‘A-apa yang baru saja dia katakan?’ batin Anais dengan mata selebar piring.Dirinya yang berada di naungan Jade, kini merasakan sensasi kabut panas naik ke hatinya. Tak nyaman, tapi entah mengapa juga mendebarkan.“Siapa kau berani bicara kasar padaku?!” Pineti menggeram tegas.Dia yang menjadi bahan tontonan itu tak ingin tersudut. Tangannya berupaya untuk lepas, tapi agaknya Jade masih belum puas sampai kening nyonya Devante tersebut mengernyit menahan sakit.“Anda tidak perlu tahu siapa saya!” Pria itu pun menghempaskan lengan Pineti hingga wanita setengah baya itu nyaris tersungkur.Jade memicing keji seakan memberikan peringatan terakhir, bahwa ancamannya bukan sekedar kata-kata belaka.Dan tanpa menguarkan apapun, sang pria melingkarkan lengan kekarnya ke bahu Anais, lantas membimbingnya keluar dari kerumunan orang-orang biadab tersebut.‘Hah … sial! Dari mana Anais mengenal pria berengsek itu?!’ batin Pineti masih terbakar kesumat.Dirinya bahkan tidak mengingat tampang Jade yan
‘Sial! Situasi macam apa ini?’ Anais mengumpat dalam hatinya.Pergi dari panggung drama yang diciptakan Aretha, agaknya tak membuat keadaan langsung tenang. Berada di antara dua pria yang saling menahan tangannya, sungguh memalukan baginya.‘Orang-orang sedang melihat kita, tapi mengapa mereka tidak ada yang mengalah?!’ Wanita itu melanjutkan gemingnya dengan kesal.“Kau tidak perlu sungkan untuk menolak pria itu, Anais.”Tiba-tiba saja suara Eldhan memecah hening. Sorot matanya tergambar jelas bahwa dirinya meminta sang wanita untuk mempercayainya. Dia pun yakin bahwa Anais yang sudah mengenalnya sejak kecil tidak akan ragu memilihnya.Alih-alih membalas, wanita tersebut hanya meliriknya dengan wajah penuh pertimbangan. Ekspresi itu juga berlaku kala irisnya beringsut ke arah Jade.‘Aku sangat malas jika harus bersama pria aneh itu lebih lama, tapi kalau aku pulang bersama Eldhan, tidak ada jaminan Jade memenuhi janjinya untuk memberikan rekaman CCTV hotel.’ Anais bingung dalam benak
‘Aish, sial! Pria ini tidak berniat menculikku ‘kan?’ Anais menerka disertai umpatan dalam batin.Irisnya melayap ke luar jendela, coba memastikan kembali pengelihatannya. Dan benar, limosin yang tengah ditumpanginya kini menembus jalanan sepi yang di pagari jajaran pohon. Sungguh berlawanan dengan nuansa perkotaan.Tak mau pusing sendiri, wanita itu pun mengalihkan pandangan pada Jade.“Ke mana kita akan pergi?” sungutnya tanpa unsur ramah.Alisnya menyatu, kerutan samar pun tercetak di keningnya sebab tersengat getir kemurkaan.“Bukankah Anda ingin mengambil rekaman CCTV itu?”Alih-alih menerangkan, Jade malah membalas dengan pertanyaan ambigu. Anais yang belum bisa menaruh kepercayaan, tentu akan curiga padanya.‘Sebenarnya apa yang direncanakan pria ini? Dia tidak mungkin tinggal di dalam hutan, bukan?’ Sang wanita membatin ragu.Melihat air muka Anais yang bingung, Jade malah kian membungkam dan tak ingin menjelaskan apapun. Ekspresi yang tersembunyi di balik wajah datarnya seper
