‘Dia?’ Anais mengerjap dengan netra bulatnya.Mau seberapa lama dia menilik pria yang baru saja turun dari mobilnya, sosok itu tetap saja membuatnya tercengang.“Wah … aku tidak salah lihat ‘kan? Sial, aku kira dia orang lain!” tukas Anais masih memaku pandangan.Eldhan, yang malam ini datang memakai setelan jas biru tuanya, tampak lebih bersinar dari biasanya. Auranya berubah teduh, sungguh serasi dengan garis wajahnya yang juga rupawan.“Apa kau sudah lama menungguku?” tutur sang pria kala berhenti di hadapan Anais.Wanita yang memegangi dompet mungilnya itu memindai teman prianya dari atas sampai bawah. Tingkahnya itu seketika memacu rasa segan bagi Eldhan, hingga pria tersebut berdehem agak keras. “Ehem! Apa yang kau lihat?” sungutnya seraya merapikan pangkal dasi yang terasa mencekik lehernya.Anais tampak menahan senyum, sampai-sampai membuat area tulang pipinya menegang.“Cih!”Alih-alih langsung menjawab, wanita itu mendesis kecut sembari membuang pandangan.“Apa aku seburuk
“Kita lihat saja, bisakah Anda mendapatkan apa yang Anda inginkan itu!” tukas Anais melirik sengit ke arah Jade yang berada tepat di dekatnya.Dengan gerakan halusnya, wanita itu pun meraih salah satu gelas wine dari tangan Jade. Begitu dia mengambil langkah mundur, bibirnya lantas berbisik, “terima kasih untuk minumannya, Tuan!”Kakinya hendak melenggang, tapi seketika lengannya ditahan oleh Jade yang entah mengapa menjadi terprovokasi. Tanpa sadar, dia malah mencengram tangan atas Anais, hingga wanita itu mengernyit menahan sakit. ‘Berengsek! Apa yang dilakukan pria ini?!’ sungut Anais membatin.Namun, meski lengannya nyaris putuspun, dirinya tak sudi merintih apalagi memohon pada Jade. Dengan ego yang mendominasi tinggi, wanita itu pun memberang, “Singkirkan tangan Anda, sebelum Anda menyesalinya!”Sorot matanya terpampang tegas seolah ingin menusuk Jade hidup-hidup. Akan tetapi, pria yang dihadapinya bukanlah orang sembarangan. Semakin Anais melawan, maka hasrat Jade juga semak
“Apa yang terjadi di sana?”Pineti dan Tigris yang tengah berbincang bersama Leah juga Hans, tampak celingukan karena keributan di dekat ballroom.Nyonya Devante itu menyatukan alisnya saat perasaanya tak nyaman. Sebab dia teringat bahwa Aretha dan Denver baru saja pamit ingin berdansa di sana.“Sayang, sepertinya ada insiden di bawah,” tuturnya berbisik pada Tigris.Sang suami pun menggulir irisnya ke arah yang ditunjukan Pineti. Dan benar saja, dari sudut pandangnya, setiap pasang mata tengah memaku tatapan pada seseorang yang terjatuh di lantai.“Ada keributan apa itu?!”Dari samping, Hans pun tak kalah penasaran. Lelaki tua itu mengerutkan dahinya seolah tak senang ada sesuatu merusak acara cucunya.“Tunggulah di sini, Ayah. Aku akan meminta pengawal memeriksanya,” sahut Leah dari sebelahnya.Namun, agaknya pimpinan Hera Group itu sudah lebih dulu tersengat amarah.“Untuk apa menunggu?! Aku harus melihatnya sendiri!” sambarnya tedas.Sosok keras yang tak mudah ditentang tersebut t
‘A-apa yang baru saja dia katakan?’ batin Anais dengan mata selebar piring.Dirinya yang berada di naungan Jade, kini merasakan sensasi kabut panas naik ke hatinya. Tak nyaman, tapi entah mengapa juga mendebarkan.“Siapa kau berani bicara kasar padaku?!” Pineti menggeram tegas.Dia yang menjadi bahan tontonan itu tak ingin tersudut. Tangannya berupaya untuk lepas, tapi agaknya Jade masih belum puas sampai kening nyonya Devante tersebut mengernyit menahan sakit.“Anda tidak perlu tahu siapa saya!” Pria itu pun menghempaskan lengan Pineti hingga wanita setengah baya itu nyaris tersungkur.Jade memicing keji seakan memberikan peringatan terakhir, bahwa ancamannya bukan sekedar kata-kata belaka.Dan tanpa menguarkan apapun, sang pria melingkarkan lengan kekarnya ke bahu Anais, lantas membimbingnya keluar dari kerumunan orang-orang biadab tersebut.‘Hah … sial! Dari mana Anais mengenal pria berengsek itu?!’ batin Pineti masih terbakar kesumat.Dirinya bahkan tidak mengingat tampang Jade yan
