Nadira melotot di depan cermin ketika melihat sejumput helaian rambutnya yang tercerabut dari akarnya. Tangannya gemetar menggenggamnya lalu mengepal.Ia mendelik ke arah saudarinya yang masih tertidur pulas. Haruskah ia mencekiknya untuk membalas perbuatannya? Atau ia menindih kepalanya dengan bantal agar ia kehabisan nafas? Tidak, mungkin menuangkan racun arsenik pada mulutnya yang menganga.“Kau mau mencekikku? Menindihku dengan bantal? Memberikanku racun? Lakukanlah! Kau akan membusuk di penjara! Lalu aku akan menghantuimu seumur hidupmu?” racau Ariana padahal matanya terpejam.Mengapa ia bisa tahu isi kepalanya?Nadira berdiri dan menghampiri Ariana yang sudah tergolek puas setelah menganiaya dirinya semalam. Menatapnya dengan penasaran. Ia merasa ragu apakah adiknya yang bar-bar itu serius tidur atau berpura-pura?Saking penasaran Nadira mencondongkan tubuhnya mendekat di hadapan wajahnya.Seketika Ariana melotot dan berhasil membuat Nadira tersentak kaget.“Gadis kampret!! Kau
Malati mengejar wanita yang diduga membawa kamera DSLR milik Serena hingga ke jalan sebab motor matic berwarna putih itu bagaikan motor balap langsung tancap gas dan menaklukan medan dengan liar. Melesat mengebut bagai Valentino Rossi.Brugh,Malati terjatuh saat ada motor yang lewat. Karena fokus mengejar, ia justru tidak berhati-hati alhasil ia keserempat motor. Dan, naasnya, motor itu kabur meninggalkan Malati yang terjatuh.Saat jatuh tersungkur, Malati masih sempat melihat plat nomor motor itu. Ia mendengus kasar sebab merasa pusing apapun yang ia lihat terasa mengganggunya.Beberapa orang berlarian menghampiri Malati karena panik takut terjadi apa-apa pada gadis itu.Aldino langsung menerobos kerumunan dan menyingkirkan tangan-tangan mereka yang terulur berusaha membantu Malati.“Minggir!!!” pekik Aldino tak kalah panik dan kesal melihat kelakuan Malati.“Mala, kau tidak apa-apa?” tanya Aldino pada Malati, ia mencoba membangunkannya. Ke dua tangan kekarnya langsung membopong ga
Sore itu di ruang kelas Exacta, Malati masih betah berlama-lama mengajari calon peserta Olimpiade Matematika. Sembari menunggu mereka menyelesaikan soal, Malati membuat soal lain di atas kertas dan mencari jawabannya sendiri, dengan berbagai langkah yang diambil.Tangan mungil nan lentiknya terlihat menari-nari membuat coretan-coretan kecil di atas sehelai kertas di atas meja. Diam-diam seseorang mengintip dengan mengulum senyum melihat tingkah Malati. Aldino acapkali mengecek proses belajar anak didiknya melalui jendela kaca.Saat mereka selesai, Archiello mengumpulkan kertas lembar jawaban teman-temannya dan menaruhnya di atas meja Malati. Gadis itu pun berniat mulai memeriksa jawabannya satu per satu.Namun sebelum rencananya terlaksana, Malati sempat terkejut sebab saat melihat soal yang tercantum dalam lembaran kertas soal itu bukan materi yang sudah ia persiapkan.Ia menyusun soal-soal olimpiade bekas tahun yang lalu, mengumpulkannya, menyalinnya, merangkumnya lalu memperbanyakn
Malam itu Malati merenung cukup lama di balkon kamar tidur utama. Ia merasa tersentak mendengar pengakuan Mira Gumilar soal Aldino. Namun bagaimanapun Malati sudah terperangkap dalam surat perjanjian pernikahan kontrak. Ia tak mungkin mundur. “Aldino dulu mengincar Arieka. Sekarang kau, Putri Melati. Kau tahu, aku sangat dekat dengan keluarga Aldino. Aku masih sepupu dengannya, dari Dirgantara Waluyo, meskipun tak sedarah. Aldino sudah sejak lama ingin menikah dengan seseorang yang mudah dikendalikan! Seseorang yang maaf, lugu, bodoh secara mental dan miskin. Ia menikah untuk mendapat warisan Eyang Waluyo.” Malati menyimak betul perkataan Mira Gumilar. Benar sekali dugaannya. Pernikahan itu hanyalah sebuah alat untuk memperoleh harta warisan. Tidak ada yang keliru! Malati pun menerima pernikahan itu didasari kepentingan juga. “Aldino didesak untuk segera menikah jika ia masih mau menjadi pewaris utama Waluyo. Sayang, kekasihnya koma karena kecelakaan sepulang dari sebuah pesta. Mal
