Share

Bab 8 - Bunda

Penulis: Kharamiza
last update Terakhir Diperbarui: 2023-05-02 18:30:11

“Ada apa kiranya kamu menemuiku, Rey?” tanya Kirana berusaha keras untuk mengalihkan pandangannya dari pria itu.

Ada rasa yang sulit untuk ditafsirkan tatkala melihatnya. Dia berusaha tetap tegar dan menahan luapan rasa yang menggebu dalam dadanya.

“Aku mengkhawatirkanmu, Kiranaku. Kamu tidak datang ke kafe hari ini,” jawabnya.

“Aku ada urusan, Rey. Bukankah aku sudah meminta izin ke Raya sebelum kamu datang ke kafe tadi?”

“Tentu, aku tahu itu. Tapi, bolehkah aku tahu siapa sosok yang mengantarmu tadi?” tanyanya, mencari jawaban kejujuran di mata Kirana.

Kirana tersenyum singkat. “Bukan siapa-siapa. Dan kurasa itu bukan urusanmu untuk mengetahuinya.”

“Aku paham.” Rey menunduk, lalu kembali memandang Kirana, dalam-dalam. “Jujur … dan maaf karena sampai saat ini aku senantiasa masih merindukan dan menginginkan cintamu, Cahayaku.”

Ucapan Rey itu membuat Kirana susah payah menelan ludahnya. Rindu? Sejatinya, ia tak bisa bohong bahwa juga merindukan sosok yang haram untuknya dirindu.

“Aku tidak akan pernah bisa melupakanmu,” tuturnya kemudian.

Kirana menggeleng kuat-kuat.

Matanya mulai berkaca-kaca mendengar setiap kalimat yang keluar dari mulut pria yang masih menjadi pemilik tahta tertinggi di hatinya. Ya … Kirana pun sama. Belum bisa melupakan sosok Rey yang dicintai dan mencintainya bertahun-tahun lamanya. Meski tanpa ikatan hubungan, seperti pacaran, tetapi hati mereka tertaut. Komitmen untuk saling menjaga menjadi bukti kasih cinta yang tak pernah dusta. Mencintainya dalam kalbu, walau beribu-ribu kilometer terbang darinya, tetap saja … jujur masih berkobar cinta di hati Kirana, untuknya. Namun, ia cukup sadar bahwa api dan air tidak akan pernah bisa bersatu. Jika dipaksa bersatu maka salah satunya akan padam. Sebab, mereka berbeda.

“Aku tidak akan pernah berhenti untuk terus dan terus mencintaimu, Kiranaku. Sekalipun, takdir memaksaku untuk berhenti, maka itu ketika kamu sudah menjadi milik orang lain, suamimu kelak.”

“Kurang jelaskah apa yang kamu dengar dari Almarhum bapakku, Rey?” tanya Kirana lirih. “Apa kamu mau membuatku untuk membantah orang tuaku karena mereka tidak akan pernah mau menerima keberadaanmu? Apa kamu mau melihat Tuhan-ku murka kepadaku karena menjalin cinta dengan yang berbeda iman? Sungguh, aku tidak akan mau mengkhianati bapak untuk ke sekian kalinya, Rey. Begitupun dengan pengkhianatanku kepada Tuhan-ku.”

“Tapi, Kirana. Apakah kau tidak memikirkan diriku juga? Menjauhimu, sungguh membuat hidupku jadi kacau dan hancur?!”

Kalimatnya yang sedikit cukup mengiris dan membuat perut seperti diaduk-aduk. Pandangan Kirana kini mulai nanar karena butiran air mata yang turun dengan derasnya tanpa diperintah.

Dalam isak tangisnya yang pilu menyanyat hati, Kirana mengiba dan memohon, “Rey, aku juga mencintaimu, seperti kamu mencintaiku, tapi aku tidak bisa melawan Tuhanku, demi kamu. Aku bisa menghadapi dan meninggalkan apa pun untukmu. Tapi … aku tidak mungkin meninggalkan Rabb-ku untukmu,” suaranya merintih.

“Aku tahu, Cahayaku. Namun, aku juga tidak bisa meninggalkan Tuhanku. Karena aku mencintainya seperti aku mencintai dirimu.”

