"Apa ini bisa disebut menikah?"
Pertanyaan dengan nada sinis itu hanya ditanggapi Abia dengan anggukan polos. Selepas akad, Abia menolak acara resepsi dan sejenisnya. Bahkan meski Arya menawarkannya pesta paling sederhana.Tentu saja Abia tahu 'sederhana' di mata Arya berbeda makna. Jadi, Abia memilih menolak. Alasannya satu saja, perempuan itu tidak mau rekan sekantornya mengetahui pernikahan mereka."Apa menikah dengan seorang duda sepertiku begitu memalukan bagimu?" tanya Arya lagi. Tidak habis pikir."Bukan begitu, Pak! Saya malah takut Pak Arya yang malu karena menikah dengan perempuan miskin dan jelek seperti saya," sanggah Abia cepat."Dengan penampilan seperti ini, apa kau masih merasa jelek?" Arya bertanya takjub.Abia mengangguk jujur. Arya mengusap wajah frustasi. Demi Tuhan, jika saja bisa mengatakannya, Arya akan memberi tahu Abia seberapa cantiknya dia sekarang.Dengan gaun putih susu yang elegan, rambut cokelat terang yang dibuat berantakan namun tetap terlihat menawan, juga netra abu-abu yang berbinar manis. Siapa yang berani mengatakan Abia jelek tentu saja punya masalah mata, pikir pria itu."Yang jelas, saya sudah memenuhi ganti ruginya. Saya sudah jadi istri Pak Arya sekarang. Jadi tolong setujui syarat saya juga. Saya tidak ingin orang-orang kantor mengetahui tentang kita," pinta Abia memelas yang sejenak membuat Arya berpikir.Harus memberi syarat apa agar mereka impas?"Kalau begitu, aku juga punya beberapa syarat." Arya menyahut cepat."Apa?""Berhenti memanggilku Pak Arya dan jangan menggunakan bahasa formal saat kita tidak bekerja," jawab pria jangkung itu serius.Abia menggaruk pipinya kikuk. "Sepertinya susah, Pak. Saya sudah terbiasa begini---""Kalau kau tidak bisa menerima syaratku, aku juga tidak bisa," sela Arya final."Untuk bahasa formal, mungkin saya bisa. Tapi untuk panggilan ... saya bingung harus memanggil apa," gumam Abia ragu."Mas," ucap Arya cepat."Hah?""Panggil aku Mas Arya. Aku suka panggilan itu," putus Arya seolah tidak mau dibantah.Belum sempat protes, pria itu sudah keluar dari kamar."M-mas?" gumam Abia tidak percaya dengan panggilan barunya.Oh ayolah, baju pengantin bahkan masih melekat di tubuhnya. Bagaimana bisa Abia lupa kalau sekarang dia sudah menyandang gelar istri CEO Star Group---Arya Januar Malik. Ya ... meski pernikahan mereka dirahasiakan sih."Mas Arya?" gumam Abia sekali lagi sambil tersenyum geli.Abia tahu itu panggilan yang normal. Terutama untuk pasangan suami istri. Tapi, menyebutnya membuat perut Abia serasa tergelitik.Ada perasaan lucu juga senang yang aneh. Abia juga tidak tahu namanya apa.***"Neo, ayo sarapan dulu!"Seperti kegiatan rutinnya seminggu belakangan, Abia memanggil putra sang atasan. Bisa juga disebut putra tirinya.Tidak ada yang berbeda dari pernikahan mereka kemarin selain status. Abia dan Arya tetap tidur di kamar berbeda. Hanya saja, sekarang mereka tinggal seatap."Kau sarapan saja dulu! Dia tidak menyukaimu, kenapa kau terus mencari perhatian?" tanya Arya mulai kesal dan terusik oleh teriakan sang istri.Dia sudah sangat lelah melihat bagaimana Abia berusaha merawat Neo. Di saat bocah sipit itu malah mengabaikan bahkan semakin membencinya."Saya---""Aku, Abia! Gunakan 'aku'!" potong Arya tajam."Aku tidak mencari