Sabtu yang cerah, langit menampilkan awan cirrus yang berarak rapi dengan kanvas berwarna biru lazuardi. Malati menatap langit itu dengan penuh sukacita. Di taman kampus ia biasa menghabiskan waktunya dengan merenung dan membaca.Dari kejauhan Malati yang mengenakan pakaian berwarna merah muda lengkap dengan warna hijab senada tampak indah ketika sorot matahari menimpa siluet tubuhnya. Dan, ternyata seseorang berhasil membidik dirinya, tepat saat dirinya tersenyum menatap seekor katak yang melompat di rerumputan. “Taman ini dulu bekas sawah,” seru seorang pemuda menginterupsi kegiatan Malati menikmati taman yang sepi siang itu.Ekor mata Malati bergerak dan tertuju pada sumber suara yang familiar itu. Tubuhnya membeliak kala mendapati pemuda itu menghampirinya.“Kak Erlangga?” “Apa yang sedang kaulakukan Malati? Kau sedang menunggu pacarmu ya?” tanya Erlangga berbasa-basi. Malati spontan mengulum senyum dan menggeleng. “Aku hanya sedang istirahat saja, menunggu mata kuliah lain.”
Sepulang kuliah, Malati mencari Aldino. Ia akan meminta ijin padanya untuk pergi ke acara pesta ulang tahun teman kampusnya, Risa. Sebelumnya ia sudah membuat banyak alasan untuk menolak undangan Risa karena ia malas mengikuti acara glamor yang diadakan oleh kalangan atas. Terkadang ia merasa minder dan takut kehadirannya justru menjadi bahan perguncingan teman-teman kampus lainnya. Terlebih lagi bisa merusak suasana pesta Risa. Naasnya, Risa lebih banyak beralasan ketimbang Malati. Malati ialah sahabat terbaiknya, padahal Malati sendiri hanya menganggapnya sekedar teman dekat selama di kampus. Karena Malati sudah dianggap sahabat, sehingga Malati harus hadir pada perayaan berbahagia itu. Jika tidak, ia akan membatalkan acara yang sudah disiapkan jauh-jauh hari sebelumnya. Pun, Risa beralasan lain bahwa Malati mahasiswi yang meraih nilai IP 4. Nilai yang sempurna. Ayahnya begitu penasaran ingin bertemu dengannya setelah mendengar cerita darinya bahwa sahabatnya ialah mahasiswi terce
Aldino tampil berbeda malam itu. Biasanya ia berpenampilan gagah dengan seragam khas guru yang rapi dan rambut klimis. Namun malam ini, karena malam minggu, Aldino berpenampilan anak muda nan gaul.Aldino memakai kaos yang dibalut kemeja dari luar dan celana jeans robek seperti diparut, sepatu boots lengkap dengan jaket kulit yang membalut tubuh kekarnya yang mirip gapura kabupaten. Tambah lagi, rambutnya dibuat agak acak-acakan, tak beraturan dan asimetris, semakin menambah kesan maskulin.Ia berencana akan pergi bersama kawan-kawannya untuk nongkrong di sebuah cafe mewah yang berada di daerah Puncak. Kebetulan rute jalan yang diambil searah dengan resort di mana Risa merayakan ulang tahunnya. Oleh karena itu ia ingin mengantar Malati terlebih dahulu.“Mas, mau maming-an ya? Ahay!!” goda Mbok Darmi pada Aldino yang sudah berdiri gagah di samping motor sport yang jarang ia pakai.Aldino hanya mengangguk. “Mbok, sepertinya kami akan pulang malam.”Mbok Darmi membelakan matanya ketika