“Lalu, apa yang mesti kamu harapkan dariku, Rey? Apa yang kamu harapkan dari hubungan ini? Jika kita sama-sama sudah tahu jawabannya?” Kirana menggeleng dan menghapus sisa air matanya dengan kasar. “Pulanglah, aku sedang lelah. Butuh istirahat.”

Kirana pergi meninggalkan Rey tanpa permisi.

Tangis kembali membuncah tatkala kakinya sudah menapaki kembali kamarnya. Setiba di ruang minimalis itu, dia terhenyak dan tubuhnya meluruh ke lantai.

Bersandar pada pintu sembari memeluk lutut, sesekali menutup wajah basahnya dengan kedua tangan.

Dia menghela napas panjang, dan air matanya kembali runtuh seketika. Ia terengah-engah dengan napas memburu. Seperti telah berlari ribuan kilo dikejar dengan ketakutannya sendiri. Bongkahan masa lalu yang disimpan rapat-rapat di balik keretakan jiwa, gugur dalam ingatan panjang tentang cinta yang tak akan pernah abadi karena berbeda iman.

Kirana tertunduk pilu. Menangkup wajahnya dan menatap langit-langit kamar dengan mata yang bengkak, menginsyafi betapa dirinya telah melukai sepotong hati yang penuh kasih.

Setelah puas menangis dan merutuki nasibnya dalam keheningan malam, Kirana bangkit dan mulai berbenah. Ia mengambil wudu untuk segera melaksanakan salat isya.

Mengadukan kegelisahan hati dengan bersujud pada-Nya dan mendekatkan diri dalam rengkuhan doa-doa.

Menyingkirkan segala keraguan dan menepis segala kegalauan agar bisa memagari dan menebas rasa rindu yang membuncah sewaktu-waktu Rey kembali menemuinya.

Bukankah dia sudah berjanji untuk melepaskan cintanya yang berbeda imam sehingga bisikan-bisikan harus istikamah meneguhkan keimanan yang masih sangat rendah, seperti menguar di telinganya?

Sepertinya kepenatan, kelelahan, dan pening menusuk-nusuk kepalanya akibat rutinitas yang dilalui hari ini cukup berat untuk dibebankan kepada batinnya yang sedang tersiksa. Kirana pun tertidur di atas sajadah.

***

Pria bermata sipit itu melangkah pelan mendekati atasan sekaligus sahabatnya yang sedari tadi berdiri di balkon kamarnya.

Dia terlihat memikirkan sesuatu. “Aku melihat sepertinya bunda suka dengan Kirana, Tuan. Apa Tuan tidak berminat sehati dengan bunda?” tanyanya, kemudian ikut berdiri memandang langit malam bertabur bintang di atas sana. Kedua tanganya terlipat di depan dada.

Sementara yang ditanya hanya bergeming, tak berminat memberi komentar. Dia masih sibuk merenung. Entah sedang merenungi apa?

“Wajar, sih. Menurutku, Kirana memang cantik, senyumnya manis, sopan, meski kadang-kadang dia cuek, tapi justru menambah kesan menariknya sebagai cewek. Aku kalau jadi Tuan, sudah pasti jatuh cinta padanya.” Fikri terus mengeluarkan statement-nya. Dia kemudian bersandar pada pagar besi balkon, beralih menatap Dzaka yang sedari tadi diam saja.

“Tidak ada salahnya, Tuan membuka hati untuk orang lain. Toh, tidak ada pasal yang melarang hal itu, bukan?” Fikri mengangkat kedua alisnya saat mata elang milik Dzaka beralih menatapnya tajam.

“Gila aja kamu!” Setidaknya, hanya kalimat itu yang keluar dari mulut Dzaka.

“Kirana limited edition, Tuan. Tuan yakin tidak mau sama dia, sayang, loh,” ucap Fikri terus mengompori.

“Pergi, Fik!” geram Dzaka.

“Apa ada yang salah dari ucapanku?” tanyanya tak terima dengan kalimat bernada pengusiran yang baru saja diterimanya itu.

