Ariana terharu melihat kedatangan Malati membesuknya. Ia yang sedikit melankolis langsung menghambur memeluk Malati dan menangis.
“Huwa … makasih, Malati sudah datang menjenguk. Nadira lagi kerja ngambil part time job, kerja sebagai asisten influencer. Aku ditinggal sendiri.”
Ariana berkata dengan isak tangis. Tingkahnya membuat Aldino meringis pelan. Ia tidak suka gadis cengeng!
Aldino lebih memilih duduk dengan memainkan ponselnya sembari menunggu Malati yang mengobrol dengan sepupunya di atas sofa paling ujung.
Malati menenangkan Ariana agar berhenti menangis. Ia tidak perlu khawatir karena merasa sendirian. Ia tahu jika Ariana sedang mengalami trauma akibat minum racun itu.
“Sudah siap?” Aldino bertanya pada istrinya yang saat ini tengah mengenakan jilbabnya. Ia menatap istrinya dengan intens, memperhatikan setiap gerakan kecilnya. Ternyata istri kecilnya begitu pandai bersolek.Dulu ia tidak pernah mengira jika gadis yang terkenal kutu buku itu tidak suka bersolek. Namun ternyata wanita tetaplah wanita yang memang suka bersolek. Malati mengenakan gaun seragam yang berasal dari sekolah karena akan menghadiri acara pesta perpisahan sekolah.Malati menoleh dan menjawab pertanyaan suaminya. “Sudah, Mas,”Malati pun menegakkan tubuhnya dan merapikan peralatan make up nya. Ia pun meraih tas tangan dan berjalan mendekati suaminya.Sisi lain, Aldino tampak gagah dalam balutan kemeja putih yang dibalut dengan kardigan batik. Jika ditanya soal selera fashion tentu saja Aldino sangat menguasainya. Aldino ialah tipikal pria yang suka menjaga penampilannya.“Sayang, ayo!”Aldino menggamit tangan istrinya dan memapahnya menuju lift. Sesekali Aldino menatap pantulan
“Pak Ali, mari bicara di ruangan saya,” ajak dr Wini pada Ali yang tengah menatap adiknya dengan tatapan getir. Ana hanya diam dan sesekali tersenyum saat beberapa perawat menyapanya. Yang paling mengkhawatirkan ialah Ana mengalami delusi saat ini!dr Wini pun mengajak Ali untuk ikut dengannya dan berbicara di ruangannya. Langkah Ali terayun begitu saja mengikutinya. Namun perasaannya terasa berbeda. Ia merasa sesuatu yang buruk menimpa adiknya. Sesuatu yang teramat buruk …Sebelum memasuki ruangannya, dr Wini mengajak Ali berkeliling dan menjelaskan setiap bangsal yang mereka lewati. dr Wini ingin memberikan seputar informasi tentang rumah sakit untuk pasien mental disorder secara umum.Dr Wini menghentikan langkah kakinya. Ia menoleh ke sebelah kanan, me
Ali terlonjak kaget saat melihat siapa wanita yang membunyikan klaksonnya. Pun, suara nyaring dan cemprengnya terdengar familiar di telinga Ali. Wanita menyebalkan yang telah merusak mobil kesayangannya sekaligus ikut kontribusi memasukan adiknya ke tahanan. Selain itu ia bisa mengenal hanya melihat dari siluet tubuhnya dan tentu saja motor sportnya yang berwarna hitam, hond* CBR, sebuah unit motor sport yang biasa ditunggangi wanita.“Sulis!” gumam Ali dengan mendecak pelan. Hanya dengan menyebut namanya darahnya seakan berdesir hebat. Bukan karena perasaan suka namun benci hingga ke sumsum tulang belakang. Amarah segera mengaliri aliran darahnya.Dengan menahan amarah, Ali mengabaikan bunyi klaksonnya. Sengaja, atas kesadaran penuh, ia tidak melajukan kendaraannya. Ia mengubah niatnya. Sebaliknya, ia membiarkan kendaraannya melintang dan menghalangi motor Sulis.Melupakan sejenak kesedihan soal adiknya, pria dewasa itu tersenyum miring. Ia akan membuat perhitungan pada gadis berpenam