Malati bingung harus menjawab apa. Seseorang mengajaknya berdansa. Jika ia menolak mungkin pria itu mengira jika dirinya sombong. Namun adalah sesuatu yang mustahil ketika menerima ajakan berdansa darinya.Akhirnya Malati membuat sebuah keputusan ia akan menolak ajakan pria itu untuk berdansa.“Maaf, saya tidak bisa berdansa,” tolak Malati, padahal pria itu bukan mengajaknya tetapi mengajak wanita yang berada di belakangnya.Aish, Malati malu rasanya. Ia kepedean. Tak mungkin ada cowok yang mengajak perempuan berhijab berdansa dengannya.Lelaki itu meraih tangan wanita berpenampilan seksi dengan tubuh bak gitar Spanyol. Tak mungkin pria tadi mengajak Malati yang bertubuh bonsai menyerupai ukulele. Meskipun menggunakan topeng, Malati bisa mengenalinya. Dia kakak tingkat yang yang paling cantik. Selain sebagai mahasiswa FK, ia juga seorang model. Sesuatu yang normal, pria tampan bersanding dengan wanita cantik. Untung, Malati memakai topeng setidaknya rasa malunya berkurang sedikit.“U
Di tempat berbeda, kini pasangan lain pun tengah diberkati kebahagiaan yang luar biasa. Akhirnya setelah hampir setahun lamanya, Aldino kini bisa kembali berjalan. Setelah mengikuti terapi dan pengobatan hingga berbulan-bulan lamanya di Singapura, pria berwajah tampan dan bertubuh bak binaragawan itu akhirnya bisa berjalan normal kembali. Ia sangat bekerja keras selama berada di Singapura.Ia akan pulang dengan memberikan kejutan pada istri tercinta dan putra tampannya yang kini sudah berusia setahun.Hari itu, Malati tengah mengasuh Manggala bermain di ruang bermain yang dibuat khusus, di ruang keluarga kediaman Eyang Waluyo. Cicit tersayang selalu mendapat perhatian lebih dari Eyang buyutnya. Malati dan putra tampannya mendapatkan privilege luar biasa dari Eyang Waluyo hingga keluarga besar lainnya.“Gala! Sini Nak!”Kakek tua yang masih berdiri tegap itu memanggil cicitnya. Meskipun Manggala baru berusia setahun namun anak itu sangat cerdas. Ia sudah bisa berjalan dengan baik dan bi
Ali pun menarik handle pintu kamar pengàntin hingga terbuka. Sulis langsung antusias melihat untuk pertama kali kamar pengàntin yang sangat indah karena dihias sedemikian rupa. “Aa, bagus banget!” Sulis mengedarkan pandangannya ke segala penjuru kamar berukuran presidential suit tersebut. Kamarnya didominasi warna putih dan warna-warna pastel sesuai keinginannya. Matanya berbinar mengamati setiap detail hiasan bebungaan yang berada di atas ranjang. Seketika ia tertawa melihat ada dua ekor angsa yang tergolek di atas ranjang. Angsa yang dibentuk dari selimut berwarna putih. Tangannya terulur mengusap angsa tersebut. “Lucunya! Aku mau foto dulu,”Seketika Sulis mengambil ponselnya lalu memotret ranjang pengàntin yang begitu indah itu dengan senyum yang berseri-seri.“Sini, Aa yang fotoin!” imbuh Ali dari belakang tubuh gadis itu. Sulis mengerjapkan matanya beberapa kali. Ia senang mendengar usulan Ali. Sulis pun duduk dengan posisi anggun di atas ranjang. Ali pun mengambil ponsel is
Ali berusaha menormalkan perasaannya dalam menyikapi Sulis. Sulis memàng sedang sakit, penyakitnya yang dideritanya juga tidak main-main. Oleh karena itu mungkin ia mulai merasa frustasi.Sulis tidak menyadari jika calon suaminya bertopeng dingin dari luar, padahal hatinya begitu hangat. Pada adiknya saja Ali begitu mengkhawatirkannya saat ia sakit. Tak jauh berbeda pada kekasih hatinya, ia merasakan kekhawatiran yang sama. “Sulis, stop overthinking! Kita akan tetap pada rencana awal kita. Kita akan menikah! Kau juga akan ikut pengobatan.”Ali berbicara tegas. Ia tidak suka sikap Sulis yang mendadak melankolis.Sulis terdiam dengan isak yang tertahan dan menggigit bibir bawahnya, “Ali, aku takut gak bisa hamil! Aku perokok berat. Argh, Shit! Aku mungkin tak subur!”Kini Sulis berkata hal lain yang malah memperkeruh suasana. Ali semakin jengkel mendengarnya, “Terus kau mau hubungan kita berakhir begitu saja? Kita batalkan tunangan begitu?”Sulis mengangguk dengan air mata yang bercucu
