Sekali lagi, Dzaka mencoba menghubungi, kali ini melalui whatsapp, tapi sama saja. Hanya memanggil, tak berdering. Dzaka mengusap wajahnya dengan kasar, lalu menutup laptop setelah mencatat sebuah alamat di catatan ponselnya. Setelah itu, ia berlalu pergi meninggalkan kursi kebesarannya.
“Aku serahkan perusahaan selama aku tidak berada di sini padamu, Fik. Persoalan meeting, aku masih bisa menghadiri melalui daring. Selama di luar kota, aku akan tetap memantau perusahaan. Jadi jangan macam-macam! Aku percaya sama kamu.”Ucapan bernada perintah itu diangguki Fikri sebagai jawaban. Kalau sudah seperti ini, Tuan Dzaka tidak akan pernah mau menerima penolakan.“Aku bawa mobil sendiri. Kamu di kantor saja,” ucapnya lagi.Fikri menundukan kepala tanda menyetujui perintah. “Salam sama Nona Kirana, Tuan.”“Hmm. Akan kusampaikan jika tak lupa,” katanya, lalu pergi.*******Kirana kembali ke rumah sakit semanjak pagi tadi.Andari tertawa masam. “Gelo maneh! Kamu teh enggak sadar dengan apa yang telah kamu lakukan padaku? Gampil pisan mengajak balikan,” cetusnya. “Tidakkah sedikit terbuka pintu hatimu untukku? Kalau bukan karena aku, setidaknya demi Dzaka dan Sekar. Demi anak-anak kita Andari,” ucap Danial memasang wajah memelas penuh permohonan. Andari menarik napas panjang, lalu membuangnya dengan kasar. “Kamari timana saja maneh? Baru mikir anak-anak sekarang? Apa karena gundikmu tak menarik lagi?” (Kemarin dari mana saja kamu?) Lagi-lagi, Danial diam. Nyalinya seketika menciut. “Geuleuh kalau menjadikan anak-anak reason untuk kembali. Mereka teh sudah terbiasa tanpa kamu, Danial. Mereka sudah nyaman dengan ibunya saja.”Matanya yang belo tak bisa menyembunyikan sakit yang mungkin tertusuk sangat dalam. Terlebih, saat mengingat kisah suram masa lalunya dengan pria di hadapannya. Bahkan, sampai saat ini, ia masih tak habis pikir kalau Dania
Hari sudah menjelang sore, Kirana masih betah seakan kepalanya enggan berpindah dari pangkuan ibunya. Sesekali ia memejamkan mata, ingin terbuai dalam mimpi, tapi Wulan yang terus mengajak bicara membuatnya urung untuk terlelap.Persoalan bunga mawar kuning, Kirana juga sudah tahu banyak hal. Ibunya sudah menceritakannya. Dia bahkan mengaku sangat ingin bertemu dengan sosok sahabat masa kecil yang terpisah karena keadaan. Konon, kata ibunya mereka bersahabat sejak usia dini sampai SMA. Tapi, karena Wulan memutuskan menikah dan ikut suaminya, dari sanalah hingga pada akhirnya semua berjarak sampai tak lagi bertukar kabar karena ponsel Wulan dicuri orang dan nomor ponsel Andari juga ikut menghilang. Mereka tak pernah lagi bertemu, karena Wulan ikut suaminya ke Makassar, sementara Andari ia tak tahu sudah seperti apa hidupnya sekarang?Meski sudah bercerita banyak, Kirana tak memberitahu Wulan kalau ia bertemu dengan Bunda Andari, sebab jika ia m
“Bapak yakin mau tau tentang keluargaku?” tanya Kirana tanpa menoleh. Dia terus berjalan dengan Dzaka di sebelahnya. “Emang Bapak tidak punya kerjaan lain di Makassar selain mencari tahu urusan keluargaku?” Ia sedikit melirik sinis. “Apa kata bunda kalau tahu orang tuamu dalam musibah tapi aku hanya berdiam diri? Ingat, status kita apa?” “Tapi kita hanya pura-pura, Pak,” sanggah Kirana. Mendadak menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Dzaka. “Ya. Itu menurut kita. Tapi, tidak dengan Bunda. Dan mungkin ia sudah mengatakannya pada ibumu di sana. Jadi, percuma saja kau mengelak terus. Tidak akan ada artinya.” Kirana tersentak dengan ucapan Dzaka. Dia baru ingat sekarang kalau meninggalkan ibunya hanya dengan Bunda Andari di kamar. Sesekali, ia meneguk ludahnya dalam-dalam, mengingat apa yang terjadi dengan nasibnya setelah ini? Mungkinkah ia akan terus melanjutkan sandiwara? Atau?“Apa menurut Bapak kita akan terus bersandiwara?” t
