“Enya atuh, Dzaka. Sekarang Bunda teh bebaskan kamu. Kalau kamu tidak mau mengenal gadis yang Bunda ingin kenalkan. Please, Dzaka bawa gadis pilihannya ke hadapan Bunda. Mau saha aja, asal itu teh bukan Clarissa. Sebab, jika Clarissa, sampai iraha pun Bunda enggak akan rido.”
(“Baiklah, Dzaka. Sekarang, Bunda bebaskan. Kalau kamu tidak mau mengenal gadis yang Bunda ingin kenalkan. Silakan, Dzaka bawa gadis pilihannya ke hadapan Bunda. Mau siapa saja, asal itu bukan Clarissa. Sebab, jika Clarissa, sampai kapan pun Bunda enggak akan rido.”)
“Iya, Bunda. Segera akan Dzaka bawa gadis yang Dzaka mau.”
“Kumaha maneh we. Bunda tunggu kabar baiknya.”
(“Terserah kamu saja. Bunda tunggu kabar baiknya.”)
Pria itu mengerang frustrasi di meja kerjanya. Ucapan sang bunda terus terngiang-ngiang menghantui pikirannya. Dia selalu saja didesak akan hal serumit itu. Bagaimana tidak? Dzaka sama sekali tidak bisa mengenalkan gadis manapun ke hadapan bundanya. Sejauh ini, ia hanya mengenal satu orang gadis, Clarissa. Namun, Bunda Andari justru tidak pernah membuka hati untuk menerimanya, sedikit saja. Dzaka tahu alasannya, tapi ia juga tidak bisa melepaskan gadis itu begitu saja.
Ide konyolnya yang meminta Fikri mencari perempuan bayaran untuk berpura-pura menjadi istrinya sungguh juga menjadi beban untuknya. Terlebih, jika konsep permainan sandiwaranya tidak cukup rapat, bisa-bisa Bunda Andari mengetahuinya. So, Dzaka tahu sendiri bahwa bundanya bukan perempuan yang gampang dibodohi dan dikelabui. Tapi, kali ini tidak ada salahnya mencoba. Kalaupun pada akhirnya gagal, ia siap dengan segala konsekuensi.
“Tuan, aku sudah menemukan gadis yang bersedia menjadi calon istri pura-pura Tuan Dzaka,” ucap Fikri membuyarkannya dari lamunan.
Wajahnya sumringah, “Serius? Siapa orangnya?”
“Isfhika Kirana Arkadewi. Karyawan baru yang hampir Tuan tabrak beberapa waktu lalu.”
Wajah sumringahnya mengendur seketika diganti dengan wajah geram menahan emosi. “Kenapa harus dia? Kenapa harus karyawan di perusahanku sendiri, Fikri? Apa tidak ada yang lain? Haa?!”
“Tuan tidak menjelaskan kriteria seperti apa yang dimau. Dan gadis itu berkenan membantu Tuan dengan bayaran,” ujar Fikri tak ingin disalahkan, “Dia cantik, Tuan. Meskipun pura-pura, setidaknya tak cukup memalukan untuk dibawa ke hadapan Nyonya Andari.”
“Terserah kau saja. Hubungi dia, aku mau bertemu dengannya besok siang di ruangan ini!” perintah tegas Dzaka menjadi penutup perdebatan dengan asistennya. Kali ini, ia tak banyak berkutik dan hanya pasrah menerima kenyataan dan mengalah.
*******
“Bayaran lo lima puluh juta,” ucap Dzaka memecahkan kembali keheningan yang tercipta.
“Maaf, Tuan. Tapi, lima puluh juta itu nominal yang terlalu kecil untuk pekerjaan seperti ini. Konsekuensinya sangat besar, Tuan tau?” Kirana mencoba bernegoisasi.
Memanfaatkan kesempatan itu untuk mendapatkan uang secara instan adalah tujuan Kirana menerima pekerjaan yang sangat rendahan baginya. Ya, pekerjaan yang menjerumuskan pada pembohongan publik. Sejatinya pun ia tidak habis pikir, kenapa pengusaha sukses seperti Tuan Dzaka bisa-bisanya punya pikiran senekat itu. Bukankah awak media ada di mana-mana?
