Pagi itu Aldino nampak panik sebab tak mendapati Malati di kamar ataupun di ruangan lantai dua. Ia tak melihatnya semenjak sholat subuh. Mungkin Malati turun ke bawah membantu Mbok Darmi memasak. Namun ternyata tidak demikian.“Di mana Mbak Malati?” tanya Aldino pada Mbok Darmi yang tengah wara-wiri di ruang tamu.“Mbak nya sudah berangkat pagi, Mas,” jawab Mbok Darmi yang tengah membimbing para pekerja di rumah dengan teliti. Terlihat ia cekatan dan selalu mengecek furniture jika masih kotor karena debu dengan menempelkan ujung jarinya.“Berangkat? Jam berapa?” telisik Aldino- yang sudah memakai setelan olahraga. Hari ini ia akan berangkat ke sekolah agak siangan. Ia akan melakukan rutinitas olahraga pagi, berlari mengelilingi komplek perumahan elit tersebut.“Jam lima pagi,” jawab Mbok Darmi setelah menyuruh pekerja lain untuk kembali mengerjakan tugas masing-masing.“Hah? Kemana? Bukankah hari ini ngampus.”Aldino cukup tersentak mendengar kepergian Malati. Bahkan ia tak meminta ij
Ke dua kakak beradik, Ariana dan Nadira tampak bingung ketika melihat Malati sudah tak sadarkan diri setelah menyesap teh.“Bagaimana ini?” tanya Nadira panik. “Kenapa Malati malah pingsan?”Harapan gadis itu Malati tetap terjaga namun dengan kondisi kepanasan.Ariana bangkit berdiri dan menghampiri Malati yang jatuh tak sadarkan diri hingga tersungkur ke lantai. Beruntung lantainya dilapisi karpet berbulu halus dan tebal sehingga kemungkinan kecil tubuhnya merasakan sakit.Gadis bersurai panjang itu mengulurkan tangannya untuk mengecek pernafasan melalui hidungnya. Tak puas, ia meraba dadanya untuk merasakan denyut jantungnya apakah masih berdetak atau tidak.“Dira, Malati sepertinya tidak pingsan. Dia tidur!” komentar Ariana dengan mengerutkan hidungnya lalu menoleh tajam ke arah saudarinya. “Obat apa yang kauberikan pada tehnya?” telisik Ariana-yang selalu meragukan perbuatan Nadira.“Aku … memberikan obat yang kau beri.” sahut Nadira dengan harap-harap cemas. Seketika Ariana meng
Saat Aldino merasa letih dan memilih istirahat di bawah pohon ketapang setelah berlari mengitari komplek dua putaran, ia teringat istri kecilnya. Ia merasa memiliki firasat buruk. Tiba-tiba, perasaan hatinya tidak nyaman. Kemanakah gadis itu pergi? Mengapa harus pergi pagi sekali? Namun seketika dahinya berkerut dan bibirnya mendecak. “Kenapa aku harus peduli pada gadis itu? Toh, pernikahan juga hanya sandiwara,” gumam Aldino berusaha menepis kekhawatirannya pada Malati. Namun ia segera memutuskan untuk mengakhiri olahraga lari pagi. Ia pulang dan langsung mandi. Ia bersiap-siap akan berangkat ke sekolah. Selanjutnya ia sarapan hidangan yang sudah disiapkan di ruang makan sendirian seperti hari-harinya saat melajang. Namun sekarang, ia merasa kesepian. Padahal ia dulu seringkali menyantap sarapan sendiri. Lagi, ia teringat Malati. Biasanya Malati sarapan bersamanya meski tanpa suara atau obrolan sebagaimana pasangan suami istri yang normal. Mendadak nafsu makan pria besar itu suru
“Di mana Mbak Mala?” tanya Aldino pada Mbok Darmi ketika mereka berpapasan di undakan tangga dilapisi karpet berwarna merah marun.“Mas, Mbak sedang berada di perpustakaan.”Mbok Darmi menjawab dengan helaan nafas yang berat. Sudah empat kali ia bolak balik naik ke lantai dua demi membujuk Malati agar turun untuk makan malam. Namun hasilnya, nihil.“Sudah makan malam?” tanya Aldino entah sudah keberapa kali. Ia baru saja pulang dari minimarket.“Belum mau Mas, katanya,” jawab Mbok Darmi pasrah. Ia sudah mengerahkan jurus seribu bujukan. Mau bagaimana lagi, Malati keras kepala lebih dari batu.Tanpa mengambil tempo, Aldino langsung menaiki anak tangga dengan begitu cepat. Ia langsung berjalan menuju perpustakaan. Pintunya terbuka dan tampaklah Malati yang sedang fokus menggambar. Seulas senyum terbit di bibir Aldino, Malati mungkin sudah kelihatan lebih baik. Setelah peristiwa yang dialami tadi siang. Malati terlihat terpukul dengan apa yang menimpanya. Jika ia tidak datang, pasti ak
