Terik matahari pagi bersinar begitu cerah. Namun, tidak dengan Lunar yang bangun dengan perasaan murung, bahkan sampai dia sudah membersihkan diri tetap saja raut wajahnya seperti itu. Bukan karena tidak ada Bumi di sampingnya, toh dia sudah biasa mengalami hal itu. Hanya saja, dia sedih setelah pembicaraannya dengan Bumi semalam. Lelaki itu tidak menjawab pertanyaannya, malah pergi setelah mengelus kepalanya. "Apa baginya seorang anak hanya sebagai pengukuh kedudukan? Apakah dia bisa menyayangi anak yang lahir dari rahimku?" serunya dengan sendu. Tok ... tok ... tok ... "Lunar, kamu sudah bangun?"Itu bukan suara Bibi, tetapi suara pria yang sudah menjadi tetangganya. Entah bagaimana lelaki itu bisa keluar masuk unitnya begitu saja. "Ada apa, Langit?" tanya Lunar dengan wajah kesal. "Sudah waktunya sarapan, ayo!" ajak pria itu memegang bahu kakak iparnya dan membawa perempuan itu menuju ke ruang makan. Di sana sudah ada Bibi yang menata makanan. Banyak sekali makanan yang ada d
Berita tentang Lunar seorang perempuan jalang masih tersebar di media sosial. Orang yang pertama kalinya bertanya keadaannya adalah Langit. Ya, seseorang yang tadi pagi menghubunginya bukan Bumi, tetapi adik iparnya. "Maafkan aku atas kejadian ini, Lunar. Aku tidak berpikir Kak Clara akan melakukan hal selicik ini," seru Langit yang sedari tadi meminta maaf. "Andai saja aku bisa konfirmasi kalau ... ."Lunar segera menatap adik iparnya. "Kamu mau bilang kalau sebenarnya aku istri rahasia Mas Bumi atau mau mengakui aku istri kii lagi?"Perasaan masih kurang baik, jadi dia akan sensitif dengan hal-hal yang kurang terdengar nyaman di telinganya. "Bukan begitu! Sebenarnya aku mau mengakui kalau kamu hamil anak temanku dan mengatakan seperti itu agar Kak Clara menjauhiku! Dengan begitu serangan pasti akan berbalik padanya!" balas Langit dengan lirih. "Mana mungkin Mas Bumi mengijinkan kamu melakukannya? Dia pasti tidak mau kalau Mbak Clara malu apalagi sampai karirnya hancur! Berbeda de
Seperti biasa Bumi akan terdiam jika Lunar mulai bertanya tentang hal yang cukup serius bagi perempuan itu. Bahkan Lunar yakin bahwa sebentar lagi suaminya pasti akan menghindar lalu pergi. "Tidak apa Mas tidak bisa menjawabnya. Aku sadar kalau pernikahan kita hanyalah sebuah rahasia dan tidak ada perasaan apa pun di dalamnya! Jadi, dengan Mas menyayangi anak kita sudah lebih dari cukup," katanya dengan senyum paksa. "Kamu yakin?" seru Bumi saat istrinya melanjutkan makan. "Apakah selama ini tidak ada satu pun tindakanku yang menunjukkan bagaimana perasaanku padamu sebenarnya?" Tatapan Bumi begitu intens pada perempuan yang melihatnya. Menurut lelaki itu, apa yang selama ini dia lakukan sudah cukup menjadi bukti apa yang dia rasakan pada Lunar. Dia lupa kalau istrinya sama seperti perempuan lain yang juga butuh sebuah ucapan, bukan hanya tindakan. "Tindakan Maw Bumi yang mana? Banyak sekali tindakan yang Mas lakukan padaku. Apalagi akhir-akhir ini Mas yang sering keluar masuk apar
"Enak, ternyata kamu pintar masak juga!" ucap seorang wanita paruh baya. Lunar yang berada di depannya merasa ketar-ketir dengan keringat dingin di dahinya. Sesekali netra perempuan itu melirik pada Langit yang terlihat tenang dan santai menikmati makanan di atas meja. Sangat berbeda dengannya yang bahkan untuk menyuap, memegang sendok saja sudah gemetar. "Kenapa kamu tidak makan? Mau makanan lain?" tanya Nyonya Della pada Lunar yang tersenyum begitu kaku. "Atau kamu takut padaku?"Ingin sekali perempuan itu menjawab 'ya' tetapi dia memilih untuk berbohong dengan menggelengkan kepalanya. "Kalau begitu makanlah! 'Kan kamu yang masak," kata wanita paruh baya itu sambil kembali menikmati makanan di depannya. Lunar pun ikut memakan capcay, sosis serta sedikit nasi. Tak lama kemudian, Langit datang membawa dessert berupa salad buah yang sering pria itu buatkan untuknya. "Kamu harus banyak makan-makanan sehat," seru Langit dengan perhatian. Semua itu tidak luput dari padangan Nyonya D