Satu per satu agenda acara perpisahan usai. Mulai dari pembukaan, sambutan hingga acara inti, proses WISUDA dan pembagian ijazah. Para tamu undangan pun mulai mencicipi makanan. Hanya saja, Aldino lebih dulu keluar dari acara perpisahan. Pria itu merasa iba pada istrinya yang sedang hamil. Ia takut istrinya merasa pegal dan letih. Ia begitu memahami istrinya mengingat Malati tidak pernah mengeluh. Pasti, Malati tengah merasa pegal dan ingin berbaring.Seketika pikiran Aldino bertravelling ria. ‘Kalau kegiatan tadi bikin cape gak ya? Tapi istri imutku menikmatinya,’Aldino mengulum senyum mengingat kegiatan panasnya tadi pagi bersama Malati.“Sayang, ayo kita pulang!”Aldino meraih lengan istrinya yang tengah mengobrol dengan Linda. Sontak ke dua wanita tersebut menoleh. “Bu Malati mau pulang ya?” tanya Linda kepo. Ia tak rela saja Malati cepat pulang. Rasanya ia ingin berlama-lama mengobrol dengan muridnya tersebut. Ia senang sekarang Malati terlihat lebih ceria dan bisa mengobrol de
“Mala, please! Jangan salah paham ya! Mas sudah melupakannya. Mas cuma belum membuang fotonya.” Aldino memegangi pundak istrinya dan menenggelamkan kepalanya pada pundaknya. Malati tidak menyahut. Wajahnya datar. Pikirannya tenggelam pada kotak beludru berwarna hitam itu. Karena ia diberkati memory yang tajam, ia bisa merekam apapun di dalamnya.Bagaimanapun, Malati seorang wanita yang normal, emosional apalagi ia sedang hamil. Melihat barang-barang milik mantan kekasih suaminya yang masih disimpannya, membuatnya merasa cemburu. Otak kecilnya menyimpulkan bahwa ketika barang itu masih tersimpan berarti sebenarnya Aldino masih menyimpan perasaannya pada Ana. Hanya saja ia pandai menutupinya. Begitulah pikiran buruk menyelinap masuk ke dalam otaknya.Di dalam kotak beludru itu, ada beberapa foto mereka yang
Baiklah, kali ini Aldino akan membiarkan istrinya. Tak mudah bagi Putri Melati. Mungkin Aldino juga pasti akan merasakan perasaan yang sama seperti dirinya ketika berada di posisi yang sama.Aldino dan Malati sudah pulang sore itu. Mengabaikan suaminya, Malati lebih dulu masuk ke dalam kamar. Di sana ia langsung mandi dan berganti pakaian. Kemudian Aldino pun menyusulnya, mandi dan berganti pakaian. Hingga jadwal makan malam, mereka hanya diam. Tidak ada satupun yang bicara.Hal tersebut begitu menyiksa Aldino. Aldino tidak suka diabaikan. Ia tak suka Malati mendiamkannya. Ia ingin protes tetapi ia menahan diri. Ia tidak ingin ada ketegangan dalam rumah tangganya hanya karena masalah sepele.Aldino sudah lebih dewasa dari segi usia dan pengalaman hidup, oleh karena itu ia ak
Akhirnya Malati dan Aldino berdamai. Kini mereka menjalani hari-hari seperti biasa sebagai sepasang suami istri yang normal. Mereka menikmati detik-detik sebagai calon ayah dan Ibu muda.“Mala, yakin gak mau pergi ke Jepang, Korea atau mungkin Turki?”Aldino kembali menanyakan soal rencana mereka untuk berbulan madu. Setelah berdiskusi, Malati justru memilih ingin pergi ke Jogja sekalian pergi ke Salatiga mengunjungi Eyang Waluyo. Malati ingin menikmati momen honeymoon dengan keluarga besar Aldino yang begitu baik dan menyayanginya dengan tulus.Malati tampak sedang berpikir keras. “Mas, sebetulnya aku ingin keliling Eropa. Melihat banyak tempat wisata menarik. Melihat Colosseum, Menara Eiffel, museum, Stonehenge dan banyak tempat lainnya. Tapi …”Malati menghela nafas pelan sesaat ia menurunkan pandangannya pada perutnya yang membuncit. Ia mulai merasa cepat letih, sesak dan pegal semenjak usia kandungannya menginjak tujuh bulan. Pilihan honeymoon adalah Jogja.Aldino pun memahami ha