perhatian! Aku hanya ingin merawatnya dengan baik. Pak Arya---""Mas!" potong pria itu lagi.Abia mendengkus jengkel. "Mas Arya sepertinya jarang memperhatikannya. Apalagi saat dia akan berangkat sekolah," sambung perempuan itu sambil mengoreksi panggilannya dengan nada sedikit canggung."Oleh karena itulah aku mencarikannya Ibu. Karena aku tidak bisa melakukan semua itu, aku terlalu sibuk." Arya menjawab santai."Seharusnya Mas Arya menjadikanku asisten rumah tangga atau babby sitter saja. Bukan istri. Meski tanpa status istri, aku pasti tetap bisa merawat Neo," komentar Abia yang mendadak membuat naf su makan Arya menurun."Siapa kau berani mengaturku?! Terserah aku ingin menjadikanmu apa! Atau kau sudah siap mengganti rugi?" sergah Arya yang kontan membuat Abia diam. Tidak lagi berani berbicara."Jika kau belum ingin sarapan, pergilah! Aku muak mendengar ocehanmu," usir Arya pedas.Abia mengangguk sebelum kemudian bangkit dari meja makan. Beberapa saat kemudian, dia sudah berlari menuju kamar Neo. Dia pasti akan memaksa memakaikan sepatu atau seragam putranya setelah ini."Bagaimana bisa aku menyia-nyiakan uang 5 milyarku untuk perempuan berisik dan merepotkan seperti dia?" gumam Arya tidak habis pikir sambil menyendokkan nasi gorengnya dengan brutal."Sialan, untung saja dia sangat cantik."***"Kaus kakimu salah. Warna yang kiri dan kanannya berbeda," tegur Abia begitu masuk ke kamar Neo.Bocah sipit itu mendelik sebal. "Aku tahu! Aku punya mata untuk melihatnya!" balas Neo sombong.Abia mengangguk-angguk saja. Kali ini, tangan perempuan itu beralih pada kancing seragam putih merah putra tirinya yang terbuka."Karena kau harus memasang dasi, kau harus mengaitkan kancingnya hingga ke paling atas. Agar terlihat rapi," jelas Abia sambil mengancingkan seragam Neo.Dia sebenarnya tidak terima. Tapi, karena penjelasan Abia terdengar ada benarnya, Neo diam saja. Membiarkan Abia bahkan sedikit menyisir rambut pirangnya."Nah, begini sudah tampan. Apa kau mau Bibi mengantarmu ke sekolah juga?" tanya Abia semangat. Tidak memedulikan wajah masam dan tidak bersahabat sang putra.Neo menggeleng keras. "Aku tidak akan sekolah jika Bibi yang mengantarnya. Aku akan bolos!" teriak bocah itu tegas."Yasudah, tidak apa-apa. Kalau begitu, Bibi berangkat kerja dulu, ya?" pamit Abia sambil meletakkan tas sekolah putranya di atas ranjang.Baru saja akan berbalik pergi, tangan mungil Neo menahan jemari kelingking Abia. Perempuan itu menoleh heran sekaligus bingung."Ada apa?""Bibi tidak perlu bersikap sok baik. Aku tahu semua ibu tiri itu sebenarnya jahat. Jadi jangan coba menipuku!" peringat Neo dengan wajah serius yang justru membuat Abia tertawa.Pemikiran dan khayalan anak kecil memang mengerikan.***"Kenapa kau lama sekali?!" teriak Arya marah begitu melihat Abia baru keluar menuju teras rumah.Abia mengerjap terkejut begitu mendapati pria itu rupanya menunggu. Ia pikir Arya sudah berangkat lebih dulu tadi."Pak---eh, Mas menungguku?" tanya Abia yang hanya ditanggapi Arya dengan putaran bola mata malas."Menurutmu?" tanya pria itu dengan nada menjengkelkannya."Tapi kita tidak bisa berangkat bersama, Mas. Takutnya yang lain malah curiga," ucap Abia serius.Arya menghela napas kasar. "Seharusnya aku memang tidak menunggu pegawai