Lunar sungguh tidak menyangka bahwa wanita yang sangat membencinya akan membalik keadaan. Dia tidak tahu saja bahwa Bumi selalu tahu apa yang terjadi di kantornya. Sara itu pintar tapi juga bodoh. "Kenapa diam? Aku tanya sekali lagi, benar atau tidak?!" Bumi bicara lebih keras dengan wajah dingin dan datar. Tidak ada sahutan dari pada karyawan itu. Mereka seolah ragu untuk menjawab pertanyaan atasan mereka. "Kalian masih diam? Fine, aku akan cek CCTV! Jika wanita itu berbohong, maka bukan hanya dia yang akan aku pecat, kalian semua juga akan merasakan!" ancam Bumi menunjukkan senyum miringnya. "Masih banyak orang yang mau bekerja di perusahaanku!"Lunar menatap kagum pada suaminya, lalu dia melihat pada semua karyawan dengan angkuh. Biarlah mereka berkata apa pun tentangnya. Dengan kejadian ini setidaknya mereka akan berpikir dia kali untuk bersikap tidak sopan padanya. "Ja-jangan pecat kami, Tuan.""Iya, Tuan. Tolong jangan pecat kami."Bumi tersenyum sinis. "Kalian minta tidak di
Setelah menempuh jarak yang tidak terlalu jauh, akhirnya Lunar sudah sampai di kediamannya. Dia tidak langsung membersihkan diri, tetapi membuka ponsel yang tadi bergetar tanda ada pesan masuk. "Mas Bumi?" From : Mas Bumi[Bersiaplah, kita makan malam di luar][Kenakan pakai yang sudah ada di kamar]Senyum Lunar tiba-tiba terbit membaca pesan dari suaminya. Sesuai dengan yang tertulis di sana perempuan itu masuk ke dalam kamar dan menemukan tiga paper bag di atas ranjang. Dengan semangat Lunar melihat isinya. Ada gaun yang tidak terlalu terbuka berwarna maron, sepasang wedges berwarna senada dengan gaunnya, lalu yang terakhir adalah sebuah tas tangan tangan berwarna hitam kemerahan. "Cantik sekali. Tapi, kenapa Mas Bumi tiba-tiba mengajak makan di luar? Bagaimana kalau ada yang tahu? Ah, pasti Mas Bumi memikirkannya matang-matang agar tidak ketahuan. Aku akan tampil cantik agar tidak membuatnya malu," gumam Lunar dengan perasaan senang. Kemudian, dia meraba dadanya. Seperti ada se
Sejak kepergian Bumi malam itu, tepatnya sudah dua minggu lelaki itu pergi tanpa memberikan kabar pada Lunar. Bumi bahkan tidak masuk ke kantor dan meminta Tian untuk mengambil alih perusahaan sementara. Hari yang dia lalui di kantor terasa hampa. Biasanya akan ada atasan yang dia siapkan makanan dan minuman, mendengar suara menggoda dan sikap nakal Bumi. Namun, kini semuanya sepi, walau ada Tian yang menemaninya. "Mbak Lunar pasti kangen Tuan Bumi ya?" tanya Tian pada perempuan yang berada di sebelah mejanya. "Biasa saja," sahut Lunar dengan acuh. Padahal dalam hatinya dia merasa rindu pada Bumi. Hanya saja percuma karena Bumi pasti tidak akan merindukannya. Lelaki itu mungkin saja sedang bersama istri dan keluarganya, mereka bersenang-senang dan tertawa bahagia. Sedangkan dia? Dilanda rindu yang terasa tidak nyaman. "Hah, sudah jam istirahat. Aku mau makan di luar," seru Lunar yang bersiap untuk pergi. "Ya sudah kita bersama saja. Aku juga akan makan di luar," sahut Tian yang
Lunar tidak menduga bahwa orang yang dia tunggu kabarnya, kini ada di hadapannya. Lelaki itu, Bumi menatap berdiri hingga mereka hanya berjarak beberapa centi. "Dari mana?" tanya Bumi dengan suara yang berat. "A-aku dari kafe, Mas," katanya menundukkan kepala. Perempuan tersebut merasa takut melihat tatapan sang suami yang begitu tajam, seolah ingin menusuknya. Padahal ingin sekali dia bertanya kapan suaminya itu datang. "Kamu tidak ijin padaku?"Bumi makin mendekat. Dipegang dagu istrinya agar mereka kembali saling bertatapan. Bisa lelaki itu mata indah yang itu berkaca-kaca seakan ingin menumpahkan airnya. "A-aku pikir kalau ... ."Lunar tidak sanggup melanjutkan kalimatnya. Dia mengerjapkan matanya agar tidak menangis di depan Bumi. "Aku kira Mas Bumi masih tidak di sini, jadi tidak masalah kalau aku keluar tanpa meminta ijin. Mas Bumi juga tidak ada kabar dan aku takut mengganggu," katanya dengan sedikit sesak di dada. Bahagia dan sedih menjadi satu dalam diri Lunar. Dia ba