Masih di tempat yang sama, Jade terjaga semalaman dengan Anais yang terlelap di bahunya. Bahkan keram yang menyiksa pundak, sampai diabaikan olehnya. ‘Saat bangun, wanita ini selalu menunjukan wajah angkuh dan ekspresi yang tegang, tapi … mengapa saat menutup mata, dia terlihat cukup manis?’ Pria itu membatin sembari tak lekang memandangi iras muka Anais. Sensasi menggelitik pun mengusik jiwanya. Dan berikutnya Jade segera menampik monolongnya dalam hati. Bibirnya tersungging miring seraya mengumpat, “sial! Apa yang baru saja aku pikirkan? Konyol sekali!” Dengan kesengitan yang menggantung di kepala, Jade pun membuang pandangan ke luar jendela. Namun, tiba-tiba saja dia merasakan sesuatu bergetar di sebelah pahanya. Pria tersebut berpikir ada seseorang yang menghubungi dirinya, tapi ketika melirik ke samping, rupanya ponsel Anais-lah yang mendapat panggilan. “Cih!” Mulutnya seketika berdesis saat mengetahui nama yang terpampang di layar yang mirip dengan miliknya tersebut. Dia m
“Hah? Apa Kak Anais sadar dengan apa yang baru saja Kakak katakan?!” Aretha langsung mendidih seolah dirinya tersiram kuah panas. Sederet ucapan Anais yang terdengar besar kepala, membuat hatinya meringking jijik. Tangannya pun sudah gatal ingin menjambak surai panjang sang kakak dan ingin menyeretnya ke jalanan. “Harusnya kau berkaca sebelum bicara, Kak! Mana mungkin Kak Denver menelan ludahnya sendiri? Mustahil dia menyesal karena membuang mantannya yang seperti sampah!” sungut putri kesayangan Pineti itu lebih keras. Setiap katanya memang mengandung cibiran magma, tapi lawan bincangnya masih memamerkan tampang sedingin gletser. Dengan wajah teramat datar, Anais pun menyambar, “Adikku, bukankah lebih baik kau bertanya langsung pada pria yang kau puja itu? Tanyakan, mengapa dia selalu muncul di hadapanku?! Aku benar-benar muak melihatnya!” Sungguh, auranya yang tersiar tedas, memang menggambarkan amukan yang tertahan. Dirinya tak ingin menurunkan harga diri dengan meladeni adik
‘Kau memang berengsek, Aretha!’ Anais mengumpat dalam benaknya.Hatinya yang remuk berkeping-keping karena ulah Denver, agaknya tak ada waktu untuk sembuh sebab tingkah adiknya.Meski perih, Anais memaksa dirinya untuk mendekat. Dia tak ingin lagi kehilangan bukti bahwa Aretha itu jalang dengan banyak wajah.“Sial, mengapa kau sampai berani berbuat sejauh ini? Bagaimana kalau kau ketahuan?” tutur suara perempuan tadi terdengar lagi.Rupanya dua orang pelayan tengah mengobrol di sudut ruang tengah seraya mengelap meja. Tanpa sepengetahun mereka, Anais pun menyelinap di balik dinding dengan fitur perekam menyala di layar ponselnya.“Hei, bagaimana mungkin aku melawan Nona Aretha? Aku bisa langsung dipecat olehnya.” Pelayan dengan tahi lalat di atas bibirnya itu mengeluh.Ya, Anais sudah tak terkejut. Dia memang orang yang diam-diam masuk kamarnya dengan dalih bersih-bersih.“Saat itu aku hampir dipergoki Nona Anais setelah merusak jahitan gaunnya, tapi aku masih selamat. Beruntungnya No
‘Sialan, berani sekali anak pungut ini berusaha menyingkirkanku!’ sengit Pineti membatin kesal.Dirinya terus mengutuk seiring dengan kepalan tangannya yang kian gemetar. Dia tak menyangka, sekitar 17 tahun berlalu, anak kecil yang selalu diremehkannya kini berlagak mengusirnya dari mansion Devante.“Hei, apa kau sadar dengan apa yang sudah kau katakan, Anais? Apa kau tidak ingat siapa orang yang meraih tanganmu saat kau hanya sebatang kara?! Mungkinkah kau—”“Ibu!” Anais lekas memangkas ucapan Pineti dengan tegas. “Saya belum selesai bicara!”“Apa?”Seketika, istri Tigris Devante itu pun tersentak dengan alis menukik tajam. Dia tak mengira bahwa Anais yang selama ini menampilkan sikap lugu, malah berani membentaknya.“Bagian saya bicara belum selesai. Jika Ibu melempar kata sembilan kali, maka saya pun berhak menjawab sembilan kali juga!” sahut Anais dengan manik terpampang tajam.Sungguh, ekspresinya terjaga teguh. Menampilkan jelas kekesalan yang terkungkung dalam dadanya.“Ibu ter
