Afwan, Thor lagi kurang sehat. Novel sebelah upload malam, insyaallah Jangan lupa kasih vote and komen ya reader… Support kalian sangat berarti buat Pie sebagai Author. Hatur Nuhun
Aldino tampil berbeda malam itu. Biasanya ia berpenampilan gagah dengan seragam khas guru yang rapi dan rambut klimis. Namun malam ini, karena malam minggu, Aldino berpenampilan anak muda nan gaul.Aldino memakai kaos yang dibalut kemeja dari luar dan celana jeans robek seperti diparut, sepatu boots lengkap dengan jaket kulit yang membalut tubuh kekarnya yang mirip gapura kabupaten. Tambah lagi, rambutnya dibuat agak acak-acakan, tak beraturan dan asimetris, semakin menambah kesan maskulin.Ia berencana akan pergi bersama kawan-kawannya untuk nongkrong di sebuah cafe mewah yang berada di daerah Puncak. Kebetulan rute jalan yang diambil searah dengan resort di mana Risa merayakan ulang tahunnya. Oleh karena itu ia ingin mengantar Malati terlebih dahulu.“Mas, mau maming-an ya? Ahay!!” goda Mbok Darmi pada Aldino yang sudah berdiri gagah di samping motor sport yang jarang ia pakai.Aldino hanya mengangguk. “Mbok, sepertinya kami akan pulang malam.”Mbok Darmi membelakan matanya ketika
Malati bingung harus menjawab apa. Seseorang mengajaknya berdansa. Jika ia menolak mungkin pria itu mengira jika dirinya sombong. Namun adalah sesuatu yang mustahil ketika menerima ajakan berdansa darinya.Akhirnya Malati membuat sebuah keputusan ia akan menolak ajakan pria itu untuk berdansa.“Maaf, saya tidak bisa berdansa,” tolak Malati, padahal pria itu bukan mengajaknya tetapi mengajak wanita yang berada di belakangnya.Aish, Malati malu rasanya. Ia kepedean. Tak mungkin ada cowok yang mengajak perempuan berhijab berdansa dengannya.Lelaki itu meraih tangan wanita berpenampilan seksi dengan tubuh bak gitar Spanyol. Tak mungkin pria tadi mengajak Malati yang bertubuh bonsai menyerupai ukulele. Meskipun menggunakan topeng, Malati bisa mengenalinya. Dia kakak tingkat yang yang paling cantik. Selain sebagai mahasiswa FK, ia juga seorang model. Sesuatu yang normal, pria tampan bersanding dengan wanita cantik. Untung, Malati memakai topeng setidaknya rasa malunya berkurang sedikit.“U
Malati menengadah, menatap siapa orang yang mengangsurkan sapu tangan kepadanya. Telapak tangannya putih dengan jari jemari yang panjang.“Makasih, aku akan mencuci muka saja,” lirih Malati sembari melengos meninggalkan pemuda tampan dalam balutan tuxedo putih bak pangeran. Ia tak menerima sapu tangan itu.Malati seorang gadis yang dingin. Ia tak mudah didekati siapapun. Erlangga harus mencari cara untuk mendekatinya.“Argh, kenapa kau menolakku, Putri?” ucap Erlangga dengan mendesah pelan.Malati pergi ke toilet dan bercermin di depan wastafel. Ia melepas topengnya dan berkaca. Seketika ia terkejut saat menatap pantulan wajahnya yang aneh. Air matanya setidaknya pasti ikut berkontribusi dalam merusak riasan wajahnya. Namun hanya sepersekian persen.Nyatanya, riasan wajahnya dibuat buruk rupa oleh penata rias tadi. Alisnya dibuat tebal. Blush on yang menyapu pipinya dibuat berbentuk lingkaran dan disapu bukan dengan bubuk blush on tetapi dengan lipstik. Seseorang tengah mengerjainya.