Pemilik wajah berbewok tipis itu tersenyum sumir. Kedua tangannya terlipat sempurna di depan dada. Mata elangnya memandang tajam gadis yang sedari tadi tidak ditawarinya untuk duduk. “Sudah gue duga, manusia macam lo itu akan memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan demi uang.”
“Kalau bukan uang, tidak akan kuterima pekerjaan ini, Tuan. Kalau Tuan tetap mau dibantu denganku, seratus juta tidak boleh nego.” Kirana memutuskan sendiri. Sekarang, tidak peduli lagi akan diduga cewek seperti apa. Semua demi pundi-pundi rupiah.
Spontan Dzaka menggebrak meja mendengar pernyataan targetnya. “Gila ini cewek!”
“Seratus juta sudah dalam perhitungan pertanggungjawaban Tuan kemarin membuat tangan dan lututku lecet, ditambah kakiku yang keseleo, beruntung karena tidak sampai patah.” desak Kirana sambil melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya. “Kalau tidak mau tidak masalah, Tuan. Aku akan segera kembali karena jam istirahat sudah hampir habis.”
Dzaka geram. Terlihat dari rahangnya yang mengeras, tapi ditahan-tahan. “Berikan dia seratus juta!” pintanya malas pada sang asisten.
“Baik, Tuan.” Fikri mengangguk patuh.
Ungkapan itu membuat hati Kirana riang dan gembira. Dia berhasil. Akhirnya, pria arrogant men-sedekahkan sedikit rezeki padanya yang sangat membutuhkan itu. Di sisi lain, Dzaka menyadari bahwa dirinya sedang dimanfaatkan. Bodohnya, karena saat ini ia sedang tidak berdaya untuk memojokkan orang lain.
Tanpa menunggu gadis itu bicara lagi, Dzaka kembali bersuara, “Malam ini, di Vong Kitchen, pukul delapan malam.”
Mata almond milik Kirana membulat sempurna tatkala kalimat tegas tanpa basa-basi keluar dari mulut Tuan Dzaka. Dia benar-benar tak menyangka jika akan menjalankan tugasnya secepat itu. Malam ini? Oh, God. Bahkan, yang semula dipikir tugas ini cukup mudah, ternyata bisa dibilang memberatkan sebelum dijalani. Jadwalnya seakan keluar secara otomatis, tanpa meminta persetujuannya dulu. Bisa atau tidaknya?
“Apa bisa ditunda dulu, Pak? Malam ini aku kerja di tempat lain soalnya.” Wajahnya memelas. Sungguh, dia pun tak tahu harus memanggil Dzaka dengan sebutan Tuan atau Pak. Dia bingung.
“Gue tidak peduli dengan urusan lo. Lo dibayar. Jangan mau enaknya saja,” celetuk Dzaka membuat bibir ranum milik Kirana mengerucut sebal. Benar-benar tidak berguna mengharap belas kasihan manusia sombong sepertinya.
Setelah beberapa menit mengobrol di ruangan besar nan mewah milik pimpinan perusahaan dan dirasa sudah tak ada yang perlu dibicarakan lagi, Kirana pun undur diri. Siapa juga yang betah lama-lama berhadapan dengan manusia dingin sepertinya? Ganteng, iya. Tapi, juteknya jadi beban.
Pintu dibukakan oleh asisten Tuan Dzaka yang mengantarnya sampai keluar. Wajah putih Kirana yang kusut harus memutar-mutar otak untuk malam ini. Sebab, kerumitan itu jadi terbesit penyesalan di hati Kirana. Kenapa menerima pekerjaan yang nyatanya tidak mudah dilakoni? Kenapa pula dirinya harus terseret masalah kerumitan orang kaya? Ah, ia bahkan baru memikirkan praduga baru bahwa kemungkinan orang kaya memang serumit itu.
