Sudah satu Minggu sejak Lita memilih mengundurkan diri dari perusahaan secara sukarela, kini tabungan yang Lita miliki semakin menipis. Dalam satu Minggu itu banyak sekali uang yang Lita keluarkan dengan dalih self reward untuk dirinya yang telah bertahan dengan pekerjaan sebelumnya."Maaf, Lita. Aku tidak bisa memberimu perpanjangan waktu lagi, dengan berat hati hari ini kamu harus angkat kaki dari apartemen ini karena ada orang lain yang akan segera menempatinya.""Bu, beri aku waktu satu Minggu aku akan segera membayar sewanya," pinta Lita."Tidak, Lita. Aku sudah cukup baik dengan membiarkanmu tinggal tiga hari lebih lama sejak kamu tidak lagi membayar uang sewa. Aku akan memberimu waktu hingga pukul tiga sore nanti untuk kamu berkemas dan pergi dari sini."Lita hanya dapat menghela nafas ketika pemilik apartemen telah pergi meninggalkannya seorang diri. Lita tidak bisa menyalahkan wanita itu karena sebenarnya wanita itu telah sangat baik
"Ini kamarmu," ujar Brian dengan membuka salah satu pintu kamar yang ada di rumahnya.Lita memutuskan untuk menerima pekerjaan yang Brian berikan, mengerjakan tugas rumah tangga bukan hal sulit karena Lita sudah sering melakukannya. Rumah Brian berada di kawasan elite, namun rumahnya tidak begitu besar sehingga untuk Lita bersihkan sendiri bukan masalah besar. Rumah Brian termasuk dalam jenis rumah kontemporer."Kamar ku? Bukankah ini terlalu luas untuk kamar seorang asisten rumah tangga?"Atas permintaan Brian yang tidak bisa Lita tolak karena untuk kedua kalinya Brian menjadi bosnya. Pria tampan yang juga ternyata tidak sombong itu memintanya untuk tidak terlalu kaku dan mengubah cara bicaranya menjadi aku-kamu. "Apakah aku harus memberi kamar kumuh untuk orang yang berjasa besar merawat rumahku?" Brian yang sebelumnya membelakangi Lita kini menatapnya. "Tidak ada aturan tertulis untuk hal itu. Jadi, masuklah dan kamar ini akan menjadi milikmu. Aku harus kembali ke perusahaan karena
Pagi ini Lita terbangun lebih dulu, dia dengan segera pergi ke kamar mandi untuk membersihkan wajahnya dan tak lupa untuk menggosok gigi. Setelah selesai, Lita lantas pergi ke dapur dan hal pertama yang dia lakukan adalah membuat secangkir kopi untuk Brian, baru setelah itu Lita menyiapkan sarapan."Pagi, Lita."Lita menengok ke belakang. "Pagi juga, Brian." Lita lantas menuangkan kopi dari mesin pembuat kopi ke cangkir. "Nikmati kopimu selagi aku menyiapkan sarapan.""Terima kasih."Setelah beberapa menit, Lita selesai membuat roti isi untuk sarapan keduanya pagi ini. "Malam ini sepertinya aku akan pulang telat, jadi kamu tidak perlu membuat makan malam untukku juga. Dan jangan menunggu ku karena aku tidak yakin akan selarut apa aku pulang nanti," papar Brian sebelum pria itu memotong roti isinya."Kalau begitu aku hanya akan menyiapkan kopi mu, nanti kamu tinggal pindahkan saja ke cangkir.""Brian, aku nanti berniat belajar masakan eropa, kalau boleh aku ingin memakai bahan yang ada
Ting!Brian membuka notifikasi yang asa di ponsel pintarnya. Ternyata itu adalah pesan dari Dion.[Cewek di rumah lo itu pembantu lo?Nggak lo apa-apain kan?]Brian hanya mengernyitkan dahi saat membacanya, tanpa adanya keinginan untuk membalas pesan tersebut."Jam … 9? Sial! Aku kesiangan!" Lita melompat dari tidurnya ketika matanya melihat jam yang menempel di dinding telah menunjukkan pukul 9 pagi."Kok … aku di kamar? Ah, bodo amat!"Lita segera keluar dari kamar dan berlari ke dapur. Lita mungkin lupa jika jam segini pastinya Brian sudah berangkat ke kantor."Lita?" panggil Brian yang sedang menuangkan kopi dari teko ke cangkir, tentu saja itu adalah kopi buatan Lita yang memang sengaja disiapkan untuk Brian tadi malam.Lita yang mendengar suara Brian terkejut, dia belum siap untuk bertemu dengan pria itu setelah kejadian malam tadi. Tanpa di sadari wajah Lita kini mulia bersemu. "Bri … Brian, maaf aku kesiangan," ujar Lita dengan tergagap bahkan suaranya seperti cicitan."Tidak m
