“JAWAB, MAS! JANGAN DIAM SAJA!!” Feby terus menyerang dada Ares tanpa henti. Tak mendapatkan perlawanan dari sang suami, wanita itu pun merosot ke lantai. Kembali menangisi keadaan yang membuatnya marah hari ini. Hingga setengah jam kemudian sebuah tangan terjulur lalu mengusap kepalanya dengan lembut. Dialah Ares yang sejak tadi mengamati tingkah laku istri keduanya yang mengamuk tak karuan tadi. Masih dengan mulut yang terkunci, Ares kemudian membawa Feby ke dalam dekapannya. Tahu bahwa sekarang yang diperlukan oleh wanita itu adalah sebuah pelukan.“Kenapa kau berpikir kalau aku akan membuang kalian, hmm?” gumam Ares setelah yakin bahwa istrinya bisa diajak bicara. Tangannya masih terus mengusapi puncak kepala Feby dengan gerakan lamban, sedangkan lengan lainnya menyapu lembut buliran bening yang mengalir di kedua pipi wanita itu. “Yang aku lakukan hanya ingin menjaga perasaanmu, Feb. Aku tidak mau di antara kalian ada yang akan terluka.”“T
Feby tersenyum pedih mendengarkan racauan tadi. Mana mungkin dia marah. Apalagi nama yang diekukan oleh Ares adalah istrinya sendiri. Namun, hati kecil tetap saja tak bisa dibohongi kalau rasa cemburu muncul juga.“Mas?”“Widya, aku sangat mencintaimu. Maaf,” racau Ares lagi. Sebelum Ares semakin menyatakan isi hati terdalamnya, Feby lekas menghampiri suaminya itu. Memberi pelukan erat untuk memberikan ketenangan.“Aku juga cinta padamu, Mas.” Feby membisikkan kalimat barusan tepat di telinga Ares. Entahlah. Apakah Ares mengenalinya sebagai Widya ataupun seorang Feby. Dia tak peduli. Matahari sudah menyoroti jendela kamar. Namun, baik Feby maupun Ares masih bergelung di bawah selimut. Keduanya saling menatap penuh cinta usai menggempur kegiatan panas di atas ranjang.“Kau itu obat, Sayang. Badanku yang semula panas bisa mendingin karena sentuhanmu.”Feby terkekeh samar sambil merapatkan kepala di dada bidang milik Ares. Sejujurnya dia masih men
“Kevin adalah adikmu juga, Nak. Kalian saudara satu ayah.” Ingin sekali Feby mengatakan kalimat itu. Namun, dia tak berani lantaran belum mendapatkan persetujuan dari Ares. Jangan sampai dia jadi ceroboh yang berujung pada kemarahan suaminya tersebut.“Eh? Haikal bilang apa tadi?” tanya Feby yang pura-pura tidak mendengar.“Kevin, Ma. Siapa?” Lagi. Haikal masih mengulang pertanyaan yang sama. Sementara Feby tengah memutar isi kepala untuk menjawab hal yang menyulitkan tersebut.“Hmmm … Kevin ya?” Feby meringis lalu berjongkok untuk menyejajarkan tingginya dengan Haikal. “Mama juga kurang tahu, Sayang. Coba nanti Haikal saja yang tanya ke papa ya?”“Kalau kurang berarti … sudah tahu, tetapi hanya sedikit. Iya ‘kan, Ma?” tuntut Haikal yang masih sangat menginginkan jawaban. Sial. Feby lupa kalau dua bulan lagi anak sulungnya itu akan merayakan ulang tahun yang ketiga. Pertanyaan yang harus dia hadapi pun semakin bertambah pula. Lantas, dia menja
“Aku harus jawab apa, Mas? Haikal terus nanyain tentang papanya.”[“Kau kasih dia pengertian. Bilang kalau aku sibuk kerja atau apalah. Sudahlah, Feb. Masalah ini saja kau mengeluh padaku?”]Feby berdecak sebal. “Kau pikir ini sepele, Mas? Haikal bukan lagi bayi. Umurnya sekarang sudah empat tahun. Sebentar lagi masuk TK. Asal kau tahu saja. Pikirannya melebih anak seusianya. Jelas aku kewalahan. Sampai kapan harus menutupi apa yang terjadnsi?”[“Kita bicara lagi nanti. Aku sedang sibuk. Kevin akan menjalani terapi sebentar lagi.”]“Kevin lagi Kevin lagi!!” sentak Feby yang sudah emosi. “Sampai kapan kau terus peduli pada anak penyakitan itu sih? Di sini kau punya anak secerdas Haikal, Mas. Jangan lupakan itu!”[“Apa katamu? Kau sudah berani mengatai anakku, hah??”] Ares pun jadi berang. Terlambat. Menyesal pun percuma. Feby yang gampang tersulut emosi sudah kadung mengeluarkan umpatannya. Wanita itu menjambak rambutnya sendiri karena tak tahu harus berbuat apa lagi.