Sampai sambungan telepon itu terputus, Kirana rasanya masih berat untuk menerima kenyataan. Namun, bagaimanapun juga, dia hanya bekerja dan semua keputusan mutlak dimiliki oleh Raya, juga Rey.Sejatinya, dia menyadari terlalu banyak izin selama bekerja di kafe itu. Padahal, dia masih tergolong baru. Sampai ia kembali tak masuk bekerja karena ibunya terkena musibah, menjadi korban tabrak lari yang mengenaskan sehingga Kirana tak sampai hati untuk tidak bertolak pulang ke kota kelahiran ayahnya, Arman.Di situasi itulah, Kirana sempat berpikir untuk menerima lamaran Dzaka, tapi sisi lain dirinya justru menolak. Dia tidak mencintai pria itu. Mana mungkin ia menikah tanpa cinta hanya karena tujuan ingin mengurangi beban. Bagaimana kalau dirinya tak bahagia?Bukankah ia yang selalu bilang sendiri kalau pernikahan tak bisa dihargai dengan uang. Menikah tak hanya perkara menyatukan dua kepala. Tapi, harus dengan kesiapan mental, fisik, psikis, dan semuanya.
Hari ini, Kirana sudah kembali masuk bekerja Tumpukan pekerjaan yang telah ia tinggal selama sepekan ini cukup membuatnya sangat sibuk. Dia bahkan tak ada waktu untuk sekadar bersantai.Bahkan, dia hanya meninggalkan kursi dan meja kerjanya untuk salat. Makan siang, ia memilih membawanya ke ruangan. Makan sambil bekerja, cukup mengefisienkan waktu, mungkin. “Ra, kamu dengar rumor enggak kalau Pak Dzaka udah nikah?” tanya Dina yang tiba-tiba datang menarik kursinya di samping Kirana.Kirana diam mendengarkan, tangannya masih lihai menari di atas keyboard. Pandangannya, fokus ke arah layar. “Kira-kira kenapa ya kok tiba-tiba? Nggak ngundang-ngundang lagi. Nggak seru banget jadi direktur.” Mulutnya yang penuh dengan makanan masih terus mengoceh.“Apa jangan-jangan ceweknya jebol duluan ya?” tanyanya sontak membuat Kirana menghentikan aktivitas mengetiknya.“Ah, tapi masa sih Pak Dzaka gitu?” Dina bergumam sendiri.“P
Kirana masih membisu. Wajahnya pun sedikit demi sedikit memerah karena menahan air mata yang ingin membuncah. Meski sesekali, ia terlihat menghapus buliran bening yang berhasil lolos ke pipinya. “Mungkin kita memang ditakdirkan berjodoh, Na,” ucap Dzaka, ekspresinya datar.“Karena perjodohan orang tua di masa lalu?” Kirana menyunggingkan bibir dan tersenyum sinis. “Atau karena buah dari sandiwara kita?”Dzaka tak langsung menjawab. Wajahnya yang tegas terlihat menahan senyum.“Allah itu selalu punya alasan ketika menciptakan detail kejadian. Pertemuan kita, pertemuan bunda dan ibu lewat kita ... semua punya alasan. Dan boleh jadi, itu juga alasan kita dipertemukan, karena kita berjodoh. Ini bukan suatu yang kebetulan,” tutur Dzaka. “Bukan karena bertemu lalu berjodoh, tapi karena berjodoh kita bertemu," imbuhnya. Kirana kembali bungkam. Kini ia berpikir bahwa yang dikatakan Dzaka memang ada benarnya. Tidak ada kejadian pada se
Kirana kini sudah berdiri di depan lift tetapi ia meraih ponselnya sebelum pergi. Berniat untuk mengabari Dzaka kalau ia akan menunggu di jalan depan. Sejatinya, Kirana masih sangat takut ketahuan. Meski di sisi lain, posisinya tidak salah. Toh, ia sudah sah menjadi istri Dzaka Hakeem secara agama dan negara. Namun, jujur ... ia belum siap jika statusnya sebagai istri menjadi konsumsi publik. Ia merasa mentalnya masih sangat lemah untuk mendengar gunjingan yang mungkin akan memojokkan dirinya. Siapa dirinya ini? Dan siapa suaminya?Tidaklah mungkin matahari mengejar bulan, begitupun bulan mengejar matahari, tapi dengan kuasa Tuhan mereka bisa bertemu dengan adanya gerhana. Ya, mereka juga seperti itu, mungkin. Kirana menyadari, bahwa ucapan Dzaka sebelum mereka menikah itu benar, bukan karena bertemu lalu berjodoh, tapi karena berjodoh jadi bertemu. Ketika Tuhan menakdirkan dua hati untuk bersatu, maka Dia akan menggerakkan keduanya, bukan salah satunya.