Malati merasa cukup tersentak mendengar ungkapan hati Erlangga. Kata-kata yang provokatif.“Hah?”Malati memasang wajah serius, padahal ia juga sama sekali tak tertarik dengan gombalan receh anak mahasiswa. Ia yakin seratus persen jika Erlangga hanya bercanda karena tak mungkin ia tertarik pada gadis seperti dirinya. Sesuatu hal yang mustahil.Malati teringat perkataan teman Serena. Erlangga sangat selektif memilih teman apalagi kekasih. Andaikata Erlangga menembaknya pasti ada udang di balik batu seperti menjadikan dirinya taruhan.“Canda, Mala. Serius juga gak apa-apa,” katanya dengan kekehan berat. Entah mengapa Erlangga meralat perkataannya, padahal itu bukan gurauan semata. Ia tertarik pada gadis itu yang berbeda dari gadis lainnya.Hanya saja, melihat ekspresi gadis itu di balik topeng, ia mengurungkan niatnya. Sebagai seorang lelaki ia tak boleh terlalu agresif. Ia harus membangun sebuah kedekatan terlebih dahulu. Jika salah langkah, Malati bahkan bisa menjauh dan tak bersedia
Suara berisik berasal dari live musik merambat ke telinga para pengunjung cafe kopi. Aldino ikut berbaur bersama kawan-kawannya menikmati malam minggu yang menyenangkan. Beberapa kawannya ikut menyumbang lagu. Sementara itu Aldino lebih memilih duduk mengobrol dengan sahabatnya Yuda Tarumanegara. Mereka bersahabat semenjak ke duanya dipertemukan di sekolah MA Al Fatma. Aldino kepala sekolah dan Yuda Tarumanegara wakil kepala sekolahnya. Ke dua nya pria dewasa yang masih singlè, memiliki hobi yang sama-menunggangi motor sport tetapi memiliki karakter yang berlawanan. Jika Aldino temperamen maka Yuda lebih penyabar.Sudah lama Aldino tidak ikut bergabung dengan teman-teman dekatnya. Mereka merupakan anggota komunitas motor sport. Aldino mengikuti komunitas itu sejak tiga tahun silam. Namun ia tidak aktif karena sangat sibuk dengan pekerjaannya. Malam itu Malati mengabari dirinya bahwa akan menghadiri acara ulang tahun sahabatnya dan bertepatan pula ia mendapat pesan dari Yuda Tarumane
Sekonyong-konyong Aldino melepas topeng hias yang membingkai wajah Malati. Ia melempar begitu saja topeng itu ke sembarang tempat.“Topeng tak ada guna!” umpatnya dengan penuh penekanan. Kemudian ia memasangkan helm pada gadis itu.“Saya capek! Jadi jangan banyak tingkah!” ucap Aldino membuat Malati merasa seperti seorang gadis yang tengah kelayapan malam hari dan dimarahi bapaknya karena ketahuan.Malati hanya pasrah saja. Di luar dugaan, pernikahan itu tak semudah yang ia bayangkan. Apalagi pernikahan yang didasari rasa saling mencintai. Pernikahan di atas kertas saja cukup rumit saat dijalani.Malati kembali dibonceng motor sport Aldino tanpa membantah sama sekali. Mereka tiba di rumah sekitar pukul satu malam.Seorang security yang berjaga di rumahAldino langsung menyambut kedatangan mereka. Mereka masuk beriringan, Aldino berjalan lebih dulu menuju kamar utama diikuti Malati yang berada di belakangnya.Sebelum tidur Malati mandi air hangat dan langsung memakai piyama tidur. Ia p
Beberapa kali Malati mengusap dadanya yang berdebar kencang. Ia merasa lega akhirnya Erlangga bisa pergi dari kediaman Aldino setelah dibujuk. Entah terbawa angin dari mana Erlangga bisa tiba-tiba terdampar di sana, mengajaknya pergi ke car free day pagi itu.Tentu saja, Malati tak ingin Aldino bertemu dengannya. Setiap berpapasan dengannya, Aldino senantiasa menampakkan ekspresi tak suka padanya dan menganggap jika Malati memiliki hubungan spesial dengannya. Aldino selalu beralasan bahwa Malati harus menghormati pernikahan mereka dengan cara tidak berdekatan dengan lawan jenis.Daripada terjadi keributan dan huru-hara, Malati lebih baik mencari aman dengan membujuk Erlangga untuk pergi dari sana sebelum bertemu dengan Aldino.Usai kepergiannya, Malati buru-buru masuk rumah dan pergi ke kamar utama. Hari itu ia memutuskan untuk pergi ke suatu tempat mumpung hari libur kuliah. Ia mengatakan pada Aldino bahwa ia akan pergi ke rumah kawannya yang berada di Tanah Abang.Padahal pada kenya