“Aku masih harus kerja di kafe malam ini, Mas. Apakah bisa sedikit membujuk Tuan Anda untuk menunda pertemuanku dengan orang tuanya?” Tatapannya penuh permohonan.
“Tidak bisa, Kirana. Tempat sudah di-booking dan Nyonya besar orangnya sibuk. Dia merelakan semua jadwalnya demi pertemuanmu dengannya malam ini.”
Suara embusan napas kasar terdengar begitu saja bersamaan dengan mata yang terpejam sekilas. Kirana mengelus lengan kirinya kebingungan. Di sisi lain, Fikri sejatinya kasihan dengannya, tapi bagaimanapun juga, ia sangat tahu bagaimana Tuan Dzaka? Sekali bilang A, harus A. Tidak boleh B, apalagi C.
“Masalah bentroknya jadwal pekerjaanmu, itu menjadi urusanmu sendiri. Kamu menjalankan peranmu digaji, bukan? Jadi, jangan makan gaji buta. Setidaknya, pikirkan sendiri bagaimana caramu menghadiri pertemuan itu, sementara kamu juga harus bekerja di tempat lain,” ujar pemuda jakun itu sembari memasukkan tangan di dalam saku celana.
“Kurasa, tidak ada pilihan selain mengorbankan salah satu. Lagian, bayaranmu sangat mahal, Nona. Kamu tidak rugi meninggalkan pekerjaanmu sehari saja demi pekerjaan privat ini,” celotehnya lagi.
Anggukan pasrah menjadi penutup perbincangan mereka. Setidaknya, Kirana mendapat solusi yang jauh dari ekspektasi, tapi memang ada benarnya. Mengorbankan salah satu adalah jalan yang paling relevan di waktu singkat untuk berpikir. Pemilik bulu mata panjang lurus itu pun pamit setelah sang asisten bosnya menjelaskan banyak hal, seperti Kirana harus datang tepat waktu karena Tuan Dzaka paling tidak suka orang yang tidak disiplin. Agaknya, dari sekian banyak hal disukai dan tidak disukai yang dibeberkan sang asisten membuat Kirana kembali menarik kesimpulan bahwa singkatnya keinginan sang atasan ini setidaknya semua harus terpenuhi.
Rupanya, angka-angka di layar laptop hadapan Kirana membuatnya mampu untuk berpaling dari pikiran-pikiran tak tentu arah. Meski, sesekali masih diracau dengan overthingking tentang nasibnya malam ini sebagai pemeran calon istri dari atasannya sendiri di kantor? Pura-pura memang, tapi vibesnya katanya harus seperti nyata. Sang target tidak boleh mencium aroma ketidakberesan alias jangan sampai menaruh curiga. Tentu, hal itu juga menjadi tanggung jawab Kirana untuk bekerja maksimal.
Tapi, mungkinkah orang tua Tuan Dzaka cukup mudah untuk dikelabui? Bagaimana kalau tidak? Sungguh, Kirana bingung. Sebab, sekalipun belum pernah bertemu dengan orangnya langsung.
Sisi lain pikirannya juga mengarah ke sang ibu di Pulau Sulawesi sana. Bagaimana kalau dia tahu anaknya rela berbohong demi mengumpulkan pundi rupiah? Jelasnya, pasti amarah dan kekecewaannya tak terbendung.
"Ini salah, Kirana," gumamnya pada diri sendiri.
"Tapi, kamu butuh," ucapnya lagi merutuki diri sendiri bersamaan dengan kedua tangannya menutup wajah.
