"Siapkan mobil dan heli. Kita tidak punya banyak waktu!" teriak Sean gelisah. Dia melihat kondisi pria itu sudah sangat lemas.Pria itu langsung dibawa anak buah Sean."Kita kembali sekarang, Tuan," ucap Dario."Hem." Sean menjawab dengan menatap arah lain. Dia mencari cahaya temaram di titik tadi, tapi telah hilang."Tuan." Dario memegang bahu Sean.Sean segera menguasai diri. Dia melangkah pergi masih sambil menoleh ke belakang. 'Blade. Apa kamu yang di sana? Kenapa kamu harus bersembunyi, jika ingin membantuku? Kenapa harus ke tempat seperti ini? Sebenarnya apa yang terjadi padamu?' batin Sean.Setelah Sean keluar dari area itu. Seorang pria muncul di balik pohon menatap jajaran mobil Sean. Pria dengan masker hitam itu menarik dua sudut bibirnya.'Lakukan yang terbaik! Hidupku tidak berharga jika tidak berguna bagimu!'Blade menemukan pria kunci utama dalam keadaan sekarat. Dia menyuruh anak buahnya yang mengambil dari tangan Benny. Untung pria itu masih bisa Blade selamatkan. Mes
Jika pria kunci utama penyelamat rumah tangganya tidak bisa diharapkan? Apa yang akan terjadi nanti? Apa Emily masih akan memberi kesempatan? .... Dada Sean bergemuruh ketakutan."Buat dia bicara, Victor! Buat dia melakukan sesuatu!" Sean semakin gusar dan takut.Emily menatap wajah Sean yang tampak jelas dalam ketakutan. Lalu, mata Sean yang memancarkan kesungguhan. Cukup sampai tindakan ini, keraguan Emily pada sang suami kian tertepis. Usaha Sean sampai titik ini telah menggoyahkan hati dan pikiran wanita itu. Emily percaya, jika memang bukan Sean pelakunya. Rasa percaya yang besar itu hadir seketika.Pria itu kejang-kejang dengan mata membelalak.Victor langsung melakukan tindakan. Dokter itu sudah tidak bisa berbuat banyak."Victor! Jangan sampai dia mati sebelum bicara!" teriak Sean dengan nafas berat.Emily memegang bahu Sean. "Tenanglah, Sean. Jangan membuat panik dokter-nya.""Bagaimana aku bisa tenang, Emily? Kalau dia mati dan belum membuat pengakuan, kamu pasti akan memben
"Aku datang, Bos. Mau menagih janjimu." Felisha berdiri agak jauh dari meja. Di depan sana, ada pria yang duduk di kursi putih dengan sandaran tinggi membelakanginya.Di sekelilingnya, berdiri beberapa pria berbadan tegap dengan jas hitam.Felisha tertarik dengan pria yang memakai kaos hitam lengan pendek, hingga otot kekarnya tampak jelas dan menggoda. Wajah pria yang duduk di sudut ruangan itu tanpa ekspresi dan hanya memainkan batang rokok di tangannya. Tatapannya tak jelas kemana. "Cukup tampan," gumam Felisha."Ha ha ha ha ha. Bukankah sudah kulakukan kemarin? Pria yang kamu takutkan sudah jadi bangkai!" Suara menggelegar dari pria paruh baya. Kursi itu juga berputar pelan.Felisha tersenyum miring. Dia menatap lekat paruh baya itu. Masih terbilang cukup tampan dan terawat di usianya. "Kudengar kamu nggak punya istri. Padahal tidak buruk juga. Cukup tampan. Pasti dulu jadi idola banyak wanita.""Jaga bicaramu! Jangan menyinggung diluar urusanmu!" seru pria tegap di belakang Bos
