Julia berdiri di samping Helios, dengan gaun pengantin yang diberikan padanya.
Jelas dia mengingat bahwa gaun itu adalah gaun yang dia coba di butik tempo hari.Nafasnya tersengal-sengal, mencoba menenangkan diri dari kegelisahan yang melanda. “Helios, aku benar-benar ingin memukulmu!” Batin Julia.Di seberang mereka, Max dan sekretaris Helios menyaksikan dengan raut wajah serius.“Sudah siap?” tanya Helios, menatap Julia tajam.Julia menggigit bibirnya, sementara matanya tajam menahan rasa jengkel yang kian memuncak. “Jujur saja aku tidak siap!” ucap Julia berbisik. Namun, ia tetap mengangguk pelan, menunjukkan kesediaannya untuk mengikuti sumpah pernikahan tersebut.Mereka mengucapkan sumpah pernikahan satu per satu, suara mereka berat dan penuh tekanan.Setiap kata yang terucap seolah menghujam hati Julia yang belum rela menikah dengan Helios, pria yang menyebalkan itu.Namun, dia harus melakukannya dem“Menikah, kalian bilang?” Kanya menatap Julia dan Helios yang kini duduk di depannya, berseberangan meja. “Helios, kau gila, kah?” tanya Kanya yang menolak untuk percaya ucapan Helios. Gabriella yang ada di sana pun hanya bisa terperangah tak percaya. Kecewa, dia juga merasa sangat marah jika memang benar Helios dan Julia sudah menikah secara diam-diam. “Apa perlu aku tunjukkan buku nikah kami, Ibu?” ujar Helios, ekspresi wajahnya yang dingin itu terlihat jelas. Julia pun keheranan, tidak mengerti kenapa Helios begitu dingin kepada Ibunya. Namun, katanya Helios selalu menuruti semua yang Ibunya katakan. Kanya menunjukkan emosinya, tegas dia mengatakan, “Ibu sudah menyiapkan calon istri untukmu, jangan macam-macam, Helios!” Ancamnya. Mendengar itu, Helios pun tersenyum kesal. Lelah dia memberikan kesempatan kepada Ibunya untuk bersikap semaunya, ini sudah saatnya Helios bersikap tegas dan keras. Helios me
Malam itu, Kanya dan Gabriella pergi dengan perasaan yang bercampur aduk. Helios, yang ingin membereskan semuanya, menggandeng tangan Julia dan mengajaknya ke kamar mereka. Namun, Julia menarik tangannya dengan geram, “Aku masih ingin duduk di ruang tamu!” sergahnya sinis.Helios menghela napas, “Kita harus berkemas, Julia. Besok pagi, aku akan mengantarmu kembali ke negaramu.”Mendengar itu, ekspresi wajah Julia berubah. Dia menatap Helios dengan tatapan penasaran, “Benarkah, kau tidak sedang membohongiku kan, Helios?” tanyanya penuh harap.Helios mengangguk, “Terserah mau percaya atau tidak. Kita hanya harus segera bersiap.”Julia tersenyum lega dan akhirnya mau diajak ke kamar. Begitu mereka masuk, Helios mendekap Julia dari belakang, bibirnya mendekati telinga Julia, “Sebelum kita berkemas, ada bagusnya kalau kau menyenangkan ku lebih dulu, Julia,” bisiknya lembut.Julia mengernyit, hatinya merasa jengkel namun tan
Alenta tersenyum lega, pembicaraannya dengan Sofia berakhir baik. Sempat tidak menyangka bahwa Sofia akan menikah dengan pria lain, mengingat sebelumnya Dia terlihat begitu obsesi terhadap Edward. Alenta mulai tersadar bahwa, tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Dulu, Dia pikir dia tidak akan pernah berani mencintai seseorang apalagi memikirkan untuk dicintai. Hidupnya terlalu sampah yang tak memiliki arti, sekarang semuanya menjadi kebalikannya. Dia dicintai oleh Edward, mencintai Edward, memiliki anak, memiliki keluarga. “Rasanya, kehidupan benar-benar berubah dengan sangat cepat.” gumam Alenta. Ingat bahwa barang belanjaannya belum dia susun, Gegas Alenta mengerjakan itu. Hari ini ia membeli banyak sekali stok makanan dan juga buah, belanja sendiri sangat menyenangkan hingga tidak menyadari seberapa banyak yang dibelinya. Sekitar hampir 1 jam, menyusun belanjaan akhirnya selesai.