Tatapan demi tatapan diterima oleh Lunar yang masih merasa gemetar, hingga sebuah tangan menyentuh lengannya. "Jangan terlalu mendesaknya! Aku yang salah dan aku akan menyelesaikannya tanpa melibatkan Papa dan Bang Bumi! Toh, dunia tidak pernah tahu kalau aku adalah bagian dari kalian!" seru Langit menyembunyikan tubuh Lunar di belakang tubuhnya. "Langit, apa yang kamu lakukan?!" bisik perempuan itu dengan pelan. Pria itu menoleh sedikit. "Diamlah, Lunar. Kamu belum kenal siapa pria di depan ini!""Tetapi Lang, aku ... ."Lunar menghentikan ucapannya karena mendengar perkataan dari Tuan Mahendra pada sang anak bungsu. "Kamu begitu membelanya, Langit! Apakah kamu mulai menyukai istri orang lain?" seru Tuan Mahendra dengan senyum mencibir. "Bukan masalah suka atau tidak, Tuan Mahendra! Saya membelanya karena memang saya yang salah! Saya yang refleks mengatakan bahwa Lunar adalah istri saya! Jadi, semua kesalahan adalah ulah saya dan tentu saja orang yang menyebarkannya! Saya sudah
"Mas," panggil Lunar saat sedang menikmati makanan yang baru saja dibelinya. Saat ini mereka sudah kembali ke apartemen dan perempuan itu makan di rumah tamu dengan Bumi yang tiduran di sofa panjang. "Hm, ada yang masih kamu inginkan?" tanya lelaki itu sambil mengubah posisi menjadi duduk. Lunar menggelengkan kepalanya. "Bukan, hanya saja ... kenapa tadi Mas Bumi tidak menelfon balik Mbak Clara? Mungkin dia sedang khawatir pada Mas."Ya, tadi setelah panggilan dari Clara, Lunar membiarkan ponsel milik sang suami terus berdering. Sampai lelaki itu kembali ke dalam mobil, dia pun mengatakan bahwa istri pertamanya menelfon. Lunar pikir Bumi akan menelfonnya balik, ternyata malah sebaliknya. "Hanya tidak ingin. Cepat habiskan makanmu, setelah itu istirahat!" kata Bumi memilih bermain ponsel. Seketika mata perempuan itu membola mengingat sesuatu. Dilihatnya sang suami dengan perasaan berkecamuk. "Mas, bukankah Tante Della menginap di tempat Langit? Kalau dia tahu Mas di sini, dia pas
Tidak mau menuruti ucapan suaminya, Lunar berusaha melepas belitan sang suami yang begitu erat. "Mas, jangan macam-macam! Aku mau masak!" kata Lunar yang melotot pada lelaki di depannya. Bukannya menurut pada sang istri, Bumi mengangkat tubuh perempuan itu hingga berbaring di atas ranjang. Dan Bumi berada di atas tubuh Lunar dengan menatap wajah cantik perempuan yang mengandung anaknya. "Kenapa akhir-akhir ini kamu lebih sering melawan? Hm? Padahal, dulunya kamu selalu menurut padaku," seru lelaki yang bertumpu pada kedua sikunya. "Kalau aku bilang karena ingin Mas lebih adil, bolehkah? Tetapi aku sadar bahwa harusnya aku sadar diri. Aku hanyalah istri rahasia yang bukan menjadi utama seperti dalam novel ataupun film. Aku istri rahasia yang harus sadar diri dan posisi meski aku sudah memberikan sesuatu yang sangat Mas inginkan!" papar Lunar dengan sendu serta mengalihkan pandangan dari tatapan suaminya. Perasaan Bumi jadi tidak karuan saat melihat istrinya seperti itu. Dia mengub
"Bagaimana, Nona Lunar? Kamu mau 'kan membujuk Langit untuk diam dan tinggal menerima keputusanku untuk mengakuinya di depan publik?" tanya Tuan Mahendra sekali lagi pada perempuan di depannya. Lunar balik menatap pria di depannya dengan bingung. Memang, dia akan mendapatkan apa yang diinginkannya selama ini, tetapi Langit bukanlah orang yang akan menurutinya seperti kata Tuan Mahendra. Belum lagi, pasti pria itu akan menjauhinya. Tidak, Lunar tidak bisa membiarkan semua itu terjadi. Bukan karena menyukai adik iparnya, tetapi dia nyaman dengan keberadaan pria itu. "Maaf, saya tidak bisa menerima tawaran anda, Tuan. Walaupun jujur sangat menggiurkan, hanya saja saya tidak mau membuat Langit kecewa pada saya. Sekali lagi, maaf," sahutnya dengan sopan. "Kamu menolak hanya karena tidak mau Langit kecewa? Ataukah karena kamu punya alasan lain, Nona?" tanya lagi pria paruh baya itu dengan menuntut. Lunar ditatap begitu merasa sedikit gemetar, hingga dia berucap, "Memangnya saya punya al