Seulas senyuman tipis merekah di bibir merah Agnes. Dia berpuas hati menyaksikan cara kerja dua orang karyawan unggulannya dalam menangani Marsha. “Wow! Kelihatannya ada yang seru nih!” Aksa melenggang santai mendatangi meja kerja Agnes. “Lagi nonton apa?” Dia ikut mengintip dari balik pundak kiri istrinya itu. “Oh, enggak ada yang istimewa,” kilah Agnes. “Cuma mengawasi beberapa karyawan yang sedang bekerja.” Beruntung sekali Marsha telah menghilang dari rekaman CCTV. Demi gengsi, wanita itu memaksa Agung untuk mentransfer sejumlah uang untuk membayar tagihannya. Terpaksa dia menggunakan kartu debit. CUP! Aksa mengecup puncak kepala Agnes. Gesture tanda kasih itu sontak membekukan aliran darah Agnes untuk sesaat. “Apa yang kamu lakukan?” tanya Agnes tanpa menoleh pada Aksa. “Hanya hadiah kecil untuk istri cerdasku.” Sekali lagi Aksa mengecup ubun-ubun Agnes, lebih lama dari sebelumnya. “Kamu marah?” Aksa beranjak dan duduk di sudut meja kerja Agnes. “Enggak. Tindakanmu sudah
Perlahan Agnes bangkit dari posisi berbaring. Dia menarik kedua kakinya. Duduk melendeh pada kepala ranjang. Dalam diam, dia melabuhkan tatapan sejuta tanya pada sosok Aksa yang tertidur di atas sofa. Malam itu, Aksa memutuskan untuk menginap di rumah Agnes. Percakapan samar melalui telepon tadi kembali terngiang-ngiang di telinga Agnes. Bos? Uang bulanan? Tambahan satu milyar? Gema semua suara itu menancapkan pancang rasa ingin tahu tingkat dewa pada tapal batas logika pemahaman Agnes tentang Aksa. Dia sangat meyakini bahwa suaminya itu tak lain hanyalah seorang lelaki biasa yang menjalani kehidupan sederhana setelah terusir dari rumah. Sekarang, keyakinan tersebut mulai goyah. Seorang pria kebanyakan tidak mungkin mengiriminya uang belanja bernilai ratusan juta ditambah bonus yang tidak sedikit. Setelah dihitung-hitung, uang tambahan yang dikirim Aksa nilainya setara dengan total harga pakaian yang dihadiahkannya kepada orang tua Aksa. Refleks Agnes ternganga, kemudian membekap mu
Plok! Plok! Plok! Tepuk tangan meriah mengakhiri kuliah Agnes. Sebagai dosen tamu, kelas umum yang dihadirinya selalu penuh. Animo mahasiswa desain busana untuk menggali pengalaman berharga darinya sangat tinggi. Terlebih dengan nama besar yang disandangnya. “Apa Anda berkenan untuk melihat-lihat kota ini sebelum pulang, Nona Agnes?” tawar seorang dosen muda yang menjadi moderator kelas kuliah umumnya. Agnes melirik jam di pergelangan tangannya. Masih pukul dua belas lewat. Tidak ada salahnya jika dia meluangkan waktu sejenak untuk menikmati pesona Kota Surabaya. “Anda punya rekomendasi tempat yang bagus, Pak Amaar?” Agnes balik bertanya. “Saya rasa, Anda akan tertarik untuk mengunjungi Rumah Batik Jawa Timur.” “Hem … boleh juga!” Setelah melaksanakan salat zuhur di masjid kampus universitas tersebut, Amaar segera memboyong Agnes ke tempat wisata yang dijanjikannya. Detik dan menit terus berlalu. Agnes tiba di rumah batik tersebut dengan perasaan takjub. Dia tak mampu menyembun
