Felisha selalu impulsif saat berhadapan dengan masalah Sean. Obsesinya tak ingin sedikit pun diusik. Dia bisa lebih gila jika ada wanita yang berani mendekati Sean. Terutama Emily. Dulu, Sean nyaman sedang sikap lembut dan perhatian Felisha, wanita itu juga tidak menuntut banyak hal, asal bisa selalu bersama Sean di banyak acara. Sekarang, Felisha berubah di depan Sean. Lebih tepatnya, menunjukkan sifat aslinya."Sudah puas? Katakan, apalagi yang kamu inginkan. Mumpung kita masih bertemu!" sentak Sean dengan suara rendah menekan."Apa maksudmu. Aku hanya mencemaskanmu, Sean. Apa aku salah khawatir dengan tunanganku?"Sean melebarkan mata, dia segera menarik Felisha keluar. Tiba di luar. Sean menghentak Felisha pada sisi mobil."Akh! Sean. Apa yang kamu lakukan? Bukankah kita ingin bicara baik-baik?" Felisha menahan nyeri.Sean menekan rahang Felisha dengan tatapan tajam. "Ini yang terakhir aku lihat kamu membuat kekacauan. Tidak ada lain kali. Atau aku akan membuatmu menyesal telah me
Di balkon kamar Sean. Wanita berdiri pada pagar pembatas dengan wajah sendu. Emily menatap langit tanpa bintang. Wanita itu telah selesai membersihkan diri dan tadi juga sempat menemani anaknya sebelum tidur. Dia menolak tawaran tinggal di kediaman mertua karena kurang nyaman pada kondisi hubungannya dengan Sean saat ini.Mereka memutuskan kembali ke rumah Sean saat petang."Terima kasih tidak mengatakan secara jelas soal kecelakaan enam tahun lalu." Sean datang dan berdiri di sisi istrinya. Dia tersenyum dengan hati yang miris. Malu atas kesalahannya yang ditutupi istrinya.Emily menoleh menatap wajah Sean. "Aku melakukannya bukan untukmu. Hanya cemas dan takut jantung papa bermasalah karenaku.""Kamu tidak bersalah pada semua keadaan ini. Aku, Emily! Aku yang patut disalahkan. Seperti yang kalian bilang, aku sumber kekacauan. Bahkan aku mengacaukan hidupku sendiri." Sean menghembus nafas berat."Bagus kalau kamu sadar. Kapan kamu akan melepas kami? Aku merindukan restoran dan rumah.
"Siapkan mobil dan heli. Kita tidak punya banyak waktu!" teriak Sean gelisah. Dia melihat kondisi pria itu sudah sangat lemas.Pria itu langsung dibawa anak buah Sean."Kita kembali sekarang, Tuan," ucap Dario."Hem." Sean menjawab dengan menatap arah lain. Dia mencari cahaya temaram di titik tadi, tapi telah hilang."Tuan." Dario memegang bahu Sean.Sean segera menguasai diri. Dia melangkah pergi masih sambil menoleh ke belakang. 'Blade. Apa kamu yang di sana? Kenapa kamu harus bersembunyi, jika ingin membantuku? Kenapa harus ke tempat seperti ini? Sebenarnya apa yang terjadi padamu?' batin Sean.Setelah Sean keluar dari area itu. Seorang pria muncul di balik pohon menatap jajaran mobil Sean. Pria dengan masker hitam itu menarik dua sudut bibirnya.'Lakukan yang terbaik! Hidupku tidak berharga jika tidak berguna bagimu!'Blade menemukan pria kunci utama dalam keadaan sekarat. Dia menyuruh anak buahnya yang mengambil dari tangan Benny. Untung pria itu masih bisa Blade selamatkan. Mes
Jika pria kunci utama penyelamat rumah tangganya tidak bisa diharapkan? Apa yang akan terjadi nanti? Apa Emily masih akan memberi kesempatan? .... Dada Sean bergemuruh ketakutan."Buat dia bicara, Victor! Buat dia melakukan sesuatu!" Sean semakin gusar dan takut.Emily menatap wajah Sean yang tampak jelas dalam ketakutan. Lalu, mata Sean yang memancarkan kesungguhan. Cukup sampai tindakan ini, keraguan Emily pada sang suami kian tertepis. Usaha Sean sampai titik ini telah menggoyahkan hati dan pikiran wanita itu. Emily percaya, jika memang bukan Sean pelakunya. Rasa percaya yang besar itu hadir seketika.Pria itu kejang-kejang dengan mata membelalak.Victor langsung melakukan tindakan. Dokter itu sudah tidak bisa berbuat banyak."Victor! Jangan sampai dia mati sebelum bicara!" teriak Sean dengan nafas berat.Emily memegang bahu Sean. "Tenanglah, Sean. Jangan membuat panik dokter-nya.""Bagaimana aku bisa tenang, Emily? Kalau dia mati dan belum membuat pengakuan, kamu pasti akan memben