Wajar memang kalau Ares lebih terpaut hatinya pada Widya. Toh wanita anggun itu sudah menemani sejak lama. Jadi Feby sangat salah jika cemburu bukan?“Maaf, Feb. Aku enggak bermaksud untuk —““Enggak pa-pa, Mbak. Aku sadar diri kok,” cengir Feby memotong kalimat barusan. “Mbak memang berhak mendapatkan perhatian lebih dari Mas Ares.” Widya meresponnya dengan kuluman senyum. Dia kemudian menghela napas sebentar lalu menatap lekat kedua manik mata Feby.“Kau pernah bertanya bagaimana perasaanku waktu itu ‘kan?” tanyanya yang diangguki oleh Feby. “Bohong kalau aku tidak cemburu dan marah, Feb. Nyatanya aku ingin sekali menghancurkan kalian.”Seketika Feby terhenyak mendengar pengakuan tadi. Wajahnya pun memucat. “Mbak?&
“Jangan khawatir, Mas. Aku yakin kalau anak-anak mulai paham gimana papa mereka yang waktunya memang terbatas.” Feby tersenyum penuh percaya diri. Lantas menyandarkan kepalanya di bidang dada Ares. Suasana hening sejenak hingga pria tampan yang sudah lima tahun menjadi suaminya itu mendudukkan diri lalu mulai memunguti pakaian mereka yang berceceran di lantai.“Kali ini berbeda, Feb,” gumam Ares setelah keduanya sudah mengenakan pakaian kembali. “Akan ada banyak pihak tak terduga yang terus mengawasi langkahku. Jadi … kita tidak akan bisa bertemu hingga pilkada usai.”“Selama itu? Pilkada juga masih lama ‘kan?” tanya Feby yang lekas dibalas anggukan singkat oleh suaminya.“Aku tidak mau hubungan kita terendus oleh media. Mulai masa pencalonan diri, kampanye hingga pemilu selesai. Jadi selama itu pula aku akan me
“Papa masih sibuk?” Lagi. Entah untuk yang ke berapa kalinya pertanyaan barusan dijawab dengan anggukan kepala. Bahkan tak jarang Feby mengiyakan dengan suara lembutnya.“Sabar ya, Sayang. Do’ain papa menang supaya dua bulan lagi kita bisa ketemuan,” ucap Feby dengan mata yang mulai berbinar.“Menang? Papa lomba apa, Ma? Makan kerupuk?” tanya Haikal dengan polosnya. “Balap karung?”Feby pun terkekeh sambil menggeleng cepat. “Enggak dong. Bukan lomba di acara tujuh belasan, tapi … lomba jadi orang paling keren.”“Haikal enggak ngerti, Ma.”“Nanti kalau sudah dewasa, Haikal bisa ngerti. Yang penting bantu do’a aja ya, Sayang.” Pada akhirnya anak sulung Feby itu mengangguk. Lantas
“Enggak, Ma. Haikal masih ingat kok. Itu memang Mami Widya.” Ah. Feby tidak boleh lupa kalau sang anak sulung sangatlah sulit untuk dibohongi. Salahnya juga karena sempat mengenalkan Widya kala itu. Jadilah sekarang dia kesusahan sendiri untuk menjawab pertayaan barusan.“Mami Widya memang bekerja dengan papa, Sayang. Makanya mereka dekat,” ucap Feby akhirnya.“Temenan?”Feby tersenyum kecut. Tak tahu lagi harus menyembunyikan kebenaran yang rasanya mulai sulit untuk ditutupi lagi. Wanita itu menghela napas berat lalu menggeleng lemah setelahnya.“Mami Widya sama kayak mama.” Feby berpikir keras untuk menjelaskan apa yang hendak ia utarakan nanti. Kali ini dia tak ingin mengelak dari kenyataan lagi. “Hmmm, ini mungkin agak rumit bagi anak kecil seperti Haikal. Masih ingat Dek Kevin ‘kan? Mami Widya pernah cerita