Tangan Aksa terus bergerak maju dan semakin mendekati bagian leher Agnes. Sedikit lagi ujung jemari tersebut akan menyentuh helaian selembut sutra yang menyelimuti sebagian leher Agnes, mata Agnes mendadak nyalang. Kantuknya pun hilang tanpa jejak. Wanita itu refleks melayangkan tangan untuk menyerang Aksa. Lalu, tergabas bangkit dan duduk di tepi ranjang. Matanya terpaku pada sosok Aksa yang terhuyung akibat terkena hantamannya. Tidak sia-sia mendiang papanya selalu memaksanya untuk mengikuti latihan bela diri sejak kecil. Hal itu sungguh berguna. Instingnya tetap waspada, walaupun dia sedang lena. Aksa memegangi dadanya yang terasa nyeri. Dia tak menyangka Agnes akan menyerangnya tiba-tiba. Mati-matian Aksa berjuang menahan jatuhnya bulir bening yang menggenang di sudut matanya. Agnes menatap lekat ekspresi duka Aksa dalam heran. Apa pukulannya terlalu keras hingga nyaris membuat Aksa menangis? “Ya Tuhan! Kamu benaran nangis?” Agnes terperangah. Kali ini mata Aksa tidak hanya mem
“Pastikan dia sedang sendiri,” tegas suara di seberang telepon. “Dan jangan membuat kesalahan!” “Siap, Bos!” Lelaki berkumis tipis dengan tato kepala macan di punggung tangan kanannya itu menjawab mantap. Postur tubuhnya tegap dan berotot. Celana jeans dan jaket hitam yang dikenakannya memberi kesan sangar dan beringas. “Jack! Jack!” Seorang rekan yang bertubuh cungkring menepuk pelan pundak lelaki tersebut. Pandangannya tertuju pada sebuah mobil yang baru saja meninggalkan pekarangan. Lelaki bernama Jack itu menggerak-gerakkan pundaknya. Pertanda bahwa dia merasa terganggu dengan ulah temannya itu di saat dia masih sibuk berkomunikasi dengan si bos. “Apa sih? Enggak lihat aku masih si—” Protes Jack terhenti tatkala matanya mengikuti arah telunjuk si cungkring. “Ayo kita kejar!” titahnya. Berlari masuk ke mobil. “Kenapa enggak bilang dari tadi, Emaaan?” omelnya seraya menginjak pedal gas. “Lah, kan situ yang sok sibuk!” balas Eman. Merasa tak terima dirinya disalahkan oleh Jack.
Aksa bersiul kecil dengan langkah santai. Sebuah gulungan dasar bertengger di bahunya. Dia ikut membantu dua pekerja yang ditugaskan Agnes di gudang. Karena sudah terbiasa mengerjakan hal itu, dia merasa canggung jika hanya berdiri mengawasi mereka bekerja. Getar ponsel di dalam saku celana mengerem langkah Aksa. Dia merogoh kantong dan tersenyum ceria begitu nama Agnes muncul di layar monitor. “Dengan Pak Aksa?” tanya suara di seberang telepon sebelum Aksa sempat mengucap salam. Suara wanita tersebut terdengar asing di telinganya. Itu bukan milik Agnes. “Ya?” Aksa menyahut ragu. Perasaannya mendadak tidak enak. Aliran darahnya terasa dingin. Jantungnya berdetak dua kali lebih cepat. “Nona Agnes Fan mengalami kecelakaan dan se—” “Katakan di Rumah Sakit mana!” potong Aksa. Gulungan dasar yang dipanggulnya, dia buang begitu saja ke lantai. Mendua katak dia berlari menuruni tangga. Buru-buru Aksa menyimpan kembali ponselnya setelah perawat yang meneleponnya menyebutkan nama rumah sa
Seorang lelaki dalam balutan setelan formal berwarna gelap berdiri di gang sempit. Postur tubuhnya tinggi dan kekar. Sebuah topi panama melindungi kepalanya yang tertunduk dari panasnya terik mentari. Sebelah kakinya yang terlipat bertumpu pada tembok tempat punggungnya bersandar. Sebelah tangannya menggenggam lipatan koran. Sementara, tangan yang lain bersembunyi dalam saku celana. Dia bergerak malas ketika mendengar derap langkah dua anak buahnya berlari mendekat. “Maaf, Bos Ken! Kami terlambat,” lapor Jack. Berdiri tegap di depan lelaki tersebut dengan pandangan jatuh ke permukaan jalan gang sempit itu. Puk! Puk! Ujung lipatan koran di genggaman lelaki bernama Ken itu mendarat keras di kepala Jack dan Eman. “Berapa kali aku bilang, kurangi molor!” omel Ken sembari menahan geregetan dengan mengeritkan gigi. “Giliran kerja, enggak becus!” “Su–sudah beres, Bos!” sangkal Jack. “Beres apanya?” Ekspresi muka Ken seperti orang yang sedang kehilangan kontrol akan dirinya. “Lihat!” Ken