"Apa aku terlihat menggodamu?" tanya Brian yang kini justru beranjak dari kursinya. Dia terlihat berjalan untuk mendekat ke arah Lita. Dengan menyadarkan tubuhnya ke meja makan, Brian kembali mengulangi pertanyaannya. "Apakah kamu mau jadi pacarku, Lita?"Lita sendiri bahkan sama sekali tak berani untuk mendongak dan menatap Brian saat ini. pandangan matanya terus menunduk. Brian hanya mengulum senyumnya saat melihat ekspresi kikuk di wajah Lita."Jika memang kamu takut, maka aku tidak akan pernah memaksamu, Lita," ucap Brian.Setelah berucap demikian, Brian kembali menegakkan punggungnya, mengusuk pucuk kepala Lita dan hendak melangkah pergi. Namun ketika badan yang begitu tegap itu tengah berbalik, Lita dengan cepat mencekal tangannya. "Izinkan aku ...." Lita tak lagi melanjutkan kata-katanya."Jalan yuk, mumpung aku sedang free. Jarang-jarang seseorang bisa mengajakku keluar. Kita cari self reward karena kamu telah mampu menjadi pacar dari seorang putra Wirawan." Brian berucap denga
Pagutan demi pagutan semakin memanas di antara mereka berdua. Brian yang awalnya hanya ingin mengantarkan handuk, kini harus rela berbasah-basahan bersama dengan Lita di dalam sana. Brian tak mampu lagi untuk membendung hasr*t nya untuk menjamah tubuh bug*l yang begitu mulus itu. Lita, si gadis polos yang memang belum pernah melakukan hal hal semacam itu pun tak kuasa untuk menolak ketika Brian terus merangsek dan menenggelamkan bibirnya di antara cerukan lehernya. Tak cukup sampai di situ, keliaran itu mulai turun menuju pada kedua bukit yang terlihat menonjol dan masih tampak basah.Desahan demi desahan pun mulai keluar dari bibir Lita. Tak bisa ia untuk menahan gejolak kenikmatan yang baru pertama kali ini ia rasakan. Setelah menanggalkan seluruh pakaiannya, Brian segera memutar kran hingga shower pun mulai menyala, membasahi tubuh mereka berdua yang berada di bawahnya. Memberikan sensasi dingin yang menuntut kehangatan. Lita hanya bisa memekik kecil saat coklat yang ada di atas b
"Ganti bajumu dengan baju yang ada di dalam lemari, Lita. Kamu boleh memilih dan juga memakainya sesukamu." Brian sendiri berjalan keluar kamar setelah mengenakan pakaiannya."Banyak sekali, milik siapa sebenarnya semua ini? Apakah mungkin ...?" Lita langsung membekap mulut dengan kedua tangannya itu. Entah apa yang tengah Lita pikirkan saat ini. Tapi satu hal yang pasti, pikirannya itu tentu bukanlah suatu pikiran yang baik. Namun apa lagi yang dapat dia lakukan saat ini selain memakai salah satu dari deretan pakaian yang tersedia di dalamnya.Dia kini telah memilih dress tanggung berwarna putih yang biasa digunakan oleh para wanita untuk pergi ke kantor. Apa yang akan dia pilih jika gaun-gaun yang ada di dalam sana hampir semuanya terbuka. Tepat pada saat Lita selesai, tepat pada saat itu pula pintu terbuka.Untuk sesaat, Brian sempat terpaku saat melihat Lita. "Kini aku telah menemukanmu," gumamnya.Lita yang tersentak kaget pun segera berbalik dan menatap Brian dengan tatapan yang