Kirana masih mematung, pandangannya menelisik sosok pria yang sudah berdiri di hadapannya.Kirana dapat melihat pancaran kerinduan dari tatapan sayu pria itu, bersamaan dengan setetes buliran bening yang membasahi pipinya tetapi buru-buru dihapus agar tak ketahuan menangis. “Kau di sini, Kiranaku?” tanyanya lembut sembari menelisik sekeliling. Mungkin mencari tahu dengan siapa gadis pujaannya itu di sini?Pedulinya, kekhawatirannya masih sama seperti dulu. Tidak ada yang berubah. Kirana cukup bisa merasakannya. Kilau cinta dari matanya tidak bisa berbohong. Cinta itu masih ada. Benar-benar masih utuh. Rey, dia tidak main-main dengan cintanya, tapi sayangnya karena mereka berbeda, sehingga semesta pun tak membiarkan mereka bersama. Karena itu, di antara mereka berdua harus mengakui kekalahan. Kalah oleh keadaan. Tidak ada cinta yang akan menyatu pada dinding kalbu di antara keduanya. Melainkan cinta itu sendiri harus kembali pada pusaranya, meski
Pelan, Kirana membuka mata sembari menggeliat meregangkan otot-otot tubuhnya. Walau matanya masih berat terbuka, ia meraih ponsel untuk melihat jam. Sudah menunjukkan pukul setengah lima pagi.Sekilas ia menoleh ke samping. Memandangi wajah suaminya yang masih tidur nyenyak dengan dengkuran halus di dekat telinganya. Tangan kekarnya pun berada di atas perut Kirana.“Sayang, bangun. Sudah subuh,” bisik Kirana. Ia menyentuh pipi suaminya. Lantas, menarik menarik pelan hidung mancung Dzaka. Tak butuh waktu lama, Dzaka bergerak karena merasa terganggu, tapi masih enggan membuka mata. Dia tetap betah pada posisinya. Justru meringkuk seolah mencari kehangatan di sisi istrinya dengan mengeratkan pelukan. “Hei ... sudah subuh, Mas. Bangun, yuk.” Lagi, Kirana menyentuh lengan suaminya. Sesekali, mencubit daging yang terasa keras itu. “Biar seperti ini dulu sebentar, Sayang. Aku masih mau menikmati waktu sama kamu. Kalau Baby Dzakir bangun, yang
Baru saja, sepasang kaki Dzaka menjejaki teras, tetapi langkahnya seketika terhenti. Tubuhnya seolah beku di tempat manakala memikirkan Kirana yang tengah hamil. Perasaan bersalah pun menyeruak di hatinya. Mengingat, tadi ia tak sengaja membentak sang istri karena tengah dikuasi amarah yang hendak membalas dendam atas kematian papanya. Padahal, sejatinya balas dendam tak pernah ada dalam kamus kehidupan seorang Dzaka Hakeem.Rasa takut seolah sengaja mencekiknya. Isi kepalanya pun kian berkelana ke masa lampau, saat-saat di mana ia harus kehilangan calon buah hati karena keteledorannya sendiri.Dia tak mau, kehilangan kembali. Sungguh, ia tidak rela. Sebuah helaan napas berat terdengar darinya sembari mengingat kembali pesan-pesan Danial tadi malam. Dzaka menggeleng pelan, menyadari diri telah sangat berlebihan menyingkapi kehilangan yang mencekam batinnya. Detik kemudian, ia kembali melangkah. Bukan untuk melanjutkan misi, melainkan k