“Jawab, Mas! Kamu mencintainya?” Ainun melirik Agnes dengan pandangan cemburu bercampur pilu. Agnes tak berani menantang tatapan luka Ainun. Dia hanya tertunduk dalam bisu. Situasinya sungguh di luar dugaan. Aksa memenuhi rongga dadanya dengan asupan oksigen melalui tarikan napas panjang dan dalam. Mungkin sudah saatnya dia berterus terang. Bersikap jujur tetap lebih baik, walaupun mungkin akan terasa menyakitkan. “Ya. Aku juga sudah pernah bilang, kan?” Nada bicara Aksa tenang dan mantap. Kali ini, Ainun tak mampu lagi membendung air matanya. Kristal bening menggelinding jatuh di kedua pipinya. Bibirnya sampai gemetar menahan rasa perih di hati. Sia-sia sudah kesabarannya selama lima tahun terakhir. Tak ada gunanya lagi menanti. Sudah jelas alasan kenapa Aksa tak pernah menyentuhnya. Lelaki itu menyimpan nama wanita lain di hatinya. “Ainun ….” Aksa selangkah maju. “Sebenarnya aku—” Ainun mengangkat tangan. Menghentikan penjelasan Aksa. “Cukup, Mas! Aku mengerti.” Ainun menyeka
Dada Haidar bergemuruh karena darah yang mendidih. Di sampingnya, Jovanta—pengacara yang dipercayainya untuk menangani kasus Agung—mengimbangi langkah cepatnya memasuki ruang tahanan. Haidar mengeritkan gigi ketika melihat Agung meringkuk di balik jeruji besi. Begitu menyadari kehadiran Haidar, Agung bergegas bangkit menemui papanya. “Keluarkan aku dari sini, Pa!” Tangan Agung menggapai udara, berusaha menjangkau Haidar yang tegak dua langkah darinya. Wajahnya tampak lebih tirus. Tulang pipinya mulai mencuat, padahal dia baru mendekam di sel tahanan sementara selama dua minggu. Melihat kulit wajah Agung terlihat kusam dan pucat, hati Haidar terenyuh. Marahnya perlahan memudar, berganti rasa iba. Bagaimanapun, Agung tetaplah anak sulungnya. Mana ada orang tua yang tidak merasa tertekan saat anaknya masuk penjara. Namun, Haidar tidak bisa berbuat apa-apa untuk membebaskan Agung. Dia tidak memiliki cukup uang untuk membayar jaminan. Perusahaan keluarga yang selama ini dikelola oleh A
Mobil Aksa meninggalkan butik Agnes dengan kecepatan rendah. Di sebelah Aksa, Agnes duduk tenang. Seulas senyuman tipis menghias wajahnya. “Kelihatannya kau senang sekali dengan pertemuan ini,” goda Aksa di sela-sela kesibukannya mengendalikan roda kemudi. “Ini pertama kalinya aku bisa makan di luar semenjak kecelakaan itu,” timpal Agnes, “Bohong kalau aku bilang aku tidak senang, apalagi … ini juga pengalaman pertama kita menikmati makan siang bersama keluarga Eksa.” “Kau benar. Sampai sekarang, terkadang aku masih merasa seperti mimpi bisa bertemu Eksa lagi.” “Kalian pasti telah melewati hari-hari yang sangat sulit.” Agnes dapat melihat betapa dekatnya hubungan mereka berdua. Setelah menyimak kisah pilu kehidupan masa kecil Aksa, dia mengerti mengapa Aksa mau mengorbankan status lajangnya demi menjaga dan melindungi Ainun. Alih-alih cemburu pada masa lalu Aksa, dia malah bersyukur mendapatkan lelaki sebaik Aksa. Seorang lelaki yang sangat bertanggung jawab terhadap keluarga ser