Jeans hitam dan kemeja putih digulung sesiku membalut tubuh kekar pria yang berdiri sembari melipat tangan di depan dada. Kini, dia sudah berada di area perjanjian dinner dengan bundanya malam ini. Fikri setia mengawalnya ke mana pun dan di mana pun. Sengaja, mereka berdiam di tempat yang tak terlalu banyak orang berlalu lalang, sembari menunggu sosok yang akan membantu menyelamatkan reputasinya dalam mencari cinta di hadapan sang bunda.Lelah sudah dia dikecam dengan ancaman perjodohan jika tak membawa calon istri. Meski disadari, apa yang dilakukan ini adalah sebuah kesalahan yang justru mengancam semakin memperburuk citranya jika ketahuan memanipulasi keadaan. Tapi, jalan pikirannya sudah buntu. Tak lagi bisa berpikir jernih walau sesaat.Sepuluh menit sudah mereka menunggu, tapi yang ditunggu belum kunjung menampakkan batang hidungnya. Sesekali, Dzaka mendengkus sebal dan melihat jam tangannya. Dia paling tidak suka menunggu. Apalagi, di tempat dijangkau sedikit cahaya, banyak n
Senyum manis terpancar di wajah Kirana saat kalimat itu diucapkan Dzaka, walaupun kini ia susah payah menelan ludahnya sendiri. Ia belum pernah diperlakukan seperti ini oleh seorang pria di hadapan orang tuanya. Tentu saja, karena cinta pertamanya tak mendapat restu sama sekali. Dia juga tidak pernah dibawa untuk bertemu orang tuanya Rey.“MasyaAllah, Very-very smart bujang Bunda cari calon istri geulis pisan ini teh.” Wanita berhijab pashmina yang dimodel sedemikian rupa itu berbicara dengan logat sunda dan kadang dibumbuhi dengan Bahasa Inggris, sudah menjadi ciri khasnya yang memang lahir di Bandung dan kerap ke luar negeri dalam waktu yang lama.Kirana hanya tersenyum kikuk, malu-malu dipuji sedemikian frontal-nya. “Bisa aja, Tante.”“Aduh, kumaha ini teh konsepnya? Jangan panggil Tante atuh, Neng. Panggil Bunda aja. Biar terbiasa, jadi harus dibiasakan dari sekarang mah nya,” ujarnya.Tak berselang begitu lama, seorang pelayan menghampiri mereka. Setidaknya, hal itu bisa memutu
“Ada apa kiranya kamu menemuiku, Rey?” tanya Kirana berusaha keras untuk mengalihkan pandangannya dari pria itu.Ada rasa yang sulit untuk ditafsirkan tatkala melihatnya. Dia berusaha tetap tegar dan menahan luapan rasa yang menggebu dalam dadanya.“Aku mengkhawatirkanmu, Kiranaku. Kamu tidak datang ke kafe hari ini,” jawabnya.“Aku ada urusan, Rey. Bukankah aku sudah meminta izin ke Raya sebelum kamu datang ke kafe tadi?”“Tentu, aku tahu itu. Tapi, bolehkah aku tahu siapa sosok yang mengantarmu tadi?” tanyanya, mencari jawaban kejujuran di mata Kirana.Kirana tersenyum singkat. “Bukan siapa-siapa. Dan kurasa itu bukan urusanmu untuk mengetahuinya.”“Aku paham.” Rey menunduk, lalu kembali memandang Kirana, dalam-dalam. “Jujur … dan maaf karena sampai saat ini aku senantiasa masih merindukan dan menginginkan cintamu, Cahayaku.”Ucapan Rey itu membuat Kirana susah payah menelan ludahnya. Rindu? Sejatinya, ia tak bisa bohong bahwa juga merindukan sosok yang haram untuknya dirindu.“Aku
