“Kak Edward, kali ini percayalah padaku aku tidak bisa meninggalkan tempat ini. Sekarang, kembalilah dulu ke keluargamu, kak. Sungguh, aku benar-benar memohon padamu....”ucap Alenta, menatap Edward dengan tatapan memohon karena dia tahu benar Edward pasti akan bersikeras untuk membawanya pergi. Edward terdiam mendengarkan ucapan Alenta, meski ingin sekali dia bicara, nyatanya Edward tetap menahan dirinya. “Kak,” panggil lagi Alenta, namun Edward juga masih tidak mengatakan apapun. “Kak, cepatlah pergi karena aku benar-benar membutuhkan istirahat sekarang!” titah Alenta frustasi. Mendengar Alenta yang terus memberikan reaksi penolakan, Edward mulai bereaksi. “Apa kau sudah selesai bicara, Alenta?” tanya Edward, sorot matanya yang dingin itu membuat Alenta justru merasa semakin tertekan.Tak bisa mengatakan apapun, Alenta sadar dia menang tidak akan pernah bisa menolak Edward. Namun, membayangkan akan kembali kepada keluarga, Alenta merasa begitu
“Saat ini Alenta sedang dalam masa pemulihan, kalau bisa tunda dulu untuk pergi ke kota, ya?” Pinta Lien kepada Edward. Edward tak langsung menanggapi ucapan Lien. Sebenarnya, dia benar-benar ingin langsung membawa Alenta untuk kembali ke kota. Ada banyak hal yang ganjal harus segera dia selesaikan. “Kak, tolong turuti ucapan Bibi Lien, ya? Aku benar-benar masih lemas, juga mudah sekali gemetaran,” ucap Alenta, berharap benar Edward mendengarkan. Mendengar Alenta memohon seperti itu, Edward tak kuasa untuk menolak. Pada akhirnya, Edward menganggukkan saja kepalanya menurut apa yang diminta oleh Alenta. Ron ada dipangkuan Alenta, dia benar-benar mengkerut karena takut akan adanya Edward. Kini, kedua bola mata Edward mulai tertuju dengan anaknya. Sungguh, dia benar-benar sangat bahagia karena memiliki anak dengan Alenta. Mungkin Alenta memang tidak akan menceritakan tentang ketakutannya untuk kembali ke kota, tapi Edward bena
“Jangan pernah datang lagi untuk menemui Elea, apa kau paham?!” peringat Julia kepada Michael. Saat ini mereka berdua berada di luar ruangan dengan alasan mengobrol tentang Edward.Michael menghela nafasnya, senyum kecut timbul di wajahnya, sedang matanya menatap Julia dengan tatapan heran. “Aku sendiri juga sudah cukup paham bahwa aku tidak boleh membiarkan semua orang curiga. Tapi, memang apa salahnya jika aku datang sekali saja?” Protes Michael. Julia mengepalkan tangannya, pikirannya menjadi rancu karena terlalu banyak hal yang ia pikirkan belakangan ini. Sedikit saja orang salah di matanya, reaksinya mungkin akan berlebihan. “Ke depannya, jangan pernah datang lagi untuk menemui Elea apapun yang terjadi dengan Elea, apa kau paham?!” Mata Julia membelalak tajam kepada Michael. Mendengar dan melihat ancaman Julia, Michael seperti kehabisan kata-kata. Cukup sadar bahwa dia tak ada ubahnya dari seorang pemuas saat Julia merasa lapar a
Edward membukakan pintu mobil untuk Alenta, lalu setelah itu dengan hati-hati dia berpindah kepada Ron. Dengan hati-hati, Edward membuka pengaman pada car seat yang digunakan oleh Ron. “Tubuhnya ringan sekali, apa dia tidak menyusu dengan baik?” gumam Edward yang sebenarnya hanya untuk meledek Alenta sama. Mendengar ucapan Edward, Alenta benar-benar bereaksi kesal. Bagaimanapun, dia sudah berusaha susah payah menentukan asupan gizi yang seimbang untuk Ron, tidak pernah telat juga memberikan ASI serta MPASI tapi bisa-bisanya Edward mengomentari seperti itu. “Kak Edward,” panggil Alenta. “Sejak kapan kak Edward punya hak untuk berkomentar seperti itu?!” protes Alenta. Edward tersenyum miring, “kecilkan suaramu, kau mau dia bangun?”Alenta langsung menutup mulutnya, bukan berarti dia kehilangan rasa kesalnya. “Selamat datang, Tuan dan Nyonya....” sapa pelayan rumah yang masih juga belum ganti orang. Alenta tersentak d