“Pa, Aksa tidak pernah berniat untuk mempermalukan Papa ataupun Mama,” ujar Agnes, merasa tidak nyaman dengan perdebatan mertua dan suaminya. “Ainun memang bukan istri Aksa. Selama ini, dia hanya berusaha melindungi Ainun dan Kyra.” Muka Haidar menggelap. Dia paling benci dibohongi. “Kalau dia bukan istri dan anakmu, untuk apa kau peduli pada mereka?” semburnya, menatap garang pada Aksa. “Mereka keluarga Eksa, Pa. Bagaimana mungkin aku menelantarkan mereka?” “Apa? Jangan bercanda, Aksa! Eksa sudah lama mati! Mayatnya bahkan tidak pernah bisa ditemukan.” Aksa membuang pandang ke lantai. “Ya. Bagi Papa sama Mama Eksa sudah mati. Kalian tidak pernah peduli setelah dia melarikan diri.” Bulir bening di sudut mata Clarissa menggelinding jatuh mendengar penuturan Aksa. Sebagai ibu yang mengandung dan melahirkan mereka, dia memang tidak pernah mempertanyakan keberadaan Eksa semenjak anaknya itu memberontak dan minggat dari rumah. Dia tidak pernah tahu bahwa Eksa telah mengganti nama pangg
Agnes menyeka kristal bening yang meluruh dari sudut matanya. Emosinya terhanyut mendengar kidung lara kehidupan masa kecil Aksa. “Kau menangis? Membuat aku benar-benar terlihat menyedihkan!” Meskipun bibirnya melontarkan keluhan mengejek kepada Agnes, Aksa merasakan hatinya menghangat ketika menyadari bahwa Agnes berempati terhadap nasibnya yang kurang beruntung di masa lalu. Setelah berhasil mengendalikan perasaannya, Agnes mengumbar senyuman hangat. “Dengan begitu aku yakin kamu akan lebih menghargai orang lain dan memahami makna kata bahagia yang sesungguhnya.” Agnes juga semakin paham sekarang mengapa Aksa begitu melindungi Ainun dan Kyra. Dia sudah merasakan pahitnya diabaikan. Jadi, wajar jika dia tidak ingin Kyra mengalami hal yang sama. “Kamu enggak dendam kan sama mama?” “Entahlah. Aku hanya merasa berat untuk menemuinya lagi.” Agnes sangat mengerti. Siapa pun yang pernah disakiti—apalagi dalam jangka waktu lama—tentu sulit untuk benar-benar bersikap normal. Mungkin me
“Di mana kau sekarang?” Haidar menodong Aksa dengan pertanyaan interogasi tanpa basi-basi tentang kabar. Aksa mendengkus kecewa. Sepertinya Haidar benar-benar tak peduli apakah dia masih hidup atau sudah mati. “Yang jelas, bukan di rumah Papa!” Aksa menyahut dengan nada dingin. “Anak kurang ajar!” umpat Haidar. “Kalau di rumahku, apa perlu aku bertanya seperti itu?” “Sudahlah. Aku sedang tidak ingin bertengkar,” sahut Aksa. “Aku masih ngantuk.” Selesai berkata begitu, Aksa langsung memutus sambungan telepon. Di ujung telepon. Haidar mengomel panjang pendek lantaran kesal dengan perbuatan Aksa. Berkali-kali dia mencoba memanggil ulang nomor telepon Aksa, tetapi Aksa tidak lagi mengangkat panggilannya. Dengan kesal dan mulut tak henti mengumpat dan memaki, dia mengetik pesan untuk Aksa. Aksa turun dari ranjang dengan tampang kusut. Niatnya untuk melanjutkan tidur sedikit lebih lama gagal total akibat gangguan dering telepon dari papanya. “Lelaki itu masih belum menyerah!” ejek Aks
Aksa mematung di depan pintu. Awalnya, dia berniat untuk mengetuk pintu rumah orang tuanya itu. Namun, mendengar suara ribut dari dalam, dia pun membatalkan niatnya. Dia tetap tegak mematung di sana. Menguping pertengkaran yang sedang berlangsung antara mama dan kakak iparnya. Dia merasa aneh mengetahui dua orang yang biasanya sangat akur tersebut berubah seperti musuh. “Ma … Ma … Mama pikir aku naif? Aku tahu Mama tidak pernah membesarkan Aksa dan saudara kembarnya dengan tangan Mama sendiri,” cemooh Marsha. “Mama bahkan tidak pernah memberi mereka ASI. Mereka adalah dua anak sapi yang diasuh oleh pembantu.” “Kamu?” Clarissa mengepalkan tangannya dengan sangat erat. Ingin sekali dia bisa mencabik-cabik mulut Marsha. “Apa aku salah?” Marsha semakin merasa bahwa dirinya berada di atas angin ketika melihat Clarissa tidak berani melayangkan tangan kepadanya. Sudut bibir Marsha mencebik sinis. “Mama bahkan tak peduli Eksa masih hidup atau sudah mati!” Sentilan telak itu membungkam mu