“Kau kenapa?” tanya Nia melihat rupa putrinya macam gembel baru saja nyebur ke dalam sawah yang baru dibajak. Rambutnya megar mirip sarang burung dan beberapa luka lebam tampak di pelipis dan ujung bibirnya yang berdarah. Pakaiannya juga basah dan kotor seperti terkena kubangan tanah basah.Parahnya gadis itu pulang saat tengah malam.Tangan Nia terulur menyentuh kemeja yang dikenakannya, robek dengan kancing yang hilang di beberapa tempatnya.“Kenapa? Jawab!” salak Nia seperti seekor anjing rabies yang menggonggong. Ia menatap nanar putrinya. Pasti terjadi sesuatu yang buruk padanya.Mendapat teriakan dari ibunya, air mata yang sudah ditahan sejak tadi akhirnya meruah. Ariana menangis tersedu sedan di hadapan ibu dan saudarinya.Nadira yang melihat adiknya dengan penampilan mengenaskan langsung meringis. Tadi siang ia memang meninggalkannya dengan Aldino. Lalu ia pergi begitu saja dengan teman-temannya hangout ke mall karena mendapatkan kartu ATM dengan nominal yang besar.Apa jangan
Sepulang dari sekolah, Aldino berkunjung ke rumah kekasih hati, Raisa Silvana Basalamah. Ia hanya ingin mengetahui kabar perkembangannya. Terakhir ia mendapat pesan dari Hanum jika Ana sudah pindah rumah sakit.Aldino mematung di depan pintu rumah megah dengan arsitektur bergaya timur tengah, menunggu seseorang membuka pintu.Krett,Keluarlah seorang pria berwajah Arab yang menyambutnya. Pria yang tak sudi ia lihat.“Mau apa kau kemari?” tanyanya dengan raut penuh kebencian, menatap remeh Aldino yang berada tepat di hadapannya.Aldino sama sekali tak merasa terintimidasi oleh sosok itu. Ini rumahnya, tak mungkin ia mencari ribut di sana.“Ada siapa Ali?”Sayup-sayup terdengar suara dari dalam rumah. Hanum-ibunda Ana berjalan keluar rumah dan langsung melemparkan senyuman hangat pada Aldino.“Al, masuklah!” titah Hanum dengan penuh keramah tamahan. Ia berjalan keluar dan langsung memeluk Aldino dengang penuh kehangatan. Ali langsung menggeser tubuhnya memberi akses jalan, bersedekap ta
Nadira melotot di depan cermin ketika melihat sejumput helaian rambutnya yang tercerabut dari akarnya. Tangannya gemetar menggenggamnya lalu mengepal.Ia mendelik ke arah saudarinya yang masih tertidur pulas. Haruskah ia mencekiknya untuk membalas perbuatannya? Atau ia menindih kepalanya dengan bantal agar ia kehabisan nafas? Tidak, mungkin menuangkan racun arsenik pada mulutnya yang menganga.“Kau mau mencekikku? Menindihku dengan bantal? Memberikanku racun? Lakukanlah! Kau akan membusuk di penjara! Lalu aku akan menghantuimu seumur hidupmu?” racau Ariana padahal matanya terpejam.Mengapa ia bisa tahu isi kepalanya?Nadira berdiri dan menghampiri Ariana yang sudah tergolek puas setelah menganiaya dirinya semalam. Menatapnya dengan penasaran. Ia merasa ragu apakah adiknya yang bar-bar itu serius tidur atau berpura-pura?Saking penasaran Nadira mencondongkan tubuhnya mendekat di hadapan wajahnya.Seketika Ariana melotot dan berhasil membuat Nadira tersentak kaget.“Gadis kampret!! Kau
