Brak!
Edward masuk ke dalam mobilnya dengan membanting pintu mobil secara kasar. Kurang puas hanya dengan itu karena merasa kemarahannya tak terlampiaskan, Edward memukul setir kemudinya beberapa kali sampai punggung tangannya terluka.Bugh! Bugh! Bugh!“Ah, sial!” Kesal Edward, ternyata itu pun tak membuat kekesalannya berkurang.Sudah cukup siang untuk orang yang bekerja seperti dirinya, Edward melajukan mobilnya masih dengan perasaan yang digelayuti kemarahan.Sesampainya di kantor, Edward terkejut melihat Veronica yang sudah berada di ruangan untuk merapikan meja tempatnya bekerja.“Apa-apaan kau ini, Veronica?” ucap Edward yang merasa keberatan melihat Veronica sudah bekerja padahal kemarin sore nampak seperti sedang kritis.Veronica tersenyum lebar, dia ingin menunjukkan kepada Edward bahwa dia saat ini dalam keadaan baik-baik saja. “Sudah tidak ada rasa sakit lagi yang saya rasakan, Presdir Edward. Maka itu, t“Kau bukan cuma kasihan, Kak Edward. Aku melihat penyesalan yang begitu dalam di mata mu, kau seperti terus membisikkan pada dirimu sendiri, andai saja waktu bisa diulang lagi, mungkin tidak seperti ini hubungan kalian berakhir.”Edward membuka matanya saat kata-kata Alenta itu terlintas di kepalanya. Bibirnya sedikit menempel dengan bibir Veronica, di saat itulah Edward mendorong tubuh Veronica untuk menjauh darinya. Memalingkan wajah, Edward tidak ingin menatap Veronica saat ini. Tangannya menahan tubuh Veronica dengan mencengkeram kedua sisi lengannya. “Bangkitlah, Veronica!” Titah Edward.Melihat penolakan yang diberikan oleh Edward padanya, mencelos sudah hatinya. Perasaan kecewa yang dirasakan Veronica semakin menjadi-jadi, dia semakin tidak ingin kehilangan Edward yang sangat ia inginkan. “Edward, Aku benar-benar tidak tahu bahwa pada akhirnya aku akan kehilangan kendali, sulit bagiku membendung perasaan yang
“Apa yang kau lakukan kepada Veronica, Alenta!” protes Edward tanpa sadar karena dia panik melihat Veronica terjatuh di lantai. Mengingat kondisi Veronica yang tidak baik, Edward takut terjadi sesuatu yang mana juga akan membuat Alenta terkena masalah. Edward langsung membantu Veronica untuk bangkit, menahan kedua lengan Veronica agar wanita itu bisa berdiri dengan benar. Alenta hanya bisa terdiam, sepasang matanya harus menyaksikan apa yang tidak ingin dia lihat, lidahnya tentu menjadi kelu. “Mohon Jangan menyalahkan Nyonya Alenta, Presdir. Saya tidak sengaja terjatuh sendiri, Nyonya Alenta tidak membuat kesalahan.” ucap Veronica, dia membuat kesan Alenta buruk di balik pembelaannya.Tersadar tangannya masih menahan lengan Veronica, Edward dengan segera menjauhkan setelah memastikan Veronica bisa berdiri dengan benar. “Aku sudah menjelaskan bahwa Veronica dalam keadaan sakit padamu, bukan? Kenapa kau masih membuatnya terjat