Edward dan Alenta datang ke rumah Karina saat malam hari, menjemput anak-anak mereka untuk pulang. Namun, karena Ron tiba-tiba saja tidak mau diajak pulang, terpaksa juga Alenta dan Ron menginap di sana.“Aku pikir, Ron pasti akan menangis saat kami berdua datang ke sini karena tidak betah dengan Nenek yang galak,” ujar Edward menduga-duga.Kesal mendengar ucapan putranya itu, bantal kecil di sofa tempat ia duduk segera ia lemparkan kepada Edward. “Bicaramu itu kurang ajar sekali, Edward!” Karina mendengus kesal. Edward tertawa kecil, Karina pun tersenyum. Sudah lama dia tidak bercanda seperti ini dengan Edward, ternyata menyenangkan juga. Mereka kembali mengobrol, hingga pada akhirnya makan malam bersama. Ron dan Elea tidur di kamar tamu bersama dengan perawatnya Elea. sementara itu, Edward dan Alenta kini ada di kamar milik Edward yang digunakan Edward saat dia tinggal di rumah itu. “Wah, ternyata selera
Alenta, Edward, dan seluruh penghuni rumah baru saja sampai di rumah. Tidak ada banyak waktu yang tersisa, Edward segera menuju ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan bersiap pergi ke kantor. Untungnya, sebelum kembali ke rumah mereka, tadi sudah sarapan di rumah Karina dan Horrison. Elea dan Ron, mereka langsung menyerbu mainan mereka. Alenta pun segera membantu apa saja yang dibutuhkan Edward agar tidak membuatnya terlambat. Satu setel pakaian kantor, sepatu dan juga kaos kaki, jam tangan, dan juga dasi. Laptop juga segera Alenta masukkan ke dalam tasnya, ponsel tidak lupa. Begitu keluar dari kamar mandi, Edward tersenyum lebar karena semuanya sudah dipermudah oleh Alenta. “Terima kasih, Sayang.” ucap Edward. Alenta pun menganggukkan kepalanya.“Sudah tidak ada lagi yang diperlukan, kan? Aku mau ke dapur dulu untuk buat jus. Edward mengusap kepala Alenta dengan lembut. “Tidak ada, kalaupun
Alenta menggeleng tak percaya mendengar cerita Julia. Dia hampir lupa bernafas bahkan, tapi Julia bisa dengan santainya berbicara tentang masa lalunya hingga sampai terjadi begini. “Ternyata, ada banyak kegilaan yang terjadi di antara kalian berdua, ya.” ucap Alenta yang merasa begitu keheranan. Julia pun mengangkat kedua bahunya, menghela nafasnya pasrah karena memang seperti itulah kenyataannya. “Kak, pernikahan seperti itu apa kak Julia akan baik-baik saja nantinya?” tanya Alenta yang begitu penasaran dan juga khawatir. Mengingat hubungan pernikahan Julia dengan Edward sebelumnya, siapapun juga tidak menduga bahwa pada akhirnya mereka akan bercerai. Parahnya, Alenta harus terlibat, dan menjadi titik final hingga Julia dan Edward memutuskan untuk berpisah. Mendengar pertanyaan dari Alenta, Julia memahami kekhawatiran adiknya itu. Ia sendiri ragu tentang pernikahan ini, namun sadar juga tidak ada jalan untuk mundur atau kabur. Julia memaksakan senyumnya, “Pernikahan yang suli