“Aku bilang pergi!” Dzaka membentak. “Pergi dari sini, Fikri.”

“Padahal niatnya mau menginap di sini lagi. Tapi, ya sudah.”

Fikri seperti enggan untuk melangkah. Justru, dia malah merasa senang dan punya ide untuk terus menjahili Dzaka Habisnya, dia terlalu kaku jadi orang.

“Tuan, kalau tidak mau sama Nona Kirana, nanti buat aku aja,” pungkasnya, sebelum melangkah mundur sedikit demi sedikit.

“Keluar sekarang atau kutonjok mukamu!” Bentakan Dzaka pun akhirnya membuat Fikri lari terbirit-birit. Siapa juga yang mau merelakan wajahnya babak belur karena tonjokan maut? Meskipun, Fikri sudah sering mendapatkan perlakuan pahit itu dari atasan yang sudah dianggapnya sebagai sahabat, tapi dia sama sekali tak pernah jera untuk bekerja dengan Dzaka.

*******

Seperti cewek-cewek lain pada umumnya yang tidak pernah melewatkan rutinitas perawatan malam sebelum tidur, Kirana pun demikian.

Dia baru saja menyelesaikan menggunakan skincare malamnya.

Bukan untuk mempercantik diri, tetapi agar wajahnya tetap terlihat sehat dan segar. Saat ini, ia sudah merebahkan diri pada Kasur. Hendak berisitirahat. Namun, di sela istirahat itu, ia menyempatkan diri untuk video call sang ibu yang beberapa saat lalu sempat melakukan missed call sebanyak dua kali.

“Assalamualaikum. Ibu apa kabar? Nana rindu banget sama Ibu,” ucapnya saat panggilan video itu sudah terhubung. Padahal hampir setiap malam bertukar kabar, tapi rindu itu seperti enggan untuk beranjak.

“Ibu baik-baik saja, Nak. Kamu gimana di sana? Jaga kesehatan, ya. Jangan lupa salat.” Peringatan-peringatan seperti itu seakan menjadi kalimat wajib untuk diucapkan Wulan dari seberang sana.

“InsyaAllah, Bu. Ibu juga jangan terlalu capek. Jangan terlalu banyak beban pikiran. Nanti Ibu sakit,” jawab Kirana tenang.

Namun, dia tersentak begitu mendengar pertanyaan sang Ibu selanjutnya.

“Iya. Gimana dengan Rey? Apa dia masih sering menemuimu?”

Bab terkait

  • Istri Pura-Pura Direktur Kejam   Bab 9. Menikah?

    Pertanyaan itu membuat Kirana diam. Wulan memang sudah tahu perihal Kirana yang bertemu kembali dengan Rey. Bahkan, Kirana bekerja di tempatnya Rey. Sempat, Wulan meminta Kirana untuk berhenti bekerja di sana, tapi putrinya itu menolak dan ia akan bertahan sedikit saja. Seenggaknya, sekarang pun Kirana ingin sekali jujur bahwa Rey masih terus mengejarnya. Namun, ia takut jika kejujurannya nanti hanya menciptakan kecemasan dalam batin ibunya. Minimal, Kirana berjanji bisa meminimalisir perasaan dan mengatasi masalahnya dengan Rey sendiri.“Kita sering bertemu, Bu. Karena Nana kan setiap malam memang kerja di tempatnya Rey juga.”“Ibu paham. Ibu Cuma tidak mau kamu terjerumus lagi. Tetap jaga sikap dan ingat selalu pesan-pesan Almarhum Bapak.”Kirana mengangguk.“Tapi ingat, Nana pernah janji sama Ibu kalau Kak Jihan sudah sembuh, akan berhenti bekerja di sana. Ibu sebenarnya tidak rela melihat kamu dan Rey masih terikat satu sama lain, meskipun itu karena pekerjaan. Akan sulit untuk ka

    Terakhir Diperbarui : 2023-05-03
  • Istri Pura-Pura Direktur Kejam   Bab 10 - Pertemuan Lagi?