Edward kembali ke rumah sekitar pukul 18.00 sore. Keadaan rumah benar-benar sunyi, sungguh tidak seperti biasanya.Hanya ada pelayan rumah yang menyambut kedatangan Edward, sementara perawat juga ada di dapur tengah menyiapkan obat untuk Elea. Sesampainya di kamar, Edward tak mendapati Alenta membuatnya mulai bertanya-tanya di mana keberadaan wanitanya itu. Segera merapikan dirinya, langsung mencari keberadaan Alenta begitu dia sudah selesai. Kamar anak-anak, mencoba untuk datang ke kamar Ron lebih dulu. Namun, tidak ada Alenta atau siapapun di dalam sana. Lanjut, Edward mendatangi kamar Elea, barulah dia mendapatkan keberadaan Alenta, Ron, dan juga Elea. Alenta tengah duduk di atas tempat tidur, di antara kedua anaknya, memegang sebuah buku cerita untuk mendongeng kedua anaknya. Menyadari kedatangan Edward, Alenta mengabaikan saja. Ron dan Elea kompak melekatkan tubuh mereka, memeluk Alenta karena Ayahny
Edward duduk di ruang kerjanya dengan raut wajah penuh kebimbangan. Dia tahu keputusan yang akan diambilnya hari ini akan menyakitkan hati Veronica. Edward ingin menjaga hubungannya dengan Alenta dan tidak ingin ada kesalahpahaman lagi di antara mereka karena masa lalu yang pernah dijalin dengan Veronica.Dengan napas berat, Edward memanggil Veronica ke ruangannya. Veronica yang awalnya tersenyum lebar, seketika merasa sedikit ragu melihat ekspresi Edward yang begitu serius.“Selamat pagi, Presdir Edward. Adakah yang perlu saya kerjakan?” tanya Veronica ramah dan sopan seperti biasanya.Mendengar itu, Edward pun terdiam sejenak sebelum pada akhirnya dia mengatakan, “Duduklah dulu, ada hal yang harus aku bicarakan denganmu.” Tiba-tiba saja Veronica merasa gugup, ekspresi Edward sudah menjelaskan bahwa ada hal yang tidak baik kali ini, dan Veronica mulai merasa waspada.Sejenak Edward menghela nafas, bagaimanapun ingin
Alenta merenung seorang diri, duduk di atas ranjang tidur tanpa kehadiran Edward. Malam itu, dia benar-benar tidak bisa tidur. Tidak bisa bohong, dia menunggu kepulangan Edward. Namun, tidak juga pulang bahkan sampai matahari terbit, jam pada dinding menunjukkan pukul 7 pagi. Kekecewaan yang amat luar biasa itu semakin terasa di hatinya, setiap kali mengingat nama Edward saja dadanya seperti berdenyut nyeri. “Apa yang harus aku lakukan sekarang?” tanya Alenta dalam kebimbangan. Jelas, tidak ada lagi yang bisa diharapkan dari Edward untuk bisa terus bertahan di rumah itu. Namun, kalaupun dia ingin pergi membawa Ron, bagaimana dengan Elea?Jelas, dia tidak akan pernah sanggup membayar biaya pengobatan Elea yang luar biasa mahalnya. Dokter khusus, obat terbaik, 2 perawat yang disewa Edward juga sangat fantastis bayarannya. “Ya Tuhan...” Keluh Alenta, menjambak rambutnya sendiri karena frustasi yang dia rasak
Edward membuka pintu rumah pada pukul 11 siang, hati-hati mempersiapkan diri untuk menjelaskan kepada Alenta tentang keadaan Veronica yang membuatnya tidak pulang semalaman. Begitu masuk, dia mendengar suara tawa yang riang dari kedua anaknya. Sejenak, perasaan cemasnya berkurang dan digantikan oleh semangat untuk bersua dengan anak-anak tercinta.Namun, ketika dia melangkah ke ruang keluarga, pemandangan yang dia saksikan membuat hatinya teriris. “Apa-apaan ini?” gumam Edward.Dua anaknya, Ron dan Elea, sedang asyik bermain dengan Michael, sahabat baiknya yang juga merupakan ayah kandung Elea. Mereka tertawa, bercanda, dan berbagi kebahagiaan bersama, sementara Alenta, menatap mereka dengan senyuman lebar di wajahnya.Edward merasa cemburu dan kesal melihat kebersamaan mereka. Sepasang mata tajamnya menatap Alenta, seolah menanyakan mengapa dia membiarkan Michael begitu dekat dengan anak-anak mereka. Alenta menangkap tatapan itu dan se
