Tidak mau menuruti ucapan suaminya, Lunar berusaha melepas belitan sang suami yang begitu erat. "Mas, jangan macam-macam! Aku mau masak!" kata Lunar yang melotot pada lelaki di depannya. Bukannya menurut pada sang istri, Bumi mengangkat tubuh perempuan itu hingga berbaring di atas ranjang. Dan Bumi berada di atas tubuh Lunar dengan menatap wajah cantik perempuan yang mengandung anaknya. "Kenapa akhir-akhir ini kamu lebih sering melawan? Hm? Padahal, dulunya kamu selalu menurut padaku," seru lelaki yang bertumpu pada kedua sikunya. "Kalau aku bilang karena ingin Mas lebih adil, bolehkah? Tetapi aku sadar bahwa harusnya aku sadar diri. Aku hanyalah istri rahasia yang bukan menjadi utama seperti dalam novel ataupun film. Aku istri rahasia yang harus sadar diri dan posisi meski aku sudah memberikan sesuatu yang sangat Mas inginkan!" papar Lunar dengan sendu serta mengalihkan pandangan dari tatapan suaminya. Perasaan Bumi jadi tidak karuan saat melihat istrinya seperti itu. Dia mengub
"Bagaimana, Nona Lunar? Kamu mau 'kan membujuk Langit untuk diam dan tinggal menerima keputusanku untuk mengakuinya di depan publik?" tanya Tuan Mahendra sekali lagi pada perempuan di depannya. Lunar balik menatap pria di depannya dengan bingung. Memang, dia akan mendapatkan apa yang diinginkannya selama ini, tetapi Langit bukanlah orang yang akan menurutinya seperti kata Tuan Mahendra. Belum lagi, pasti pria itu akan menjauhinya. Tidak, Lunar tidak bisa membiarkan semua itu terjadi. Bukan karena menyukai adik iparnya, tetapi dia nyaman dengan keberadaan pria itu. "Maaf, saya tidak bisa menerima tawaran anda, Tuan. Walaupun jujur sangat menggiurkan, hanya saja saya tidak mau membuat Langit kecewa pada saya. Sekali lagi, maaf," sahutnya dengan sopan. "Kamu menolak hanya karena tidak mau Langit kecewa? Ataukah karena kamu punya alasan lain, Nona?" tanya lagi pria paruh baya itu dengan menuntut. Lunar ditatap begitu merasa sedikit gemetar, hingga dia berucap, "Memangnya saya punya al
Bumi melihat pada adiknya sambil mengunyah, sedangkan istrinya menatap Langit dengan manta mendelik tajam. "Untuk apa Papa ke sini?" tanya lelaki itu. Langit mengangkat kedua bahunya. "Tanya saja pada Lunar. Saat aku menghampirinya, dia bengong di depan pintu."Seketika Bumi melihat pada Lunar yang juga melihatnya. "Kenapa Papa ke sini? Tidak mungkin karena dia curiga pada kita 'kan?""Tidak!" jawab perempuan itu. "Tuan Mahendra hanya membalas tentang Langit, bukan Mas Bumi."Ada sedikit rasa kecewa dalam diri Lunar yang merasa suaminya tidak mau dan tidak akan mengijinkan keluarganya tahu tentang hubungan mereka. "Baguslah kalau begitu."Seketika Lunar ingin menangis mendengar ucapan suaminya yang terkesan tidak mau mengakuinya. Namun, sekuat tenaganya perempuan itu berusaha bersikap bisa saja agar suaminya tidak tahu dia bersedih. Sayangnya, semua itu tidak luput dari pandangan Langit yang menghela nafas pelan. Dia kasihan pada kakak iparnya yang tidak bisa diakui oleh banyak or
Lunar menatap adik iparnya dengan bingung. Tadi suaminya bilang kalau Langit dibegal, sekarang pria itu malah bilang tidak dibegal. Bagaimana bisa dia bilang begitu, padahal jelas-jelas Langit babak belur dan ponselnya diambil orang. Lunar jadi berpikir bahwa dugaannya teh yang kejadian tersebut direncanakan bisa saja benar. "Lang, bagaimana bisa kamu tidak dibegal?! Jelas-jelas kamu babak belur dan barangmu diambil orang!" serunya dengan dahi mengerut. Langit meringis pelan, lalu menyentuh bagian belakang tubuhnya. "Dompetku masih ada, tetapi ponselku hilang!""Mungkinkah orang-orang itu hanya mengincar ponselmu? Lalu berusaha menjebak Lunar?" kata Bumi dengan wajah datarnya. Lunar melihat pada Langit untuk menunggu jawaban dari pria itu. Dia yakin bahwa Langit pasti tahu sesuatu. "Aku tidak dibegal. Orang-orang itu bilang kalau ada orang yang menyuruh untuk mencelakaiku dan setelahnya akan membuat Lunar sengsara. Aku sudah punya tebakan siapa orangnya. Namun, aku tidak bisa bila