Emily dan Sean kaget membelalak. "Axel, Sean!""Kamu mau menyakiti Mamaku di belakangku?" teriak Axel.Emily duduk tegap masih di pangkuan Sean. Dia gusar dan bingung. "Mama ehm .... Mama tadi jatuh, Axel." Dia cepat turun.Sean menghela nafas berat. Dia berdiri menatap anaknya. "Memangku! Bukan menyakiti. Perbaiki kosa katamu sesuai kejadian. Papa memangku dengan kasih sayang Mamamu."Axel mendecih. Dia menarik Emily agar menjauh dari Sean. "Kemari, Ma. Apa Mama terluka? Dia tidak berbuat aneh-aneh, kan?" Anak itu melihat kondisi ibunya."Berbuat anehnya papa pasti cuma ingin Mamamu bahagia. Lihat, wajah Mamamu saja tidak sedih." Sean menoleh pada Emily dengan senyum lebar dan alis terangkat.Emily memalingkan wajah sipunya.Mata Axel membelalak. "Mama benar-benar sakit. Wajahnya kembali memerah."Emily merangkup wajahnya dengan tangannya. "Mama nggak sakit, Axel. Mungkin air putihnya masih kurang."Sean melihat wajah Emily lekat dengan tersenyum tipis. "Ehem. Emily sayang, kamu gan
Dua hati mulai mengikis jarak, mencari kemesraan. Sean ingin lebih aktif menciptakan kehangatan sebagai ungkapan cinta. Sedang Emily pelan menerima perlakuan lembut Sean."Aku ingin Axel segera memanggilku papa. Bantu jelaskan pada anak itu. Akh, dia sensitif sekali dan selalu waspada. Apalagi soal kamu, Sayang. Pertimbangannya sangat rumit dan jeli. Tidak mau percaya begitu saja." Sean masih memegang tangan Emily."Aku pasti akan bantu, dia juga akan mengerti. Axel anak pintar, jadi akan paham. Mungkin kamu bisa menyertakan bukti atau saksi."Sean mulai berpikir. "Victor? Aku akan menariknya nanti malam. Aku tidak mau ada keraguan sedikit pun di hati anakku."Emily tersenyum menatap Sean. Wanita terus menatap lekat."Ada apa, Emily? Apa aku semakin tampan?" Sean menoleh dan menjawil hidung istrinya."Semakin tua!" Emily terkikik kecil sambil menoleh ke arah jendela mobil."Hish! Istriku bilang aku sudah tua? Kita buktikan nanti seperti apa suaminya yang dibilang tua ini!" Sean terkek
Axel duduk tak tenang di kursi belakang. Dia bingung ingin menghubungi ibunya atau David.Tadi Axel meletakkan tablet pada tasnya. Dia segera mencari kontak David.[Kapan Om akan menemuiku? Terjadi banyak keanehan dan aku takut Mama sudah dicuci otaknya sama pria aneh itu. Bagaimana bisa Mama jadi baik dan sering tersenyum pada pria itu? Mama tidak marah saat pria itu menyuruhku memanggil 'papa'. Tapi Om tenang saja, aku tetap waspada.] Send.Axel menanti balasan David.[Nanti kita akan bertemu. Kita akan bahas dengan teliti.] Pesan balasan David disertai emogi tersenyum.Axel membelalak melihat emogi itu. [Om, aku serius! Pria itu dan Mama sangat aneh. Bahkan, mama aku temukan sedang ada di pangkuan pria itu. Kira-kira, apa rencana pria itu?][Akan jelas setelah kita bertemu. Tenanglah, itu bukan masalah berat. Belajarlah dengan baik. Kamu harus lebih pintar lagi untuk melawan pria itu.]Axel menghempas tablet-nya kerena kesal pada tanggapan David. "Sepertinya, semua orang telah dip
Di sebuah restoran mewah. Di mana hanya ada mereka di sana sebagai tamu VVIP. Seharusnya, untuk makan di restoran itu harus mengantri satu bulan, tapi Sean bisa membuat reservasi selama dua puluh empat jam. Demi membuat moment istimewa.Kini mereka duduk mengintari meja bundar lebar. Emily dan Axel duduk di dua sisi Sean. Axel sempat menolak, tapi ibunya memaksa agar tenang. Jadi anak itu menurut meski kesal."Restoran Mama lebih rame dari restoran ini. Lihat, hanya ada kita saja. Bagunannya