Ali tertegun saat mendengar kabar dari dokter bahwa kekasihnya harus menjalani beberapa tes kesehatan di antaranya tes darah dan rontgen. Sebelum jatuh pingsan Sulis sempat muntah darah penyebabnya. Kesimpulannya ada bagian organ dalamnya yang terluka dan membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut.Ali merasa bersalah, telah mengabaikan kekasihnya karena masalah sepele. Sederhananya, mungkin jika tidak ada drama cemburu tadi sore mungkin Sulis akan baik-baik saja. Sungguh, Ali menyesali sikapnya yang tidak dewasa. “Argh, maafkan aku Sulis. Aku kadang egois.”Ali bergumam dengan helaan nafas berat. Pria itu berjalan lesu dari ruangan dokter dan pergi menuju ruangan di mana kekasihnya dirawat malam itu. Perlahan Ali membuka pintu ruang rawat inap gadis itu. Tampak Sulis sedang tertidur pulas mungkin karena pengaruh obat. Untuk sementara ia dirawat karena kurang darah. Namun penyebab yang lebih serius belum diketahui. Ali berjalan mendekati kekasihnya. Ia berdiri di depan ranjang hidrolik s
Dua orang pemuda tampan tengah menahan kesal menunggu kekasih mereka yang sibuk memilih gaun. Sudah lebih dari dua jam lamanya mereka berusaha memanjangkan sumbu kesabaran. Rasa panas menjalari punggung mereka karena terlalu lama duduk di sofa.Meskipun pelayan butik itu melayani mereka dengan istimewa, memberikan minuman hingga camilan, tetap saja tak bisa mengusir rasa jenuh mereka. Mereka bahkan sudah memainkan ponsel masing-masing, men scroll media sosial tak jelas untuk membunuh waktu. Nihil! “Lama banget! Mereka ngapain aja sih?” ucap pemuda berhidung bangir yang tak lain Mustafa Ali Basalamah pada pemuda tampan bermata sipit yang tengah duduk di sampingnya, dr Zain. Ali beringsut berdiri lalu merenggangkan tubuhnya beberapa saat karena rasa pegal akibat duduk lumayan lama di sofa berbentuk letter U. Ia pun memutar lehernya hingga menimbulkan bunyi kretek yang membuat dr Zain meringis mendengarnya. dr Zain hanya mendesah pelan mendengar keluhan calon iparnya. Dokter muda itu
“Mala, sini Bude yang gendong Gala!”Bude Ratna menghampiri Malati yang baru saja menyusui bayi tampannya. Malati gegas mengancingkan kancing bajunya kemudian melepas apron menyusui saat Gala terlihat sudah kenyang menyusu. Biasanya bayi yang memiliki garis wajah mirip sekali ayahnya itu tertidur saat merasa perutnya penuh, namun kali ini ia terjaga seakan ingin bermain dengan neneknya.Malati pun menyerahkan Gala pada pangkuan Bude Ratna. Bayi itu tersenyum dan menatap neneknya dengan mata yang bening. Sungguh terlihat menggemaskan.Bude Ratna menyematkan senyuman yang lebar menatap cucunya itu dengan penuh haru. Bukan tanpa alasan, Gala terlahir saat ke dua orang tuanya mengalami kecelakaan yang mengerikan.Atas kehendakNya, mereka semua selamat kendati ayahnya kini harus menjalani pengobatan di luar negeri. Seminggu sudah kepergian Aldino ke Singapura. Terpaksa, Malati mengikhlaskan kepergian suaminya bersama Bude Gendhis, suaminya dan beberapa pengawal pribadi utusan Eyang Waluyo.