    Gadis berhijab abu-abu muda itu mulai menginjakkan kaki di jalan berpeping halaman kantornya. Seperti biasa, dia lebih memilih turun di pinggir jalan tak jauh dari gedung daripada harus diantar oleh Abang Gojek hingga ke depan lobby.Bukan malu, tapi Kirana lebih suka saja jalan kaki dari luar. Seandainya pun kos-nya dekat, dia mungkin lebih memilih jalan kaki. Namun, sayangnya karena jarak tempuhnya lumayan nguras tenaga jika harus ditempuh dengan berjalan kaki.“Kirana … tunggu!” suara teriakan itu sontak membuat Kirana menghentikan langkah. Dia berbalik, melihat sumber suara cempreng yang sangat dikenal selama hampir sebulan bekerja.“Apa, Din?” tanya Kirana sembari mengangkat satu alisnya. “Suaranya sampe gedung sebelah tau.”“Hari Minggu nanti kamu free, nggak?” tanya Dina. Mereka sembari terus berjalan beriringan.Kirana berdehem pelan. “Aku kerja pagi di kafe. Kenapa?”Dina memanyunkan bibir tipisnya. “Yaaa … padahal mau m

    Terakhir Diperbarui : 2023-05-04
  • Istri Pura-Pura Direktur Kejam   Bab 11 - Dzaka Melamar?

    Kirana memejamkan mata sebantar. Berusaha mengatur emosi yang mulai tak stabil. “Kalau begitu, kenapa aku harus terus menerus ikut terjerumus ke dalam sandiwaramu, Tuan?” Kirana menghela napas, lalu berjalan menghampiri Dzaka. Kemudian duduk di sofa lain tanpa dipersilakan. “Aku mungkin dibayar, tapi tidak bisa seenaknya diatur. Tuan bisa saja menjadikanku tameng karena uang, tapi aku bukan robot yang bisa mengikuti segala perintahmu tanpa memikirkan urusan pribadiku.”Wajah Dzaka berubah datar. “Lo bisa izin, kan?” tanyanya. “Gue bisa bayar dua kali lipat dari gaji lo yang hilang satu hari itu.”Kirana bergeming. Entah ada apa dengan dirinya yang dulu sangat berambisi untuk mendapatkan uang banyak, kini seakan-akan seperti tak butuh.Ah, bukan tidak butuh, tapi sisi lainnya justru memikirkan hal yang lain. Ia merasa telah sangat bersalah karena membantu seseorang berbohong dan mengorbankan pekerjannya.Kirana pun tak tahu apakah uang banyak yang

    Terakhir Diperbarui : 2023-05-04
  • Istri Pura-Pura Direktur Kejam   Bab 12 - Istri Pura-Pura?

    “Apa Tuan Dzaka berniat untuk menjadikanku istri bayaran? Atau jadi istri pura-pura juga?” tanyanya. “Maaf, Tuan. Mungkin saat ini uang begitu menarik untukku, tapi pernikahan bagiku tak bisa dihargai dengan uang.”Kini, Dzaka terdiam sembari meneguk ludahnya berulang kali. Bahkan, saat Kirana sudah melangkah pergi, mulutnya masih kelu untuk sekadar berkata-kata. “Bunda yang memintamu datang ke rumah hari Minggu.” Setidaknya hanya kata itu yang mampu keluar dari mulutnya. Dia melangkah menyusul Kirana yang nyatanya sedang berhenti tak jauh darinya. “Sekali ini, ya, temui Bunda.” Dzaka memohon.Kirana menunduk dan meremas jari-jarinya. Ia teramat bingung. Sungguh, pada mulanya dia tak menyangka jika menerima tawaran bersandiwara itu akan sedemikian rumit hingga membawanya untuk terus menerus dalam kepura-puraan. Jika ayahnya masih ada, mungkin dia akan dimarahi habis-habisan karena berbohong.“Bunda?” Kirana memastikan. Dia seperti tak bisa menola

    Terakhir Diperbarui : 2023-05-05
  • Istri Pura-Pura Direktur Kejam   Bab 13 - Pertemuan Kedua