Pagi itu Lita dikagetkan dengan suara derap langkah kaki yang terdengar riuh. Seperti biasanya Lita akan bangun dan menyiapkan sarapan untuk Brian. Lita beranjak dari tempat tidurnya lalu menggelung rambutnya ke atas begitu saja.Lita cukup tercengang melihat keadaan yang ada di luar ruangan, semuanya tak tampak seperti biasanya. Puluhan laki-laki berpakaian hitam sudah berdiri rapi entah karena apa. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri mencari sesuatu yang tentu saja itu adalah Brian, namun tak ia temukan lelaki itu dimana-mana."Ada apa ini?" desisnya.Tak menghiraukan semua itu, Lita berjalan menuju ke dapur. Dan di sana ia melihat beberapa wanita yang sudah berpakaian rapi dengan menggunakan celemek kain di depan tubuhnya tengah sibuk memasak sesuatu. Sesuatu yang pastinya sangat besar dan juga banyak, karena mereka butuh empat wanita hanya untuk mengurus masakan di dapur.Lita semakin terlihat keheranan, tak mengerti dengan apa yang sebenarnya terjadi."Maaf, ada apa ya ini?" t
Brian merasakan campuran antara kemarahan dan keputusasaan saat mendengar kata-kata kasar dari ayahnya sendiri. Dia merasakan tamparan keras mendarat di wajahnya, menyakitkan fisiknya sekaligus mengguncang batinnya.Dengan hati yang berat, Brian menundukkan kepalanya, merasakan air mata yang mulai mengalir di pipinya. Dia merasa terjepit di antara cinta dan keterpaksaan, tidak tahu harus berbuat apa lagi di tengah tekanan dan ancaman dari ayahnya yang kejam."Saya... saya tidak bisa, Papa," bisik Brian dengan suara gemetar, mencoba menahan emosinya yang meluap-luap.Guntur Wirawan menatap Brian dengan tatapan dingin, tanpa belas kasihan. "Kamu tak punya pilihan, Brian. Kehormatan keluarga harus dijaga, apa pun caranya," ucapnya dengan suara tegas.Dengan perasaan hampa dan penuh penyesalan, Brian melihat Lita pergi dari hidupnya, meninggalkan seutas benang cinta yang putus di antara mereka. Dia merasa hancur oleh keputusannya untuk membiarkan Lita pergi, tetapi juga tidak bisa melawan
"Berhenti, Lita. Tunggu, biar aku saja!" cegah Brian.Brian bergerak cepat untuk mengambil pakaian dan mengenakannya dengan tergesa-gesa, hatinya berdebar-debar memikirkan siapa yang mungkin berada di balik pintu itu."Tenanglah, Brian. Aku akan melihat siapa di sana," ucap Lita dengan cukup halus, mencoba meredakan kegelisahan Brian.Lita melangkah ke arah pintu dan dengan hati-hati membukanya. Di belakangnya sudah berdiri Brian yang datang mengikuti. Di sana, mereka melihat seorang pria paruh baya dengan senyum ramah di wajahnya."Maaf mengganggu, saya dari layanan kebersihan vila. Saya datang untuk membersihkan vila ini seperti yang telah dijadwalkan," ucap pria tersebut dengan sopan.Brian menghela nafas lega, menyadari bahwa itu hanyalah seorang petugas kebersihan. "Terima kasih, kami lupa dengan jadwal pembersihan hari ini. Silakan masuk dan lakukan pekerjaanmu," ucap Brian dengan ramah.Setelah petugas kebersihan itu masuk dan mulai membersihkan vila, Brian dan Lita bernapas leg
Di dalam vila yang tenang, Brian dan Lita duduk di ruang tamu yang nyaman. Suasana hening memenuhi ruangan, hanya terdengar desiran angin yang lembut di luar.Brian memandang Lita dengan ekspresi campuran antara kekhawatiran dan keputusasaan. "Lita, aku tahu semuanya terasa aneh dan membingungkan. Aku akan menjelaskan semuanya padamu sekarang."Lita menatap Brian dengan mata penuh penasaran, menunggu penjelasan yang sudah lama dinantikan. Hatinya berdebar-debar, siap menerima apapun yang akan diungkapkan Brian."Sebenarnya, Lita...," ujar Brian perlahan, mencoba merangkai kata-kata dengan hati-hati. "Sebenarnya, aku tidak bisa menjelaskan semuanya dengan mudah. Ada rahasia besar yang harus aku ungkapkan padamu."Lita mengangguk, menunjukkan bahwa dia siap mendengarkan."Kau tahu, kita berdua memiliki masa lalu yang terhubung jauh sebelum ini," lanjut Brian, matanya menatap jauh ke dalam ingatannya.Lita memicingkan mata, mencoba memahami apa yang Brian maksudkan. "Apa maksudmu, Brian?