“Mengenai Ron, tolong juga jangan beritahu dulu terutama kepada kedua orang tua kak Edward. Nyonya Karina sangat benci padaku, dia pasti akan sangat membenci Ron,” pinta Alenta.Mendengar permohonan dari Alenta, Edward merasa sangat bingung. Sejuta pertanyaan mulia melintasi kepalanya, namun jelas dia tidak boleh memprotes permintaan Alenta. “Kenapa kau berpikir seperti itu?” tanya Edward yang tidak bisa menahan rasa penasarannya, “aku bertanya bukan berarti akan memaksamu mengenalkan Ron kepada orang tuaku, aku hanya penasaran saja.”Alenta terdiam sejenak, rasanya tidak nyaman kalau membicarakan Karina dengan Edward. Tapi, Alenta akan coba menjawab pertanyaan Edward dengan kalimat yang sebisa mungkin tidak membuat Edward merasa Alenta menilai Karina buruk. “Itu, mungkin Nyonya Karina sedang emosi jadi mengatakan sesuatu yang semacam itu,” jawab Alenta. Jawaban dari Alenta barusan benar-benar membuat Edward ingin garuk kepala. Bertany
Di sore hari yang masih cerah, Edward, Alenta, dan juga Ron pergi berbelanja kebutuhan Ron juga kebutuhan mereka yang Alenta rasa kurang. Mainan sudah menumpuk sampai mobil hampir tidak muat. Tidak mungkin langsung pulang begitu saja, mereka memutuskan untuk pergi makan malam bersama. Di sebuah restauran yang tidak asing, Alenta ingat restauran itu adalah tempat dia dan juga Edward makan malam bersama untuk pertama kali. Senyum di bibir Alenta terbit, aneh sekali padahal mungkin hanya sebuah kebetulan saja tapi kesannya manis. “Ayo!” ajak Edward, dia langsung mengambil Ron untuk masuk ke dalam gendongannya. Menunggu Alenta keluar, Edward langsung merangkul Alenta. Ron menahan tangis di dalam gendongan Edward. Dia tidak ingin berada di dalam gendongan Edward, tapi juga tidak berani menangis. Mereka sampai, duduk di meja yang sudah di pesan Edward sebelumnya. Ada tempat duduk khusus untuk Ron, mempermudah
“Kemana saja kau ini, Edward?!” tanya Karina, menyambut kedatangan Edward di rumah sakit. Tidak ada jawaban yang diberikan Edward, dia terlalu malas untuk melakukannya. Fokus untuk melihat bagaimana keadaan Elea, Edward bahkan juga mengabaikan tatapan semua orang yang nampak mengharapkan jawaban darinya. “Ayah.....” panggil Elea pelan, matanya yang memancarkan kerinduan itu benar-benar terlihat jelas. Edward langsung memeluk Elea, mengusap kepalanya dengan lembut setelah memberikan beberapa kali kecupan di sana. “Bagaimana kabarmu hari ini? Maaf Ayah baru datang menemuimu,” ucap Edward. Mereka masih saling berpelukan, melepaskan rindu yang dirasakan satu sama lain. “Ayah dari mana saja?” tanya Elea, mungkin juga itu adalah bentuk protes darinya. Edward tersenyum, jelas dia tidak akan mengatakan yang sebenarnya kepada Elea dan di hadapan begitu banyak orang. Namun, Edward memiliki niat di dalam hatinya ak
Edward kembali ke rumah sakit sore harinya seperti yang dia janjikan. Sebentar dia menemui Elea untuk bermain dan mengobrol, dan lagi-lagi dia hanya bisa mengabaikan saja Julia yang ada di sana. Tahu, sejak Edward kembali datang ke rumah sakit Julia terus menetap ke arahnya seolah-olah meminta kepada Edward sebentar saja waktu untuk mereka bisa bicara. Sudah sangat lelah, Edward tidak ingin membuang-buang waktu untuk terus merasakan emosi di hatinya. Baginya, tenang dan tidak melakukan interaksi apa-apa bersama dengan Julia sudah sangat jauh lebih baik. Tapi, jelas aja Julia tidak akan menyerah begitu saja. “Bisa kita bicara sebentar di luar, Edward?” tanya Julia, ekspresi wajahnya yang terlihat begitu memohon dapat tersampaikan secara langsung kepada Edward. Namun, saat ini Edward benar-benar sangat malas untuk berbicara bersama dengan Julia. Edward menghela nafasnya, dia mengabaikan saja ajakan dari Julia barusan karena terlalu mal