“Hentikan!” ucap Alenta kepada Herin dan juga Wilhem. “Aku tidak menginginkan hal semacam ini, apalagi sampai Ayah dan Ibu bersujud di hadapanku. Bangunlah, Jangan membuatku terkesan sangat jahat kepada kalian! Sungguh, aku mohon...”Tanpa izin dari Alenta, wilhem bangkit, membungkuk, dan langsung memeluk Alenta erat. “Ayah akan berusaha untuk menebus dan memperbaiki diri agar kau bisa menyayangi Ayah seperti seharusnya.”Hanya bisa membisu mendengar ucapan Ayahnya, tidak tahu harus mengatakan apa. Sebenarnya, siapapun jelas tidak ingin memiliki hubungan yang buruk dengan Ayahnya sendiri maupun Ibunya. Namun, sejak tidak terlalu dekat dan tidak tinggal di rumah kedua orang tuanya, Alenta merasa hidupnya baik-baik saja. Kelegaan yang dia dapatkan sangat luar biasa saat jauh dari kedua orang tuanya. Sungguh, berbeda jauh dari anak lainnya.Herin bangkit dari posisinya, menyeka air matanya. Tidak berani dia memeluk Alenta, namun dia akan berusaha untuk menjadi Ibu yang baik sehingga p
Edward perlahan membuka pintu ruangan di mana Alenta berada. Begitu pintu terbuka, dia terdiam takjub melihat Alenta yang terlihat sangat cantik dengan gaun pengantin putih yang mengekalkan lekuk tubuhnya dengan sempurna. Riasan wajahnya yang natural namun memukau, membuat Edward terpana seketika.Tak sadar, mata Edward mulai memerah dan berkaca-kaca, terhanyut dalam keindahan wajah istrinya yang begitu luar biasa. “Bagaimana bisa malaikat secantik ini ternyata adalah istriku?” ungkapnya. Dalam langkah pasti, Edward berjalan mendekati Alenta yang tersenyum lembut, tatapannya penuh kasih dan kebahagiaan. “Pujian yang berlebihan seperti itu membuatku justru tidak nyaman,” ungkap Alenta. Edward meraih tangan Alenta yang halus, menggenggamnya erat sambil mengucapkan terima kasih dari lubuk hatinya. “Terima kasih, Sayang. Aku tidak tahu bagaimana lagi mengungkapkan perasaan bahagiaku ini, aku juga sangat bersyukur karena ternyata kau adalah istriku, dan ibu dari anakku.” ucapnya dengan
“Pendonoran sumsum tulang belakang 7 bulan yang lalu dinyatakan sukses, Tuan dan Nyonya.” ucap dokter yang selama ini menjadi dokter yang merawat Johnson. Aruna menangis haru, segera Ron memeluk bahagia istrinya itu. Edward juga langsung memeluk Alenta yang menangis haru, begitu juga dengan kedua orang tua Aruna yang ada di sana. Violet menyeka air matanya, Reiner mengusap kepalanya dengan lembut, lalu merangkulnya. Ada Arabella di gendongan Reiner yang tertidur pulas sejak tadi. “Tapi, untuk mengantisipasi kemungkinan dan bahkan selalu ada, di saat kelahiran bayi kedua anda nanti, pastikan untuk menyimpan darah tali pusat di rumah sakit, Nyonya dan Tuan.” saran dari Dokter itu. Aruna dan Ron menganggukkan kepalanya, dan akhirnya anggota keluarga besar saling berpelukan erat. Walaupun memang benar kemungkinan terburuk selalu ada, s
Anara menutup mulutnya menggunakan telapak tangan, matanya menatap benda mungil yang menjadi bagian dari kebahagiaannya. Alat penguji kehamilan yang menyatakan bahwa Aruna tengah hamil. “Ini benar-benar nyata, kan?” tanya Aruna, air matanya sudah mulai mengembung di pelupuk matanya. Padahal, 3 Minggu bersama Ron artinya pun dia sudah melewati 1 Minggu masa datang bulannya. Hanya saja, Aruna cukup stres dengan apa yang terjadi sekarang. Fokusnya benar-benar tertuju kepada Johnson, sampai dia tidak ada waktu untuk memikirkan yang lainnya. Tes! Jatuh sudah air mata Aruna, dia merasa bahagia karena bisa mengantisipasi hal buruk yang mungkin akan terjadi kepada Johnson. Mengenai donor sum-sum tulang belakang yang dijalani Ron dan Johnson beberapa waktu sebelumnya jelas