Jangankan untuk menoleh, Brian pun seolah tak mendengarkan teriakan sang ayah saat mencegahnya untuk pergi. Brian sama sekali tak mempedulikan itu semua, yang ada di pikirannya kini adalah Lita.Brian melihat sekelebat bayangan Lita di kejauhan. "Lita!" Lita, tunggu Lita!" Brian berteriak, menyeru seraya menyusul Lita yang masih terus berlari."Lita, berhenti!" cegah Brian dengan meraih tangan Lita."Lepasin tanganku, Brian." Lita memaksakan diri untuk tetap pergi. Dia berusaha sekuat tenaga untuk melepaskan cekalan tangan Brian."Dengarkan aku dulu, Lita." Brian tetap bersikeras menahan Lita untuk pergi."Kenapa kamu menahanku, Brian? Kenapa kamu mengatakan kalau aku adalah calon istrimu? Apakah kamu tahu jika itu hanya akan membuat mereka semua menatap sinis padaku? Kenapa juga kamu harus mengajakku ke tempat ini, Brian? Kamu sengaja, kan?" Banyak pertanyaan yang pada saat itu juga Lita lontarkan.Dengan air mata yang sudah membanjiri kedua pipinya, Lita menangis sesenggukan mengelu
Di sebuah hotel berbintang yang cukup terkenal, ballroom sudah dihias dengan sedemikian rupa. Segalanya telah tertata dengan sempurna, semuanya tampak indah dan sangat menawan. Di sanalah kini para orang-orang kaya sedang berkumpul. Di tempat itu pula, acara pesta dari Anton Wirawan yaitu kakek Brian akan dilaksanakan.acara ini memang selalu rutin diadakan di setiap tahunnya.Banyak sekali tamu-tamu undangan yang datang untuk menghadiri acara tersebut. Begitu banyak pemilik perusahaan dan juga orang-orang penting lainnya. mereka semua ada di temoat itu, selain untuk memberikan ucapan kepada Anton Wirawan tentu saja mereka tengah membicarakan sesuatu hal yang penting, sudah barang tentu itu adalah masalah bisnis.Sebuah mobil merk ternama segera berhenti tepat di pintu masuk hotel. Di sana sudah berjajar rapi para pengawal dengan pakaian hitam senadanya. Seorang lelaki berusia sekitar tujuh puluh tahun turun dari dalam mobil. Iya, dia adalah Anton Wirawan. Sang pendiri serta pemilik Wi
Lalita meraba-raba tempat tidur yang ada di sebelahnya dengan kedua mata yang masih terpejam. Kosong, ternyata tempat itu sudah kosong. Tak ada lagi sosok Brian yang semalam menemaninya.Lita pun kemudian membuka kedua matanya, beranjak dari tempat tidurnya dan kemudian membersihkan tubuhnya yang terasa lengket akibat aktivitas malam yang begitu melelahkan.Sekarang tubuhnya terasa lebih segar. Lalita pun kemudian turun ke bawah untuk menyiapkan sarapan. Tak seperti hari-hari biasanya, semua makanan telah tersaji di atas meja. Di bawah sana ada dua orang pelayan wanita dan juga dua orang penjaga yang menunggunya. Tapi bukan Lalita namanya jika dia tak turun tangan sendiri di dapur. "Semua makanan sudah siap, nona," ucap salah seorang pelayan wanita. Lalita pun kemudian tersenyum ke arahnya."Ya sudah, ngapain kalian masih berdiri di situ? Ayo kita makan bersama," ajak Lita pada mereka.Karena sama sekali tak mendapatkan respon dari keempat orang itu, Lita pun kembali berkata, "kita i