Melangkah mundur dengan kaki gemetar, muka Nevan memucat seperti kain kafan. Pantatnya kini telah membentur bagian belakang mobilnya. Ke mana dia harus lari sekarang? Nevan bergeser ke kiri. Dia harus bisa menemukan celah untuk berbalik dan masuk ke dalam mobilnya. Dia tidak mau mati konyol di tangan Aksa. “Kupikir kau tak akan muncul lagi di hadapan istriku karena kau sudah belajar dari kesalahanmu,” ejek Aksa dengan seringai menakutkan. “Ternyata kau bertindak terlalu bodoh. Kali ini aku akan memberimu pelajaran yang lebih keras.” Sebuah mobil melintas dan berhenti di dekat Aksa. “Papa!” Krya berteriak dari jendela dengan kaca yang sudah diturunkan. Nevan memanfaatkan kesempatan itu untuk melarikan diri. Namun, teringat gadis kecil itu memanggil papa pada Aksa, langkahnya terhenti. Seringai licik terbit di wajahnya. Dia belum kalah. Krya turun dari mobil dan berlari ke pelukan Aksa yang sudah berjongkok untuk menyambutnya. Ainun mengiring di belakangnya. Seringai Nevan makin leb
Sepasang kaki terbalut celana berwarna navy menjulur dari dalam mobil, diikuti keseluruhan tubuh sang pemilik kaki. Nevan berjalan ke belakang mobilnya dengan dada membusung. Dia melendehkan pantat pada bagian belakang mobil itu dengan bersilang kaki. Sebelah tangannya bersembunyi di dalam saku celana. Sudut bibir Nevan mencebik sinis kepada Aksa. Seringai mengejek pun menggenapi tatapan penuh kebencian yang membidik tepat ke netra gelap Aksa. “Sebaiknya kau menjauh dari sana, Agnes Fan!” sarannya dalam nada perintah. “Kemarilah dan masuk ke mobilku!” Darah Aksa mendidih mendengar anjuran dan perintah Nevan kepada Agnes. Lelaki itu terkesan sengaja menganggapnya sebagai patung batu. Kedua tangan Aksa terkepal erat membentuk tinju. “Apa hakmu memerintah istriku?” Nevan mengungkai kakinya dan tegak lurus. Dia maju selangkah. Berpaling pada Agnes seolah-olah pertanyaan Aksa hanya embusan angin lalu. “Lelaki seperti itu tidak pantas menjadi suamimu,” tegasnya. “Kau desainer ternama d
“Sayang … itu kan Papa Aksa,” jelas Ainun. “Papa yang selama ini bersama kita.” Mata Kyra berpaling pada Gugun dengan tatapan penuh tanya, 'Kalau itu Papa Aksa, lalu yang ini siapa?' “Nah, yang ini ….” Ainun menepuk pelan lengan atas Gugun, “Papa Gugun. Papa kandung Kyra yang selama ini bekerja jauuuh banget.” Gugun mengelus lembut rambut Kyra. “Iya, Sayang … selama papa pergi, Papa Aksa yang menjaga Kyra sama mama,” jelasnya. “Benarkah?” Senyuman dan anggukan kepala dari empat orang dewasa yang duduk semeja dengannya menghalau ketakutan Kyra. Dia melompat turun dari bangku. “Yeaaay! Aku punya dua papa!” serunya dengan wajah berbinar cerah, berlari mengelilingi meja untuk menghampiri Aksa. Aksa segera mengangkat tubuh mungil Kyra untuk duduk di pangkuannya. Dia terkekeh geli ketika Kyra menyerangnya dengan kecupan bertubi-tubi, nyaris memenuhi seluruh permukaan wajahnya. Setelah puas melepas rindu pada Aksa, mata bening Kyra beralih pada Agnes. “Tante Cantik … apa aku boleh man