“Aku benar-benar sudah sangat merasa lelah. Sudah kubilang pada akhirnya kau akan terjatuh dalam lubang yang membuatmu tidak bisa keluar lagi. Jadi, sebelum itu terjadi ayo berpisah saja dan tidak usah membuang waktu.” pinta Gozel. Mendengar ucapan Alenta, Edward pun membeku ngeri. Kembali dia menahan Alenta, tidak mengizinkan dia keluar dari kamar. “Kak Edward, lepaskan aku!” Titah Alenta. “Aku harus membuat makan siang untuk anak-anak,” Alenta mencoba untuk menjelaskan. Edward kembali memeluk Alenta, “Maaf, maafkan aku, Sayang. Demi Tuhan, aku akan berusaha dengan keras untuk bisa keluar dari perasaan aneh ini. Aku bersumpah, tolong berikan 1 kesempatan lagi untukku, ya?” Mohon Edward. Alenta terdiam, dia merasakan tubuh Edward yang gemetar. Tidak tahu apa yang membuat Edward seperti itu, Alenta tidak ingin banyak berpikir saat ini. “Berikan aku waktu sebentar saja, aku akan memperjelas perasaan apa ini. Aku jan
Julia berlari sekuat tenaga, mengepakkan rok panjangnya saat melompati pagar yang mengelilingi mansion Helios.Hatinya berdebar kencang saat dia teringat pelayan yang hampir saja memergokinya hendak melarikan diri. Namun, beruntung kecepatan kakinya mampu membawanya lebih jauh meninggalkan mansion.“Apa-apaan, ini?” tanya Julia dalam kebingungan karena tempat yang ia lihat sepertinya sangat asing, dan belum pernah Ia lihat sebelumnya.Julia menggelengkan kepalanya, dia akan memikirkan kebingungan ilnanti.Dengan kondisi Helios yang terluka akibat tusukan garpu yang diberikan Julia, seluruh pelayan mansion sibuk mengurus pemilik mereka yang dilarikan ke rumah sakit. Julia memanfaatkan kesempatan ini untuk melarikan diri demi menemui putrinya yang sudah lama tak dijumpainya.Dalam perjuangan melarikan diri, Julia sempat mengambil dompet Helios yang berisi uang yang cukup untuk mencapai tempat putrinya. Setelah beberapa w
“Pendonoran sumsum tulang belakang 7 bulan yang lalu dinyatakan sukses, Tuan dan Nyonya.” ucap dokter yang selama ini menjadi dokter yang merawat Johnson. Aruna menangis haru, segera Ron memeluk bahagia istrinya itu. Edward juga langsung memeluk Alenta yang menangis haru, begitu juga dengan kedua orang tua Aruna yang ada di sana. Violet menyeka air matanya, Reiner mengusap kepalanya dengan lembut, lalu merangkulnya. Ada Arabella di gendongan Reiner yang tertidur pulas sejak tadi. “Tapi, untuk mengantisipasi kemungkinan dan bahkan selalu ada, di saat kelahiran bayi kedua anda nanti, pastikan untuk menyimpan darah tali pusat di rumah sakit, Nyonya dan Tuan.” saran dari Dokter itu. Aruna dan Ron menganggukkan kepalanya, dan akhirnya anggota keluarga besar saling berpelukan erat. Walaupun memang benar kemungkinan terburuk selalu ada, s