    “Nggak direstui karena beda iman.” Jawaban Kirana sontak membuat Dzaka melongo heran.Bagaimana bisa perempuan berhijab seperti Kirana bisa mencintai pria yang berbeda iman? Sulit untuk dipercaya.Dzaka berucap pelan. “Wajar, sih.”“Apanya yang wajar, Pak?”“Wajar kalau tidak dapat restu,” balas Dzaka. Dia menoleh sebentar, kemudian bertanya, “Kamu tau ayat berapa yang mencantumkan kewajiban berhijab dalam Al-Qur’an?”Sebuah anggukan diberikan Kirana sebagai jawaban. “Al-Ahzab ayat 59, Al-A’raf ayat 26, dan An-Nur ayat 31,” imbuhnya kemudian.Dzaka mengangguk-angguk pelan. “Semestinya kamu juga tahu apa isi dari Al-Baqarah ayat 221, bahwa pernikahan beda agama itu dilarang,” ucapnya.“Aku tau, Pak.”“Tapi, kenapa dilanggar? Sedangkan, Al-Ahzab bisa diamalkan?” tanyanya, “menikah dengan yang seiman saja bisa salah pilih. Bagaimana jika tak seiman? Memang kamu mau dalam hidupmu salah pilih imam? Sudah sa

    Terakhir Diperbarui : 2023-05-05
  • Istri Pura-Pura Direktur Kejam   Bab 14 - Sahabat Ibu

    Alis tebal hitam milik Kirana terangkat. “Pertanyaan yang mana, Pak?” tanyanya bingung. Ia benar-benar tak mengerti dan belum bisa mencerna dengan baik.“Ajakan menikah,” timpal Dzaka.Kirana terpaku dalam diam. Sembari mengingat kejadian yang Dzaka maksud. Setelahnya, ia tertawa singkat seakan baru saja mendengar lelucon yang sangat lucu.“Kenapa? Kesurupan?”“Bapak kalau bercanda jangan bawa-bawa nikah.” Kirana mendongak ke arah Dzaka yang sudah bangkit dari tempat duduknya.“Aku tidak pernah bercanda untuk hal yang sakral,” balas Dzaka singkat, padat, dan jelas.“Tapi aku juga tidak akan mungkin menyimpan sandiwara untuk hal yang sakral, Pak!” tegas Kirana. Kini, dia juga sudah berdiri. Tatapannya tajam menahan gejolak emosi yang mulai memuncak. “Aku hanya ingin menikah sekali seumur hidup,” lirihnya pelan tapi penuh penekanan.“Dengan laki-laki yang beda iman?”Pertanyaan yang sontak menampar hati Kirana mem

    Terakhir Diperbarui : 2023-05-06
  • Istri Pura-Pura Direktur Kejam   Bab 15 - Kabar Buruk?

    Bunda Andari terkesiap mendengar ucapan Kirana. “Ibu? Ibu saha, Neng?”“Wulandari, itu nama sahabat Bunda, bukan?” tanya Kirana dibalas anggukan. “Itu juga nama ibuku. A women who gave birth to me. My heaven is under the soles of his feet.”(Seorang wanita yang telah melahirkanku. Surgaku ada di bawah telapak kakinya.)Mata Andari melebar. Dia mulai menyentah bahu Kirana dan menatapnya sangat dalam. “Kamu? Kamu teh putrinya Wulan? Friend-nya Bunda?” tanyanya sekadar memastikan.Kirana mengangguk. Bersamaan dengan Andari yang menghambur memeluknya. Erat dan sangat erat. Seolah kerinduan kepada sang sahabat dilampiaskan pada Kirana. Tidak salah, karena selama ini ia melihat ada diri Wulan pada diri Kirana. Tapi, ia tak mengambil pusing karena menjaga perasaan gadis yang diketahui adalah calon istri putranya.“Pantesan teh Bunda always ingat Wulan ketika bertemu Neng Kirana,” ucapnya di sela isakan. Ia mulai mengendurkan pelukannya

    Terakhir Diperbarui : 2023-05-06
  • Istri Pura-Pura Direktur Kejam   Bab 16 - Kekhawatiran Dzaka