Pertanyaan itu membuat Kirana diam. Wulan memang sudah tahu perihal Kirana yang bertemu kembali dengan Rey. Bahkan, Kirana bekerja di tempatnya Rey. Sempat, Wulan meminta Kirana untuk berhenti bekerja di sana, tapi putrinya itu menolak dan ia akan bertahan sedikit saja. Seenggaknya, sekarang pun Kirana ingin sekali jujur bahwa Rey masih terus mengejarnya. Namun, ia takut jika kejujurannya nanti hanya menciptakan kecemasan dalam batin ibunya. Minimal, Kirana berjanji bisa meminimalisir perasaan dan mengatasi masalahnya dengan Rey sendiri.“Kita sering bertemu, Bu. Karena Nana kan setiap malam memang kerja di tempatnya Rey juga.”“Ibu paham. Ibu Cuma tidak mau kamu terjerumus lagi. Tetap jaga sikap dan ingat selalu pesan-pesan Almarhum Bapak.”Kirana mengangguk.“Tapi ingat, Nana pernah janji sama Ibu kalau Kak Jihan sudah sembuh, akan berhenti bekerja di sana. Ibu sebenarnya tidak rela melihat kamu dan Rey masih terikat satu sama lain, meskipun itu karena pekerjaan. Akan sulit untuk ka
Gadis berhijab abu-abu muda itu mulai menginjakkan kaki di jalan berpeping halaman kantornya. Seperti biasa, dia lebih memilih turun di pinggir jalan tak jauh dari gedung daripada harus diantar oleh Abang Gojek hingga ke depan lobby.Bukan malu, tapi Kirana lebih suka saja jalan kaki dari luar. Seandainya pun kos-nya dekat, dia mungkin lebih memilih jalan kaki. Namun, sayangnya karena jarak tempuhnya lumayan nguras tenaga jika harus ditempuh dengan berjalan kaki.“Kirana … tunggu!” suara teriakan itu sontak membuat Kirana menghentikan langkah. Dia berbalik, melihat sumber suara cempreng yang sangat dikenal selama hampir sebulan bekerja.“Apa, Din?” tanya Kirana sembari mengangkat satu alisnya. “Suaranya sampe gedung sebelah tau.”“Hari Minggu nanti kamu free, nggak?” tanya Dina. Mereka sembari terus berjalan beriringan.Kirana berdehem pelan. “Aku kerja pagi di kafe. Kenapa?”Dina memanyunkan bibir tipisnya. “Yaaa … padahal mau m
Kirana memejamkan mata sebantar. Berusaha mengatur emosi yang mulai tak stabil. “Kalau begitu, kenapa aku harus terus menerus ikut terjerumus ke dalam sandiwaramu, Tuan?” Kirana menghela napas, lalu berjalan menghampiri Dzaka. Kemudian duduk di sofa lain tanpa dipersilakan. “Aku mungkin dibayar, tapi tidak bisa seenaknya diatur. Tuan bisa saja menjadikanku tameng karena uang, tapi aku bukan robot yang bisa mengikuti segala perintahmu tanpa memikirkan urusan pribadiku.”Wajah Dzaka berubah datar. “Lo bisa izin, kan?” tanyanya. “Gue bisa bayar dua kali lipat dari gaji lo yang hilang satu hari itu.”Kirana bergeming. Entah ada apa dengan dirinya yang dulu sangat berambisi untuk mendapatkan uang banyak, kini seakan-akan seperti tak butuh.Ah, bukan tidak butuh, tapi sisi lainnya justru memikirkan hal yang lain. Ia merasa telah sangat bersalah karena membantu seseorang berbohong dan mengorbankan pekerjannya.Kirana pun tak tahu apakah uang banyak yang
“Apa Tuan Dzaka berniat untuk menjadikanku istri bayaran? Atau jadi istri pura-pura juga?” tanyanya. “Maaf, Tuan. Mungkin saat ini uang begitu menarik untukku, tapi pernikahan bagiku tak bisa dihargai dengan uang.”Kini, Dzaka terdiam sembari meneguk ludahnya berulang kali. Bahkan, saat Kirana sudah melangkah pergi, mulutnya masih kelu untuk sekadar berkata-kata. “Bunda yang memintamu datang ke rumah hari Minggu.” Setidaknya hanya kata itu yang mampu keluar dari mulutnya. Dia melangkah menyusul Kirana yang nyatanya sedang berhenti tak jauh darinya. “Sekali ini, ya, temui Bunda.” Dzaka memohon.Kirana menunduk dan meremas jari-jarinya. Ia teramat bingung. Sungguh, pada mulanya dia tak menyangka jika menerima tawaran bersandiwara itu akan sedemikian rumit hingga membawanya untuk terus menerus dalam kepura-puraan. Jika ayahnya masih ada, mungkin dia akan dimarahi habis-habisan karena berbohong.“Bunda?” Kirana memastikan. Dia seperti tak bisa menola