tidak tahu diri sepertimu."Belum sempat menyahut lagi, mobil Arya sudah melesat meninggalkan halaman rumah. Abia berlari mengejar tapi sudah terlalu jauh. Perempuan itu cemberut sambil terus berjalan di bahu jalan---berniat menuju halte bus."Padahal aku belum mengatakan tidak mau. Dia sudah asal pergi saja," gumam Abia sedikit sebal.TIN TIN TIIIN!Klakson beruntun juga tidak sabaran dari belakang membuat Abia menoleh. Rupanya, seorang pria berkacamata hitam melongokkan kepala dari kaca jendela."Cepat masuk! Kau butuh tumpangan, kan?""Terima kasih untuk tumpangannya. Sampai jumpa, Keanu!" Begitu Keanu menghentikan mobil tepat di halaman Star Group, perempuan itu turun dan berlari masuk. Keanu bahkan belum mengatakan apa-apa. Karena belum puas melihat wajah Abia, pria beralis tebal itu akhirnya memarkirkan mobil. Beberapa saat kemudian turun dan ikut berlari masuk ke kantor berlantai 10 itu."Keanu? Kenapa kau ke sini?" tanya Lintang---ketua tim hiburan di Star Group."Kau pasti mengerti, kan? Untuk apa aku datang sepagi ini ke sini?" tanya pria berwajah Timur Tengah itu balik sambil melepaskan kacamata hitamnya."Ooo ... bertemu Abia?" tebak pria berkacamata itu tepat sasaran."Yap!" jawab Keanu sambil berlari menuju ruang CEO."Katanya mau bertemu Abia, kenapa malah ke ruangan Pak Arya?" gumam Lintang bingung sambil membenarkan letak kacamatanya.Aktor terkenal satu itu memang aneh.***"Selamat pagi, Tuan Malik!" Keanu menyapa begitu membuka pintu ruangan pria itu.Arya yang tengah memeriksa laporan penjualan
"Kenapa kau bangun cepat sekali?" Abia menoleh begitu mendapati Arya tengah bersandar di pintu dapur sambil mengucek mata. Sejenak, perempuan itu terpaku. Baru sadar bahkan saat baru bangun tidur pun, suaminya tetap setampan itu.Ya, dia memang mengakui pria itu tampan sejak dulu. Hanya saja, sifatnya membuat Abia enggan membenarkan hal itu. Sayangnya, sejak Arya menolongnya waktu itu, Abia mulai menyadari banyak sisi lembut dan baik sang suami."Masih pagi tapi kau sudah melamun," komentar Arya lagi yang entah sejak kapan sudah berdiri di depan kulkas. "Maaf," lirih Abia kikuk sambil melanjutkan kegiatan memasaknya.Setelah mendengar dari pembantu bahwa Neo dan Arya menyukai nasi goreng, Abia memutuskan untuk membuatnya. Bisa dibilang, ini masakan pertama yang ia buat untuk orang lain.Sebab biasanya, Abia tinggal sendiri. Meski pandai memasak, perempuan itu hanya akan melakukannya ketika ingin dan sempat. Terlebih, hampir setiap hari liburnya juga kerap tersita oleh pekerjaan.Sud
"Bibi!" Neo memanggil begitu melihat Abia tengah mencuci piring di dapur.Perempuan itu menoleh dengan raut tanya. Agak terkejut juga karena ini pertama kalinya bocah itu mengajaknya bicara lebih dulu."Apa dulu Bibi punya Mama?" tanya Neo penasaran."Punya. Kenapa? Memangnya kamu tidak punya? Kita semua lahir pasti karena punya Mama, kan?" jawab dan tanya Abia balik.Wajah bocah sipit itu berubah murung. Menyadari kejanggalan dari pertanyaan putra tirinya, Abia segera menyelesaikan kegiatan mencuci piring. Kemudian, perempuan itu mengangkat Neo ke dalam gendongan."Kata Daddy, aku tidak punya Mama. Jadi saat teman-teman mengejekku sebagai anak alien, aku bingung harus menjawab apa." Neo bercerita jujur.Abia terkekeh geli. Membuat Neo yang kesal akhirnya menggigit pipi perempuan itu keras."Aduhhh ... sakit, Neo!" ringis Abia sambil mengusap pipinya yang sepertinya tertinggal jejak gigi bocah itu di sana."Siapa suruh kamu menertawaiku! Aku bercerita pada Bibi untuk meminta solusi,