“Bulan depan!”Ali menjawab dengan penuh keyakinan pertanyaan ayah Sulis. Setelah acara lamaran selesai, Hendi-Ayah Sulis bertanya pada Ali tentang hubungan putrinya dan Ali sudah sampai sejauh mana. Hal tersebut bukan tanpa alasan, sebab Hendi mengira jika kedatangan keluarga Basalamah itu untuk acara pertunangan. Bukan lamaran menuju pernikahan.Nyatanya, sebelum mereka benar-benar pergi dari kediaman Sulis, Ali memberanikan dirinya, secara langsung ia mengungkapkan rencananya ingin menikahi Sulis sesegera mungkin. Ali berusaha bernegosiasi dengan calon ayah mertuanya, bahwasanya meskipun hubungan mereka belum lama, namun mereka sudah bisa saling memahami karakter masing-masing sehingga ingin segera melangsungkan hubungan mereka ke arah yang serius. Terlebih usia ke duanya telah matang. Sudah sama-sama dewasa.Hendi menatap Sulis sejenak kemudian kembali menggerakan bibirnya. “Nak Ali, Bapak sebagai orang tua sangat bahagia mendengar rencana baik Nak Ali dengan melamar Sulis untuk d
“Ali, kenapa kau belum datang juga? Kenapa juga kau tidak mengangkat telepon dariku? Argh, awas kalau kabur dari acara pertunangan! Aku tak segan memberi perhitungan padamu!” gumam Sulis dengan perasaan yang teramat gelisah. Saat ini Sulis berada di rumahnya di kota Bandung.Hari itu adalah hari bersejarah baginya. Akhirnya Sulis akan dilamar oleh pria tampan dan kaya raya seperti angan-angannya selama ini. Gadis bertubuh jangkung itu berdiri mematung di taman depan rumahnya, menunggu detik-detik kehadiran Ali bersama keluarga besarnya.Ternyata Ali tidak main-main dengan hubungan yang terjalin di antara mereka. Ia serius ingin meminang Sulis. Lamaran Ali sebetulnya ialah waktu yang tepat untuk menentukan kapan waktu pernikahan mereka akan berlangsung. Sebaliknya, Sulis hanya mengira jika lamaran Ali hanyalah pengikat atau tanda keseriusan Ali atas hubungan percintaan mereka. Atau pertunangan biasa.“Sulis, diam bisa gak?” Dari dalam rumah, sang Ibu memanggil putrinya itu dengan suar
Aldino hanya menghela nafas pelan. Ia sebetulnya tak tega jika harus meninggalkan istri dan bayi tampannya yang baru lahir. Namun niatnya sudah bulat. Ia ingin segera sembuh dan tak ingin merepotkan istrinya atau siapapun. Aldino yakin pengobatan medis di luar negeri lebih baik. Oleh karena itu ia menyetujui usulan Eyang Waluyo untuk berobat di Singapura. Aldino akan mengikuti prosedur operasi di sana dan mengikuti terapi hingga kakinya sembuh seperti sedia kala.“Sayang, udah dong! Ini demi kebaikan kita semua.”Aldino mengusap-usap punggung istrinya yang tenggelam di balik dada bidangnya. Mendengar Aldino akan pergi jauh, Putri Melati terlihat murung. Bahkan ia menangis tersedu sedan.Malati bukan tidak ingin suaminya mengikuti pengobatan di rumah sakit luar negeri. Namun ia ingin ikut bersamanya ke negeri yang terkenal dengan patung Merlionnya.Malati dan baby Gala belum bisa berangkat mengingat usia bayi mereka masih belum siap untuk berpergian jauh. Begitupula dengan Malati yang