“Nggak direstui karena beda iman.” Jawaban Kirana sontak membuat Dzaka melongo heran.Bagaimana bisa perempuan berhijab seperti Kirana bisa mencintai pria yang berbeda iman? Sulit untuk dipercaya.Dzaka berucap pelan. “Wajar, sih.”“Apanya yang wajar, Pak?”“Wajar kalau tidak dapat restu,” balas Dzaka. Dia menoleh sebentar, kemudian bertanya, “Kamu tau ayat berapa yang mencantumkan kewajiban berhijab dalam Al-Qur’an?”Sebuah anggukan diberikan Kirana sebagai jawaban. “Al-Ahzab ayat 59, Al-A’raf ayat 26, dan An-Nur ayat 31,” imbuhnya kemudian.Dzaka mengangguk-angguk pelan. “Semestinya kamu juga tahu apa isi dari Al-Baqarah ayat 221, bahwa pernikahan beda agama itu dilarang,” ucapnya.“Aku tau, Pak.”“Tapi, kenapa dilanggar? Sedangkan, Al-Ahzab bisa diamalkan?” tanyanya, “menikah dengan yang seiman saja bisa salah pilih. Bagaimana jika tak seiman? Memang kamu mau dalam hidupmu salah pilih imam? Sudah sa
Pelan, Kirana membuka mata sembari menggeliat meregangkan otot-otot tubuhnya. Walau matanya masih berat terbuka, ia meraih ponsel untuk melihat jam. Sudah menunjukkan pukul setengah lima pagi.Sekilas ia menoleh ke samping. Memandangi wajah suaminya yang masih tidur nyenyak dengan dengkuran halus di dekat telinganya. Tangan kekarnya pun berada di atas perut Kirana.“Sayang, bangun. Sudah subuh,” bisik Kirana. Ia menyentuh pipi suaminya. Lantas, menarik menarik pelan hidung mancung Dzaka. Tak butuh waktu lama, Dzaka bergerak karena merasa terganggu, tapi masih enggan membuka mata. Dia tetap betah pada posisinya. Justru meringkuk seolah mencari kehangatan di sisi istrinya dengan mengeratkan pelukan. “Hei ... sudah subuh, Mas. Bangun, yuk.” Lagi, Kirana menyentuh lengan suaminya. Sesekali, mencubit daging yang terasa keras itu. “Biar seperti ini dulu sebentar, Sayang. Aku masih mau menikmati waktu sama kamu. Kalau Baby Dzakir bangun, yang
Baru saja, sepasang kaki Dzaka menjejaki teras, tetapi langkahnya seketika terhenti. Tubuhnya seolah beku di tempat manakala memikirkan Kirana yang tengah hamil. Perasaan bersalah pun menyeruak di hatinya. Mengingat, tadi ia tak sengaja membentak sang istri karena tengah dikuasi amarah yang hendak membalas dendam atas kematian papanya. Padahal, sejatinya balas dendam tak pernah ada dalam kamus kehidupan seorang Dzaka Hakeem.Rasa takut seolah sengaja mencekiknya. Isi kepalanya pun kian berkelana ke masa lampau, saat-saat di mana ia harus kehilangan calon buah hati karena keteledorannya sendiri.Dia tak mau, kehilangan kembali. Sungguh, ia tidak rela. Sebuah helaan napas berat terdengar darinya sembari mengingat kembali pesan-pesan Danial tadi malam. Dzaka menggeleng pelan, menyadari diri telah sangat berlebihan menyingkapi kehilangan yang mencekam batinnya. Detik kemudian, ia kembali melangkah. Bukan untuk melanjutkan misi, melainkan k