memang sangat mewah, tapi jika tidak ada pelanggan untuk apa?" Axel menebar pandangan ke segala penjuru dengan terus menggeleng."Kepintaranmu belum sampai tahap ini, Axel. Meski cuma kita aja yang makan di sini, tapi keuntungan mereka sudah melebihi restoran Mamamu seharian," jelas Dayana.Axel melebarkan mata. "Ma, aku akan buatkan restoran seperti ini besok." Anak itu bersemangat."Papa sudah siapkan semuanya. Restoran mewah untuk Mamamu," sahut Sean."Apa bisa segera dimulai? Aku sudah sangat
"Aku juga harus tahu soal kasus Emily. Ingat, meski Emily sudah memberimu kesempatan, tapi aku tetap akan mengawasimu! Aku dan David adalah orang yang wajib tahu soal Emily." Dayana menaikkan alisnya."Kalian boleh membahasnya lain kali. Silahkan datang ke kantorku nanti. Karena kalian memang berhak tahu. Aku tidak akan menutupinya dari kalian," ucap Sean pada David dan Dayana. Dia melirik Axel. Sang ayah itu tidak mau dada anaknya bergejolak jika tahu alur kasus kecelakaan. Bisa jadi, dengan sifat Axel yang over protektif pada ibunya, akan bertindak ceroboh dan gegabah saat mengetahui beberapa terduga."Kami paham." David paham maksud Sean Sean tersenyum menatap anaknya. "Hey, kenapa diam saja? Apa makanan restoran ini tidak sesuai seleramu? Hem ... papa tahu. Makanan terenak memang masakan Mamamu. Favorit papa adalah buatan istriku. Tapi, kamu tidak boleh pulang dengan perut kosong. Mau papa suapi?" Axel diam menatap sorot mata teduh ayahnya. Dia ingin menangis karena lidahnya san
"Sean! Bangun, Sean!""Akhh! Perutku sakit sekali ....""Sayang ....""Mama! Papa ...."Gaduh suara roda brankar membuat ngilu. Tiga pasien kini masuk dalam ruang tindakan. Dua pasien yang duduk di kursi depan telah ditutup kain putih."Apa yang terjadi pada anakku?!" Evan memegang dadanya."Pa, tenang. Jangan sampai papa lemah. Anak dan cucu kita pasti akan baik-baik saja!" Martha memegang dua bahu Evan dari belakang.Evan tak mampu lagi menopang raga. Dia lemas dalam dekapan sang istri."Panggil dokter!" teriak Martha.Tangisan pecah. Bahkan Blade gemetar melihat darah di dua tangannya. Kepalanya terus menggeleng. "Tidak! Tidak mungkin!"Dario diam mematung menatap pintu ruang tindakan. Hanya air mata tanpa isakan yang bisa mengungkap betapa takutnya dia sekarang.Rumah sakit itu seketika jadi perbincangan panas publik. Apalagi yang sedang sekarat adalah satu keluarga pengusaha hebat dan pemilik restoran yang terbakar."Tolong jangan berhenti dan lemah. Kumohon kita harus tetap kuat
"Hancurkan dia! Beraninya mengusik bisnis yang sudah aku jalankan bertahun-tahun. Dia memang cari mati. Aku mau besok dengar kabar kalau semua keluarga Geraldo lenyap!" teriak Benny."Tapi, Bos-"Bugh! Kepalan kuat membuat satu anak buah tersungkur dengan bibir berdarah."Ada yang ingin aku habisi di sini?" Mata Benny nyalang buas."Maaf, Bos. Kami akan berangkat sekarang!"Tak ada lagi yang berani melawan Benny. Dia bak singa yang didesak wilayah kekuasaannya. Mengaum dan menggila. Matanya nyalang siap menghabisi lawannya.Di ruangan itu masih tersisa Erlan dan Biantara."Jika kalian tidak mau kalah, maka hanguskan musuh. Jangan sampai ada musuh yang tersisa. Kita harus jadi raja di raja. Jangan sampai ada yang berani setara pada kita!" bentak Benny.Erlan meremas tangannya. Dia malah terbesit wajah David. Semua kata-kata David terngiang jelas. "Tuan, saya tidak tahu lagi harus bagaimana." Ada rasa jenuh dan sesal kala ini. Dia tak menyangka jika harus melangkah sejauh itu. Apa bisa