    Gadis bermasker yang membawa tas ransel di punggungya itu berjalan cepat menyusuri koridor rumah sakit. Tersirat kecemasan dari sorot mata almondnya. Setelah mendapat kabar dari adiknya, ia sontak membatalkan janji dengan sang sahabat dan memutuskan pulang ke Makassar malam itu juga. Beruntung karena, ia masih dapat mengejar penerbangan paling cepat. Setelah kakinya berpijak kembali di tanah kelahiran sang ayah, ia tak pulang ke rumah melainkan langsung ke rumah sakit. Kabar buruk yang diterima dari Farhan, membuat Kirana panik bukan kepalang. Dia sangat takut, terjadi apa-apa dengan ibunya.“Farhan, bagaimana keadaan ibu?” tanyanya pada sang adik yang tengah duduk di ruang tunggu.Farhan spontan berdiri, lalu meraih dan mencium punggung tangan sang kakak dengan takzim.“Ibu masih belum sadar, Kak. Kata dokter itu hanya pengaruh obat bius tadi dan juga karena ibu terlalu syok, tapi,” ucapnya.“Tapi, apa? Katakan Farhan! Ibu kenapa?” Kira

    Terakhir Diperbarui : 2023-05-07

Bab terbaru

  • Istri Pura-Pura Direktur Kejam   END

    Pelan, Kirana membuka mata sembari menggeliat meregangkan otot-otot tubuhnya. Walau matanya masih berat terbuka, ia meraih ponsel untuk melihat jam. Sudah menunjukkan pukul setengah lima pagi.Sekilas ia menoleh ke samping. Memandangi wajah suaminya yang masih tidur nyenyak dengan dengkuran halus di dekat telinganya. Tangan kekarnya pun berada di atas perut Kirana.“Sayang, bangun. Sudah subuh,” bisik Kirana. Ia menyentuh pipi suaminya. Lantas, menarik menarik pelan hidung mancung Dzaka. Tak butuh waktu lama, Dzaka bergerak karena merasa terganggu, tapi masih enggan membuka mata. Dia tetap betah pada posisinya. Justru meringkuk seolah mencari kehangatan di sisi istrinya dengan mengeratkan pelukan. “Hei ... sudah subuh, Mas. Bangun, yuk.” Lagi, Kirana menyentuh lengan suaminya. Sesekali, mencubit daging yang terasa keras itu. “Biar seperti ini dulu sebentar, Sayang. Aku masih mau menikmati waktu sama kamu. Kalau Baby Dzakir bangun, yang

  • Istri Pura-Pura Direktur Kejam   Bab 122 - Baby Dzakir

    Baru saja, sepasang kaki Dzaka menjejaki teras, tetapi langkahnya seketika terhenti. Tubuhnya seolah beku di tempat manakala memikirkan Kirana yang tengah hamil. Perasaan bersalah pun menyeruak di hatinya. Mengingat, tadi ia tak sengaja membentak sang istri karena tengah dikuasi amarah yang hendak membalas dendam atas kematian papanya. Padahal, sejatinya balas dendam tak pernah ada dalam kamus kehidupan seorang Dzaka Hakeem.Rasa takut seolah sengaja mencekiknya. Isi kepalanya pun kian berkelana ke masa lampau, saat-saat di mana ia harus kehilangan calon buah hati karena keteledorannya sendiri.Dia tak mau, kehilangan kembali. Sungguh, ia tidak rela. Sebuah helaan napas berat terdengar darinya sembari mengingat kembali pesan-pesan Danial tadi malam. Dzaka menggeleng pelan, menyadari diri telah sangat berlebihan menyingkapi kehilangan yang mencekam batinnya. Detik kemudian, ia kembali melangkah. Bukan untuk melanjutkan misi, melainkan k