"Mbak Abia belum datang? Apa dia tidak masuk kerja hari ini?" tanya Aira. Salah satu pegawai magang di tim humas.Pasalnya, sejak beberapa bulan lalu bekerja di sini, tidak pernah sehari pun dia melihat sang kepala tim datang terlambat. Jangankan terlambat, absen pun sepertinya sangat jarang."Aku juga tidak tahu. Jika sampai jam segini dia tidak datang, sepertinya dia memang tidak masuk." Rindi---salah satu tim humas yang bisa dibilang sahabat dekat Abia menjawab."Apa kau menyadarinya? Akhir-akhir ini sikap Abia agak aneh. Beberapa waktu lalu juga dia absen selama tiga hari. Tidak biasanya dia begitu," timpal Bu Anna---perempuan berambut keriting sekaligus orang yang paling tua di tim humas."Aku juga merasa janggal. Saat aku bertanya kemarin, dia bilang dia menginap di rumah Ayahnya. Kupikir dia tidak punya Ayah, karena setahuku dia tinggal sendiri di kontrakan. Selama ini dia juga tidak pernah mengambil cuti dengan alasan menemui Ayahnya," jelas Rindi sedikit heran.Perempuan deng
Setelah membaringkan Neo yang tertidur di kamarnya, Abia berlari menuruni tangga. Berniat menghampiri sang suami yang sedari tadi duduk di sofa ruang tengah.Begitu sampai di sana, Abia menemukan pria itu tengah berbaring miring sambil menonton TV dengan santai. Terlalu santai sampai Abia ingin melemparinya dengan bantal."Mas!" panggil Abia tidak santai."Kenapa? Kau butuh sesuatu?" tanya Arya tanpa berniat bangkit duduk dari berbaringnya."Mas Arya kenapa mengatakan aku sedang sakit?! Teman-teman kantorku jadi datang menjenguk tadi. Lintang juga sampai mencari ke setiap rumah sakit terdekat dari kontrakanku tadi." Abia protes tanpa bisa menyembunyikan nada emosinya lagi.Perempuan itu bahkan menduduki kaki Arya yang tengah selonjoran di sofa. Sepertinya dia tidak sadar karena sedang panik dan marah."Aku kan hanya mencari alasan. Itu yang terlintas di benakku tadi pagi," jawab Arya lempeng.Abia mendengkus. "Lihatlah! Sekarang kau berani mendengkus padaku? Memangnya kau tahu darima
"Kenapa tidak memasak nasi goreng saja?" tanya Arya begitu pagi ini malah menemukan ayam rica-rica dan nasi putih biasa di meja makan.Abia menatap pria itu sejenak. Beberapa saat kemudian melengos dan kembali ke dapur. Arya mendengkus."Apa sopan tidak menjawab suami seperti itu?!" tanya Arya setengah berteriak. "BIYA, DASIKU MANA?" Dari lantai atas, Neo ikut-ikutan berteriak.Abia berjalan cepat menuju lantai atas. Beberapa saat kemudian kembali masuk dapur. Neo turun dengan pakaian yang sudah rapi."Daddy, aku tidak mau ayam. Aku tidak suka. Minta Biya membuatkanku tempe goreng saja," pinta Neo begitu melihat lauk di piring.Arya melengos. "Minta saja sendiri. Dia tidak mau berbicara dengan Daddy," sahut pria itu malas.Abia kembali dari dapur dengan lengan baju sedikit basah. Sepertinya perempuan itu baru saja selesai mencuci piring. Arya bahkan heran seberapa banyak tenaga yang perempuan itu punya.Sebab, Abia itu terlalu banyak bekerja. Di rumah, perempuan itu bangun dini hari.