Tatapan tajam itu berubah jadi sayu. Seakan di dalam sana terdapat sebuah penyesalan yang tak berujung. Terlebih, butiran bening juga tampak menghiasai pipi yang berisi kini tinggal sedikit daging terlapisi kulit. Tenaga yang kuat juga seolah sudah terkikis. Pria itu berbaring sangat lemah laksana tiada lagi ada daya untuk bergerak lebih banyak. “Maafkan atas semua kesalahan Papa pada kalian,” ucapnya lagi disertai dengan isak pilu mencekam. “Papa sangat jahat,” imbuhnya sembari menghapus air mata. Sesekali tersenyum masam. “Kami teh sudah memaafkan kamu, Danial.” Bunda Andari angkat bicara. Ekspresinya cukup tenang bak terpancar ketulusan yang tak pernah pupus.Dzaka dan Sekar pun ikut mengangguk sekadar memberi keyakinan pada sang papa. Sesaat, Dzaka membungkuk dan menyangga badan dengan kedua tangan di ranjang Danial.“Apa perlu aku mengambil tindakan untuk pelaku penganiayaan Papa?” tanya Dzaka. Terlihat jelas d
Tangan Dzaka dan Kirana saling bertaut menyusuri koridor bangunan berdinding mayoritas putih itu. Cemas dan panik menghiasi wajah keduanya, bersama derap langkah memburu. Sampai di depan sebuah ruangan, sudah ada dua orang berkostum penjaga lapas baru saja selesai mengobrol dengan dokter. “Apa yang sebenarnya terjadi dengan Papa saya, Pak?” tanya Dzaka setelah sang dokter berlalu.Dua pria itu saling berpandangan sebentar.“Mohon maaf, Pak Dzaka. Sebenarnya Pak Danial sering mendapatkan tindak kekerasan dari penghuni lapas lain,” ungkap Pria bertopi hitam itu. “Beberapa penghuni lapas tau kasus Pak Danial sehingga dipenjara. Mereka tak terima dengan Pak Danial yang terlibat dalam kasus pelecehan dan perselingkuhan. Menurut mereka, tindakan itu sama sekali tak bermoral.”Dari ekspresinya, Dzaka terlihat kaget dengan pernyataan pria itu. Selama ini, tak ada tanda-tanda kekerasan ketika dia menjenguk Danial. Papanya pun seakan-akan terliha
Kirana menarik napas panjang barang tiga kali. Dalam genggamannya terdapat sebuah testpack yang sengaja belum dilihat hasilnya setelah melakukan pengecekan beberapa saat lalu.Jantungnya pun berpacu dalam kecepatan tinggi, bersama perasaan was-was yang ikut serta menyeruak membuatnya bimbang akan hasil tes kehamilannya yang pertama kali pasca keguguran.Sepulang dari puncak, Kirana kerap merasa cepat lelah dan sedikit mual. Jadwal tamu bulanannya pun bahkan sudah lewat sepekan. Hal itu membuatnya penasaran sehingga memutuskan untuk membeli testpack tanpa sepengetahuan Dzaka. Ia juga tak pernah mengatakan pada suaminya tentang keadaannya akhir-akhir ini. Kirana tak mau Dzaka terlalu berharap dan akhirnya kecewa jika hasilnya tak sesuai harapan. Pelan, Kirana membuka genggaman. Ia langsung bisa melihat testpack itu sudah memiliki garis dua. Artinya, dia positif?Kirana menutup mulut, lantas tersenyum senang dalam diam. Detik kemudian, ia
“Sayang, aku dengar di Villa sekitar sini, ada acara pertunangan owner-nya 2R Cafe.”Kirana yang menyandarkan dagu di bahu suaminya, lantas menoleh memandang wajah Dzaka sekilas. Ah, lebih tepatnya ia memperhatikan cambang sang suami yang tampak semakin panjang. “Oh, ya? Rey atau Raya?” tanya Kirana penasaran. “Gak tau. Mau liat?” Mata Kirana terpejam sebentar, merasakan sejuknya udara perkebunan teh yang menyapu wajahnya. “Kita gak diundang. Datang tanpa diundang, namanya tamu tak diundang.” “Ngintip aja, kamu kan doyan ngintip.” Dzaka terkekeh, bersama dengan Kirana yang mencubit perutnya. Mereka diam beberapa saat. Sama-sama merasakan angin pagi Puncak menyapa. Pandangan Dzaka pun menyapu ke segala arah. Pemandangan yang cukup indah, tetapi seseorang yang tengah memeluk pinggangnya sembari bersandar di bahu tak kala indah, baginya. “Kenapa liatin terus? Baru tau suamimu punya kegantengan spek