Ambulance langsung membawa Felisha ke rumah sakit. Wanita itu mengalami pendarahan hebat. Dulu, dia bertingkah seperti apa pun kandungannya baik-baik saja. Bahkan dia mencoba makan banyak pantangan orang hamil muda, tetap saja kandungan itu bertahan. Di saat Felisha mulai menerima dan merasa hanya anak yang dikandungnya satu-satunya harta dan masa depannya, anak itu malah merajuk.Dokter langsung melakukan tindakan. Felisha dimasukkan ke ruang operasi karena keadaan sangat darurat. Namun, tindakan dokter tak bisa menyelamatkan janin itu.---Di tempat lain."Beres, Bos. Bayi itu tidak akan menjadi masalah Anda di kemudian hari. Sekarang wanita itu belum sadar karena kondisinya terlalu lemah." Seorang pria menghubungi atasnya. Ya, atasannya adalah orang yang sangat takut dengan tingkah gila Felisha jika suatu hari nanti anak itu akan jadi senjata ancamannya.Biantara. Dia sangat paham dengan polah tingkah seorang Felisha dan bergerak cepat di awal.****"Kami tidak mau punya pimpinan c
Tak hanya raga. Hati ini luruh tak mampu menopang beratnya rasa. Bagaimana bisa dia melalui hal seberat itu sendirian? Bagaimana bisa aku marah saat dia berdiri saja tak mampu? "Sean ...." Emily terisak di pangkuan Sean."Emily sayang ...." Sean mengusap rambut istrinya dengan derai air mata. Pria kekar itu sesegukan hingga dadanya bergetar.Pelan Sean mendongakkan wajah Emily agar menatapnya. Lalu, dia seka air mata yang telah berani melinang di pipi kesayangannya itu."Sean ...." Emily menggeleng menatap wajah yang sangat dirindukannya."Tadi, aku baik-baik saja dan sekarang saat melihatmu, aku seperti sudah ingin pulang. Aku tak merasakan sakit sedikit pun."Emily sedikit mengangkat tubuhnya dan memeluk Sean. "Aku membencimu, Sayang. Sangat membencimu. Dosa apa aku sampai tidak tahu kalau suamiku menderita."Sean memeluk erat, sangat erat. "Aku memang harus menebus dosa. Aku tahu pantas untuk mendapat perhatianmu karena dulu aku-""Ssssttttt .... Karena aku mencintaimu."Hah! Sean
Tidak mungkin Sean merahasiakan semuanya dariku? Apa maksudnya? Apa aku tidak berhak tahu atau dia tak ingin aku khawatir? Emily memegang tembok agar tak luruh di lantai."David ...." Emily memegang dadanya dengan derai air mata.David cepat meraih tubuh Emily. "Aku akan membawamu ke atas. Nanti kuceritakan padamu. Tenang, jangan sampai Axel tahu."David mengangkat tubuh Emily dan membawa ke kamar, tanpa sepengetahuan Axel dan Dayana."Pelan-pelan. Tenangkan dirimu. Jangan lupa kamu sedang mengandung anak Sean saat ini." David meletakkan pelan Emily di atas ranjang.Emily menggeser pelan tubuhnya dan bersandar di headboard. Dia menyeka air matanya. Nafasnya sesak terisak.David duduk di sisi ranjang. Dia merangkup wajahnya seraya menghela nafas. "Maafkan aku, Emily."Emily menggeleng sambil tersedu. "Jangan suruh memaafkanmu sebelum aku tahu soal Sean. Vid, aku istrinya. Kenapa aku harus dilarang mengetahui soal keadaannya? Apa salahku?" Tangis wanita itu pecah.David mendecih sesal.