Sore itu, Malati tengah duduk dan melihat-lihat katalog desain interior rumah dan kamar. Ia sedang memilih desain kamar yang cocok untuk anak mereka. Sebelum berangkat honeymoon, ia ingin merenovasi kamar calon bayinya tersebut terlebih dahulu.Sebelumnya kamar calon bayinya hanya baru dicat. Ia memiliki ide untuk mengecat ulang dengan tema kekinian. Selain itu, mereka bersepakat untuk menaruh beberapa furniture yang langsung dirakit di sana dan membuat arena bermain di dalamnya.Sembari membuka helai demi helai katalog, Malati berkata pada suaminya. “Mas, aku mau yang ini model kamarnya? Biru, ada awan, laut. Mas suka kan??”Malati menunjukan salah satu foto kamar bernuansa biru laut dan konsep bajak laut.Pada
Di tempat berbeda, kini pasangan lain pun tengah diberkati kebahagiaan yang luar biasa. Akhirnya setelah hampir setahun lamanya, Aldino kini bisa kembali berjalan. Setelah mengikuti terapi dan pengobatan hingga berbulan-bulan lamanya di Singapura, pria berwajah tampan dan bertubuh bak binaragawan itu akhirnya bisa berjalan normal kembali. Ia sangat bekerja keras selama berada di Singapura.Ia akan pulang dengan memberikan kejutan pada istri tercinta dan putra tampannya yang kini sudah berusia setahun.Hari itu, Malati tengah mengasuh Manggala bermain di ruang bermain yang dibuat khusus, di ruang keluarga kediaman Eyang Waluyo. Cicit tersayang selalu mendapat perhatian lebih dari Eyang buyutnya. Malati dan putra tampannya mendapatkan privilege luar biasa dari Eyang Waluyo hingga keluarga besar lainnya.“Gala! Sini Nak!”Kakek tua yang masih berdiri tegap itu memanggil cicitnya. Meskipun Manggala baru berusia setahun namun anak itu sangat cerdas. Ia sudah bisa berjalan dengan baik dan bi
Ali pun menarik handle pintu kamar pengàntin hingga terbuka. Sulis langsung antusias melihat untuk pertama kali kamar pengàntin yang sangat indah karena dihias sedemikian rupa. “Aa, bagus banget!” Sulis mengedarkan pandangannya ke segala penjuru kamar berukuran presidential suit tersebut. Kamarnya didominasi warna putih dan warna-warna pastel sesuai keinginannya. Matanya berbinar mengamati setiap detail hiasan bebungaan yang berada di atas ranjang. Seketika ia tertawa melihat ada dua ekor angsa yang tergolek di atas ranjang. Angsa yang dibentuk dari selimut berwarna putih. Tangannya terulur mengusap angsa tersebut. “Lucunya! Aku mau foto dulu,”Seketika Sulis mengambil ponselnya lalu memotret ranjang pengàntin yang begitu indah itu dengan senyum yang berseri-seri.“Sini, Aa yang fotoin!” imbuh Ali dari belakang tubuh gadis itu. Sulis mengerjapkan matanya beberapa kali. Ia senang mendengar usulan Ali. Sulis pun duduk dengan posisi anggun di atas ranjang. Ali pun mengambil ponsel is
Ali berusaha menormalkan perasaannya dalam menyikapi Sulis. Sulis memàng sedang sakit, penyakitnya yang dideritanya juga tidak main-main. Oleh karena itu mungkin ia mulai merasa frustasi.Sulis tidak menyadari jika calon suaminya bertopeng dingin dari luar, padahal hatinya begitu hangat. Pada adiknya saja Ali begitu mengkhawatirkannya saat ia sakit. Tak jauh berbeda pada kekasih hatinya, ia merasakan kekhawatiran yang sama. “Sulis, stop overthinking! Kita akan tetap pada rencana awal kita. Kita akan menikah! Kau juga akan ikut pengobatan.”Ali berbicara tegas. Ia tidak suka sikap Sulis yang mendadak melankolis.Sulis terdiam dengan isak yang tertahan dan menggigit bibir bawahnya, “Ali, aku takut gak bisa hamil! Aku perokok berat. Argh, Shit! Aku mungkin tak subur!”Kini Sulis berkata hal lain yang malah memperkeruh suasana. Ali semakin jengkel mendengarnya, “Terus kau mau hubungan kita berakhir begitu saja? Kita batalkan tunangan begitu?”Sulis mengangguk dengan air mata yang bercucu