Malati mengejar wanita yang diduga membawa kamera DSLR milik Serena hingga ke jalan sebab motor matic berwarna putih itu bagaikan motor balap langsung tancap gas dan menaklukan medan dengan liar. Melesat mengebut bagai Valentino Rossi.Brugh,Malati terjatuh saat ada motor yang lewat. Karena fokus mengejar, ia justru tidak berhati-hati alhasil ia keserempat motor. Dan, naasnya, motor itu kabur meninggalkan Malati yang terjatuh.Saat jatuh tersungkur, Malati masih sempat melihat plat nomor motor itu. Ia mendengus kasar sebab merasa pusing apapun yang ia lihat terasa mengganggunya.Beberapa orang berlarian menghampiri Malati karena panik takut terjadi apa-apa pada gadis itu.Aldino langsung menerobos kerumunan dan menyingkirkan tangan-tangan mereka yang terulur berusaha membantu Malati.“Minggir!!!” pekik Aldino tak kalah panik dan kesal melihat kelakuan Malati.“Mala, kau tidak apa-apa?” tanya Aldino pada Malati, ia mencoba membangunkannya. Ke dua tangan kekarnya langsung membopong ga
Di tempat berbeda, kini pasangan lain pun tengah diberkati kebahagiaan yang luar biasa. Akhirnya setelah hampir setahun lamanya, Aldino kini bisa kembali berjalan. Setelah mengikuti terapi dan pengobatan hingga berbulan-bulan lamanya di Singapura, pria berwajah tampan dan bertubuh bak binaragawan itu akhirnya bisa berjalan normal kembali. Ia sangat bekerja keras selama berada di Singapura.Ia akan pulang dengan memberikan kejutan pada istri tercinta dan putra tampannya yang kini sudah berusia setahun.Hari itu, Malati tengah mengasuh Manggala bermain di ruang bermain yang dibuat khusus, di ruang keluarga kediaman Eyang Waluyo. Cicit tersayang selalu mendapat perhatian lebih dari Eyang buyutnya. Malati dan putra tampannya mendapatkan privilege luar biasa dari Eyang Waluyo hingga keluarga besar lainnya.“Gala! Sini Nak!”Kakek tua yang masih berdiri tegap itu memanggil cicitnya. Meskipun Manggala baru berusia setahun namun anak itu sangat cerdas. Ia sudah bisa berjalan dengan baik dan bi
Ali pun menarik handle pintu kamar pengàntin hingga terbuka. Sulis langsung antusias melihat untuk pertama kali kamar pengàntin yang sangat indah karena dihias sedemikian rupa. “Aa, bagus banget!” Sulis mengedarkan pandangannya ke segala penjuru kamar berukuran presidential suit tersebut. Kamarnya didominasi warna putih dan warna-warna pastel sesuai keinginannya. Matanya berbinar mengamati setiap detail hiasan bebungaan yang berada di atas ranjang. Seketika ia tertawa melihat ada dua ekor angsa yang tergolek di atas ranjang. Angsa yang dibentuk dari selimut berwarna putih. Tangannya terulur mengusap angsa tersebut. “Lucunya! Aku mau foto dulu,”Seketika Sulis mengambil ponselnya lalu memotret ranjang pengàntin yang begitu indah itu dengan senyum yang berseri-seri.“Sini, Aa yang fotoin!” imbuh Ali dari belakang tubuh gadis itu. Sulis mengerjapkan matanya beberapa kali. Ia senang mendengar usulan Ali. Sulis pun duduk dengan posisi anggun di atas ranjang. Ali pun mengambil ponsel is
Ali berusaha menormalkan perasaannya dalam menyikapi Sulis. Sulis memàng sedang sakit, penyakitnya yang dideritanya juga tidak main-main. Oleh karena itu mungkin ia mulai merasa frustasi.Sulis tidak menyadari jika calon suaminya bertopeng dingin dari luar, padahal hatinya begitu hangat. Pada adiknya saja Ali begitu mengkhawatirkannya saat ia sakit. Tak jauh berbeda pada kekasih hatinya, ia merasakan kekhawatiran yang sama. “Sulis, stop overthinking! Kita akan tetap pada rencana awal kita. Kita akan menikah! Kau juga akan ikut pengobatan.”Ali berbicara tegas. Ia tidak suka sikap Sulis yang mendadak melankolis.Sulis terdiam dengan isak yang tertahan dan menggigit bibir bawahnya, “Ali, aku takut gak bisa hamil! Aku perokok berat. Argh, Shit! Aku mungkin tak subur!”Kini Sulis berkata hal lain yang malah memperkeruh suasana. Ali semakin jengkel mendengarnya, “Terus kau mau hubungan kita berakhir begitu saja? Kita batalkan tunangan begitu?”Sulis mengangguk dengan air mata yang bercucu