Empat tahun telah berlalu sejak malam penuh bintang itu. Kehidupan memang tak selalu mulus, tapi Feby dan Sandi telah membuktikan bahwa cinta dan kebersamaan adalah kunci untuk melewati segalanya.Pagi itu, rumah mereka dipenuhi aroma wangi kue yang baru dipanggang. Feby sedang menyiapkan sarapan di dapur sambil sesekali tertawa melihat tingkah Kayla yang kini sudah duduk di bangku SD dan sibuk membantu dengan celemek kebesaran. Haikal, yang kini mulai beranjak remaja, duduk di meja makan, menggambar sesuatu di bukunya."Haikal, kamu gambar apa, Nak?" tanya Feby sambil mengaduk adonan kue.Haikal mengangkat bukunya, memperlihatkan gambar sederhana keluarga mereka—Feby, Sandi, dirinya, dan Kayla berdiri di taman, dengan tulisan di bawahnya: Keluargaku adalah rumah terbaik.Feby tersenyum, hatinya meleleh."Bagus banget! Mama bangga sama kamu."Kayla langsung menyela, “Aku juga mau gambar, Ma! Tapi aku gambar rumah kita da
“Rindu kami tidak berarti apapun jika dibandingkan kebahagian Kak Feby,” gumam Zaki dengan tulus.Feby menatap adik bungsunya dengan terkejut, tetapi juga tersentuh. "Zaki. Makasih ya. Kakak enggak akan bisa melewati semua ini tanpa dukungan kalian semua."Sandi yang duduk di sebelah Feby merangkul bahunya. "Benar. Kita sudah menjadi tim yang hebat."Malam itu, di bawah langit yang bertabur bintang, Feby merasakan kedamaian yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Semua konflik yang pernah mengusik hidupnya telah usai. Bella telah meminta maaf, dan mereka telah berdamai.Sementara Ares, mantan suaminya itu telah menghilang dari hidup mereka setelah terlibat kasus korupsi besar, namun Feby merasa kuat untuk membesarkan Haikal dan Kayla tanpa bantuan Ares. Kini, hanya ada cinta dan kebahagiaan di rumah mereka.Di dalam hatinya, Feby tahu bahwa hidup akan terus membawa tantangan. Tetapi, dengan keluarga yang mencintainya dan suami ya
Tiga bulan kemudian …Feby berdiri di depan cermin, mengenakan gaun sederhana namun elegan. Kilauan gaun itu memantulkan cahaya lembut dari jendela, memberi kesan bahwa hari ini adalah hari yang spesial. Meskipun hari ini bukanlah hari besar untuk dirinya, Feby tetap merasakan kebahagiaan yang begitu dalam. Pernikahan Rania—anak tirinya, yang sudah seperti anak kandungnya sendiri—telah membuat segala ketegangan yang dulu menyelimuti mereka berubah menjadi ketenangan."Dulu, rasanya semua masalah tak ada habisnya," gumam Feby sambil tersenyum kecil kepada dirinya sendiri. Gaun itu sempurna, dan semua sudah siap untuk perayaan hari ini.Feby tersentak ketika mendengar suara langkah kaki mendekat dari belakang. Itu adalah Sandi, suaminya. "Kau sudah siap, Sayang?" tanyanya lembut, berdiri di ambang pintu.Feby berbalik dan tersenyum, menatap Sandi yang tampak gagah dengan setelan jasnya. "Siap, tapi aku masih merasa sedikit gugup," jawabny