Anara menutup mulutnya menggunakan telapak tangan, matanya menatap benda mungil yang menjadi bagian dari kebahagiaannya. Alat penguji kehamilan yang menyatakan bahwa Aruna tengah hamil. “Ini benar-benar nyata, kan?” tanya Aruna, air matanya sudah mulai mengembung di pelupuk matanya. Padahal, 3 Minggu bersama Ron artinya pun dia sudah melewati 1 Minggu masa datang bulannya. Hanya saja, Aruna cukup stres dengan apa yang terjadi sekarang. Fokusnya benar-benar tertuju kepada Johnson, sampai dia tidak ada waktu untuk memikirkan yang lainnya. Tes! Jatuh sudah air mata Aruna, dia merasa bahagia karena bisa mengantisipasi hal buruk yang mungkin akan terjadi kepada Johnson. Mengenai donor sum-sum tulang belakang yang dijalani Ron dan Johnson beberapa waktu sebelumnya jelas
Ron merasakan denyut jantungnya yang berpacu kencang saat ruangan operasi dihiasi dengan suara bip mesin monitor yang terus menerus. Tangan Johnson yang lemah terkulai di samping tubuhnya, pucat dan tidak berdaya. Mata Ron berkaca-kaca saat dia menatap putranya yang terbaring tak sadarkan diri, berharap dan berdoa dalam diam bahwa semua ini akan membawa keajaiban untuk kesembuhan Johnson. “Johnson, sembuh lah....” Harap Ron di dalam hati, “jika menunggu adikmu terlalu lama, maka sembuhlah dengan cara ini, Ayah mohon. Ibumu pasti akan sangat menderita jika terjadi sesuatu padamu, berjuanglah terus, ya....” Dokter yang berpengalaman itu mengenakan sarung tangan sterilnya, seraya memeriksa kembali alat-alat medis yang telah disiapkan. Ron, dengan keberanian yang dipaksakan, berbaring di sisi lain ruangan yang sama, siap untuk mendonorkan sumsum tulang bela
“Maafkan aku, tapi semua ini terjadi juga di luar dugaan ku, James.” ucap Aruna jujur, berharap kejujurannya itu dapat dirasakan oleh pria itu. “Aku pikir, aku akan memulai hidup baru bersama Johnson dan kedua orang tuaku saja. Tapi, Johnson mengalami sakit yang benar-benar tidak ada dalam rencana ku, leukimia.” Mendengar itu, James pun terkejut, lupa untuk bernafas hingga beberapa saat. “Leukimia?” James benar-benar lemas, tidak menyangka kalau Johnson akan memiliki sakit mengerikan itu di usianya yang masih begitu kecil. “Kau benar-benar tidak sedang membohongiku, kan? Mana mungkin Johnson sakit seperti itu? Jangan bilang, kau cuma mengada ada supaya bisa menjalin hubungan dengan Ron lagi, Aruna,” harap James. Mendengar itu, jatuh sudah air mata Aruna. Ron, pria itu benar-benar seperti tidak tahu harus mengatakan apa. Jika membuat kebohongan seperti itu sangatlah mudah, maka
Aruna benar-benar menyuapkan makanan ke mulutnya Ron. “Makanlah....” Ron, pria itu benar-benar kehabisan kata-kata, padahal sudah bukan hanya satu atau dua kali dia menolak, dan meminta Aruna untuk fokus makan sendiri saja. Masih memangku laptop, pada akhirnya Ron membuka mulutnya, menerima suapan makanan dari Aruna. Nyut!!!! Nyeri, sungguh nyeri sekali dadanya. Kenapa begitu sakit? Ron seperti mendapatkan balasan dari luka yang dia berikan kepada Aruna, tertampar oleh fakta yang ada. Andai saja luka itu tidak pernah tertoreh, mungkinkah hubungan mereka akan lebih jujur dan diliputi kelegaan? Mata Ron memerah, pelupuknya sudah mulai dipenuhi dengan air mata. Melihat itu, Aruna menjadi bingung. Tidak ad
