“Berhenti, Aretha!” Pineti memekik begitu melihat sang putri menggores lengan kiri dengan pecahan kaca. Wanita itu bergegas menghampiri Aretha yang bersimpuh di sandaran ranjang dan berada di antara beling yang berserakan. Sangat jelas bahwa putrinya mengamuk dan menghacurkan segala benda yang ada di depan mata. Namun, yang paling mengejutkan adalah Aretha tak segan menyakiti dirinya sendiri karena ledakan emosi. Pineti merebut beling dari tangan sang putri dan lantas memekik kencang. “Apa kau sudah gila, Aretha?!” Akan tetapi, lawan bincangnya tak membalas. Tubuh istri Denver Herakles itu lemas, bahkan ketika Pineti meraihnya malah tumbang. Ya, Aretha ambruk karena sudah tak sadarkan diri. “Aretha? Aretha?! Bangunlah, Aretha!” Pineti memanggil nama putrinya dengan buncah, tapi Aretha terkulai tak mau membuka matanya. “Apa yang terjadi pada putri kita, Sayang? Aretha tidak mau bangun ….” Nyonya Devante itu berpaling dengan wajah gelisah ke arah Tigris. Kepala keluarga Devante te
‘A-apa maksudnya? Dia … tidak mungkin bicara tentang kejadian saat bulan madu itu ‘kan?!’ Anais merasa cemas dalam hatinya. ‘Tidak, tidak … itu tidak mungkin!’Tak bisa dipungukiri bahwa ucapan Jade menggiring pikirannya pada insiden di Pelican Reef Resort, kala dirinya tak sengaja melihat sang pria yang telanjang di kamar mandi. Kebuncahan menyerang wajahnya. Anais was-was, terlebih kini Jade malah menatapnya intens seolah sedang membaca pikirannya.“Apa yang ada di otak kecilmu, istriku?” Jade berkata selaras dengan alis sebelah kirinya yang terangkat.Sungguh, kata-kata dan puduan ekspresinya benar-benar tampak seperti ejekan bagi Anais.Wanita itu lekas mendorong suaminya sembari menyergah, “aish … menyingkirlah dariku!”Dia bangkit dari ranjang dan buru-buru merapatkan tali piyamanya. Dia begitu keras menyembunyikan rasa malunya, wajahnya terpampang angkuh meski sangat merah.Melihat tindakan Anais yang kelakaban, Jade pun menahan seringainya. ‘Astaga, kelinciku benar-benar memil
“Mengapa Kak Denver hanya diam? Apa Kak Denver tak sanggup melakukannya?! Kak Denver lebih memilih nyawa Kak Anais dibanding Aretha?!” Denver hanya bungkam mendengar seluruh tuntutan sang istri. Dirinya menatap wajah berang wanita itu, yang hanya menampilkan hasrat menguasai yang besar. ‘Aku yakin, pilihanku menikahi Aretha tidak salah. Dia sangat berambisi, sama persis sepertiku. Karena kita berdua sangat mirip, aku yakin kita bisa mencapai puncak bersama-sama. Meski sekarang tidak mengakui Aretha, tapi Ibu pasti segera menerimanya setelah melihat kemampuannya,’ batin Denver dalam senyap. Tangannya menjulur, merengkuh pipi istrinya yang kini basah karena air mata. “Tenanglah, Sayang. Walau kau tidak memintanya, aku pasti akan memusnahkan jalang itu, beserta anjing liar yang terus mengganggu jalan kita!” tukasnya meyakinkan. “Lihatlah aku, kau bisa memegang janjiku. Hanya kau, wanita yang pantas berdiri di sisiku. Mari kita tunjukan pada semua, bahwa kita bisa mencapai segalanya!”