Ron merasakan denyut jantungnya yang berpacu kencang saat ruangan operasi dihiasi dengan suara bip mesin monitor yang terus menerus. Tangan Johnson yang lemah terkulai di samping tubuhnya, pucat dan tidak berdaya. Mata Ron berkaca-kaca saat dia menatap putranya yang terbaring tak sadarkan diri, berharap dan berdoa dalam diam bahwa semua ini akan membawa keajaiban untuk kesembuhan Johnson. “Johnson, sembuh lah....” Harap Ron di dalam hati, “jika menunggu adikmu terlalu lama, maka sembuhlah dengan cara ini, Ayah mohon. Ibumu pasti akan sangat menderita jika terjadi sesuatu padamu, berjuanglah terus, ya....” Dokter yang berpengalaman itu mengenakan sarung tangan sterilnya, seraya memeriksa kembali alat-alat medis yang telah disiapkan. Ron, dengan keberanian yang dipaksakan, berbaring di sisi lain ruangan yang sama, siap untuk mendonorkan sumsum tulang bela
“Maafkan aku, tapi semua ini terjadi juga di luar dugaan ku, James.” ucap Aruna jujur, berharap kejujurannya itu dapat dirasakan oleh pria itu. “Aku pikir, aku akan memulai hidup baru bersama Johnson dan kedua orang tuaku saja. Tapi, Johnson mengalami sakit yang benar-benar tidak ada dalam rencana ku, leukimia.” Mendengar itu, James pun terkejut, lupa untuk bernafas hingga beberapa saat. “Leukimia?” James benar-benar lemas, tidak menyangka kalau Johnson akan memiliki sakit mengerikan itu di usianya yang masih begitu kecil. “Kau benar-benar tidak sedang membohongiku, kan? Mana mungkin Johnson sakit seperti itu? Jangan bilang, kau cuma mengada ada supaya bisa menjalin hubungan dengan Ron lagi, Aruna,” harap James. Mendengar itu, jatuh sudah air mata Aruna. Ron, pria itu benar-benar seperti tidak tahu harus mengatakan apa. Jika membuat kebohongan seperti itu sangatlah mudah, maka
Aruna benar-benar menyuapkan makanan ke mulutnya Ron. “Makanlah....” Ron, pria itu benar-benar kehabisan kata-kata, padahal sudah bukan hanya satu atau dua kali dia menolak, dan meminta Aruna untuk fokus makan sendiri saja. Masih memangku laptop, pada akhirnya Ron membuka mulutnya, menerima suapan makanan dari Aruna. Nyut!!!! Nyeri, sungguh nyeri sekali dadanya. Kenapa begitu sakit? Ron seperti mendapatkan balasan dari luka yang dia berikan kepada Aruna, tertampar oleh fakta yang ada. Andai saja luka itu tidak pernah tertoreh, mungkinkah hubungan mereka akan lebih jujur dan diliputi kelegaan? Mata Ron memerah, pelupuknya sudah mulai dipenuhi dengan air mata. Melihat itu, Aruna menjadi bingung. Tidak ad
