Alenta dan Edward dengan gembira menyambut kedatangan Julia, Helios, serta keponakan mereka, Elea, di rumah mereka. Begitu pintu terbuka, Alenta langsung melompat memeluk erat Julia, kakak perempuannya yang telah lama tidak berjumpa. “Akhirnya kalian sampai juga!” ujar Alenta merasa lega sekaligus bahagia. Keduanya berbagi kehangatan, mengekspresikan rasa rindu yang terpendam.Setelah melepaskan pelukan, Alenta beralih untuk memeluk Elea, keponakannya yang sudah satu tahun terpisah darinya. Alenta membelai lembut rambut Elea dan mencium keningnya, seakan mencoba mengejar ketinggalan waktu yang telah lama mereka lewatkan.“Sayang, Ibu rindu sekali,” ujar Alenta sembari menciumi pipi Elea. “Pokoknya, selama di sini harus tidur dengan Ibu!” ucap Alenta memaksa. Sementara itu, Edward yang biasa bersikap dingin terhadap Julia dan Helios, tak bisa menyembunyikan kebahagiaannya saat melihat Elea. Ia segera mengangkat tubuh mungil Elea dari Alenta dan memeluknya erat. Keduanya tampak begi
Di gedung perkantoran yang megah, sebuah mobil mewah berhenti di depan pintu utama. Dari dalam mobil itu, terlihat seorang pria muda berusia 26 tahun yang tampan dan elegan turun dengan percaya diri. Dia adalah Reiner, CEO muda perusahaan tersebut, yang sukses menggantikan posisi Ayahnya, Edward, sebagai pemimpin perusahaan.“Kulitnya benar-benar selalu bersinar, aku yang sudah melakukan perawatan selama 3 tahun ini bahkan tidak pernah mendapatkan kulit secerah itu,” ucap seorang gadis, salah satu pegawai kantor dengan tatapan kagum. Pegawai lain menganggukkan kepalanya, setuju. Rambut Reiner tergerai sempurna dengan kesan rapi namun santai, matanya yang tajam menatap lurus ke depan, dan senyum tipis di bibirnya menambah aura karismatik nya. Begitu ia melangkah, langkahnya mantap dan terarah, menggambarkan betapa ia adalah seorang pemimpin yang tegas.“Dia jauh lebih muda dariku, tapi kenapa pesonanya sangat luar bi
Reiner tersenyum puas saat melihat pantulan dirinya di cermin besar yang ada di ruangan tersebut. Tuksedo hitam berkualitas terbaik melekat sempurna pada tubuhnya, membuatnya terlihat semakin gagah dan mempesona. “Bagus! Hari ini, kau pasti akan merasa begitu bangga menikah denganku, Aruna.” gumam Reiner percaya diri. Dia melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya, menyadari bahwa pernikahannya dengan Aruna akan segera dimulai.“Sebentar lagi, bersabarlah, Reiner!” bisik Reiner kepada dirinya sendiri. Tiba-tiba, ponsel Reiner berbunyi, menandakan adanya pesan masuk. Dengan cepat, dia meraih ponselnya dan membaca pesan yang baru saja diterima. Ekspresi wajahnya berubah drastis saat ia menyadari bahwa pesan tersebut berasal dari Aruna. Isi pesannya membuat jantung Reiner berhenti sejenak.“Reiner, aku sungguh meminta maaf untuk keputusan yang tidak berperasaan ini. Sungguh, aku memi
“Lalukan panggilan video kepada Aruna, biarkan dia melihat sesuatu yang bagus!”Mendengar perintah Reiner, Violet pun membulatkan matanya lebih terkejut lagi. Jelas tidak mungkin, kenapa juga dia harus melakukan hal bodoh? Cepat Violet menggelengkan kepala, ini kali pertama dia menolak perintah dari Reiner. Reaksi Violet benar-benar membuat Reiner kesal, semakin ingin rasanya Reiner berbuat nekat. “Presdir, Saya tahu saat ini anda benar-benar sedang sangat marah. Namun, tolong jangan lakukan sesuatu yang akan anda sesali di kemudian hari,” ucap Violet, mencoba untuk mengingatkan. Kali ini, Reiner memang benar seperti sedang di gerogoti kemarahan. Dia ingin melampiaskan kemarahannya dengan cara yang tidak tahu apa hingga Reiner akan melakukan apapun. “Menyesal, kau bilang?” Reiner tersenyum sinis. “Aku tidak pernah merasa menyesal melakukan apapun. Apakah kau pernah melihat ku menyesali sesuatu?” Reiner menekan tubu