"Aku datang, Bos. Mau menagih janjimu." Felisha berdiri agak jauh dari meja. Di depan sana, ada pria yang duduk di kursi putih dengan sandaran tinggi membelakanginya.Di sekelilingnya, berdiri beberapa pria berbadan tegap dengan jas hitam.Felisha tertarik dengan pria yang memakai kaos hitam lengan pendek, hingga otot kekarnya tampak jelas dan menggoda. Wajah pria yang duduk di sudut ruangan itu tanpa ekspresi dan hanya memainkan batang rokok di tangannya. Tatapannya tak jelas kemana. "Cukup tampan," gumam Felisha."Ha ha ha ha ha. Bukankah sudah kulakukan kemarin? Pria yang kamu takutkan sudah jadi bangkai!" Suara menggelegar dari pria paruh baya. Kursi itu juga berputar pelan.Felisha tersenyum miring. Dia menatap lekat paruh baya itu. Masih terbilang cukup tampan dan terawat di usianya. "Kudengar kamu nggak punya istri. Padahal tidak buruk juga. Cukup tampan. Pasti dulu jadi idola banyak wanita.""Jaga bicaramu! Jangan menyinggung diluar urusanmu!" seru pria tegap di belakang Bos
Emily dan Sean kaget membelalak. "Axel, Sean!""Kamu mau menyakiti Mamaku di belakangku?" teriak Axel.Emily duduk tegap masih di pangkuan Sean. Dia gusar dan bingung. "Mama ehm .... Mama tadi jatuh, Axel." Dia cepat turun.Sean menghela nafas berat. Dia berdiri menatap anaknya. "Memangku! Bukan menyakiti. Perbaiki kosa katamu sesuai kejadian. Papa memangku dengan kasih sayang Mamamu."Axel mendecih. Dia menarik Emily agar menjauh dari Sean. "Kemari, Ma. Apa Mama terluka? Dia tidak berbuat aneh-aneh, kan?" Anak itu melihat kondisi ibunya."Berbuat anehnya papa pasti cuma ingin Mamamu bahagia. Lihat, wajah Mamamu saja tidak sedih." Sean menoleh pada Emily dengan senyum lebar dan alis terangkat.Emily memalingkan wajah sipunya.Mata Axel membelalak. "Mama benar-benar sakit. Wajahnya kembali memerah."Emily merangkup wajahnya dengan tangannya. "Mama nggak sakit, Axel. Mungkin air putihnya masih kurang."Sean melihat wajah Emily lekat dengan tersenyum tipis. "Ehem. Emily sayang, kamu gan
Dua hati mulai mengikis jarak, mencari kemesraan. Sean ingin lebih aktif menciptakan kehangatan sebagai ungkapan cinta. Sedang Emily pelan menerima perlakuan lembut Sean."Aku ingin Axel segera memanggilku papa. Bantu jelaskan pada anak itu. Akh, dia sensitif sekali dan selalu waspada. Apalagi soal kamu, Sayang. Pertimbangannya sangat rumit dan jeli. Tidak mau percaya begitu saja." Sean masih memegang tangan Emily."Aku pasti akan bantu, dia juga akan mengerti. Axel anak pintar, jadi akan paham. Mungkin kamu bisa menyertakan bukti atau saksi."Sean mulai berpikir. "Victor? Aku akan menariknya nanti malam. Aku tidak mau ada keraguan sedikit pun di hati anakku."Emily tersenyum menatap Sean. Wanita terus menatap lekat."Ada apa, Emily? Apa aku semakin tampan?" Sean menoleh dan menjawil hidung istrinya."Semakin tua!" Emily terkikik kecil sambil menoleh ke arah jendela mobil."Hish! Istriku bilang aku sudah tua? Kita buktikan nanti seperti apa suaminya yang dibilang tua ini!" Sean terkek
Axel duduk tak tenang di kursi belakang. Dia bingung ingin menghubungi ibunya atau David.Tadi Axel meletakkan tablet pada tasnya. Dia segera mencari kontak David.[Kapan Om akan menemuiku? Terjadi banyak keanehan dan aku takut Mama sudah dicuci otaknya sama pria aneh itu. Bagaimana bisa Mama jadi baik dan sering tersenyum pada pria itu? Mama tidak marah saat pria itu menyuruhku memanggil 'papa'. Tapi Om tenang saja, aku tetap waspada.] Send.Axel menanti balasan David.[Nanti kita akan bertemu. Kita akan bahas dengan teliti.] Pesan balasan David disertai emogi tersenyum.Axel membelalak melihat emogi itu. [Om, aku serius! Pria itu dan Mama sangat aneh. Bahkan, mama aku temukan sedang ada di pangkuan pria itu. Kira-kira, apa rencana pria itu?][Akan jelas setelah kita bertemu. Tenanglah, itu bukan masalah berat. Belajarlah dengan baik. Kamu harus lebih pintar lagi untuk melawan pria itu.]Axel menghempas tablet-nya kerena kesal pada tanggapan David. "Sepertinya, semua orang telah dip