Nia memang sosok wanita yang tak mudah terintimidasi. Penampilannya saja seorang wanita namun jiwanya seorang pria. Keputusan-keputusan yang diambil tegas dan sangat berani. Sama sekali tidak ada rasa takut dan gentar!Nia tidak peduli ketika Malati mengancamnya atas tuduhan KDRT dan prostitusi yang dilakukan oleh anak-anaknya. Sebaliknya, ia malah menantang Malati dengan mengancam balik dirinya untuk mengumumkan pernikahan Malati dan Aldino ke publik.Padahal itu adalah poin utama perjanjian di antara Malati dan Aldino. Fakta sebenarnya ialah Aldino tak ingin jika pernikahannya sampai diketahui oleh keluarga Ana, kekasihnya. Jika Nia dan keluarganya hancur maka Malati pun harus ikut hancur bersama mereka. Namun Malati tak kehabisan akal, ia kembali menyanggah ancaman Nia. Saat ini ia akan melawan siapapun yang berusaha mengusik hidupnya.“Baik, Tante. Bagi saya tak masalah jika pernikahan kami bocor ke publik. Mas Aldino sama sekali tak keberatan. Bahkan, kami akan mengadakan acara
Di tempat berbeda, kini pasangan lain pun tengah diberkati kebahagiaan yang luar biasa. Akhirnya setelah hampir setahun lamanya, Aldino kini bisa kembali berjalan. Setelah mengikuti terapi dan pengobatan hingga berbulan-bulan lamanya di Singapura, pria berwajah tampan dan bertubuh bak binaragawan itu akhirnya bisa berjalan normal kembali. Ia sangat bekerja keras selama berada di Singapura.Ia akan pulang dengan memberikan kejutan pada istri tercinta dan putra tampannya yang kini sudah berusia setahun.Hari itu, Malati tengah mengasuh Manggala bermain di ruang bermain yang dibuat khusus, di ruang keluarga kediaman Eyang Waluyo. Cicit tersayang selalu mendapat perhatian lebih dari Eyang buyutnya. Malati dan putra tampannya mendapatkan privilege luar biasa dari Eyang Waluyo hingga keluarga besar lainnya.“Gala! Sini Nak!”Kakek tua yang masih berdiri tegap itu memanggil cicitnya. Meskipun Manggala baru berusia setahun namun anak itu sangat cerdas. Ia sudah bisa berjalan dengan baik dan bi
Ali pun menarik handle pintu kamar pengàntin hingga terbuka. Sulis langsung antusias melihat untuk pertama kali kamar pengàntin yang sangat indah karena dihias sedemikian rupa. “Aa, bagus banget!” Sulis mengedarkan pandangannya ke segala penjuru kamar berukuran presidential suit tersebut. Kamarnya didominasi warna putih dan warna-warna pastel sesuai keinginannya. Matanya berbinar mengamati setiap detail hiasan bebungaan yang berada di atas ranjang. Seketika ia tertawa melihat ada dua ekor angsa yang tergolek di atas ranjang. Angsa yang dibentuk dari selimut berwarna putih. Tangannya terulur mengusap angsa tersebut. “Lucunya! Aku mau foto dulu,”Seketika Sulis mengambil ponselnya lalu memotret ranjang pengàntin yang begitu indah itu dengan senyum yang berseri-seri.“Sini, Aa yang fotoin!” imbuh Ali dari belakang tubuh gadis itu. Sulis mengerjapkan matanya beberapa kali. Ia senang mendengar usulan Ali. Sulis pun duduk dengan posisi anggun di atas ranjang. Ali pun mengambil ponsel is