  • Istri Pura-Pura Direktur Kejam   Bab 121 - Kehilangan yang Mencekam

    Tatapan tajam itu berubah jadi sayu. Seakan di dalam sana terdapat sebuah penyesalan yang tak berujung. Terlebih, butiran bening juga tampak menghiasai pipi yang berisi kini tinggal sedikit daging terlapisi kulit. Tenaga yang kuat juga seolah sudah terkikis. Pria itu berbaring sangat lemah laksana tiada lagi ada daya untuk bergerak lebih banyak. “Maafkan atas semua kesalahan Papa pada kalian,” ucapnya lagi disertai dengan isak pilu mencekam. “Papa sangat jahat,” imbuhnya sembari menghapus air mata. Sesekali tersenyum masam. “Kami teh sudah memaafkan kamu, Danial.” Bunda Andari angkat bicara. Ekspresinya cukup tenang bak terpancar ketulusan yang tak pernah pupus.Dzaka dan Sekar pun ikut mengangguk sekadar memberi keyakinan pada sang papa. Sesaat, Dzaka membungkuk dan menyangga badan dengan kedua tangan di ranjang Danial.“Apa perlu aku mengambil tindakan untuk pelaku penganiayaan Papa?” tanya Dzaka. Terlihat jelas d

  • Istri Pura-Pura Direktur Kejam   Bab 120 - Maafkan Papa, Nak!

    Tangan Dzaka dan Kirana saling bertaut menyusuri koridor bangunan berdinding mayoritas putih itu. Cemas dan panik menghiasi wajah keduanya, bersama derap langkah memburu. Sampai di depan sebuah ruangan, sudah ada dua orang berkostum penjaga lapas baru saja selesai mengobrol dengan dokter. “Apa yang sebenarnya terjadi dengan Papa saya, Pak?” tanya Dzaka setelah sang dokter berlalu.Dua pria itu saling berpandangan sebentar.“Mohon maaf, Pak Dzaka. Sebenarnya Pak Danial sering mendapatkan tindak kekerasan dari penghuni lapas lain,” ungkap Pria bertopi hitam itu. “Beberapa penghuni lapas tau kasus Pak Danial sehingga dipenjara. Mereka tak terima dengan Pak Danial yang terlibat dalam kasus pelecehan dan perselingkuhan. Menurut mereka, tindakan itu sama sekali tak bermoral.”Dari ekspresinya, Dzaka terlihat kaget dengan pernyataan pria itu. Selama ini, tak ada tanda-tanda kekerasan ketika dia menjenguk Danial. Papanya pun seakan-akan terliha

  • Istri Pura-Pura Direktur Kejam   Bab 119 - Papa?

    Kirana menarik napas panjang barang tiga kali. Dalam genggamannya terdapat sebuah testpack yang sengaja belum dilihat hasilnya setelah melakukan pengecekan beberapa saat lalu.Jantungnya pun berpacu dalam kecepatan tinggi, bersama perasaan was-was yang ikut serta menyeruak membuatnya bimbang akan hasil tes kehamilannya yang pertama kali pasca keguguran.Sepulang dari puncak, Kirana kerap merasa cepat lelah dan sedikit mual. Jadwal tamu bulanannya pun bahkan sudah lewat sepekan. Hal itu membuatnya penasaran sehingga memutuskan untuk membeli testpack tanpa sepengetahuan Dzaka. Ia juga tak pernah mengatakan pada suaminya tentang keadaannya akhir-akhir ini. Kirana tak mau Dzaka terlalu berharap dan akhirnya kecewa jika hasilnya tak sesuai harapan. Pelan, Kirana membuka genggaman. Ia langsung bisa melihat testpack itu sudah memiliki garis dua. Artinya, dia positif?Kirana menutup mulut, lantas tersenyum senang dalam diam. Detik kemudian, ia

  • Istri Pura-Pura Direktur Kejam   Bab 118 - Perkara Merelakan

    “Sayang, aku dengar di Villa sekitar sini, ada acara pertunangan owner-nya 2R Cafe.”Kirana yang menyandarkan dagu di bahu suaminya, lantas menoleh memandang wajah Dzaka sekilas. Ah, lebih tepatnya ia memperhatikan cambang sang suami yang tampak semakin panjang. “Oh, ya? Rey atau Raya?” tanya Kirana penasaran. “Gak tau. Mau liat?” Mata Kirana terpejam sebentar, merasakan sejuknya udara perkebunan teh yang menyapu wajahnya. “Kita gak diundang. Datang tanpa diundang, namanya tamu tak diundang.” “Ngintip aja, kamu kan doyan ngintip.” Dzaka terkekeh, bersama dengan Kirana yang mencubit perutnya. Mereka diam beberapa saat. Sama-sama merasakan angin pagi Puncak menyapa. Pandangan Dzaka pun menyapu ke segala arah. Pemandangan yang cukup indah, tetapi seseorang yang tengah memeluk pinggangnya sembari bersandar di bahu tak kala indah, baginya. “Kenapa liatin terus? Baru tau suamimu punya kegantengan spek