Ali tertegun saat mendengar kabar dari dokter bahwa kekasihnya harus menjalani beberapa tes kesehatan di antaranya tes darah dan rontgen. Sebelum jatuh pingsan Sulis sempat muntah darah penyebabnya. Kesimpulannya ada bagian organ dalamnya yang terluka dan membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut.Ali merasa bersalah, telah mengabaikan kekasihnya karena masalah sepele. Sederhananya, mungkin jika tidak ada drama cemburu tadi sore mungkin Sulis akan baik-baik saja. Sungguh, Ali menyesali sikapnya yang tidak dewasa. “Argh, maafkan aku Sulis. Aku kadang egois.”Ali bergumam dengan helaan nafas berat. Pria itu berjalan lesu dari ruangan dokter dan pergi menuju ruangan di mana kekasihnya dirawat malam itu. Perlahan Ali membuka pintu ruang rawat inap gadis itu. Tampak Sulis sedang tertidur pulas mungkin karena pengaruh obat. Untuk sementara ia dirawat karena kurang darah. Namun penyebab yang lebih serius belum diketahui. Ali berjalan mendekati kekasihnya. Ia berdiri di depan ranjang hidrolik s
Dua orang pemuda tampan tengah menahan kesal menunggu kekasih mereka yang sibuk memilih gaun. Sudah lebih dari dua jam lamanya mereka berusaha memanjangkan sumbu kesabaran. Rasa panas menjalari punggung mereka karena terlalu lama duduk di sofa.Meskipun pelayan butik itu melayani mereka dengan istimewa, memberikan minuman hingga camilan, tetap saja tak bisa mengusir rasa jenuh mereka. Mereka bahkan sudah memainkan ponsel masing-masing, men scroll media sosial tak jelas untuk membunuh waktu. Nihil! “Lama banget! Mereka ngapain aja sih?” ucap pemuda berhidung bangir yang tak lain Mustafa Ali Basalamah pada pemuda tampan bermata sipit yang tengah duduk di sampingnya, dr Zain. Ali beringsut berdiri lalu merenggangkan tubuhnya beberapa saat karena rasa pegal akibat duduk lumayan lama di sofa berbentuk letter U. Ia pun memutar lehernya hingga menimbulkan bunyi kretek yang membuat dr Zain meringis mendengarnya. dr Zain hanya mendesah pelan mendengar keluhan calon iparnya. Dokter muda itu
“Mala, sini Bude yang gendong Gala!”Bude Ratna menghampiri Malati yang baru saja menyusui bayi tampannya. Malati gegas mengancingkan kancing bajunya kemudian melepas apron menyusui saat Gala terlihat sudah kenyang menyusu. Biasanya bayi yang memiliki garis wajah mirip sekali ayahnya itu tertidur saat merasa perutnya penuh, namun kali ini ia terjaga seakan ingin bermain dengan neneknya.Malati pun menyerahkan Gala pada pangkuan Bude Ratna. Bayi itu tersenyum dan menatap neneknya dengan mata yang bening. Sungguh terlihat menggemaskan.Bude Ratna menyematkan senyuman yang lebar menatap cucunya itu dengan penuh haru. Bukan tanpa alasan, Gala terlahir saat ke dua orang tuanya mengalami kecelakaan yang mengerikan.Atas kehendakNya, mereka semua selamat kendati ayahnya kini harus menjalani pengobatan di luar negeri. Seminggu sudah kepergian Aldino ke Singapura. Terpaksa, Malati mengikhlaskan kepergian suaminya bersama Bude Gendhis, suaminya dan beberapa pengawal pribadi utusan Eyang Waluyo.