“Pendonoran sumsum tulang belakang 7 bulan yang lalu dinyatakan sukses, Tuan dan Nyonya.” ucap dokter yang selama ini menjadi dokter yang merawat Johnson. Aruna menangis haru, segera Ron memeluk bahagia istrinya itu. Edward juga langsung memeluk Alenta yang menangis haru, begitu juga dengan kedua orang tua Aruna yang ada di sana. Violet menyeka air matanya, Reiner mengusap kepalanya dengan lembut, lalu merangkulnya. Ada Arabella di gendongan Reiner yang tertidur pulas sejak tadi. “Tapi, untuk mengantisipasi kemungkinan dan bahkan selalu ada, di saat kelahiran bayi kedua anda nanti, pastikan untuk menyimpan darah tali pusat di rumah sakit, Nyonya dan Tuan.” saran dari Dokter itu. Aruna dan Ron menganggukkan kepalanya, dan akhirnya anggota keluarga besar saling berpelukan erat. Walaupun memang benar kemungkinan terburuk selalu ada, s
Anara menutup mulutnya menggunakan telapak tangan, matanya menatap benda mungil yang menjadi bagian dari kebahagiaannya. Alat penguji kehamilan yang menyatakan bahwa Aruna tengah hamil. “Ini benar-benar nyata, kan?” tanya Aruna, air matanya sudah mulai mengembung di pelupuk matanya. Padahal, 3 Minggu bersama Ron artinya pun dia sudah melewati 1 Minggu masa datang bulannya. Hanya saja, Aruna cukup stres dengan apa yang terjadi sekarang. Fokusnya benar-benar tertuju kepada Johnson, sampai dia tidak ada waktu untuk memikirkan yang lainnya. Tes! Jatuh sudah air mata Aruna, dia merasa bahagia karena bisa mengantisipasi hal buruk yang mungkin akan terjadi kepada Johnson. Mengenai donor sum-sum tulang belakang yang dijalani Ron dan Johnson beberapa waktu sebelumnya jelas
Ron merasakan denyut jantungnya yang berpacu kencang saat ruangan operasi dihiasi dengan suara bip mesin monitor yang terus menerus. Tangan Johnson yang lemah terkulai di samping tubuhnya, pucat dan tidak berdaya. Mata Ron berkaca-kaca saat dia menatap putranya yang terbaring tak sadarkan diri, berharap dan berdoa dalam diam bahwa semua ini akan membawa keajaiban untuk kesembuhan Johnson. “Johnson, sembuh lah....” Harap Ron di dalam hati, “jika menunggu adikmu terlalu lama, maka sembuhlah dengan cara ini, Ayah mohon. Ibumu pasti akan sangat menderita jika terjadi sesuatu padamu, berjuanglah terus, ya....” Dokter yang berpengalaman itu mengenakan sarung tangan sterilnya, seraya memeriksa kembali alat-alat medis yang telah disiapkan. Ron, dengan keberanian yang dipaksakan, berbaring di sisi lain ruangan yang sama, siap untuk mendonorkan sumsum tulang bela
“Maafkan aku, tapi semua ini terjadi juga di luar dugaan ku, James.” ucap Aruna jujur, berharap kejujurannya itu dapat dirasakan oleh pria itu. “Aku pikir, aku akan memulai hidup baru bersama Johnson dan kedua orang tuaku saja. Tapi, Johnson mengalami sakit yang benar-benar tidak ada dalam rencana ku, leukimia.” Mendengar itu, James pun terkejut, lupa untuk bernafas hingga beberapa saat. “Leukimia?” James benar-benar lemas, tidak menyangka kalau Johnson akan memiliki sakit mengerikan itu di usianya yang masih begitu kecil. “Kau benar-benar tidak sedang membohongiku, kan? Mana mungkin Johnson sakit seperti itu? Jangan bilang, kau cuma mengada ada supaya bisa menjalin hubungan dengan Ron lagi, Aruna,” harap James. Mendengar itu, jatuh sudah air mata Aruna. Ron, pria itu benar-benar seperti tidak tahu harus mengatakan apa. Jika membuat kebohongan seperti itu sangatlah mudah, maka
