Halo semuanya! Terima kasih sudah membaca. Sehat-sehat selalu, guys.
Begitu memasuki ruang di balik penyekat resepsionis, Sky langsung tercengang. Matanya berbinar menatap tanaman buatan yang ditata seperti hutan hujan. "Apakah Paman Ed yang mendesain tempat ini?" Edmund menggeleng. "Ini desain yang diminta oleh ibumu." Mulut Sky membulat. "Mama juga suka nuansa hutan? Sama sepertiku?" "Ya. Kamu memang sangat mirip dengan ibumu. Karena itu, aku bisa dengan mudah mengenalimu saat pertama kali kita bertemu." Tawa Sky pun bergema. Ia maju beberapa langkah lalu menoleh ke sisi lain. Dengan merenggangnya pepohonan, ia bisa melihat ruangan dihias dengan berbagai macam tema. Semakin jauh, semakin sedikit warna hijau yang tampak. "Oh, aku tahu. Ini adalah peta bioma! Hutan hujan menandakan wilayah yang panas dan basah. Semakin ke kiri, wilayahnya semakin kering. Karena itu, di pojok sana ada gurun pasir. Lalu semakin ke ujung, wilayahnya akan semakin dingin. Karena itu, ada padang rumput, taiga, dan tundra di sebelah sana!" terang Sky dengan penuh semang
Sementara kebanyakan pegawai berbisik-bisik membicarakan kemesraan Alice dan Edmund, salah seorang wanita melangkah maju. Ia menekuk lutut di hadapan Sky, tersenyum manis. "Halo, Nona Hills. Senang bisa bertemu langsung denganmu. Sejak mendengar cerita dari Tuan Young, aku sudah tidak sabar ingin berjumpa." Wanita itu menyodorkan salam. "Perkenalkan, aku Carol White." Senyum Carol begitu ramah. Gerak-geriknya bersahabat. Akan tetapi, Sky malah mengernyitkan dahi. Tangannya yang terkepal melekat di sisi celana. "Carol, aku juga senang berkenalan denganmu. Tapi," bibir Sky mulai mencebik, "apa yang kau kenakan itu? Apakah itu terbuat dari bulu hewan?" Mata Carol melebar dan berbinar. Ia mengira rencananya berhasil. Ia memang sengaja menyiapkan pakaian terbaiknya untuk memenangkan hati istri dan anak sang presdir. "Jaket ini maksudmu?" Ia menyentuh bulu-bulu cokelat di sepanjang kerah jaketnya. "Matamu jeli sekali, Nona Hills. Ya, ini terbuat dari—" Tiba-tiba, tangis Sky pecah. Ed
Hati Alice berdebar saat ia melangkah keluar dari kamar mandi. Tangannya terkepal erat, kepalanya tertunduk dalam. Sejak tadi, ia tidak bisa berhenti menerka bagaimana reaksi Edmund saat melihat kostumnya. Namun, begitu mendapati Edmund sudah berbaring dengan mata terpejam, kegugupannya memudar. "Apa ini? Dia sudah tidur?" Alice pun mendekat. Ia perhatikan wajah sang suami dari jarak beberapa senti. Bola mata di balik pelupuk lebar itu sama sekali tidak bergerak. "Dia benar-benar sudah tidur?" batin Alice tak percaya. Tanpa sadar, alisnya berkerut dan sudut bibirnya turun. "Apakah aku terlalu lama di kamar mandi? Atau dia terlalu lelah hari ini?" Alice tertunduk memperhatikan diri sendiri. Selang satu kedipan, ia berdecak. "Sia-sia aku mengenakan pakaian ini. Edmund tidak bisa melihatnya." Sambil membendung kekecewaan, Alice pun naik ke atas kasur. Tak ingin Edmund tiba-tiba terbangun dan mendapati kekesalannya, ia berbaring miring membelakangi sang pria. "Dia bilang dia juga
"Sayang, kenapa kamu menangis lagi?" "Mama ...." Sky memeluk kaki Alice. "Aku bermimpi bertemu dengan seekor anak beruang. Dia mencari-cari induknya. Sepertinya, dia anak dari beruang yang dikuliti untuk jaket Carol. Dia terus berjalan sambil menangis. Badannya kurus karena terlalu sedih dan dia tidak mau makan.""Oh, Sayang," Alice menekuk lutut, memeluk gadis mungil itu dengan lembut. "Jaket Carol itu produk lama. Anak beruang yang malang pasti sudah besar sekarang. Dia tumbuh menjadi beruang pemberani yang tangguh." "Benarkah?" Sky mengusap mata dengan punggung tangan. Saat itulah, Alice melihat boneka beruang kecil dalam genggamannya. "Ya. Masa-masa sulitnya sudah berlalu. Dia pasti sudah bahagia. Atau mungkin juga, sekarang dia punya keluarga sendiri." "Dan anak-anak beruang yang lucu?" Alice mengangguk. "Ya. Jadi sekarang, jangan menangis lagi, hmm? Kamu lebih baik berdoa agar beruang itu bahagia bersama keluarganya." Sky membelai kepala boneka barunya, berbisik, "Kamu tida