“Si-siapa dia?” Anais mengernyit dengan tatapan curiga saat melihat sosok anak lelaki kecil memegang kamera di bawah pohon.Sang suami yang berada di dekatnya pun ikut berpaling. Sorot matanya yang tajam membuat bocah tadi bergidik ketakutan. Namun, Jade tak bisa melepas begitu saja mengingat istrinya sangat rentan dengan gosip. Jadi, dia pun waspada pada siapapun, terlebih wartawan. Apalagi anak kecil tadi juga mengambil potret Anais dan dirinya.“Apa yang kau lakukan?” tukas Jade dengan air muka datarnya.Mulanya anak kecil tersebut tak bergerak sedikitpun, dia terlanjur ketakutan karena pandangan Jade yang seolah memberinya tekanan.“Bawa kamera itu ke sini, atau aku menghancurkannya.” Jade kembali berkata dengan sengitnya.Akan tetapi, Anais yang mendengarnya pun seketika menyahut, “mengapa kau sangat kasar padanya? Dia hanya anak kecil, kau tidak perlu membuatnya ketakutan.”Alih-alih menuruti permintaan sang istri, Jade malah tak peduli. Dia berpaling ke arah anak kecil tadi, me
“Jangan menyesal jika kau kalah!” Anais berkata tedas seiring dengan sorot matanya yang kian tajam.Dirinya yang telah mengganti pakaian dengan baju khusus berkuda dari petugas arena tersebut, tersenyum miring ke arah sang suami yang kini mengelus kuda di sebelahnya. Pria itu hanya bungkam, tapi raut wajahnya yang dingin seakan mengejek Anais yang tampak percaya diri.Sang wanita meraih helm sembari berkata, “kau yang menantangku dan mengatakan sendiri bahwa pemenang bisa meminta apapun. Jadi, bersiaplah mengabulkan permintaanku!”Alih-alih langsung membalas ucapan sang istri, Jade hanya mengedutkan alisnya. Dia perlahan mendekati Anais dan tiba-tiba merengkuh helm wanitanya. Seketika, Anais pun tersentak, dirinya hendak menghindar, tetapi rupanya Jade malah membenarkan posisi helmnya yang miring. Bahkan suaminya itu juga memasang kaitannya agar aman.“Pakailah dengan benar. Setidaknya jika nanti kau kalah, kau tidak terlihat menyedihkan, istriku,” tuturnya dengan alis terangkat sebel
Tanpa Anais tahu, rupanya Jade dan Hans sudah sejak lama membuat kesepakatan untuk menghancurkan Dante’s Gallery yang dilindunginya mati-matian. Pimpinan Hera Group itu sangat menginginkan tanah yang ditempati Dante’s Gallery untuk pembangunan hotel Herakles yang baru, tapi sayangnya tidak mudah mendapatkannya meski dia bekerja sama dengan DV Group sampai menjadi besan Tigris, sebab tanah dan property galeri itu secara sah milik Anais.“Aku memberimu kesempatan kembali ke Herakles dan bahkan membuka peluang bersaing dengan Denver bukan untuk mewadahimu bercinta dengan putri sulung Tuan Tigris! Lakukan tugasmu dengan benar, sebelum aku berubah pikiran.” Hans mendengus pelan, tapi setiap katanya mengandung gertakan tedas.“Masalah bercinta atau bukan, itu urusan saya, Kakek. Bukankah tidak sopan jika Anda mengawasi saya bahkan sampai pada hal pribadi?” sahut Jade yang membuat Hans menyeringai samar. “Lalu, apakah Anda yakin akan berubah pikiran? Anda menyerahkan tugas ini pada saya, jad
“Aku tahu, pasti hanya kau yang mengingat hari ini,” tutur Anais begitu melihat sosok pria dengan pakaian gelap keluar dari apartementnya.Sang lawan bincang seketika berhenti dengan wajah kaku, dia terkejut mendapati Anais sudah rapi di depan tempat tinggalnya di jam sepagi ini.“Mengapa kau ada di sini, Anais?” tukas Eldhan bertanya.Maniknya hanya menilik wanita itu sekilas, dan langsung beralih ke samping karena tak ingin memaku tatapan pada Anais.“Mengapa kau bertanya? Bukankah tujuan kita sama?” Anais menyahut seiring dengan sorot matanya yang memindai pakaian Eldhan. “Ke mana lagi kau akan pergi dengan baju seperti ini, jika bukan untuk menemui orang tuaku?”Ya, hari ini adalah tepat 17 tahun mendiang ayah dan ibu kandung Anais meninggal dunia. Setiap tahun wanita itu selalu mengunjungi makam kedua orang tuanya
“Apa yang baru saja kau katakan, Jade?!” Anais berkata tegas untuk menuntut penjelasan.Dia mendelik tajam menatap wajah Jade yang terpampang penuh ejekan pada lawan bincangnya, dan kala manik Anais beralih ke arah Eldhan, dia bisa melihat temannya itu menegang.“Eldhan, apa maksud kata-kata Jade tadi?” tukas Anais beralih menyelidikinya.Akan tetapi, sang pemilk nama seperti kehilangan suara hingga hanya diam membisu. Rahangnya mengencang seperti tengah menahan amarah terpendam. Memang, pria itu telah menutupi perasaannya rapat-rapat, tapi sialnya orang-orang menyebalkan di sekitarnya mengetahui hal tersebut.Bahkan kala itu dia rela merendah di hadapan Aretha demi menyembunyikan rasa cintanya pada Anais, tetapi kini Jade malah membongkarnya tanpa ragu.Dengan menarik napas dalam, dia pun berupaya menerangkan, “Anais, aku bisa menjelaskannya.”“Bualan apa lagi yang ingin kau katakan?” Jade menyambar sengit, dan lantas menggulir irisnya pada Anais. “Kau dengar sendiri, bukan? Dia bahk