Ali berusaha menormalkan perasaannya dalam menyikapi Sulis. Sulis memàng sedang sakit, penyakitnya yang dideritanya juga tidak main-main. Oleh karena itu mungkin ia mulai merasa frustasi.Sulis tidak menyadari jika calon suaminya bertopeng dingin dari luar, padahal hatinya begitu hangat. Pada adiknya saja Ali begitu mengkhawatirkannya saat ia sakit. Tak jauh berbeda pada kekasih hatinya, ia merasakan kekhawatiran yang sama. “Sulis, stop overthinking! Kita akan tetap pada rencana awal kita. Kita akan menikah! Kau juga akan ikut pengobatan.”Ali berbicara tegas. Ia tidak suka sikap Sulis yang mendadak melankolis.Sulis terdiam dengan isak yang tertahan dan menggigit bibir bawahnya, “Ali, aku takut gak bisa hamil! Aku perokok berat. Argh, Shit! Aku mungkin tak subur!”Kini Sulis berkata hal lain yang malah memperkeruh suasana. Ali semakin jengkel mendengarnya, “Terus kau mau hubungan kita berakhir begitu saja? Kita batalkan tunangan begitu?”Sulis mengangguk dengan air mata yang bercucu
Ali tertegun saat mendengar kabar dari dokter bahwa kekasihnya harus menjalani beberapa tes kesehatan di antaranya tes darah dan rontgen. Sebelum jatuh pingsan Sulis sempat muntah darah penyebabnya. Kesimpulannya ada bagian organ dalamnya yang terluka dan membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut.Ali merasa bersalah, telah mengabaikan kekasihnya karena masalah sepele. Sederhananya, mungkin jika tidak ada drama cemburu tadi sore mungkin Sulis akan baik-baik saja. Sungguh, Ali menyesali sikapnya yang tidak dewasa. “Argh, maafkan aku Sulis. Aku kadang egois.”Ali bergumam dengan helaan nafas berat. Pria itu berjalan lesu dari ruangan dokter dan pergi menuju ruangan di mana kekasihnya dirawat malam itu. Perlahan Ali membuka pintu ruang rawat inap gadis itu. Tampak Sulis sedang tertidur pulas mungkin karena pengaruh obat. Untuk sementara ia dirawat karena kurang darah. Namun penyebab yang lebih serius belum diketahui. Ali berjalan mendekati kekasihnya. Ia berdiri di depan ranjang hidrolik s
Dua orang pemuda tampan tengah menahan kesal menunggu kekasih mereka yang sibuk memilih gaun. Sudah lebih dari dua jam lamanya mereka berusaha memanjangkan sumbu kesabaran. Rasa panas menjalari punggung mereka karena terlalu lama duduk di sofa.Meskipun pelayan butik itu melayani mereka dengan istimewa, memberikan minuman hingga camilan, tetap saja tak bisa mengusir rasa jenuh mereka. Mereka bahkan sudah memainkan ponsel masing-masing, men scroll media sosial tak jelas untuk membunuh waktu. Nihil! “Lama banget! Mereka ngapain aja sih?” ucap pemuda berhidung bangir yang tak lain Mustafa Ali Basalamah pada pemuda tampan bermata sipit yang tengah duduk di sampingnya, dr Zain. Ali beringsut berdiri lalu merenggangkan tubuhnya beberapa saat karena rasa pegal akibat duduk lumayan lama di sofa berbentuk letter U. Ia pun memutar lehernya hingga menimbulkan bunyi kretek yang membuat dr Zain meringis mendengarnya. dr Zain hanya mendesah pelan mendengar keluhan calon iparnya. Dokter muda itu
“Mala, sini Bude yang gendong Gala!”Bude Ratna menghampiri Malati yang baru saja menyusui bayi tampannya. Malati gegas mengancingkan kancing bajunya kemudian melepas apron menyusui saat Gala terlihat sudah kenyang menyusu. Biasanya bayi yang memiliki garis wajah mirip sekali ayahnya itu tertidur saat merasa perutnya penuh, namun kali ini ia terjaga seakan ingin bermain dengan neneknya.Malati pun menyerahkan Gala pada pangkuan Bude Ratna. Bayi itu tersenyum dan menatap neneknya dengan mata yang bening. Sungguh terlihat menggemaskan.Bude Ratna menyematkan senyuman yang lebar menatap cucunya itu dengan penuh haru. Bukan tanpa alasan, Gala terlahir saat ke dua orang tuanya mengalami kecelakaan yang mengerikan.Atas kehendakNya, mereka semua selamat kendati ayahnya kini harus menjalani pengobatan di luar negeri. Seminggu sudah kepergian Aldino ke Singapura. Terpaksa, Malati mengikhlaskan kepergian suaminya bersama Bude Gendhis, suaminya dan beberapa pengawal pribadi utusan Eyang Waluyo.
