"Omong-omong," Edmund kembali berbisik, "apakah kau yakin semua keperluan kalian sudah terpenuhi? Kau belanja sedikit sekali tadi. Aku bahkan tidak melihat piama." Rachel menepuk-nepuk ransel di dekat kakinya. "Aku sempat berkemas tadi. Untuk 48 jam." Edmund menatap Alice lekat-lekat. Ia berusaha menemukan penyesalan dalam matanya. Namun ternyata, tidak ada. "Kalau kalian butuh pakaian ataupun keperluan lagi, jangan ragu untuk meminta kepadaku, oke? Uangku juga uangmu. Dan sudah menjadi kewajibanku untuk memastikan kenyamanan kalian." Mendengar ketulusan itu, lengkung bibir Alice melebar. "Aku mengerti. Terima kasih, Tuan Hills." Senyum Edmund berubah miring. Ia mendadak rindu dengan suara Alice menyebut namanya. Namun, takut membuat sang istri tak nyaman, ia mengangguk samar. Ia sadar, bagi Alice, mereka berdua adalah orang asing yang baru kenal. Mereka butuh waktu untuk membangkitkan perasaan dan kenangan lama. Setibanya di hotel, Alice sibuk membawa ranselnya, ransel Sky, dan
Sambil menaruh tangan di atas pagar, Edmund menatap ke langit. "Kuharap kau tidak lupa bahwa aku adalah suamimu," gumamnya samar. Sengaja, agar Alice lebih menyerap maknanya. "Aku tidak lupa," balas sang istri, terdengar seperti menggerutu. "Kalau begitu, katakan saja apa yang mengganggu pikiranmu." Edmund menoleh dengan senyum manis. Tidak ada lagi kesan mengintimidasi dari mata hijaunya yang jernih itu. "Apakah kau memikirkan aku?" Edmund bermaksud untuk mencairkan suasana. Namun, tanpa terduga, Alice mengangguk. "Aku merasa semua ini tidak adil untukmu." Dalam sekejap, raut Edmund membeku. Hatinya tergelitik oleh sesuatu. "Kau sungguh memikirkan aku?" Alice menggigit bibir sejenak. Ia sadar suaminya terharu. "Kau tahu semua tentang diriku, tapi aku tidak tahu apa-apa tentang dirimu," ujarnya lirih. Edmund menggeleng sigap. "Kau bukannya tidak tahu, Alice. Kau hanya lupa. Kau adalah orang yang paling mengenalku di dunia ini, bahkan melebihi diriku sendiri." "Benarkah?" Alice
Begitu terbangun, Edmund langsung disapa oleh wajah bulat putri kecilnya. "Selamat pagi, Paman Ed. Apakah tidurmu nyenyak?" Edmund tersenyum dan mengelus kepala Sky. "Sangat nyenyak. Apakah kau bermimpi bayi trenggiling lagi?" Sky mengangkat wajahnya dari bantal, menggeleng kecil sebelum menurunkannya lagi. "Aku bermimpi bermain bersama Gigi dan Gusi. Ada Canis juga. Felis hanya menonton dari beranda. Dia masih pemalas." Edmund terkekeh gemas. "Lalu di mana ibumu?" Telunjuk Sky meruncing ke sebuah pintu. "Mama sedang mandi." Alis Edmund sontak terangkat. "Dia mandi lagi? Bukankah sebelum tidur dia sudah mandi?" Sky mengangkat pundaknya ringan. "Mungkin Mama berkeringat saat tidur semalam. Mama takut badannya bau saat di pesawat." Tiba-tiba, pintu kamar mandi terbuka. Saat Alice melangkah keluar, Edmund terkejut melihatnya. "Alice, ada apa dengan matamu? Apakah semalam kau tidak tidur?" Sementara itu, Sky terkikik geli. "Mama terlihat seperti panda." Alice meringis dan mengga
Edmund berkedip-kedip sesaat. Setelah mengantongi sobekan kertas, ia membuka sebuah folder di tabletnya. "Apakah kau mengenal wanita ini?" Alice mengerutkan alis saat memperhatikan foto wanita paruh baya di hadapannya. "Apakah dia ibumu? Tapi kurasa ... kalian tidak mirip." Edmund terkekeh mendengar tebakan itu. "Bukan, ini Nyonya Klein, kepala pelayan di rumah kita. Dia sudah bekerja denganku sejak aku memulai bisnis. Aku butuh seseorang untuk mengurus rumahku." "Oh, dia sepertinya orang baik. Dan ramah," celetuk Sky yang sedang menjulurkan leher, meninggikan kepala. Edmund dan Alice sontak menoleh ke arahnya. "Menurutmu begitu?" Edmund memberikan tablet ke tangan Alice agar Sky dapat melihat lebih jelas. "Ya. Dia seperti ibu peri penjaga hutan." Edmund tersenyum kecil melihat tingkah lucu Sky. Gadis mungil itu sedang mengepak-ngepakkan tangan seolah itu sayapnya. "Ya, dia memang baik dan juga loyal." Setelah menjelaskan lebih lanjut tentang Nyonya Klein dan para pelayan di