Aruna benar-benar menyuapkan makanan ke mulutnya Ron. “Makanlah....” Ron, pria itu benar-benar kehabisan kata-kata, padahal sudah bukan hanya satu atau dua kali dia menolak, dan meminta Aruna untuk fokus makan sendiri saja. Masih memangku laptop, pada akhirnya Ron membuka mulutnya, menerima suapan makanan dari Aruna. Nyut!!!! Nyeri, sungguh nyeri sekali dadanya. Kenapa begitu sakit? Ron seperti mendapatkan balasan dari luka yang dia berikan kepada Aruna, tertampar oleh fakta yang ada. Andai saja luka itu tidak pernah tertoreh, mungkinkah hubungan mereka akan lebih jujur dan diliputi kelegaan? Mata Ron memerah, pelupuknya sudah mulai dipenuhi dengan air mata. Melihat itu, Aruna menjadi bingung. Tidak ad
Mendengar permintaan maaf yang diucapkan oleh Ron, Aruna pun terdiam karena tidak tahu harus mengatakan apa. Tidak menyangka kalau pria yang dulu begitu angkuh dan juga arogan bisa mengucapkan kata ‘maaf’ namun dengan ekspresi yang begitu tulus. Tes! Tanpa sadar air mata Aruna terjatuh, luka yang seolah sudah sedikit sembuh kini terasa kembali. Semua rasa sakit yang diberikan oleh Ron kembali teringat olehnya. Melihat Aruna meneteskan air mata tanpa kata, Ron benar-benar semakin merasa bersalah. Dia seperti tengah menghianati dirinya sendiri, padahal menyakiti wanita bukanlah sesuatu yang biasa untuk dia lakukan. “Maaf, itu pasti sangat menyakitkan untukmu, bukan? Maaf, aku sungguh meminta maaf untuk apa yang terjadi, dan apa yang sudah aku lakukan padamu, Aruna.” Suara R
Ron merasakan beratnya kelopak matanya saat dia mengedipkan mata beberapa kali, mencoba untuk sepenuhnya terjaga. “Sudah mulai sore rupanya,” batin Ron. Ruangan itu dipenuhi oleh sinar sore yang menembus tirai, menciptakan pola cahaya dan bayangan yang bergerak pelan di dinding. Aruna, di sisi lain tempat tidur, tampak begitu damai dalam tidurnya. Rambutnya yang panjang terhampar di bantal, wajahnya tenang meski terlihat ada sedikit kelelahan yang tersisa. “Biarkan saja deh dia lanjut tidur,” gumam Ron. Dengan hati-hati, Ron menyelinap keluar dari selimut dan perlahan-lahan beranjak dari tempat tidur. Ia menatap jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 3 sore. Mereka telah terlewat makan siang, tetapi Ron tahu bahwa Aruna membutuhkan istirahat ini lebih dari apapun. Dengan langkah yang hampir tidak terdengar, d
Ron dan Aruna memutuskan untuk kembali ke rumah, sementara itu Edward dan Alenta tengah menemani Johnson. Sudah 2 hari full Ron dan Aruna di rumah sakit, walaupun ada saatnya Ron meninggalkan Aruna karena ada pekerjaan penting yang harus diselesaikan. Sesampainya di rumah, Mereka langsung masuk ke kamar. “Kau istirahat saja dulu, aku akan pergi ke luar sebentar. Ada yang harus aku kerjakan, mungkin cuma 1 jam saja.” ucap Ron, langsung mendapatkan anggukan setuju dari Aruna. Bergegas Ron mengganti pakaiannya, dia akan bertemu dengan Ben di kantor cabang karena dia beberapa dokumen yang harus ditandatangani oleh Ron. Sejenak meninggalkan Aruna, Ron menyelesaikan pekerjaannya secepat yang dia bisa. Selama dua hari di rumah sakit, Ron juga tidak bisa tidur nyenyak sama sekali. Johnson selalu menangis, lebih cengeng dari biasanya. Mungk
“Kamila, aku mengatakan kepada suamiku untuk membiarkan kau bekerja di perusahaannya karena aku merasa kasihan padamu. Padahal, bagian personalia mengatakan kau tidak dibutuhkan di perusahaan itu.” ujar Violet, tersenyum tak peduli kalau ucapannya barusan sangat tidak nyaman untuk Kamila dengar. Kamila menggigit bibir bawahnya, campur aduk perasaan. Dia tidak menyangka kalau Violet mengetahui banyak hal, namun memilih untuk tidak mengatakan apapun. “Sebenarnya, seberapa banyak hal yang tidak kau katakan padaku, Violet?” tanya Kamila, kali ini dia benar-benar terlihat emosi. Merasa dikhianati, namun sadar pula dia tidak berhak untuk menunjukkan secara jelas kemarahannya. Mendengar pertanyaan dari Kamila, sontak saja sorot mata Violet terarahkan padanya, “Kau sungguh ingin tahu?” Violet mendekati Kamila, “Hampir semua aku tahu, Kamila. Niat mu datang ke apartemen ku, dan kau y