Anais menelan salivanya getir kala menerima memo dari pegawainya. Dirinya yang nyaris pingsan karena tekanan masalah, harus menguatkan raga untuk menenangkan investornya.“Mungkin kita masih ada kesempatan, tapi ….” Velma meredam ucapnya kala Anais mulai membaca pesan singkat tersebut.Manik hazel sang direktur tampak menyorotkan banyak maksud.“Yah, ini tidak masalah. Saya akan memenuhi permintaan Tuan Feanton,” tukas Anais tanpa basa-basi.Keputusan yang terdengar mendadak itu, malah memicu keraguan di benak Velma.Dia mengerutkan kening, dengan ragu dia pun bertanya, “apa Anda yakin baik-baik saja, Nona? Tempat yang beliau minta agak ….”Ya, lelaki bernama Feanton, seorang investor lama di Dante’s Gallery itu meminta Anais agar mengunjunginya di hotel malam ini.Anais yang memulai perkara karena telat dalam pertemuan pagi ini, tentunya tak bisa bersikap angkuh dengan menolaknya.“Tidak apa, hal ini terjadi karena kesalahan saya yang tidak profesional. Jadi, saya harus segera memper
“Putramu sangat menggemaskan. Lebih baik kau bergabung bersama mereka,” tutur Hans tersenyum saat melihat Jade menggandeng anaknya. “Jade sudah menemaninya, aku akan di sini bersama Kakek.” Anais membalas selaras dengan bibirnya yang tertarik ke atas. Meski dia bilang seperti itu, tapi Hans tahu benar bahwa cicitnya lebih membutuhkan Anais. “Bukankah Kakek sudah bilang, Jade tidak ingin putranya berakhir seperti dirinya. Jadi, kau harus membantu suamimu agar dia bisa memberikan kasih sayang yang berlimpah pada anaknya.” Mendengar nasihat Hans, kali ini Anais tak bisa bersikeras. Usai pamit pada kakek mertuanya, wanita itu pun menghampiri Jade dan sang putra yang sudah rapi dengan pakaian berkuda. “Reins!” tukas Anais menyeru. Ya, River Reiner Herakles-yang akrab disapa Reins oleh Anais itu adalah bocah lelaki kecil yang menawan dan energik. Semakin dia tumbuh besar, rupa wajahnya semakin mirip dengan Jade. “Lihat aku, Mommy! Apa aku sudah mirip Daddy?” tukas River memamerkan pen
***“Sebaiknya Anda berhenti minum, Tuan,” tukas seorang lelaki yang merupakan Asisten Pribadi Denver selama di Asia.“Singkirkan tanganmu, sialan!”Alih-alih menurut, Denver malah menampik tangan asistennya seraya mengumpat geram. Dia justru mengisi gelasnya dengan vodka karena pikirannya sangat semrawut. Akan tetapi, lagi-lagi asistennya menahan saat dirinya hendak meneguk minumannya.“Mengapa? Apa kau akan mengadu pada Kakek?!” decak Cucu kedua Hans tersebut.Dia merengkuh kerah sang asisten hingga wajah mereka lebih dekat. “Katakan pada Kakek, bahwa aku hanya bermain-main di sini. Laporkan saja kerjaku tidak becus dan hanya membuang waktu dengan para wanita penghibur. Bukankah itu sudah cukup untuk memenuhi laporanmu tentangku?!”