Ali tertegun saat mendengar kabar dari dokter bahwa kekasihnya harus menjalani beberapa tes kesehatan di antaranya tes darah dan rontgen. Sebelum jatuh pingsan Sulis sempat muntah darah penyebabnya. Kesimpulannya ada bagian organ dalamnya yang terluka dan membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut.Ali merasa bersalah, telah mengabaikan kekasihnya karena masalah sepele. Sederhananya, mungkin jika tidak ada drama cemburu tadi sore mungkin Sulis akan baik-baik saja. Sungguh, Ali menyesali sikapnya yang tidak dewasa. “Argh, maafkan aku Sulis. Aku kadang egois.”Ali bergumam dengan helaan nafas berat. Pria itu berjalan lesu dari ruangan dokter dan pergi menuju ruangan di mana kekasihnya dirawat malam itu. Perlahan Ali membuka pintu ruang rawat inap gadis itu. Tampak Sulis sedang tertidur pulas mungkin karena pengaruh obat. Untuk sementara ia dirawat karena kurang darah. Namun penyebab yang lebih serius belum diketahui. Ali berjalan mendekati kekasihnya. Ia berdiri di depan ranjang hidrolik s
Dua orang pemuda tampan tengah menahan kesal menunggu kekasih mereka yang sibuk memilih gaun. Sudah lebih dari dua jam lamanya mereka berusaha memanjangkan sumbu kesabaran. Rasa panas menjalari punggung mereka karena terlalu lama duduk di sofa.Meskipun pelayan butik itu melayani mereka dengan istimewa, memberikan minuman hingga camilan, tetap saja tak bisa mengusir rasa jenuh mereka. Mereka bahkan sudah memainkan ponsel masing-masing, men scroll media sosial tak jelas untuk membunuh waktu. Nihil! “Lama banget! Mereka ngapain aja sih?” ucap pemuda berhidung bangir yang tak lain Mustafa Ali Basalamah pada pemuda tampan bermata sipit yang tengah duduk di sampingnya, dr Zain. Ali beringsut berdiri lalu merenggangkan tubuhnya beberapa saat karena rasa pegal akibat duduk lumayan lama di sofa berbentuk letter U. Ia pun memutar lehernya hingga menimbulkan bunyi kretek yang membuat dr Zain meringis mendengarnya. dr Zain hanya mendesah pelan mendengar keluhan calon iparnya. Dokter muda itu
“Mala, sini Bude yang gendong Gala!”Bude Ratna menghampiri Malati yang baru saja menyusui bayi tampannya. Malati gegas mengancingkan kancing bajunya kemudian melepas apron menyusui saat Gala terlihat sudah kenyang menyusu. Biasanya bayi yang memiliki garis wajah mirip sekali ayahnya itu tertidur saat merasa perutnya penuh, namun kali ini ia terjaga seakan ingin bermain dengan neneknya.Malati pun menyerahkan Gala pada pangkuan Bude Ratna. Bayi itu tersenyum dan menatap neneknya dengan mata yang bening. Sungguh terlihat menggemaskan.Bude Ratna menyematkan senyuman yang lebar menatap cucunya itu dengan penuh haru. Bukan tanpa alasan, Gala terlahir saat ke dua orang tuanya mengalami kecelakaan yang mengerikan.Atas kehendakNya, mereka semua selamat kendati ayahnya kini harus menjalani pengobatan di luar negeri. Seminggu sudah kepergian Aldino ke Singapura. Terpaksa, Malati mengikhlaskan kepergian suaminya bersama Bude Gendhis, suaminya dan beberapa pengawal pribadi utusan Eyang Waluyo.