Tatapan tajam itu berubah jadi sayu. Seakan di dalam sana terdapat sebuah penyesalan yang tak berujung. Terlebih, butiran bening juga tampak menghiasai pipi yang berisi kini tinggal sedikit daging terlapisi kulit. Tenaga yang kuat juga seolah sudah terkikis. Pria itu berbaring sangat lemah laksana tiada lagi ada daya untuk bergerak lebih banyak. “Maafkan atas semua kesalahan Papa pada kalian,” ucapnya lagi disertai dengan isak pilu mencekam. “Papa sangat jahat,” imbuhnya sembari menghapus air mata. Sesekali tersenyum masam. “Kami teh sudah memaafkan kamu, Danial.” Bunda Andari angkat bicara. Ekspresinya cukup tenang bak terpancar ketulusan yang tak pernah pupus.Dzaka dan Sekar pun ikut mengangguk sekadar memberi keyakinan pada sang papa. Sesaat, Dzaka membungkuk dan menyangga badan dengan kedua tangan di ranjang Danial.“Apa perlu aku mengambil tindakan untuk pelaku penganiayaan Papa?” tanya Dzaka. Terlihat jelas d
Tangan Dzaka dan Kirana saling bertaut menyusuri koridor bangunan berdinding mayoritas putih itu. Cemas dan panik menghiasi wajah keduanya, bersama derap langkah memburu. Sampai di depan sebuah ruangan, sudah ada dua orang berkostum penjaga lapas baru saja selesai mengobrol dengan dokter. “Apa yang sebenarnya terjadi dengan Papa saya, Pak?” tanya Dzaka setelah sang dokter berlalu.Dua pria itu saling berpandangan sebentar.“Mohon maaf, Pak Dzaka. Sebenarnya Pak Danial sering mendapatkan tindak kekerasan dari penghuni lapas lain,” ungkap Pria bertopi hitam itu. “Beberapa penghuni lapas tau kasus Pak Danial sehingga dipenjara. Mereka tak terima dengan Pak Danial yang terlibat dalam kasus pelecehan dan perselingkuhan. Menurut mereka, tindakan itu sama sekali tak bermoral.”Dari ekspresinya, Dzaka terlihat kaget dengan pernyataan pria itu. Selama ini, tak ada tanda-tanda kekerasan ketika dia menjenguk Danial. Papanya pun seakan-akan terliha
Kirana menarik napas panjang barang tiga kali. Dalam genggamannya terdapat sebuah testpack yang sengaja belum dilihat hasilnya setelah melakukan pengecekan beberapa saat lalu.Jantungnya pun berpacu dalam kecepatan tinggi, bersama perasaan was-was yang ikut serta menyeruak membuatnya bimbang akan hasil tes kehamilannya yang pertama kali pasca keguguran.Sepulang dari puncak, Kirana kerap merasa cepat lelah dan sedikit mual. Jadwal tamu bulanannya pun bahkan sudah lewat sepekan. Hal itu membuatnya penasaran sehingga memutuskan untuk membeli testpack tanpa sepengetahuan Dzaka. Ia juga tak pernah mengatakan pada suaminya tentang keadaannya akhir-akhir ini. Kirana tak mau Dzaka terlalu berharap dan akhirnya kecewa jika hasilnya tak sesuai harapan. Pelan, Kirana membuka genggaman. Ia langsung bisa melihat testpack itu sudah memiliki garis dua. Artinya, dia positif?Kirana menutup mulut, lantas tersenyum senang dalam diam. Detik kemudian, ia
“Sayang, aku dengar di Villa sekitar sini, ada acara pertunangan owner-nya 2R Cafe.”Kirana yang menyandarkan dagu di bahu suaminya, lantas menoleh memandang wajah Dzaka sekilas. Ah, lebih tepatnya ia memperhatikan cambang sang suami yang tampak semakin panjang. “Oh, ya? Rey atau Raya?” tanya Kirana penasaran. “Gak tau. Mau liat?” Mata Kirana terpejam sebentar, merasakan sejuknya udara perkebunan teh yang menyapu wajahnya. “Kita gak diundang. Datang tanpa diundang, namanya tamu tak diundang.” “Ngintip aja, kamu kan doyan ngintip.” Dzaka terkekeh, bersama dengan Kirana yang mencubit perutnya. Mereka diam beberapa saat. Sama-sama merasakan angin pagi Puncak menyapa. Pandangan Dzaka pun menyapu ke segala arah. Pemandangan yang cukup indah, tetapi seseorang yang tengah memeluk pinggangnya sembari bersandar di bahu tak kala indah, baginya. “Kenapa liatin terus? Baru tau suamimu punya kegantengan spek