Ron berdiri tegak di depan dinding kaca ruangan kantornya yang menghadap ke luar, tatapannya menembus kejauhan. Di balik kemarahan yang membara, ia merasakan kepedihan yang mendalam akibat penghinaan yang dialami adiknya, Reiner. Dalam hati, ia bersumpah untuk tidak akan membiarkan Aruna wanita yang melarikan diri di hari pernikahan dan membuat Reiner hampir menanggung rasa malu luar biasa lepas begitu saja.“Wanita itu, mana boleh dia bebas begitu saja?” ujar Ron. Genggaman tangannya semakin erat, hingga ujung jari memutih. Geram memenuhi setiap serat tubuhnya, tak bisa ia kendalikan lagi. Dengan langkah mantap, Ron mengambil ponsel dari saku celananya dan menghubungi seseorang yang bisa dipercaya untuk mencari keberadaan Aruna sekarang.“Ron di sini. Aku butuh bantuanmu,” ujarnya dengan suara yang tegas dan dingin. “Aku ingin kau mencari keberadaan Aruna sekarang juga. Dia harus membayar atas apa yang telah dia lakukan kepa
Reiner dan Violet akhirnya bisa terbebas dari Glen. Mereka memutuskan untuk pulang ke rumah karena beberapa saat sebelumnya Alenta menghubungi mereka berdua, meminta mereka untuk datang. Saat ini mereka tengah dalam perjalanan, suasana canggung begitu terasa sebelumnya mereka sudah terlalu terbiasa berada dalam mobil yang sama. Setelah apa yang terjadi kemarin, semuanya jelas membuat mereka nampak serba salah. “Apa kau benar-benar hamil?” tanya Reiner yang sebenarnya sejak tadi sangat penasaran akan hal itu. Mendengar pertanyaan dari Reiner, sejenak Violet benar-benar keheranan. Bocah kecil saja sudah pasti bisa menebak bahwa itu hanyalah sebuah kebohongan saja, Reiner terlalu kurang wawasan untuk hal itu. Violet mencoba untuk bersikap seperti seharusnya. “Tidak, Presdir Reiner. Namun, cara seperti itu adalah cara yang paling ampuh untuk menolak secara halus ajakan pria yang kurang ajar.” Reiner mengalih
“Aku...” Violet kebingungan. Menatap Reiner pun jelas tidak ada gunanya karena Reiner justru tak memperlihatkan ekspresi apapun. “Aku akan mengikuti keputusan Presdir Reiner saja, Nyonya dan Tuan.”Alenta menghela nafasnya, “Kenapa kau harus mengikuti Reiner? Kau adalah istrinya, bukan lagi asisten sekretarisnya, Violet.” Edward mengangguk setuju. “Kami memang memiliki banyak pekerjaan. Jadi, mari bicarakan soal bulan madu lain hari,” timpal Reiner. Edward tersenyum kesal, namun tentu dia akan tetap menahan diri. “Bukanya Ayah sudah mengatakan padamu bahwa Ayah siap menggantikan pekerjaan mu? Asal kau tahu, kesiapan Ayah tidak main-main. Juga, kemapuan Ayah sudah tidak perlu lagi kau ragukan.” ujar Edward. Reiner bersiap untuk membuka mulutnya, jelas dia ingin menolak tapi meski sudah membuka mulut ya tetap tidak bisa mengatakan apa yang ingin dia katakan karena ucapan Alenta. “Ibu sudah siapkan tiket pesawat, hotel, dan lainnya! Jadi
Aruna berlutut di depan Ron dengan air mata mengalir deras di pipinya, tangannya terangkat memohon ampun. “Tuan Ron, tolong jangan sakiti keluargaku, aku benar-benar meminta maaf,” ucap Aruna dengan suara serak karena tangisannya. “Aku tahu, aku salah karena meninggalkan Reiner tepat di hari pernikahan, tapi aku sudah memikirkan keputusan itu dengan matang-matang.” Tubuh Aruna gemetar hebat, air matanya mengalir deras. Di hadapannya, Ron menatap Aruna dengan tatapan tajam, tidak menginginkan penjelasan apapun. Kenyataan yang sudah terjadi tidak akan bisa di ubah, itulah yang terasa menjengkelkan. Ron tersenyum miring, kemarahan seolah tersalurkan lewat sorot matanya, membuat tubuh yang gemetar itu semakin tidak berdaya. “Apa kau pikir aku perduli?” Aruna menggigit bibir bawahnya, tahu kalau Ron bahkan jauh lebih dingin dan tidak berperasaan dibanding Reiner. Penjelasan apapun tiada makna, memohon ampun di