Sapuan lembut lidah Brian membuat gadis itu tak menyadari jika jemarinya mengupas satu persatu kancing kemeja yang Brian kenakan saat ini. Kecupan demi kecupan kembali Brian berikan ke bahu hingga dada Lita yang masih terbungkus bra putih berbahan renda, sementara tangannya mengelus turun dari dada ke pinggang Anna, lalu turun ke pahanya dan berhenti di atas lutut gadis itu.Brian berhenti sejenak untuk melakukan serangan dan mengambil posisi duduk untuk menikmati pemandangan erotis ada di hadapannya saat ini. Di sanalah ia sekarang, Lita terbaring dalam keadaan yang pasrah dan terangsang.Dalam waktu kurang dari satu detik yang Brian berikan tersebut membuat Lita merasakan hampa saat tak merasakan gerakannya lagi. Perlahan dibukanya kelopak matanya untuk melihat apa yang membuat Brian berhenti menjamah tubuhnya. Namun sayang, yang dia dapati adalah justru tatapan tajam dari sosok pria yang begitu mempesona.Menyadari arti tatapan yang Lita berikan padanya, cepat-cepat Brian membuka ka
Brian memijit-mijit dahinya. Rasa pusing tiba-tiba menderanya. "Ah, apa yang telah aku lakukan?" gumamnya sebelum beranjak dari tempat duduknya.Brian segera melangkahkan kakinya menuju ke kamar yang ditempati oleh Lita. Dirinya kini telah berdiri di sana, tangannya pun sudah terulur hendak mengetuk pintu kamar itu. Namun, kembali ia urungkan niat itu. Brian merasa bersalah telah berbicara kasar pada Lita.Akhirnya, Brian memilih untuk berjalan menjauh, dan kembali ke kamarnya sendiri.Sementara itu, Lalita saat ini sedang membenamkan wajahnya di atas bantal. Memang terasa sesak napasnya, namun lebih sesak lagi perasaannya pada saat ini. Ia merasa menjadi gadis paling bodoh di dunia saat ini.Tidak, dia sebenarnya tidak terlalu mengharap pada Brian, karena dirinya pun harus fokus pada kehidupannya sendiri yang memang belum jelas. "Ah, tidak, tidak, tidak! Aku bahkan sudah tak punya muka laki-laki hadapan Brian. Aku harus segera pergi dari sini," gerutu Lita sembari memukul-mukul kepa
Pagi itu Lita dikagetkan dengan suara derap langkah kaki yang terdengar riuh. Seperti biasanya Lita akan bangun dan menyiapkan sarapan untuk Brian. Lita beranjak dari tempat tidurnya lalu menggelung rambutnya ke atas begitu saja.Lita cukup tercengang melihat keadaan yang ada di luar ruangan, semuanya tak tampak seperti biasanya. Puluhan laki-laki berpakaian hitam sudah berdiri rapi entah karena apa. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri mencari sesuatu yang tentu saja itu adalah Brian, namun tak ia temukan lelaki itu dimana-mana."Ada apa ini?" desisnya.Tak menghiraukan semua itu, Lita berjalan menuju ke dapur. Dan di sana ia melihat beberapa wanita yang sudah berpakaian rapi dengan menggunakan celemek kain di depan tubuhnya tengah sibuk memasak sesuatu. Sesuatu yang pastinya sangat besar dan juga banyak, karena mereka butuh empat wanita hanya untuk mengurus masakan di dapur.Lita semakin terlihat keheranan, tak mengerti dengan apa yang sebenarnya terjadi."Maaf, ada apa ya ini?" t