“Din, tunggu!” Fikri menarik paksa lengan Dina yang hendak berlari menghindarinya. Mereka sekarang berada di samping Villa, jalan menuju perkebunan teh. “Apa lagi? Bukankah kemarin sudah cukup jelas jawabanku atas lamaran Mas Fikri?” tanya Dina. Bola matanya yang semula menatap Fikri langsung, seolah dialihkan ke arah lain. Jujur, ia tak sanggup melihat mata Fikri lebih lama lagi. Dia takut, hatinya goyah dan terus menerus berharap tanpa kepastian. Di sudut lain, seseorang tengah mengintip dari balik tembok. Tadinya, ia ingin jalan-jalan. Merasakan udara pagi di perkebunan teh, tetapi drama cinta yang tak sengaja dilihat membuatnya menghentikan langkah. Lantas, memilih diam di pojokan. “Ngapain di situ, Sayang?” Sang suami yang tiba-tiba datang menoel pinggangnya. Membuatnya terlonjak, hampir berteriak. Tetapi, ia justru mendorong tubuh suaminya ke tembok agar tak menyelonong begitu saja. Kirana meletakkan jari telunjuk di
Detik demi detik, Dzaka memutar tubuh dan menarik sang istri ke dalam pelukannya. Ia mengusap punggung Kirana sambil membisikkan kata-kata cinta.“Tiup lilinnya ... tiup lilinnya sekarang juga, sekarang juga ... sekarang juga!”Perlahan, Kirana melepaskan diri dari rengkuhan Dzaka. Sekilas, ia menghapus air mata yang membuat wajahnya basah. Sepersekian detik kemudian, dia meniup lilin disertai dengan tepukan gemuruh.“Ada yang mau disampaikan, Nona?” tanya Fikri. “Untuk suaminya, mungkin.”Fikri menyodorkan mic yang kemudian disambut Kirana.Helaan napas pelan terdengar dari mic saat Kirana hendak berbicara. Ia tersenyum, lantas memejamkan mata sebentar. “Eum ... masyaAllah terima kasih banyak teman-teman semuanya. Sungguh, aku terharu banget karena bertambahnya usia tahun ini diberi kesempatan berada di lingkaran orang-orang hebat.” Kirana meneguk ludah, sembari mengusap pipi yang masih terasa basah.Saat jiwa dan pera
Pukul 10 pagi. Acara dibuka langsung oleh sang direktur, sekaligus memberi sedikit wejangan atau mengingatkan agar selalu menjaga citra perusahaan selama beraktivitas di puncak. Dia juga mengutarakan harapannya agar Family Gathering ini bisa berdampak dengan terjalinnya tali persaudaraan yang baik dalam perusahaan. Terlebih, Fam-Gath ini bisa menjadi wadah bagi karyawan lebih dekat pada pimpinannya.Beberapa rangkaian lomba yang dikhususkan antardivisi juga dilaksanakan untuk mengisi waktu dengan keseruan bersama. Masing-masing divisi mengirimkan peserta terbaiknya untuk unjuk kebolehan di depan petinggi sampai pemilik perusahaan. Keseruan dan kehebohan terus tercipta di tiap menit hingga jam berganti, bersama dengan matahari yang mulai condong ke Barat. Kegiatan yang dilombakan pun beragam. Ada lomba dance yang wajib menggunakan lagu dari daerah di Indonesia, lomba yel-yel menggunakan kostum seunik mungkin, lomba memasukkan pulpen dalam botol,