“Tuan, Anda tidak boleh—”“Berisik!” Denver kembali menyambar dan lantas melepas cekalan tangan dari kerah asistennya.Dia menyabit gelas vodkanya, lantas meneguk minumannya hingga tandas. Begitu cairan memabukkan itu mengaliri tenggorokannya, pria itu m
“Dokter, bicaralah dengan jujur. Istri saya sedang dalam bahaya, tapi bagaimana bisa Anda mengatakan sesuatu yang konyol?!” Jade memberang seiring amarah perih menjalari raganya. “Mohon maaf, Tuan. Kami tidak ada pilihan lain, sebab jika kami memaksa melakukan operasi untuk mengeluarkan pelurunya, bayi dalam kandungan istri Anda bisa dalam bahaya. Namun, apabila peluru itu tidak segera dikeluarkan, nyawa istri Anda bisa terancam,” balas Dokter itu dengan raut wajah gelisah. Memang, dirinya seperti menemui jalan buntu. Dia pun tidak bisa mengambil risiko sebab ini menyangkut hidup dan mati seseorang. “Se-sebab itu, kami menyerahkan keputusan pada Anda, selaku suaminya. Apapun pilihan—” “Pilihan?!” Jade lantas menyahut sebelum ucapan tenaga medis itu tuntas. “Apa yang Anda maksud dengan pilihan, Dokter? Anda sama saja meminta saya untuk membunuh salah satu dari mereka!” Manik abu pria tersebut tampak membesar dengan getir. Dirinya sungguh tak bisa mengambil keputusan mengenai perkar
Netra abu Jade membelalak selebar cakram begitu melihat peluru melesat ke dada kiri Anais. Sensasi terbakar bercampur perih, kini seolah menyobek jantung pria itu.“Tidak, Anais!” Dirinya buru-buru menuju istrinya, tapi tanpa dia tahu, Aretha malah mengarahkan pistol padanya.‘Dasar pasangan sialan! Lebih baik kalian ke neraka bersama!’ decak Adik angkat Anais itu dalam batin.Tangannya bersiap menarik pelatuk senjata apinya, tapi Carlein yang berada di belakang Jade, lebih dulu melesatkan tembakan hingga tepat mengenai lengan Aretha. Suara desingan peluru Cerlein sontak membuat semua orang tertegun, tapi Jade tanpa peduli hanya berlari pada Anais.Pria tersebut merengkuh sang istri yang masih terikat di kursi. Gelenyar merah pun merembes dari balik dress putih gading yang wanita itu kenakan. Dan begitu menyadari sang suami tiba, manik Anais pun bergetar seolah menemukan muaranya.“Jade … a-aku tahu kau akan datang. Kau pasti menemukanku di mana pun aku berada.” Anais bertutur dengan
***Nyaris satu jam, akhirnya Jade baru membuka ponselnya. Dan saat itu juga, keningnya mengernyit sebab ada beberapa panggilan tak terjawab dari sang istri. Dirinya yang kini berangkat menuju mansion Herakles, berupaya menelepon Anais kembali, tapi hasilnya nihil sebab istrinya tak mengangkat.“Mengapa dia tidak menerima panggilanku?” gumam Jade terserang bingung.“Mungkin saja Nyonya Anais saat ini sedang berbincang dengan Pimpinan, Tuan. Jadi Nyonya tidak sempat melihat ponselnya.” Carlein pun menyahut untuk menenangkan.Jika dipikir jernih, bisa saja itu benar, sehingga Jade pun membalas, “ya, mungkin. Terlebih lagi, Kakek sangat menantikan kelahiran bayi kami. Pasti Kakek mengajak Anais bicara banyak hal.”Jade menghela napas sembari merebahkan kepalanya di badan kursi mobilnya.‘Walau begitu, aku sangat cemas karena membiarkan Anais be
*** “Hei, mengapa di sini tidak ada minuman?!” Cedric membanting pintu lemari pendingin dengan emosi. Sepasang matanya yang cekung tampak mengerikan di wajahnya yang berang. Dia lantas menendang kursi, sampai membuat Aretha yang sedari tadi melihat sesuatu di laptopnya menjadi terusik. “Hah, sialan! Rumah macam apa ini?! Benar-benar memuakkan!” Cedric kembali mengumpat kasar. Sang adik yang sudah tidak tahan dengan tabiat kakaknya pun menyambar, “apa Kak Cedric buta? Di sana banyak air, apa susahnya minum air itu?!” “Aku tidak butuh air, berengsek! Tapi alkohol, alkohol, sialan! Aku benar-benar stress, jadi setidaknya berikan aku bir!” Putra sulung Tigris Devante itu kembali mendengus dengan amukan berapi-api. Dia yang merupakan seorang pecandu narkotika sudah kesulitan mendapat obat terlarangnya, hingga setiap hari hanya melampiaskannya pada minuman. “Aish, sial! Ini bukan bar. Jika Kakak ingin bir, pergilah ke bar atau club malam. Jadi berhentilah mengeluh dan mengumpat, karen
‘A-apa aku tidak salah lihat?’ Anais membatin seiring dengan maniknya yang berkedip.Dirinya tercengang mendapati Lariat Anne datang bersama seorang pria. Mungkin di mata publik itu adalah hal biasa, tapi bagi Anais ini sungguh tak terduga sebab pria yang tengah menemani Anne tak lain adalah Eldhan Hermeden.‘Apakah selama ini mereka saling kenal? Mengapa Anne bisa datang bersama Eldhan?’ sambung wanita itu dalam hati.Apa saja yang sudah Anais lewatkan? Dia cukup lama tidak melihat Eldhan sejak tahu bahwa pria tersebut memiliki perasaan padanya. Ya, meski saat itu Anais belum jatuh cinta pada Jade, tapi dirinya merasa aneh dan tak bisa menerima hati Eldhan.Dari lawan arah, Lariat Anne mendekat bersama Eldhan di sebelahnya. Dan seperti biasa, penampilan Anne yang glamor, kini diimbangi Eldhan yang tampil dengan setelan jas berkelas.“Selamat atas pelantikan Anda sebagai Presiden Direktur DV Group, Nona,” tuturnya disertai senyum anggun.Anais dengan santun pun membalas, “terima kasih,
“A-apakah pria yang ada di foto waktu itu adalah ayahmu?” Anais bertanya ragu-ragu, dan itu sekejap membuat Jade menaikkan kedua alisnya. “Foto apa yang kau maksud?” balas sang pria bertanya. Ada jeda beberapa saat sebelum Anais menjawab. Dan ya, wanita itu baru sadar bawah dulu dia masuk ke ruang rahasia penthouse Jade tanpa persetujuan suaminya. ‘Aish, mengapa aku jadi mengungkit masalah itu? Harusnya aku tidak usah membahas tentang ayahnya lagi ‘kan? Dia menyembunyikan foto-foto itu pasti karena suatu alasan. Sekarang dia pasti curiga padaku. Apa yang harus aku katakan?’ geming Anais bingung dalam batin. “Apa kau—” “Ma-maafkan aku, Jade.” Anais segera menyahut ucapan sang pria yang belum tuntas. “Saat itu, ketika kau memergoki diriku di ruang rahasia penthouse milikmu, aku tidak sengaja melihat foto anak laki-laki kecil bersama seorang pria. A-aku pikir, itu adalah dirimu dan ayah mertua.” Mendengar penjelasan sang istri, Jade sekarang ingat. Ya, untuk pertama kalinya, dia mel
Jade segera membuka amplop putih dari Carlein. Irisnya memindai penasaran sebab asistennya bilang dia telah ditipu. Dan ya, di bagian akhir surat hasil tes yang kini dipegangnya, Jade melihat jelas bahwa keterangannya negative! Dia bahkan membaca berkali-kali, khawatir bila matanya salah menilik. Akan tetapi, keterangannya memang menunjukan bahwa hasil tes DNA yang dia lakukan bersama Anais tidak cocok. “Apa arti surat ini, Carlein?” tukasnya menuntut penjelasan. Sang asisten segera menjawab dengan tegas. “Ini adalah hasil tes yang sebenarnya, Tuan. Dokter itu telah menipu Anda dengan memalsukan hasil tes menjadi positif karena permintaan seseorang.” Detik itu juga, manik abu Jade tampak menyorot tajam dengan alis saling mendapuk. Tak bisa dipungkiri bahwa dia sungguh senang jika ternyata dirinya dan Anais bukanlah saudara, tapi di sisi lain, pria tersebut pasti akan murka karena ada orang yang ingin main-main dengannya. Namun, Jade tak bisa langsung girang sebelum memastikan semua