"Dia belum pulang, ya? Pasti menginap di apartement Keanu," gumam Arya sambil tersenyum sinis.Rasanya menyebalkan saat menyadari perempuan itu mendiamkannya sepanjang hari. Sedangkan dengan Lintang dan Keanu, Abia terlihat berbicara dengan santai dan bahagia. Mereka bahkan mengantar jemput sang istri.Arya pikir, dengan ikut mendiamkan Abia seharian, perempuan itu akan merasa rindu dan mengajaknya berbicara lebih dulu. Sayangnya, rupanya dia terlalu berharap.Abia tidak mencarinya. Bahkan, kini perempuan itu sepertinya menginap di tempat pria lain. Orang yang notabene-nya juga menyukai sang istri."Biya kemana, Daddy? Apa dia sangat marah karena aku nakal? Apa dia tidak akan pulang lagi ke rumah kita?" tanya Neo panik.Ini sudah pukul 11 malam. Hujan lebat sekali di luar. Sejujurnya, Neo takut Mama tirinya itu tidak akan pulang."Kembalilah ke kamarmu! Dia pasti akan pulang sebentar lagi," titah Arya begitu Neo menyusulnya di ruang tengah."Carikan Biya dulu! Kenapa Daddy tidak menje
"Biya!" Neo memanggil dengan senyum lebarnya.Abia menoleh bingung. "Kenapa? Kau terlihat senang," tanya dan komentar perempuan itu."Aku memang senang. Aku selalu ingin naik bus, tapi tidak pernah dibolehkan Daddy. Akhirnya hari ini keinginanku terkabulkan," cerita bocah sipit itu yang sejenak membuat Abia terkekeh geli.Keinginan putranya sesederhana itu? Seharusnya Arya mengajak Neo naik bus saat libur bekerja. Sepertinya bocah ini sangat menginginkannya."Biya pikir kau tidak suka. Karena Biya tidak punya mobil, Biya selalu pergi ke tempat kerja memakai ini." Abia bercerita pada Neo yang masih terlalu sibuk memandang jalanan dari kaca jendela.Melihat seberapa senang sang putra, Abia tersenyum semakin lebar. Sakit kepalanya terasa sedikit hilang melihat tingkah menggemaskan bocah ini. "Apa kau sangat suka? Lain kali Biya akan mengajakmu lagi," tanya Abia yang dibalas Neo dengan anggukan semangat.Begitu sampai di sekolah Neo, perempuan itu memberikan beberapa pesan pada putranya.
Selesai beristirahat sebentar, Naya memutuskan untuk bermain bulutangkis lagi. Tentu saja setelah perdebatan panjang lebar dengan si cerewet Neo."Kau tidak mau berhenti? Lihat wajah suamimu sudah semenyeramkan itu," tanya Arya di sela permainan seru mereka.Sedari tadi, pria sipit itu memang duduk menunggu di sisi area permainan sambil terus melotot pada sang istri. Naya yang dipelototi tentu saja tidak merasa sama sekali. Sebab jika sudah terlalu fokus pada permainannya, perempuan itu tidak akan memperhatikan hal lain lagi."Biarkan saja, Yah. Dia memang selebay itu," jawab Naya santai yang hanya dibalas Arya dengan kekehan kecil.Pria itu juga bermain dengan kelewat fokus melawan sang menantu. Meski hanya mengeluarkan sebagian kecil kemampuan bermainnya, pukulan yang dilayangkan Naya begitu berbahaya.Perempuan itu juga jarang sekali 'error'. Bidikan-bidikannya pun tepat dan cepat membuat Arya tidak bisa menjangkau dan menebak ke mana bola tersebut diarahkan.Sejujurnya, bermain de
Neo terbangun karena merasa terganggu dengan gerakan gelisah di sampingnya. Begitu melihat sang istri rupanya masih terjaga, pria sipit itu mengernyit heran. Ada apa dengan perempuan ini sehingga masih bangun di tengah malam begini?“Hei, bodoh! Kenapa kau masih bangun?” tanya Neo tidak habis pikir begitu perempuan itu menoleh terkejut padanya yang juga ikut bangun.“Apa aku mengganggu tidurmu? Aku hanya tidak bisa tidur,” tanya Naya merasa sedikit tidak enak hati.“Setidaknya jika tidak bisa tidur, kau jangan mengganggu tidur orang lain! Kenapa kau begitu menyebalkan? Apa kau tidak tahu ini jamnya orang normal untuk beristirahat? Ck ... kau memang bukan orang normal sepertinya,” omel Neo kelewat sebal.“Iya-iya! Maafkan aku, aku akan berusaha untuk tidak bersuara lagi.” Naya menyahut cepat sambil membenarkan posisi berbaringnya.Berikutnya, Neo memilih untuk memejamkan mata lagi sambil berbaring menghadap sang istri. Tapi, beberapa saat kemudian pria itu kembali membuka mata dan mena