Lunar pikir bahwa suaminya akan pergi setelah mendapatkan telepon yang dia yakini adalah istri dah lelaki itu. Ternyata Bumi justru malah mengajaknya untuk memadu kasih hingga pagi yang masih petang. Kini saat Lunar bangun, tidak ada tanda-tanda adanya sang suami di dalam kamar. Suasana hatinya seketika redup. Dia berpikir bahwa suaminya akan ada di sisinya, nyatanya lelaki itu malah tidak ada di sana. Mungkin pergi saat dia sedang tertidur. "Pasti dia menyentuhku agar tidak kecewa saat dia akan pergi," gumamnya dengan lirih. Namun, dia malah kecewa dengan kepergian Bumi tanpa berpamitan padanya. Tidak ingin semakin sedih, Lunar pun turun ke bawah. Jam masih menunjukkan pukul setengah enam pagi, masih banyak waktu untuk bersiap ke kantor. "Kamu sudah bangun?" tanya seorang lelaki yang berada di ruang tamu. Mata perempuan itu membulat melihat suaminya masih berada di apartemen. Segera dia hampiri lelaki itu. "Mas masih di sini? Aku pikir ... .""Kamu pikir aku pergi menemui istri
"Tetapi dia terlihat seperti perempuan single," kata Frans lagi saat melihat pada Lunar yang masih cantik. Tanpa laki-laki itu duga, Bumi mengepalkan kedua tangannya. Siapa yang tidak marah jika ada laki-laki yang terang-terangan menyukai istrinya. Tidak ada yang bisa disalahkan, tetapi Bumi tetap saja kesal pada Frans yang lancang berkenalan dengan sang istri. Serta pada Lunar yang malah makan di luar. "Aku sudah menikah." Lunar menunjukkan cincin di jari manisnya. "Ini cincin pernikahanku, bukan sebagai hiasan di jari saja."Frans mengangguk seolah paham. "Kalau begitu aku tunggu jandamu saja. Ya, siapa tahu nanti kamu bercerai dengan suamimu."Dengan begitu santainya laki-laki itu mengatakan hal tersebut. Sedangkan Lunar malah merasakan tangan suaminya yang memegang pahanya dengan erat. Namun tidak menyakitkan. Dia tahu pasti Bumi marah pada Frans. Malah dia yang jadi sasaran kemarahannya. "Carilah perempuan lain! Seperti tidak perempuan saja!" seru Bumi masih dengan wajah datar
"Jadi, suami Mbak tidak setuju?" tanya Anya yang meminta untuk bertemu dengan Lunar saat pulang dari kantor. "Iya Nya, maaf ya. Mungkin kamu bisa mencari orang lain yang lebih cocok," balas perempuan itu dengan sungkan. Lunar tidak begitu memaksa pada suaminya untuk ikut, dia sadar bahwa suaminya tidak suka. Makanya dia pun mengalah dan segera mengabarkan pada Anya agar tidak terlalu berharap. "Ya sudah, Mbak. Tidak apa-apa. Aku juga tidak bisa terlalu memaksa, apalagi suami Mbak sudah punya suami."Meski kecewa, Anya berusaha tersenyum, toh memang tidak ada gunanya memaksa. Mungkin bukan takdirnya bekerja sama dengan perempuan yang pernah dia kasari. "Anyways, setelah ini kamu mau ke mana?""Tidak ada. Mbak Lunar sendiri mau ke mana? Langsung pulang?" Perempuan itu mengangguk. "Ya, suamiku berpesan untuk segera pulang. Dia khawatir jika aku terlalu lama di luar dan malah keluyuran.""Suami Mbak posesif ya?"Jika dipikir-pikir, Bumi memang posesif padanya. Bahkan lelaki itu menun
Bumi mengaja meminta istrinya untuk tetap di sana menemaninya buang air. Bukan karena ingin melakukan hal macam-macam. Dia ingin melihat reaksi Lunar yang menurutnya pasti sangat menggemaskan. "Y-ya sudah aku akan tunggui, Mas," jawab perempuan tersebut membelakangi tubuh suaminya. Tidak ada balasan dari Bumi, hanya bunyi air yang mengalir di closet. "Sudah! Berbaliklah!" Lunar berbalik seraya melihat suaminya yang sudah mengenakan kembali celananya. Dengan cepat dia pun kembali memapah Bumi hingga kembali berbaring di ranjang. "Mas, a-aku mau bersiap ke Kantor ya?"Dahi Bumi mengerut. "Kamu mau meninggalkan suamimu yang sedang sakit?!""Bu-bukan begitu, tetapi aku ... .""Hubungi Tian dan bilang kalau kamu tidak masuk untuk merawatku!"Lunar menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Bagaimana bisa dia seenaknya libur dengan alasan yang dikatakan oleh Bumi? Bisa-bisa para karyawan akan membuat hal yang menghebohkan, apalagi berbarengan dengan atasan yang tidak masuk. "Hanya sebenta