“SURPRISE!!”Feby tertegun. Di hadapannya berdiri Sukma dan Zaki, adik-adik yang sudah lama tak ia jumpai. Sukma yang kini sibuk dengan pekerjaannya sebagai ASN dan Zaki terakhir kali ia dengar balik dari perantauan, tampak membawa tumpukan kado di tangan mereka. Namun, yang membuat Feby lebih terkejut adalah dua anak kecil yang berlari menghampirinya dengan tawa riang. Siapa lagi kalau bukan Haikal dan Kayla, buah hatinya yang sudah lama tinggal bersama Ares, mantan suaminya."Mama!" pekik Haikal. Tawa mereka menggema, dan seketika hati Feby mencair bersamaan dengan air bening yang menggenang di pelupuk matanya.Feby tersenyum penuh haru, matanya mulai memanas oleh air mata yang tak terbendung. "Kalian... kalian semua di sini?"Sukma mengangguk, menepuk bahu kakaknya. "Tentu saja, Kak. Hari ini ulang tahunmu. Kami enggak akan melewatkan kesempatan buat kasih kejutan."Zaki tersenyum jahil, menyerahkan sebuket bunga mawar merah. "Happy
“Sudahlah, Ran. Jangan dengerin ayahmu. Dia ngawur,” ucap Feby dengan begitu cepat. Rania yang tadinya menggerutu seketika terbahak. Terlebih setelah melihat wajah ibu tirinya yang bersemu merah itu. Dia pun paham maksud dari omongan sang papa.“Iya iya. Ya udah nih!” Rania menyerahkan kotak P3K yang ada di tangannya. “Mbak, hmm maksudku Mbak Feby, eh mama ya? Atau —““Panggil aku seperti biasanya aja, Ran,” potong Feby cepat. Tangannya mengusap lembut pundak Rania dengan penuh kasih sayang. “Kau hanya punya satu ibu di dunia ini dan aku enggak akan bisa menggantikannya. Jadi meskipun aku adalah istri ayahmu, kita masih bisa menjadi teman ‘kan?”“Feby, kenapa gitu?” protes Sandi yang merasa keberatan.Feby terbahak lalu berkata, “Apa s
Feby menelan ludahnya dengan gugup. Udara malam terasa semakin menyesakkan, meski angin dingin menyentuh kulitnya. Sandi menariknya semakin dekat, hingga wajah mereka hanya beberapa inci terpisah.Kini mata Feby bergetar, tidak yakin dengan apa yang akan terjadi selanjutnya. Dia bisa merasakan napas suaminya yang hangat menyapu pipinya.“Kenapa harus panggil Om, hmm?” bisik Sandi, matanya tajam namun lembut. “Aku ini suamimu, bukan ‘Om’.”Feby mencoba mengalihkan pandangannya, tetapi tidak bisa. Mata mereka saling terkunci, dan dia tahu jika Sandi sedang menantinya. Menunggu sesuatu yang lebih dari sekadar kata-kata. Perasaan pun menjadi campur aduk, antara rasa canggung, ragu, dan keinginan untuk menyerahkan diri pada momen ini.Dengan lembut, Sandi mengusap pipi Feby menggunakan ibu jarinya. Sentuhan barusan membuat jantung Feby berdegup kencang, begitu keras hingga rasanya bisa terdengar. Perlahan, Sandi menundukkan wajahnya lebih dekat lagi, bibirnya hampir menyentuh bibir Feby ya