“Bulan depan!”Ali menjawab dengan penuh keyakinan pertanyaan ayah Sulis. Setelah acara lamaran selesai, Hendi-Ayah Sulis bertanya pada Ali tentang hubungan putrinya dan Ali sudah sampai sejauh mana. Hal tersebut bukan tanpa alasan, sebab Hendi mengira jika kedatangan keluarga Basalamah itu untuk acara pertunangan. Bukan lamaran menuju pernikahan.Nyatanya, sebelum mereka benar-benar pergi dari kediaman Sulis, Ali memberanikan dirinya, secara langsung ia mengungkapkan rencananya ingin menikahi Sulis sesegera mungkin. Ali berusaha bernegosiasi dengan calon ayah mertuanya, bahwasanya meskipun hubungan mereka belum lama, namun mereka sudah bisa saling memahami karakter masing-masing sehingga ingin segera melangsungkan hubungan mereka ke arah yang serius. Terlebih usia ke duanya telah matang. Sudah sama-sama dewasa.Hendi menatap Sulis sejenak kemudian kembali menggerakan bibirnya. “Nak Ali, Bapak sebagai orang tua sangat bahagia mendengar rencana baik Nak Ali dengan melamar Sulis untuk d
“Ali, kenapa kau belum datang juga? Kenapa juga kau tidak mengangkat telepon dariku? Argh, awas kalau kabur dari acara pertunangan! Aku tak segan memberi perhitungan padamu!” gumam Sulis dengan perasaan yang teramat gelisah. Saat ini Sulis berada di rumahnya di kota Bandung.Hari itu adalah hari bersejarah baginya. Akhirnya Sulis akan dilamar oleh pria tampan dan kaya raya seperti angan-angannya selama ini. Gadis bertubuh jangkung itu berdiri mematung di taman depan rumahnya, menunggu detik-detik kehadiran Ali bersama keluarga besarnya.Ternyata Ali tidak main-main dengan hubungan yang terjalin di antara mereka. Ia serius ingin meminang Sulis. Lamaran Ali sebetulnya ialah waktu yang tepat untuk menentukan kapan waktu pernikahan mereka akan berlangsung. Sebaliknya, Sulis hanya mengira jika lamaran Ali hanyalah pengikat atau tanda keseriusan Ali atas hubungan percintaan mereka. Atau pertunangan biasa.“Sulis, diam bisa gak?” Dari dalam rumah, sang Ibu memanggil putrinya itu dengan suar
Aldino hanya menghela nafas pelan. Ia sebetulnya tak tega jika harus meninggalkan istri dan bayi tampannya yang baru lahir. Namun niatnya sudah bulat. Ia ingin segera sembuh dan tak ingin merepotkan istrinya atau siapapun. Aldino yakin pengobatan medis di luar negeri lebih baik. Oleh karena itu ia menyetujui usulan Eyang Waluyo untuk berobat di Singapura. Aldino akan mengikuti prosedur operasi di sana dan mengikuti terapi hingga kakinya sembuh seperti sedia kala.“Sayang, udah dong! Ini demi kebaikan kita semua.”Aldino mengusap-usap punggung istrinya yang tenggelam di balik dada bidangnya. Mendengar Aldino akan pergi jauh, Putri Melati terlihat murung. Bahkan ia menangis tersedu sedan.Malati bukan tidak ingin suaminya mengikuti pengobatan di rumah sakit luar negeri. Namun ia ingin ikut bersamanya ke negeri yang terkenal dengan patung Merlionnya.Malati dan baby Gala belum bisa berangkat mengingat usia bayi mereka masih belum siap untuk berpergian jauh. Begitupula dengan Malati yang