Sejak kembali dari supermarket, Abia menyadari wajah sang menantu sedikit murung. Perempuan itu terus diam sedari tadi tanpa mengatakan apa-apa setelah pertemuannya dengan sang suami juga sang adik. Abia yakin perempuan itu merasa sedikit dikhianati oleh kelakuan Neo yang malah pergi berkencan dengan sang adik bukannya menemaninya selaku istri pria itu.“Apa kau butuh sesuatu? Atau ada yang membuatmu merasa terganggu?” tanya Abia meski sebenarnya dia sudah tahu betul masalah perempuan itu.“Hah? Tidak ada, Bunda. Kenapa malah bertanya begitu?” tanya Naya sambil menggeleng keras.“Tidak apa-apa. Bunda hanya sedikit khawatir karena kau terus diam dari tadi,” jawab Abia yang dibalas Naya dengan oooh singkat.“Aku tidak apa-apa. Mungkn aku hanya sedikit mengantuk, apa aku boleh pergi tidur?” tanya Naya sekaligus meminta izin untuk kembali ke kamar.“Tentu saja! Jika kau takut tidak bisa ikut memasak, Bunda akan menunggumu. Lagipula ini juga belum waktunya untuk memasak, kan?” tanya Abia
"Eh ... eh eh! Kenapa dia terus memberikan pukulan panjang?! Kenapa dia begitu bodoh?! Sepertinya dia hanya bermain dengan tenaga tanpa otak!" Naya terus memaki sambil menatap fokus pada layar pipih yang ada di ruang tengah tersebut.Abia yang penasaran dengan suara ribut itu dari arah dapur, kontan segera keluar dan melihat apa alasan kehebohan menantunya. Begitu menyadari perempuan itu tengah menonton pertandingan bulutangkis super series antar negara di televisi, Abia tersenyum senang."Kau sepertinya fokus sekali menonton, ya?" komentar Abia sambil berjalan mendekat dan duduk di samping perempuan yang terlihat sangat berat mengalihkan pandangan dari arah televisi itu."Eh, Bunda. Maaf, apa suaraku begitu berisik sampai Bunda bisa mendengarnya meski di dapur?" tanya Naya sambil menatap Abia sesekali."Iya, ini pertama kalinya Bunda mendengarmu seheboh itu. Ini juga pertama kalinya Bunda melihat matamu berbinar seantusias itu saat melihat sesuatu," jujur Abia yang sejenak membuat Na
"Pak, ada putrinya Tuan Bintang yang menunggumu di luar." Cindy, sekretaris pribadi Neo memberitahu."Kenapa dia mencariku ke kantor? Apa dia begitu tidak punya pekerjaan di rumah?" gumam Neo sambil meletakkan berkas yang tadi dibacanya sejenak."Bilang saja tunggu dulu. Aku masih punya banyak pekerjaan. Kau tidak lihat?" tanya Neo galak yang sejenak membuat perempuan itu sedikit terperangah."Bapak serius menyuruh Bu Nara menunggu? Biasanya kan Bapak langsung menemuinya. Apa karena Bapak sudah menikah jadi Pak Neo ingin menjaga perasaan istri Anda?" tanya Cindy serius yang kontan membuat Neo menoleh terkejut."Maksudmu yang ada di luar itu Nara? Kenapa tidak bilang?! Kan kukira Naya!" maki Neo malah semakin emosi.Cindy menggaruk tengkuknya bingung. Dia memang selalu terlihat serba salah begini di hadapan atasannya yang satu ini.Padahal, sudah sekitar enam tahun Cindy bekerja pada pria itu. Bagaimana bisa dia kadang masih merasa kebingungan menghadapi makhluk sipit ini?"Yasudah, Pa