“Pendonoran sumsum tulang belakang 7 bulan yang lalu dinyatakan sukses, Tuan dan Nyonya.” ucap dokter yang selama ini menjadi dokter yang merawat Johnson. Aruna menangis haru, segera Ron memeluk bahagia istrinya itu. Edward juga langsung memeluk Alenta yang menangis haru, begitu juga dengan kedua orang tua Aruna yang ada di sana. Violet menyeka air matanya, Reiner mengusap kepalanya dengan lembut, lalu merangkulnya. Ada Arabella di gendongan Reiner yang tertidur pulas sejak tadi. “Tapi, untuk mengantisipasi kemungkinan dan bahkan selalu ada, di saat kelahiran bayi kedua anda nanti, pastikan untuk menyimpan darah tali pusat di rumah sakit, Nyonya dan Tuan.” saran dari Dokter itu. Aruna dan Ron menganggukkan kepalanya, dan akhirnya anggota keluarga besar saling berpelukan erat. Walaupun memang benar kemungkinan terburuk selalu ada, s
Anara menutup mulutnya menggunakan telapak tangan, matanya menatap benda mungil yang menjadi bagian dari kebahagiaannya. Alat penguji kehamilan yang menyatakan bahwa Aruna tengah hamil. “Ini benar-benar nyata, kan?” tanya Aruna, air matanya sudah mulai mengembung di pelupuk matanya. Padahal, 3 Minggu bersama Ron artinya pun dia sudah melewati 1 Minggu masa datang bulannya. Hanya saja, Aruna cukup stres dengan apa yang terjadi sekarang. Fokusnya benar-benar tertuju kepada Johnson, sampai dia tidak ada waktu untuk memikirkan yang lainnya. Tes! Jatuh sudah air mata Aruna, dia merasa bahagia karena bisa mengantisipasi hal buruk yang mungkin akan terjadi kepada Johnson. Mengenai donor sum-sum tulang belakang yang dijalani Ron dan Johnson beberapa waktu sebelumnya jelas
Ron merasakan denyut jantungnya yang berpacu kencang saat ruangan operasi dihiasi dengan suara bip mesin monitor yang terus menerus. Tangan Johnson yang lemah terkulai di samping tubuhnya, pucat dan tidak berdaya. Mata Ron berkaca-kaca saat dia menatap putranya yang terbaring tak sadarkan diri, berharap dan berdoa dalam diam bahwa semua ini akan membawa keajaiban untuk kesembuhan Johnson. “Johnson, sembuh lah....” Harap Ron di dalam hati, “jika menunggu adikmu terlalu lama, maka sembuhlah dengan cara ini, Ayah mohon. Ibumu pasti akan sangat menderita jika terjadi sesuatu padamu, berjuanglah terus, ya....” Dokter yang berpengalaman itu mengenakan sarung tangan sterilnya, seraya memeriksa kembali alat-alat medis yang telah disiapkan. Ron, dengan keberanian yang dipaksakan, berbaring di sisi lain ruangan yang sama, siap untuk mendonorkan sumsum tulang bela
“Maafkan aku, tapi semua ini terjadi juga di luar dugaan ku, James.” ucap Aruna jujur, berharap kejujurannya itu dapat dirasakan oleh pria itu. “Aku pikir, aku akan memulai hidup baru bersama Johnson dan kedua orang tuaku saja. Tapi, Johnson mengalami sakit yang benar-benar tidak ada dalam rencana ku, leukimia.” Mendengar itu, James pun terkejut, lupa untuk bernafas hingga beberapa saat. “Leukimia?” James benar-benar lemas, tidak menyangka kalau Johnson akan memiliki sakit mengerikan itu di usianya yang masih begitu kecil. “Kau benar-benar tidak sedang membohongiku, kan? Mana mungkin Johnson sakit seperti itu? Jangan bilang, kau cuma mengada ada supaya bisa menjalin hubungan dengan Ron lagi, Aruna,” harap James. Mendengar itu, jatuh sudah air mata Aruna. Ron, pria itu benar-benar seperti tidak tahu harus mengatakan apa. Jika membuat kebohongan seperti itu sangatlah mudah, maka