Di rumah sakit. Sean duduk dengan kepala bersandar. Dua tangannya terpaut di depan. Sebenarnya dia ingin mendekatkan wajahnya pada layar, tapi ...."Ingat, stay cool. Jangan sampai anakmu yang pintar dan sok tahu itu curiga. Tersenyum manis dan bicara seperlunya.""Aku tahu, Cerewet!" kesal Sean."Tuan sudah paham semuanya, Bawel!" Dario menajamkan sorot matanya pada Blade."Aku akan tekan tombol panggil. Kamu menyingkir dulu. Nanti muncul kalau Sean memberi kode!" Blade menggerakkan jari pada Dario, lalu mundur setelah panggilan itu tersambung.Sean meremas kepalan tangannya yang berkeringat. Jantungnya berdetak kian kencang. "Huuuufffff ...." Dia terus menghembus nafasnya panjang."Papa!" Layar itu mulai jelas tampak wajah Axel dan .... Emily di belakangnya. Mereka berdua duduk di atas brankar.Sean sebentar mendongak agar matanya bisa dikondisikan."Papa!" Kini wajah mereka jelas di layar masing-masing."Sayang .... Maaf, papa terlalu banyak urusan." Sean tersenyum lebar. Dia mena
Entah rasa apa yang harus diungkapkan. Air mata Dayana tak mau dibendung. Tanpa isakan."Sayang, .... Emily ...." Dayana memeluk David."Hah! Aku nggak nyangka akan datang berita seperti ini di tengah kepelikan mereka." David sedikit mendongak membuang nafas dari mulutnya.Sebuah kabar gembira dan seharusnya Sean yang duduk di depan sang dokter menjadi orang pertama yang mendengar kabar itu."Selamat, pasien Nyonya Emily positif hamil. Kondisi kehamilan masih sangat rentan karena baru memasuki trimester pertama. Jangan sampai kelelahan dan stress, agar tidak berdampak buruk pada kandungannya," jelas dokter."Jangan sampai ada yang tahu selain kami. Rahasiakan dari semuanya."---Di kamar rawat Emily."Aku akan mengumpat Om Blade. Aku yakin papa dilarang menggunakan ponsel olehnya. Oh tidak, bisa jadi Om Dario juga ikutan!" Axel sedang mencari sugesti baru untuk pikirannya agar kata-kata Erlan bisa lenyap semuanya.Emily tersenyum kaku. Anaknya saja bisa merasakan hal janggal, apalagi d
Emily duduk tegang. Di sisinya ada Axel memegang tangannya. Keduanya sama saling menguatkan dan berharap apa yang ada dalam dugaannya itu salah. "Ma, apa papa yang akan bicara? Kenapa belum ada suaranya sama sekali?" Anak itu menekan rahangnya. Gugup dan takut. Kata-kata Erlan berhasil membuat tekanan berat pada pikirannya.Emily berkedip beberapa kali dan mengambil nafas dalam-dalam. "Kita tunggu sebentar lagi. Pasti papa. Papa nggak akan ingkar janji." "Kenapa bukan panggilan video, Sayang. Seharusnya kita bisa sekalian lihat wajah Sean," protes Dayana."Benar yang dikatakan, Tante. Aku mau lihat wajah papa.""Ssssttttt ...." David meletakkan jari di depan bibirnya. Dia tak tahu lagi bagaimana cara mengelak permintaan mereka."Axel .... Emily ...." Suara Sean terdengar datar."Papa!" teriak Axel dengan mata lebar.Emily menghentak nafasnya sambil memegang dada. Akhirnya ... dia sangat lega mendengar suara Sean. 'Sean ...,' batinnya."Papa! Aku mau lihat wajahmu. Kenapa harus ngump
"Mama!" teriak Axel. Dia berlari ke arah ibunya.Hati dan pikiran yang selama ini ditekan kecemasan dan ketakutan kini tumbang sudah. Dia pingsan."Kita bawa ke dokter, Axel!" seru Dayana.David datang. "Apa yang terjadi?""Sayang, dia pingsan begitu saja."David langsung mengangkat Emily.Mobil melaju ke rumah sakit. Selang beberapa saat."Bagaimana keadaannya, Dok?""Kondisi lemah dan tekanan pikiran berat bisa jadi penyebab pasien pingsan. Tidak ada hal serius yang perlu dikhawatirkan."Emily kini dialihkan ke ruang rawat."Om, kapan mama akan bangun?" Axel terus menangis tanpa isakan di sisi brankar."Segera. Mamamu hanya kelelahan." David menepuk pelan punggung Axel."Papa, aku mau dengar soal papa, Om.""Axel, nanti kita bahas setelah mamamu baikan. Yakinlah kalau papamu baik-baik saja. Dan Om Erlan memang nggak suka i papamu. Dia pasti sengaja mengumbar hoax!" Dayana mengangguk.Axel mendesah berat. "Semoga benar yang dikatakan Tante.""Pasti benar!""Om akan keluar sebentar."