Rania memutus panggilan telepon tadi begitu melihat seseorang berjalan ke arahnya. Gadis itu kemudian berdecak sebal.Dialah Feby yang menatapnya dengan mata lembut. "Rania, aku tahu kau marah. Kau kecewa. Kau berhak merasa seperti itu. Tapi aku mohon, beri aku kesempatan untuk bicara."Rania berdiri mematung sejenak, menatap Feby dengan pandangan tajam. "Kenapa Mbak harus menikah dengan ayahku? Mbak tahu aku sayang banget sama Ayah, tapi kenapa Mbak sembunyiin ini dariku?"Feby menelan ludah. Ia tahu ini bukan percakapan yang mudah. "Rania, aku tahu ini sangat berat buatmu. Dan aku... aku minta maaf kalau aku membuatmu merasa dikhianati. Percayalah, aku enggak pernah berniat buat menyakiti perasaanmu. Aku dan Ayahmu... tidak pernah ingin menyakitimu."Rania mengalihkan pandangannya, menendang kerikil di tanah dengan ujung sepatunya. "Ayah enggak pernah cerita. Semua ini tiba-tiba. Aku kir
"Rania sayang, dengerin Ayah dulu," kata Sandi dengan suara bergetar, mencoba meredam emosi yang jelas terpancar dari wajah putrinya.Namun, Rania hanya menatap ayahnya dengan tatapan penuh kemarahan dan kekecewaan yang mendalam."Jahat!" Rania membalas dengan nada yang meledak-ledak. Air matanya mulai mengalir, namun tak ada tanda-tanda ia akan berhenti. "Kalian semua bohong! Ayah bilang kita bisa kembali jadi keluarga, tapi ternyata Ayah malah menikahi orang lain di belakangku! Orang yang selama ini aku anggap teman!"Feby mundur satu langkah, hatinya seolah tertusuk setiap kali mendengar kata-kata Rania. Ia ingin menjelaskan, tetapi tenggorokannya terasa tersumbat. Kata-kata apa pun sepertinya tidak akan cukup untuk meredakan amarah Rania saat ini."Rania, ini enggak seperti yang kau pikirkan," Sandi mencoba menjelaskan, meskipun dirinya tahu itu tidak akan mudah. "Ayah dan ibumu sudah lama berpisah, dan Ayah menikah lagi karena Ayah mencintai Feby. Tapi itu enggak pernah mengubah
Sandi terdiam lama menatap layar ponselnya. Panggilan dari mantan istrinya terus berdering, seolah menuntut jawaban. Suasana di antara Sandi dan Feby semakin tegang, dan Feby bisa merasakan ada sesuatu yang berbeda kali ini. Ia menahan napas, menunggu apa yang akan dilakukan Sandi selanjutnya."Angkat saja." suara Feby terdengar pelan, hampir berbisik. Matanya menatap ponsel itu dengan ketakutan yang tak bisa disembunyikan. Jika Sandi menjawab panggilan itu, apa artinya hubungan mereka?Sandi ragu. Ia meremas ponselnya dengan tangan yang semakin gemetar. "Aku..." suaranya terdengar ragu, menatap layar sejenak sebelum akhirnya ia mengambil keputusan cepat. Dengan satu gerakan tegas, Sandi menekan tombol "tolak" dan mematikan teleponnya.Feby menghela napas lega, meskipun hatinya masih belum sepenuhnya tenang. "Om yakin tidak ingin bicara dengan dia?" tanya Feby hati-hati.Sandi menggelengkan kepalanya. "Aku enggak mau mengulang semuanya lagi, Feb. Aku suda