Aruna benar-benar menyuapkan makanan ke mulutnya Ron. “Makanlah....” Ron, pria itu benar-benar kehabisan kata-kata, padahal sudah bukan hanya satu atau dua kali dia menolak, dan meminta Aruna untuk fokus makan sendiri saja. Masih memangku laptop, pada akhirnya Ron membuka mulutnya, menerima suapan makanan dari Aruna. Nyut!!!! Nyeri, sungguh nyeri sekali dadanya. Kenapa begitu sakit? Ron seperti mendapatkan balasan dari luka yang dia berikan kepada Aruna, tertampar oleh fakta yang ada. Andai saja luka itu tidak pernah tertoreh, mungkinkah hubungan mereka akan lebih jujur dan diliputi kelegaan? Mata Ron memerah, pelupuknya sudah mulai dipenuhi dengan air mata. Melihat itu, Aruna menjadi bingung. Tidak ad
Mendengar permintaan maaf yang diucapkan oleh Ron, Aruna pun terdiam karena tidak tahu harus mengatakan apa. Tidak menyangka kalau pria yang dulu begitu angkuh dan juga arogan bisa mengucapkan kata ‘maaf’ namun dengan ekspresi yang begitu tulus. Tes! Tanpa sadar air mata Aruna terjatuh, luka yang seolah sudah sedikit sembuh kini terasa kembali. Semua rasa sakit yang diberikan oleh Ron kembali teringat olehnya. Melihat Aruna meneteskan air mata tanpa kata, Ron benar-benar semakin merasa bersalah. Dia seperti tengah menghianati dirinya sendiri, padahal menyakiti wanita bukanlah sesuatu yang biasa untuk dia lakukan. “Maaf, itu pasti sangat menyakitkan untukmu, bukan? Maaf, aku sungguh meminta maaf untuk apa yang terjadi, dan apa yang sudah aku lakukan padamu, Aruna.” Suara R
Ron merasakan beratnya kelopak matanya saat dia mengedipkan mata beberapa kali, mencoba untuk sepenuhnya terjaga. “Sudah mulai sore rupanya,” batin Ron. Ruangan itu dipenuhi oleh sinar sore yang menembus tirai, menciptakan pola cahaya dan bayangan yang bergerak pelan di dinding. Aruna, di sisi lain tempat tidur, tampak begitu damai dalam tidurnya. Rambutnya yang panjang terhampar di bantal, wajahnya tenang meski terlihat ada sedikit kelelahan yang tersisa. “Biarkan saja deh dia lanjut tidur,” gumam Ron. Dengan hati-hati, Ron menyelinap keluar dari selimut dan perlahan-lahan beranjak dari tempat tidur. Ia menatap jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 3 sore. Mereka telah terlewat makan siang, tetapi Ron tahu bahwa Aruna membutuhkan istirahat ini lebih dari apapun. Dengan langkah yang hampir tidak terdengar, d
Ron dan Aruna memutuskan untuk kembali ke rumah, sementara itu Edward dan Alenta tengah menemani Johnson. Sudah 2 hari full Ron dan Aruna di rumah sakit, walaupun ada saatnya Ron meninggalkan Aruna karena ada pekerjaan penting yang harus diselesaikan. Sesampainya di rumah, Mereka langsung masuk ke kamar. “Kau istirahat saja dulu, aku akan pergi ke luar sebentar. Ada yang harus aku kerjakan, mungkin cuma 1 jam saja.” ucap Ron, langsung mendapatkan anggukan setuju dari Aruna. Bergegas Ron mengganti pakaiannya, dia akan bertemu dengan Ben di kantor cabang karena dia beberapa dokumen yang harus ditandatangani oleh Ron. Sejenak meninggalkan Aruna, Ron menyelesaikan pekerjaannya secepat yang dia bisa. Selama dua hari di rumah sakit, Ron juga tidak bisa tidur nyenyak sama sekali. Johnson selalu menangis, lebih cengeng dari biasanya. Mungk
“Kamila, aku mengatakan kepada suamiku untuk membiarkan kau bekerja di perusahaannya karena aku merasa kasihan padamu. Padahal, bagian personalia mengatakan kau tidak dibutuhkan di perusahaan itu.” ujar Violet, tersenyum tak peduli kalau ucapannya barusan sangat tidak nyaman untuk Kamila dengar. Kamila menggigit bibir bawahnya, campur aduk perasaan. Dia tidak menyangka kalau Violet mengetahui banyak hal, namun memilih untuk tidak mengatakan apapun. “Sebenarnya, seberapa banyak hal yang tidak kau katakan padaku, Violet?” tanya Kamila, kali ini dia benar-benar terlihat emosi. Merasa dikhianati, namun sadar pula dia tidak berhak untuk menunjukkan secara jelas kemarahannya. Mendengar pertanyaan dari Kamila, sontak saja sorot mata Violet terarahkan padanya, “Kau sungguh ingin tahu?” Violet mendekati Kamila, “Hampir semua aku tahu, Kamila. Niat mu datang ke apartemen ku, dan kau y