‘Sial! Situasi macam apa ini?’ Anais mengumpat dalam hatinya.Pergi dari panggung drama yang diciptakan Aretha, agaknya tak membuat keadaan langsung tenang. Berada di antara dua pria yang saling menahan tangannya, sungguh memalukan baginya.‘Orang-orang sedang melihat kita, tapi mengapa mereka tidak ada yang mengalah?!’ Wanita itu melanjutkan gemingnya dengan kesal.“Kau tidak perlu sungkan untuk menolak pria itu, Anais.”Tiba-tiba saja suara Eldhan memecah hening. Sorot matanya tergambar jelas bahwa dirinya meminta sang wanita untuk mempercayainya. Dia pun yakin bahwa Anais yang sudah mengenalnya sejak kecil tidak akan ragu memilihnya.Alih-alih membalas, wanita tersebut hanya meliriknya dengan wajah penuh pertimbangan. Ekspresi itu juga berlaku kala irisnya beringsut ke arah Jade.‘Aku sangat malas jika harus bersama pria aneh itu lebih lama, tapi kalau aku pulang bersama Eldhan, tidak ada jaminan Jade memenuhi janjinya untuk memberikan rekaman CCTV hotel.’ Anais bingung dalam benak
‘Aish, sial! Pria ini tidak berniat menculikku ‘kan?’ Anais menerka disertai umpatan dalam batin.Irisnya melayap ke luar jendela, coba memastikan kembali pengelihatannya. Dan benar, limosin yang tengah ditumpanginya kini menembus jalanan sepi yang di pagari jajaran pohon. Sungguh berlawanan dengan nuansa perkotaan.Tak mau pusing sendiri, wanita itu pun mengalihkan pandangan pada Jade.“Ke mana kita akan pergi?” sungutnya tanpa unsur ramah.Alisnya menyatu, kerutan samar pun tercetak di keningnya sebab tersengat getir kemurkaan.“Bukankah Anda ingin mengambil rekaman CCTV itu?”Alih-alih menerangkan, Jade malah membalas dengan pertanyaan ambigu. Anais yang belum bisa menaruh kepercayaan, tentu akan curiga padanya.‘Sebenarnya apa yang direncanakan pria ini? Dia tidak mungkin tinggal di dalam hutan, bukan?’ Sang wanita membatin ragu.Melihat air muka Anais yang bingung, Jade malah kian membungkam dan tak ingin menjelaskan apapun. Ekspresi yang tersembunyi di balik wajah datarnya seper
Masih di tempat yang sama, Jade terjaga semalaman dengan Anais yang terlelap di bahunya. Bahkan keram yang menyiksa pundak, sampai diabaikan olehnya. ‘Saat bangun, wanita ini selalu menunjukan wajah angkuh dan ekspresi yang tegang, tapi … mengapa saat menutup mata, dia terlihat cukup manis?’ Pria itu membatin sembari tak lekang memandangi iras muka Anais. Sensasi menggelitik pun mengusik jiwanya. Dan berikutnya Jade segera menampik monolongnya dalam hati. Bibirnya tersungging miring seraya mengumpat, “sial! Apa yang baru saja aku pikirkan? Konyol sekali!” Dengan kesengitan yang menggantung di kepala, Jade pun membuang pandangan ke luar jendela. Namun, tiba-tiba saja dia merasakan sesuatu bergetar di sebelah pahanya. Pria tersebut berpikir ada seseorang yang menghubungi dirinya, tapi ketika melirik ke samping, rupanya ponsel Anais-lah yang mendapat panggilan. “Cih!” Mulutnya seketika berdesis saat mengetahui nama yang terpampang di layar yang mirip dengan miliknya tersebut. Dia m
“Hah? Apa Kak Anais sadar dengan apa yang baru saja Kakak katakan?!” Aretha langsung mendidih seolah dirinya tersiram kuah panas. Sederet ucapan Anais yang terdengar besar kepala, membuat hatinya meringking jijik. Tangannya pun sudah gatal ingin menjambak surai panjang sang kakak dan ingin menyeretnya ke jalanan. “Harusnya kau berkaca sebelum bicara, Kak! Mana mungkin Kak Denver menelan ludahnya sendiri? Mustahil dia menyesal karena membuang mantannya yang seperti sampah!” sungut putri kesayangan Pineti itu lebih keras. Setiap katanya memang mengandung cibiran magma, tapi lawan bincangnya masih memamerkan tampang sedingin gletser. Dengan wajah teramat datar, Anais pun menyambar, “Adikku, bukankah lebih baik kau bertanya langsung pada pria yang kau puja itu? Tanyakan, mengapa dia selalu muncul di hadapanku?! Aku benar-benar muak melihatnya!” Sungguh, auranya yang tersiar tedas, memang menggambarkan amukan yang tertahan. Dirinya tak ingin menurunkan harga diri dengan meladeni adik