Mendengar permintaan maaf yang diucapkan oleh Ron, Aruna pun terdiam karena tidak tahu harus mengatakan apa. Tidak menyangka kalau pria yang dulu begitu angkuh dan juga arogan bisa mengucapkan kata ‘maaf’ namun dengan ekspresi yang begitu tulus. Tes! Tanpa sadar air mata Aruna terjatuh, luka yang seolah sudah sedikit sembuh kini terasa kembali. Semua rasa sakit yang diberikan oleh Ron kembali teringat olehnya. Melihat Aruna meneteskan air mata tanpa kata, Ron benar-benar semakin merasa bersalah. Dia seperti tengah menghianati dirinya sendiri, padahal menyakiti wanita bukanlah sesuatu yang biasa untuk dia lakukan. “Maaf, itu pasti sangat menyakitkan untukmu, bukan? Maaf, aku sungguh meminta maaf untuk apa yang terjadi, dan apa yang sudah aku lakukan padamu, Aruna.” Suara R
Ron merasakan beratnya kelopak matanya saat dia mengedipkan mata beberapa kali, mencoba untuk sepenuhnya terjaga. “Sudah mulai sore rupanya,” batin Ron. Ruangan itu dipenuhi oleh sinar sore yang menembus tirai, menciptakan pola cahaya dan bayangan yang bergerak pelan di dinding. Aruna, di sisi lain tempat tidur, tampak begitu damai dalam tidurnya. Rambutnya yang panjang terhampar di bantal, wajahnya tenang meski terlihat ada sedikit kelelahan yang tersisa. “Biarkan saja deh dia lanjut tidur,” gumam Ron. Dengan hati-hati, Ron menyelinap keluar dari selimut dan perlahan-lahan beranjak dari tempat tidur. Ia menatap jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 3 sore. Mereka telah terlewat makan siang, tetapi Ron tahu bahwa Aruna membutuhkan istirahat ini lebih dari apapun. Dengan langkah yang hampir tidak terdengar, d
Ron dan Aruna memutuskan untuk kembali ke rumah, sementara itu Edward dan Alenta tengah menemani Johnson. Sudah 2 hari full Ron dan Aruna di rumah sakit, walaupun ada saatnya Ron meninggalkan Aruna karena ada pekerjaan penting yang harus diselesaikan. Sesampainya di rumah, Mereka langsung masuk ke kamar. “Kau istirahat saja dulu, aku akan pergi ke luar sebentar. Ada yang harus aku kerjakan, mungkin cuma 1 jam saja.” ucap Ron, langsung mendapatkan anggukan setuju dari Aruna. Bergegas Ron mengganti pakaiannya, dia akan bertemu dengan Ben di kantor cabang karena dia beberapa dokumen yang harus ditandatangani oleh Ron. Sejenak meninggalkan Aruna, Ron menyelesaikan pekerjaannya secepat yang dia bisa. Selama dua hari di rumah sakit, Ron juga tidak bisa tidur nyenyak sama sekali. Johnson selalu menangis, lebih cengeng dari biasanya. Mungk
“Kamila, aku mengatakan kepada suamiku untuk membiarkan kau bekerja di perusahaannya karena aku merasa kasihan padamu. Padahal, bagian personalia mengatakan kau tidak dibutuhkan di perusahaan itu.” ujar Violet, tersenyum tak peduli kalau ucapannya barusan sangat tidak nyaman untuk Kamila dengar. Kamila menggigit bibir bawahnya, campur aduk perasaan. Dia tidak menyangka kalau Violet mengetahui banyak hal, namun memilih untuk tidak mengatakan apapun. “Sebenarnya, seberapa banyak hal yang tidak kau katakan padaku, Violet?” tanya Kamila, kali ini dia benar-benar terlihat emosi. Merasa dikhianati, namun sadar pula dia tidak berhak untuk menunjukkan secara jelas kemarahannya. Mendengar pertanyaan dari Kamila, sontak saja sorot mata Violet terarahkan padanya, “Kau sungguh ingin tahu?” Violet mendekati Kamila, “Hampir semua aku tahu, Kamila. Niat mu datang ke apartemen ku, dan kau y