Mendengar permintaan maaf yang diucapkan oleh Ron, Aruna pun terdiam karena tidak tahu harus mengatakan apa. Tidak menyangka kalau pria yang dulu begitu angkuh dan juga arogan bisa mengucapkan kata ‘maaf’ namun dengan ekspresi yang begitu tulus. Tes! Tanpa sadar air mata Aruna terjatuh, luka yang seolah sudah sedikit sembuh kini terasa kembali. Semua rasa sakit yang diberikan oleh Ron kembali teringat olehnya. Melihat Aruna meneteskan air mata tanpa kata, Ron benar-benar semakin merasa bersalah. Dia seperti tengah menghianati dirinya sendiri, padahal menyakiti wanita bukanlah sesuatu yang biasa untuk dia lakukan. “Maaf, itu pasti sangat menyakitkan untukmu, bukan? Maaf, aku sungguh meminta maaf untuk apa yang terjadi, dan apa yang sudah aku lakukan padamu, Aruna.” Suara R
Ron merasakan beratnya kelopak matanya saat dia mengedipkan mata beberapa kali, mencoba untuk sepenuhnya terjaga. “Sudah mulai sore rupanya,” batin Ron. Ruangan itu dipenuhi oleh sinar sore yang menembus tirai, menciptakan pola cahaya dan bayangan yang bergerak pelan di dinding. Aruna, di sisi lain tempat tidur, tampak begitu damai dalam tidurnya. Rambutnya yang panjang terhampar di bantal, wajahnya tenang meski terlihat ada sedikit kelelahan yang tersisa. “Biarkan saja deh dia lanjut tidur,” gumam Ron. Dengan hati-hati, Ron menyelinap keluar dari selimut dan perlahan-lahan beranjak dari tempat tidur. Ia menatap jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 3 sore. Mereka telah terlewat makan siang, tetapi Ron tahu bahwa Aruna membutuhkan istirahat ini lebih dari apapun. Dengan langkah yang hampir tidak terdengar, d
Ron dan Aruna memutuskan untuk kembali ke rumah, sementara itu Edward dan Alenta tengah menemani Johnson. Sudah 2 hari full Ron dan Aruna di rumah sakit, walaupun ada saatnya Ron meninggalkan Aruna karena ada pekerjaan penting yang harus diselesaikan. Sesampainya di rumah, Mereka langsung masuk ke kamar. “Kau istirahat saja dulu, aku akan pergi ke luar sebentar. Ada yang harus aku kerjakan, mungkin cuma 1 jam saja.” ucap Ron, langsung mendapatkan anggukan setuju dari Aruna. Bergegas Ron mengganti pakaiannya, dia akan bertemu dengan Ben di kantor cabang karena dia beberapa dokumen yang harus ditandatangani oleh Ron. Sejenak meninggalkan Aruna, Ron menyelesaikan pekerjaannya secepat yang dia bisa. Selama dua hari di rumah sakit, Ron juga tidak bisa tidur nyenyak sama sekali. Johnson selalu menangis, lebih cengeng dari biasanya. Mungk
“Kamila, aku mengatakan kepada suamiku untuk membiarkan kau bekerja di perusahaannya karena aku merasa kasihan padamu. Padahal, bagian personalia mengatakan kau tidak dibutuhkan di perusahaan itu.” ujar Violet, tersenyum tak peduli kalau ucapannya barusan sangat tidak nyaman untuk Kamila dengar. Kamila menggigit bibir bawahnya, campur aduk perasaan. Dia tidak menyangka kalau Violet mengetahui banyak hal, namun memilih untuk tidak mengatakan apapun. “Sebenarnya, seberapa banyak hal yang tidak kau katakan padaku, Violet?” tanya Kamila, kali ini dia benar-benar terlihat emosi. Merasa dikhianati, namun sadar pula dia tidak berhak untuk menunjukkan secara jelas kemarahannya. Mendengar pertanyaan dari Kamila, sontak saja sorot mata Violet terarahkan padanya, “Kau sungguh ingin tahu?” Violet mendekati Kamila, “Hampir semua aku tahu, Kamila. Niat mu datang ke apartemen ku, dan kau y