akhirnya anggota keluarga besar saling berpelukan erat. Walaupun memang benar kemungkinan terburuk selalu ada, s
Anara menutup mulutnya menggunakan telapak tangan, matanya menatap benda mungil yang menjadi bagian dari kebahagiaannya. Alat penguji kehamilan yang menyatakan bahwa Aruna tengah hamil. “Ini benar-benar nyata, kan?” tanya Aruna, air matanya sudah mulai mengembung di pelupuk matanya. Padahal, 3 Minggu bersama Ron artinya pun dia sudah melewati 1 Minggu masa datang bulannya. Hanya saja, Aruna cukup stres dengan apa yang terjadi sekarang. Fokusnya benar-benar tertuju kepada Johnson, sampai dia tidak ada waktu untuk memikirkan yang lainnya. Tes! Jatuh sudah air mata Aruna, dia merasa bahagia karena bisa mengantisipasi hal buruk yang mungkin akan terjadi kepada Johnson. Mengenai donor sum-sum tulang belakang yang dijalani Ron dan Johnson beberapa waktu sebelumnya jelas
Ron merasakan denyut jantungnya yang berpacu kencang saat ruangan operasi dihiasi dengan suara bip mesin monitor yang terus menerus. Tangan Johnson yang lemah terkulai di samping tubuhnya, pucat dan tidak berdaya. Mata Ron berkaca-kaca saat dia menatap putranya yang terbaring tak sadarkan diri, berharap dan berdoa dalam diam bahwa semua ini akan membawa keajaiban untuk kesembuhan Johnson. “Johnson, sembuh lah....” Harap Ron di dalam hati, “jika menunggu adikmu terlalu lama, maka sembuhlah dengan cara ini, Ayah mohon. Ibumu pasti akan sangat menderita jika terjadi sesuatu padamu, berjuanglah terus, ya....” Dokter yang berpengalaman itu mengenakan sarung tangan sterilnya, seraya memeriksa kembali alat-alat medis yang telah disiapkan. Ron, dengan keberanian yang dipaksakan, berbaring di sisi lain ruangan yang sama, siap untuk mendonorkan sumsum tulang bela
“Maafkan aku, tapi semua ini terjadi juga di luar dugaan ku, James.” ucap Aruna jujur, berharap kejujurannya itu dapat dirasakan oleh pria itu. “Aku pikir, aku akan memulai hidup baru bersama Johnson dan kedua orang tuaku saja. Tapi, Johnson mengalami sakit yang benar-benar tidak ada dalam rencana ku, leukimia.” Mendengar itu, James pun terkejut, lupa untuk bernafas hingga beberapa saat. “Leukimia?” James benar-benar lemas, tidak menyangka kalau Johnson akan memiliki sakit mengerikan itu di usianya yang masih begitu kecil. “Kau benar-benar tidak sedang membohongiku, kan? Mana mungkin Johnson sakit seperti itu? Jangan bilang, kau cuma mengada ada supaya bisa menjalin hubungan dengan Ron lagi, Aruna,” harap James. Mendengar itu, jatuh sudah air mata Aruna. Ron, pria itu benar-benar seperti tidak tahu harus mengatakan apa. Jika membuat kebohongan seperti itu sangatlah mudah, maka
Aruna benar-benar menyuapkan makanan ke mulutnya Ron. “Makanlah....” Ron, pria itu benar-benar kehabisan kata-kata, padahal sudah bukan hanya satu atau dua kali dia menolak, dan meminta Aruna untuk fokus makan sendiri saja. Masih memangku laptop, pada akhirnya Ron membuka mulutnya, menerima suapan makanan dari Aruna. Nyut!!!! Nyeri, sungguh nyeri sekali dadanya. Kenapa begitu sakit? Ron seperti mendapatkan balasan dari luka yang dia berikan kepada Aruna, tertampar oleh fakta yang ada. Andai saja luka itu tidak pernah tertoreh, mungkinkah hubungan mereka akan lebih jujur dan diliputi kelegaan? Mata Ron memerah, pelupuknya sudah mulai dipenuhi dengan air mata. Melihat itu, Aruna menjadi bingung. Tidak ad