"Ed?" Alice cepat-cepat menekan pundak Edmund, berjaga-jaga kalau pria itu menariknya lebih dekat. "Kita sedang di kantor. Jangan macam-macam." "Bukankah semalam, kau yang lebih dulu mengajakku berciuman? Aku ingat betul kau menarik kepalaku dengan penuh semangat." Alice berkedip-kedip tegang. "Tapi kita sedang di kantor. Sky dan Scott bisa masuk ke sini kapan saja, atau mungkin pegawai lain," tegasnya. "Mereka sudah kuberi tugas. Tidak akan ada yang mendadak masuk ke sini karena mereka semua sibuk." "Tapi kau juga harus bekerja. Lihat! Berkas-berkasmu banyak." Alice menunjuk meja dengan ekspresi meyakinkan. Akan tetapi, Edmund tetap menggeleng menolak gagasannya. "Itu bisa menunggu, sedangkan peliharaanku tidak." Edmund melirik ke bawah. Alice mengikuti arahnya. Menyadari sesuatu yang sudah bangkit, ia menelan ludah. "Bagaimana kalau kita berlatih sekarang? Kau bisa menjadi istriku sebentar, sebelum kembali menjadi asisten." Suara Edmund begitu menggelitik. Alice semakin ter
"Karena keharmonisan kalian adalah citra dari perusahaan. Kebanyakan customer memilih jasa travel kita karena kalian. Mereka ingin merasakan petualangan yang terlihat asyik saat kalian lakukan." Alice mengerjap. Pikirannya tertuju pada foto-foto mereka di peta bioma. "Orang-orang berpikir kalau kebahagiaan itu palsu?" simpulnya. Scott mengangguk. "Karena itu, butuh waktu yang cukup lama bagi Edmund untuk bisa meraih kepercayaan publik lagi. Saat ia berusaha mati-matian untuk menemukanmu, orang-orang sempat berpikir kalau itu hanya gimmick. Setelah lewat satu tahun, dengan banyaknya pemberitaan tentang Edmund masih mencarimu, baru mereka mengerti kalau kebahagiaan yang selama ini kalian tunjukkan itu nyata. Mereka akhirnya mulai bersimpati dan menerima kalau masalah kalian hanyalah sebuah kesalahpahaman." Alice mendesah lirih. Ia tidak tahu bahwa kebodohannya ternyata berdampak sebesar itu. "Sekarang karena kau sudah kembali, orang-orang pasti berharap bisa melihat kemesraan kalian
Sambil tersenyum simpul, Alice menunjuk ke arah lampu. "Kamu selama ini terbiasa tidur dalam gelap. Tapi selama di sini, kamu selalu membiarkan lampunya tetap terang." Sky memiringkan kepala. "Tapi sewaktu di hotel, aku bisa tidur dengan lampu menyala." "Itu lampu tidur, Sayang. Berbeda dengan lampu utama." Sambil berkedip-kedip, Sky termenung. " Oke, jadi malam ini, haruskah aku mematikan lampu?" Alice mengangguk. "Ya. Apakah kamu takut?" "Hei, bukankah kamu sudah punya teman yang selalu menemanimu?" Edmund memiringkan kepala, menatap putrinya. Dalam sekejap, mulut Sky membulat. "Oh, iya! Aku baru ingat. Sekarang aku punya banyak teman. Pemimpin mereka adalah yang terkuat!" Ia berlari ke tempat tidur dan memeluk boneka beruang pemberian Edmund. Sambil terkekeh, orang tuanya menyusul. "Dia yang terkuat?" Alice membelai kepala si beruang. "Ya!" Sky mengangkat boneka itu tinggi-tinggi. "Ini adalah Grassy. Dia suka makan rumput. Karena itu warnanya hijau. Kurasa dia beruang veget
"Terima kasih, Nyonya Klein. Menu sarapan pagi ini sangat enak, dan terima kasih atas bekal yang kalian siapkan. Aku, Mama, dan Paman Ed pasti akan memakannya sampai habis," tutur Sky sembari memasukkan kotak bekal miliknya ke dalam tas. Itu sudah sangat penuh, tetapi masih ia paksakan muat. "Sama-sama, Nona Manis. Dan sebagai bonus, saya juga menyiapkan ini." Nyonya Klein menyodorkan tas bekal. Melihat itu, Sky menghela napas lega. "Ini sangat membantu! Terima kasih lagi, Nyonya Klein."Gemas, wanita paruh baya itu terkekeh. Hati Edmund dan Alice juga tergelitik melihat semangat Sky. Setelah selesai mengemas kotak bekal dan menyandang ranselnya, gadis mungil itu berkacak pinggang. "Sky sudah siap berpetualang! Mama, Paman Ed, ayo kita berangkat!" Sambil tersenyum geli, Alice dan Edmund beranjak dari kursi. Namun, belum sempat mereka meninggalkan meja makan, Elizabeth datang dengan koper di tangannya. "Mama? Ada apa Mama datang sepagi ini? Dan kenapa membawa koper sebesar itu?" t