“Din, tunggu!” Fikri menarik paksa lengan Dina yang hendak berlari menghindarinya. Mereka sekarang berada di samping Villa, jalan menuju perkebunan teh. “Apa lagi? Bukankah kemarin sudah cukup jelas jawabanku atas lamaran Mas Fikri?” tanya Dina. Bola matanya yang semula menatap Fikri langsung, seolah dialihkan ke arah lain. Jujur, ia tak sanggup melihat mata Fikri lebih lama lagi. Dia takut, hatinya goyah dan terus menerus berharap tanpa kepastian. Di sudut lain, seseorang tengah mengintip dari balik tembok. Tadinya, ia ingin jalan-jalan. Merasakan udara pagi di perkebunan teh, tetapi drama cinta yang tak sengaja dilihat membuatnya menghentikan langkah. Lantas, memilih diam di pojokan. “Ngapain di situ, Sayang?” Sang suami yang tiba-tiba datang menoel pinggangnya. Membuatnya terlonjak, hampir berteriak. Tetapi, ia justru mendorong tubuh suaminya ke tembok agar tak menyelonong begitu saja. Kirana meletakkan jari telunjuk di
Detik demi detik, Dzaka memutar tubuh dan menarik sang istri ke dalam pelukannya. Ia mengusap punggung Kirana sambil membisikkan kata-kata cinta.“Tiup lilinnya ... tiup lilinnya sekarang juga, sekarang juga ... sekarang juga!”Perlahan, Kirana melepaskan diri dari rengkuhan Dzaka. Sekilas, ia menghapus air mata yang membuat wajahnya basah. Sepersekian detik kemudian, dia meniup lilin disertai dengan tepukan gemuruh.“Ada yang mau disampaikan, Nona?” tanya Fikri. “Untuk suaminya, mungkin.”Fikri menyodorkan mic yang kemudian disambut Kirana.Helaan napas pelan terdengar dari mic saat Kirana hendak berbicara. Ia tersenyum, lantas memejamkan mata sebentar. “Eum ... masyaAllah terima kasih banyak teman-teman semuanya. Sungguh, aku terharu banget karena bertambahnya usia tahun ini diberi kesempatan berada di lingkaran orang-orang hebat.” Kirana meneguk ludah, sembari mengusap pipi yang masih terasa basah.Saat jiwa dan pera
Pukul 10 pagi. Acara dibuka langsung oleh sang direktur, sekaligus memberi sedikit wejangan atau mengingatkan agar selalu menjaga citra perusahaan selama beraktivitas di puncak. Dia juga mengutarakan harapannya agar Family Gathering ini bisa berdampak dengan terjalinnya tali persaudaraan yang baik dalam perusahaan. Terlebih, Fam-Gath ini bisa menjadi wadah bagi karyawan lebih dekat pada pimpinannya.Beberapa rangkaian lomba yang dikhususkan antardivisi juga dilaksanakan untuk mengisi waktu dengan keseruan bersama. Masing-masing divisi mengirimkan peserta terbaiknya untuk unjuk kebolehan di depan petinggi sampai pemilik perusahaan. Keseruan dan kehebohan terus tercipta di tiap menit hingga jam berganti, bersama dengan matahari yang mulai condong ke Barat. Kegiatan yang dilombakan pun beragam. Ada lomba dance yang wajib menggunakan lagu dari daerah di Indonesia, lomba yel-yel menggunakan kostum seunik mungkin, lomba memasukkan pulpen dalam botol,