“Bulan depan!”Ali menjawab dengan penuh keyakinan pertanyaan ayah Sulis. Setelah acara lamaran selesai, Hendi-Ayah Sulis bertanya pada Ali tentang hubungan putrinya dan Ali sudah sampai sejauh mana. Hal tersebut bukan tanpa alasan, sebab Hendi mengira jika kedatangan keluarga Basalamah itu untuk acara pertunangan. Bukan lamaran menuju pernikahan.Nyatanya, sebelum mereka benar-benar pergi dari kediaman Sulis, Ali memberanikan dirinya, secara langsung ia mengungkapkan rencananya ingin menikahi Sulis sesegera mungkin. Ali berusaha bernegosiasi dengan calon ayah mertuanya, bahwasanya meskipun hubungan mereka belum lama, namun mereka sudah bisa saling memahami karakter masing-masing sehingga ingin segera melangsungkan hubungan mereka ke arah yang serius. Terlebih usia ke duanya telah matang. Sudah sama-sama dewasa.Hendi menatap Sulis sejenak kemudian kembali menggerakan bibirnya. “Nak Ali, Bapak sebagai orang tua sangat bahagia mendengar rencana baik Nak Ali dengan melamar Sulis untuk d
“Ali, kenapa kau belum datang juga? Kenapa juga kau tidak mengangkat telepon dariku? Argh, awas kalau kabur dari acara pertunangan! Aku tak segan memberi perhitungan padamu!” gumam Sulis dengan perasaan yang teramat gelisah. Saat ini Sulis berada di rumahnya di kota Bandung.Hari itu adalah hari bersejarah baginya. Akhirnya Sulis akan dilamar oleh pria tampan dan kaya raya seperti angan-angannya selama ini. Gadis bertubuh jangkung itu berdiri mematung di taman depan rumahnya, menunggu detik-detik kehadiran Ali bersama keluarga besarnya.Ternyata Ali tidak main-main dengan hubungan yang terjalin di antara mereka. Ia serius ingin meminang Sulis. Lamaran Ali sebetulnya ialah waktu yang tepat untuk menentukan kapan waktu pernikahan mereka akan berlangsung. Sebaliknya, Sulis hanya mengira jika lamaran Ali hanyalah pengikat atau tanda keseriusan Ali atas hubungan percintaan mereka. Atau pertunangan biasa.“Sulis, diam bisa gak?” Dari dalam rumah, sang Ibu memanggil putrinya itu dengan suar
Aldino hanya menghela nafas pelan. Ia sebetulnya tak tega jika harus meninggalkan istri dan bayi tampannya yang baru lahir. Namun niatnya sudah bulat. Ia ingin segera sembuh dan tak ingin merepotkan istrinya atau siapapun. Aldino yakin pengobatan medis di luar negeri lebih baik. Oleh karena itu ia menyetujui usulan Eyang Waluyo untuk berobat di Singapura. Aldino akan mengikuti prosedur operasi di sana dan mengikuti terapi hingga kakinya sembuh seperti sedia kala.“Sayang, udah dong! Ini demi kebaikan kita semua.”Aldino mengusap-usap punggung istrinya yang tenggelam di balik dada bidangnya. Mendengar Aldino akan pergi jauh, Putri Melati terlihat murung. Bahkan ia menangis tersedu sedan.Malati bukan tidak ingin suaminya mengikuti pengobatan di rumah sakit luar negeri. Namun ia ingin ikut bersamanya ke negeri yang terkenal dengan patung Merlionnya.Malati dan baby Gala belum bisa berangkat mengingat usia bayi mereka masih belum siap untuk berpergian jauh. Begitupula dengan Malati yang