Mendengar permintaan maaf yang diucapkan oleh Ron, Aruna pun terdiam karena tidak tahu harus mengatakan apa. Tidak menyangka kalau pria yang dulu begitu angkuh dan juga arogan bisa mengucapkan kata ‘maaf’ namun dengan ekspresi yang begitu tulus. Tes! Tanpa sadar air mata Aruna terjatuh, luka yang seolah sudah sedikit sembuh kini terasa kembali. Semua rasa sakit yang diberikan oleh Ron kembali teringat olehnya. Melihat Aruna meneteskan air mata tanpa kata, Ron benar-benar semakin merasa bersalah. Dia seperti tengah menghianati dirinya sendiri, padahal menyakiti wanita bukanlah sesuatu yang biasa untuk dia lakukan. “Maaf, itu pasti sangat menyakitkan untukmu, bukan? Maaf, aku sungguh meminta maaf untuk apa yang terjadi, dan apa yang sudah aku lakukan padamu, Aruna.” Suara R
Ron merasakan beratnya kelopak matanya saat dia mengedipkan mata beberapa kali, mencoba untuk sepenuhnya terjaga. “Sudah mulai sore rupanya,” batin Ron. Ruangan itu dipenuhi oleh sinar sore yang menembus tirai, menciptakan pola cahaya dan bayangan yang bergerak pelan di dinding. Aruna, di sisi lain tempat tidur, tampak begitu damai dalam tidurnya. Rambutnya yang panjang terhampar di bantal, wajahnya tenang meski terlihat ada sedikit kelelahan yang tersisa. “Biarkan saja deh dia lanjut tidur,” gumam Ron. Dengan hati-hati, Ron menyelinap keluar dari selimut dan perlahan-lahan beranjak dari tempat tidur. Ia menatap jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 3 sore. Mereka telah terlewat makan siang, tetapi Ron tahu bahwa Aruna membutuhkan istirahat ini lebih dari apapun. Dengan langkah yang hampir tidak terdengar, d
Ron dan Aruna memutuskan untuk kembali ke rumah, sementara itu Edward dan Alenta tengah menemani Johnson. Sudah 2 hari full Ron dan Aruna di rumah sakit, walaupun ada saatnya Ron meninggalkan Aruna karena ada pekerjaan penting yang harus diselesaikan. Sesampainya di rumah, Mereka langsung masuk ke kamar. “Kau istirahat saja dulu, aku akan pergi ke luar sebentar. Ada yang harus aku kerjakan, mungkin cuma 1 jam saja.” ucap Ron, langsung mendapatkan anggukan setuju dari Aruna. Bergegas Ron mengganti pakaiannya, dia akan bertemu dengan Ben di kantor cabang karena dia beberapa dokumen yang harus ditandatangani oleh Ron. Sejenak meninggalkan Aruna, Ron menyelesaikan pekerjaannya secepat yang dia bisa. Selama dua hari di rumah sakit, Ron juga tidak bisa tidur nyenyak sama sekali. Johnson selalu menangis, lebih cengeng dari biasanya. Mungk
“Kamila, aku mengatakan kepada suamiku untuk membiarkan kau bekerja di perusahaannya karena aku merasa kasihan padamu. Padahal, bagian personalia mengatakan kau tidak dibutuhkan di perusahaan itu.” ujar Violet, tersenyum tak peduli kalau ucapannya barusan sangat tidak nyaman untuk Kamila dengar. Kamila menggigit bibir bawahnya, campur aduk perasaan. Dia tidak menyangka kalau Violet mengetahui banyak hal, namun memilih untuk tidak mengatakan apapun. “Sebenarnya, seberapa banyak hal yang tidak kau katakan padaku, Violet?” tanya Kamila, kali ini dia benar-benar terlihat emosi. Merasa dikhianati, namun sadar pula dia tidak berhak untuk menunjukkan secara jelas kemarahannya. Mendengar pertanyaan dari Kamila, sontak saja sorot mata Violet terarahkan padanya, “Kau sungguh ingin tahu?” Violet mendekati Kamila, “Hampir semua aku tahu, Kamila. Niat mu datang ke apartemen ku, dan kau y