“Bulan depan!”Ali menjawab dengan penuh keyakinan pertanyaan ayah Sulis. Setelah acara lamaran selesai, Hendi-Ayah Sulis bertanya pada Ali tentang hubungan putrinya dan Ali sudah sampai sejauh mana. Hal tersebut bukan tanpa alasan, sebab Hendi mengira jika kedatangan keluarga Basalamah itu untuk acara pertunangan. Bukan lamaran menuju pernikahan.Nyatanya, sebelum mereka benar-benar pergi dari kediaman Sulis, Ali memberanikan dirinya, secara langsung ia mengungkapkan rencananya ingin menikahi Sulis sesegera mungkin. Ali berusaha bernegosiasi dengan calon ayah mertuanya, bahwasanya meskipun hubungan mereka belum lama, namun mereka sudah bisa saling memahami karakter masing-masing sehingga ingin segera melangsungkan hubungan mereka ke arah yang serius. Terlebih usia ke duanya telah matang. Sudah sama-sama dewasa.Hendi menatap Sulis sejenak kemudian kembali menggerakan bibirnya. “Nak Ali, Bapak sebagai orang tua sangat bahagia mendengar rencana baik Nak Ali dengan melamar Sulis untuk d
“Ali, kenapa kau belum datang juga? Kenapa juga kau tidak mengangkat telepon dariku? Argh, awas kalau kabur dari acara pertunangan! Aku tak segan memberi perhitungan padamu!” gumam Sulis dengan perasaan yang teramat gelisah. Saat ini Sulis berada di rumahnya di kota Bandung.Hari itu adalah hari bersejarah baginya. Akhirnya Sulis akan dilamar oleh pria tampan dan kaya raya seperti angan-angannya selama ini. Gadis bertubuh jangkung itu berdiri mematung di taman depan rumahnya, menunggu detik-detik kehadiran Ali bersama keluarga besarnya.Ternyata Ali tidak main-main dengan hubungan yang terjalin di antara mereka. Ia serius ingin meminang Sulis. Lamaran Ali sebetulnya ialah waktu yang tepat untuk menentukan kapan waktu pernikahan mereka akan berlangsung. Sebaliknya, Sulis hanya mengira jika lamaran Ali hanyalah pengikat atau tanda keseriusan Ali atas hubungan percintaan mereka. Atau pertunangan biasa.“Sulis, diam bisa gak?” Dari dalam rumah, sang Ibu memanggil putrinya itu dengan suar
Aldino hanya menghela nafas pelan. Ia sebetulnya tak tega jika harus meninggalkan istri dan bayi tampannya yang baru lahir. Namun niatnya sudah bulat. Ia ingin segera sembuh dan tak ingin merepotkan istrinya atau siapapun. Aldino yakin pengobatan medis di luar negeri lebih baik. Oleh karena itu ia menyetujui usulan Eyang Waluyo untuk berobat di Singapura. Aldino akan mengikuti prosedur operasi di sana dan mengikuti terapi hingga kakinya sembuh seperti sedia kala.“Sayang, udah dong! Ini demi kebaikan kita semua.”Aldino mengusap-usap punggung istrinya yang tenggelam di balik dada bidangnya. Mendengar Aldino akan pergi jauh, Putri Melati terlihat murung. Bahkan ia menangis tersedu sedan.Malati bukan tidak ingin suaminya mengikuti pengobatan di rumah sakit luar negeri. Namun ia ingin ikut bersamanya ke negeri yang terkenal dengan patung Merlionnya.Malati dan baby Gala belum bisa berangkat mengingat usia bayi mereka masih belum siap untuk berpergian jauh. Begitupula dengan Malati yang