"Selamat pagi, Lunar," sapa Langit yang sudah duduk di meja makan. Lunar baru keluar dari kamarnya dan cukup senang karena sepertinya sang adik ipar sudah dalam keadaan baik-baik saja. "Kalau kamu sudah sembuh, jangan menginap di sini lagi!" Bukan Lunar yang bilang, tetapi Bumi yang datang setelah istrinya duduk di kursi-meja makan. Lalu dia menerima piring yang sudah tersaji makanan di atasnya. "Ayolah, Abang jangan bersikap seperti lelaki pecemburu begitu. Tidak kasihan dengan Lunar yang nanti berharap?!" cibir Langit pada sang Kakak yang menyebalkan. "Jangan bawa-bawa aku dalam masalah kalian!" protes Lunar yang kesal dengan perdebatan dua bersaudara itu. Bumi merasa bahwa sang istri mendukungnya, sehingga dia tersenyum mengejek pada Langit. "See? Istriku tidak suka kamu jadikan alasan agar kamu tetap di sini! Jadi, nanti kamu pulang saja ke unitmu!" usir Bumi pad adiknya. Langit mengerucutkan bibirnya. "Nanti aku memang mau keluar!""Ke mana?" tanya Lunar dan Langit secara
Lunar menatap Ibu dari suaminya tanpa berkedip. "Kenapa saya harus bercerai dengan suamis aya, Tante?""Biar kamu bisa sama Langit atau sama Bumi. Itu pun kalau kamu mau sama dia," seru Nyonya Della sambil terkekeh dengan pelan. "Tante sungguh ingin sekali punya menantu sepertimu, Lun."Betapa senangnya hati Lunar mendengar bahwa Nyonya Mahendra ingin menjadikannya menantu. Padahal, dia sudah jadi menantunya, meski hanya menantu rahasia. Namun, di sisi lain perempuan itu takut kalau nanti Nyonya Della kecewa dengannya setelah tahu apa yanu terjadi antara dirinya dan Bumi. "Jadi, kamu sungguh tidak bisa bercerai dengan suamimu?" tanya Ibu Bumi dengan serius. Gelengan diberikan oleh Lunar. "Tidak bisa, Tan. Apalagi aku sedang hamil anak suamiku. Jadi, mana mungkin aku bercerai darinya. Lagipula, Tante terlalu berlebihan memuji. Aku ini hanya perempuan biasa dan masih banyak perempuan lain yang pantas menjadi menantu keluarga Mahendra. Seperti Nyonya Clara, misalnya.""Ish, dia hanya b
Setelah cukup lama berada di tempat Lunar, akhirnya Nyonya Della diajak pergi ke unit putranya. Entah kenapa Langit melakukan hal itu, sehingga tak lama kemudian Bumi datang dengan membawa bungkusan dengan logo rumah makan terkenal. "Makanlah. sebagai gantinya kamu harus membuatkanku makanan," kata Bumi dengan santai seraya duduk di ruang tamu. Lunar mengerucutkan bibirnya karena dia sedang malas untuk masak. Sehingga dia pun teringat bahwa masih ada kue yang tadi dia buat. "Aku tadi buat kue brownies. Mas Bumi mau?" tawarnya pada sang suami. Lelaki itu menoleh, lalu berkata, "Boleh. Tetapi aku juga mau makan nasi dengan tempe bacem dan sayur sop yang diberi pentol dan sosis."Mulut Lunar menganga tidak percaya dengan permintaan suaminya. Bagaimana bisa suaminya yang biasa hidup hedon mintanya masak makanan sederhana? Mungkinkah jika lelaki itu sudah tertular hidup sederhana dari perempuan itu?"Kenapa kamu malah melamun, Lunar? Apa bahan makannya tidak ada? Atau perlu aku minta Bi
Lunar menatap gadis di depannya yang terus tersenyum padahal dia sudah penasaran dengan kabar baik dimaksud oleh Anya. "Bagaimana kalau ngobrolnya sambil makan malam?" seru Tian memberi masukan. Si pemilik unit setuju dan mengajak kedua tamunya untuk ke meja makan. Di sana sudah tertata banyak makanan yang tersaji dengan begitu nikmat untuk Anya dan Tian. Bukan makanan mewah, tetapi cukup menggugah selera. "Kalau makananya tiap malam seperti ini, aku jadi betah makan di sini terus," ucap Tian yang sudah mengambil nasi dan beberapa lauk lainnya. "Kan apa aku bilang. Makan di sini tidak rugi, lagian Mbak Lunar hanya makam dengan pelayannya saja. Pasti banyak makanan yang tersisa, makanya kita bantu menghabiskan agar tidak mubazir," timpal Anya yang juga ikut mengambil makanan yang tersaji di atas meja. Mendengar hal itu Lunar jadi tergelak, lalu berkata, "Kalau ada sisanya dan mau kalian bawa pulang juga tidak apa-apa. Biasanya aku hanya makan sedikit bersama Bibi. Kecuali ada maka