Pagi ini, Neo tidak berangkat bekerja karena hujan. Meeting yang sudah mereka jadwalkan dengan client pun terpaksa dilakukan secara daring atau online. Tidak terkecuali Arya yang juga lebih memilih bolos ke kantor dan sibuk bermanja pada istri cantiknya.Ini memang sudah memasuki musim hujan. Biasanya, saat hujan mulai gemar datang begini, Naya akan bermalas-malasan di asrama bersama atlet lain. Karena ada begitu banyak alasan untuk tidak latihan."Biasanya aku bahkan menyeduh mie instan dengan kopi hangat bersama Tama," gumam Naya sambil bersila pada dinding kaca belakang rumah yang langsung menampilkan pemandangan taman belakang.Perempuan itu jadi teringat pada Bagas sekarang. Aditama Bagaskara, satu-satunya atlet ganda campuran yang mampu bertahan menjadi pasangannya di pertandingan internasional juga mampu menyeimbangkan permainan Naya.Peringkat mereka bahkan sudah berada di 10 besar dunia. Mana mungkin dia bisa lupa pada pria itu? Bagas selalu menemaninya pada setiap moment pen
Begitu terbangun dari tidurnya, Naya mendapati dirinya sudah berada di kamar. Seingatnya, tadi dia masih berbaring di sofa karena bosan menunggu Neo yang malah sibuk dengan game di ponselnya.Lalu, siapa yang memindahkannya ke kamar? Tidak mungkin dia berjalan sendiri ke sini. Begitu mendengar suara pintu kamar mandi terbuka, Naya menoleh cepat."Eh, kau sudah bangun?" tanya Neo sambil mengacak-acak rambutnya yang masih basah setelah mandi dan keramas.Sejenak, Naya terpaku melihat betapa se ksi pria itu. Dengan telan jang dada serta handuk yang hanya melilit sampai perutnya, sang suami entah kenapa terlihat bertambah menawan berkali-kali lipat.Gambaran pria dewasa dengan tubuh sempurna yang ada dalam hayalan Naya. Meski dikenal bahkan dirumorkan sudah tidak tertarik pada lawan jenis, tidak ada yang tahu bahwa sebenarnya kriteria Naya begitu tinggi untuk urusan lelaki.Perempuan itu tidak suka tubuh atlet, karena dia sudah terlalu bosan melihatnya. Dia menyukai pria dengan proporsi
Begitu Ayahnya pulang dari rumah sang suami, Naya segera kembali ke kamarnya. Entah kenapa, dia jadi mudah merasa lelah akhir-akhir ini. Sekarang, Naya bahkan merasa mengantuk. Tapi, baru saja akan memejamkan mata, suara bantingan pintu membuat perempuan itu terlonjak kaget.BRAK!"Apa kau tidak bisa membuka pintu dengan biasa-biasa saja?" tanya Naya tidak habis pikir dengan putra tunggal Arya Januar Malik itu."Kenapa kau mengaturku? Apa pedulimu tentang caraku membuka atau menutup pintu?" tanya Neo malah sensi sendiri.Naya mengernyit heran dengan jawaban bernada sarkas sang suami. Ada apa dengan pria ini? Kenapa suasana hatinya terus berubah dalam jangka waktu yang sangat singkat?"Kau mau apa berbaring di kamar saat masih siang begini? Seharusnya kau di luar menemani Biya atau melakukan kegiatan yang lain," komentar Neo begitu melihat perempuan itu kembali berbaring di ranjang sambil memejamkan mata."Kenapa kau mengaturku? Apa pedulimu tentang di mana aku jam segini?" tanya Naya
Jam menunjukkan pukul 2 siang saat sang Ayah berkunjung ke rumah Neo. Tepatnya rumah baru Naya juga. Pria itu beralasan ingin bermain catur dengan Arya---sang ayah mertua, dan Naya mempercayai saja.Padahal, nyatanya Bintang datang hanya untuk melihat keadaan sang putri. Apa perempuan itu betah di rumah suaminya juga apakah perempuan itu baik-baik saja. Bintang hanya ingin mengetahui hal tersebut."Kenapa kau tidak mengajakku main catur daritadi?" tanya Bintang heran begitu pria itu hanya menyuguhkan kopi dan makanan ringan di atas meja ruang tengah."Kau tidak perlu terlalu banyak bersandiwara. Jika memang ingin melihat keadaan putrimu, kau bisa datang kapan saja. Jangan gunakan alasan murahan seperti ini lagi!" tegur Arya to the point.Bintang terkekeh kikuk. Memang lumayan susah untuk berbohong pada pria yang juga rekan bisinis sekaligus sahabatnya ini. Pria galak ini terlalu jujur dalam menghujatnya."Aku masih agak malu pada Naya. Setelah menamparnya waktu itu, aku masih merasa b