  • Istri Pura-Pura Direktur Kejam   Bab 117 - Sirna Ditelan Kenyataan

    “Din, tunggu!” Fikri menarik paksa lengan Dina yang hendak berlari menghindarinya. Mereka sekarang berada di samping Villa, jalan menuju perkebunan teh. “Apa lagi? Bukankah kemarin sudah cukup jelas jawabanku atas lamaran Mas Fikri?” tanya Dina. Bola matanya yang semula menatap Fikri langsung, seolah dialihkan ke arah lain. Jujur, ia tak sanggup melihat mata Fikri lebih lama lagi. Dia takut, hatinya goyah dan terus menerus berharap tanpa kepastian. Di sudut lain, seseorang tengah mengintip dari balik tembok. Tadinya, ia ingin jalan-jalan. Merasakan udara pagi di perkebunan teh, tetapi drama cinta yang tak sengaja dilihat membuatnya menghentikan langkah. Lantas, memilih diam di pojokan. “Ngapain di situ, Sayang?” Sang suami yang tiba-tiba datang menoel pinggangnya. Membuatnya terlonjak, hampir berteriak. Tetapi, ia justru mendorong tubuh suaminya ke tembok agar tak menyelonong begitu saja. Kirana meletakkan jari telunjuk di

  • Istri Pura-Pura Direktur Kejam   Bab 116 - Bunga - Bunga Cinta yang Gugur

    Detik demi detik, Dzaka memutar tubuh dan menarik sang istri ke dalam pelukannya. Ia mengusap punggung Kirana sambil membisikkan kata-kata cinta.“Tiup lilinnya ... tiup lilinnya sekarang juga, sekarang juga ... sekarang juga!”Perlahan, Kirana melepaskan diri dari rengkuhan Dzaka. Sekilas, ia menghapus air mata yang membuat wajahnya basah. Sepersekian detik kemudian, dia meniup lilin disertai dengan tepukan gemuruh.“Ada yang mau disampaikan, Nona?” tanya Fikri. “Untuk suaminya, mungkin.”Fikri menyodorkan mic yang kemudian disambut Kirana.Helaan napas pelan terdengar dari mic saat Kirana hendak berbicara. Ia tersenyum, lantas memejamkan mata sebentar. “Eum ... masyaAllah terima kasih banyak teman-teman semuanya. Sungguh, aku terharu banget karena bertambahnya usia tahun ini diberi kesempatan berada di lingkaran orang-orang hebat.” Kirana meneguk ludah, sembari mengusap pipi yang masih terasa basah.Saat jiwa dan pera

  • Istri Pura-Pura Direktur Kejam   Bab 115 - Kejutan Birthday

    Pukul 10 pagi. Acara dibuka langsung oleh sang direktur, sekaligus memberi sedikit wejangan atau mengingatkan agar selalu menjaga citra perusahaan selama beraktivitas di puncak. Dia juga mengutarakan harapannya agar Family Gathering ini bisa berdampak dengan terjalinnya tali persaudaraan yang baik dalam perusahaan. Terlebih, Fam-Gath ini bisa menjadi wadah bagi karyawan lebih dekat pada pimpinannya.Beberapa rangkaian lomba yang dikhususkan antardivisi juga dilaksanakan untuk mengisi waktu dengan keseruan bersama. Masing-masing divisi mengirimkan peserta terbaiknya untuk unjuk kebolehan di depan petinggi sampai pemilik perusahaan. Keseruan dan kehebohan terus tercipta di tiap menit hingga jam berganti, bersama dengan matahari yang mulai condong ke Barat. Kegiatan yang dilombakan pun beragam. Ada lomba dance yang wajib menggunakan lagu dari daerah di Indonesia, lomba yel-yel menggunakan kostum seunik mungkin, lomba memasukkan pulpen dalam botol,

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status