"Astaga, ini terjadi lagi." Edmund menaikkan alis mendengar gumaman itu. Namun, usai menutup pintu dan berbalik, ia langsung mengerti. "Apakah ...,” Edmund ragu sejenak, “kau mau berbagi kasur denganku? Kali ini, aku janji aku akan mengendalikan pikiranku dengan baik. Aku bisa tidur membelakangimu." Alice melirik tanpa menoleh. Kedipan matanya menyiratkan kegugupan. Ia tidak yakin keputusan dalam kepalanya tepat atau tidak. "Oke. Kau mau di sisi kiri atau kanan?" "Kanan." "Kalau begitu, aku di sisi dinding." "Kau mau lampu dimatikan atau dibiarkan menyala?" Alice kembali melirik. "Kurasa, lebih baik kita biarkan menyala." Edmund mengangguk sepakat. Tanpa berlama-lama lagi, mereka naik ke ranjang, berbaring miring dengan punggung saling menghadap. Lima menit pertama, tidak ada seorang pun yang bergerak. Edmund dan Alice sama-sama sibuk mengendalikan pikiran. Lima menit berikutnya, kegelisahan mulai meradang. Mereka beberapa kali bergerak, entah untuk mengatur posisi kepala ata
"Alice? Itu sungguh dirimu?" Pria itu berjalan seperti orang tua yang tertatih-tatih. Tatapannya terkunci pada wajah Alice. "Y-ya. Ini aku," jawab Alice kaku. Tiba-tiba, sang pria menjepit pipinya dengan kedua tangan. Ia memeriksa wajah Alice dari berbagai sudut, mencari sesuatu di sana. "Kau bukan perempuan lain yang menyamar, kan? Wajahmu ini bukan hasil operasi plastik, kan?" Setelah menghela napas, Edmund mengibas-ngibaskan tangannya. "Scott, cukup. Kau membuat istriku tak nyaman. Mundurlah." Bukannya menjauh, Scott malah mendekap Alice dan mengajaknya melompat-lompat. Tawanya meluap bersamaan dengan air mata. "Alice, kau akhirnya kembali. Oh, terima kasih, Tuhan. Ini adalah keajaiban terbesar dalam hidupku!" Sementara Alice meringis memalsukan senyum, Edmund berjuang menarik Scott mundur. Akan tetapi, Scott masih betah memeluk Alice, mengajaknya bergoyang seperti penguin. "Papa, siapa pria ini? Apakah dia sopir yang menjemput kita?" Mendengar suara manis itu, Scott akhirn
"Wah, Paman Ed, ini betul-betul istana!" Mata Sky berbinar menatap interior ruangan yang indah. Pilar-pilar raksasa, tangga yang berukiran emas, dan untaian lampu yang berkilauan—ia suka desainnya. "Kita bisa bermain kejar-kejaran di dalam sini!" Alice sontak melirik sang putri. "Sayang? Kamu tidak boleh berlarian di sini." Sky terkekeh geli. "Ya, aku tahu, Mama. Aku juga takut menyenggol sesuatu. Kalau pecah, aku tidak bisa menggantinya. Aku tidak membawa celengan ayam." Tiba-tiba, suara langkah kaki ramai terdengar. Selang beberapa saat, enam orang wanita datang dari berbagai arah. Mereka semua terkesiap saat melihat Alice dan Sky. Wanita yang tiba paling akhir bahkan sampai mematung dan memucat. "Nyonya Alice?" desahnya tak percaya. Alice tersenyum simpul. Ia memang tidak ingat siapa wanita itu. Namun, Edmund sudah mengingatkan. Mereka dulu sangat akrab dan ia bahkan menganggapnya sebagai seorang ibu. "Apa kabar, Nyonya Klein?" sapanya canggung. Namun, begitu wanita paruh b
Alice tidak tahu malam apa yang Emma maksud, tetapi ia mengangguk. "Ya, dia putriku." Tawa Emma sontak meringankan suasana. Ia mengguncang lengan suaminya, berbisik, "Sayang, kamu benar. Janin Alice memang sangat kuat. Dia sanggup bertahan dan sudah sebesar ini sekarang." Henry menepuk-nepuk punggung tangan istrinya. "Ya, analisisku memang 99% tepat. Senang kau dan putrimu berhasil selamat," ujarnya kepada Alice kemudian. Sementara Alice berterima kasih, Emma berputar menghadap Sky, membungkuk. "Apakah kau mengenalku?" Sky mengangguk. "Kamu Bibi Emma, sahabat terbaik Mama. Karena itu, aku menyiapkan ini untukmu." Sky menyodorkan sebuah bros berwarna hijau lagi kepada Emma. Melihat itu, alis sang wanita berkerut. "Apakah kau sendiri yang membuat ini?" Sky mengangguk. "Ya!" "Anak seusiamu sudah bisa membuat bros secantik ini sendiri?" Emma mempertegas bicaranya. Senyum Sky terkulum. Rasa bangga telah terbit dalam hatinya. "Ya, Bibi." Emma terkesiap takjub. Ia melirik Alice, men
"Sky, kita seharusnya membawa senapan itu juga tadi. Mengapa kita meninggalkannya di dalam tenda? Pemburu itu jadi bisa mengambilnya," bisik Emily sembari mengguncang tangan Sky. Merasa risih, Louis menyikut lengannya. "Sudahlah, Emily. Tidak ada yang perlu disesali. Kita sebaiknya memikirkan cara untuk mengalahkan laki-laki jahat ini." "Kalian pikir kalian bisa mengalahkanku?" Pemburu itu tertawa kasar. "Jangan bermimpi!" Sang pemburu mengangkat senapannya lagi. Namun, ketika ia hendak membidik, suara aneh datang dari atas. Melihat seekor orang utan besar hendak melompat dari dahan, Sky bergegas menarik si Kembar berlari mengikutinya. Ia tidak peduli lagi dengan senapan yang tergeletak di tanah. Ia tahu betul bahwa orang utan yang sedang marah jauh lebih berbahaya dibandingkan musuh mereka. Sementara itu, sang pemburu sudah terlanjur terpaku. Ia hanya bisa berteriak saat mamalia besar itu menimpanya. Pemburu lain yang menyaksikan tidak berani bertindak. Mereka bahkan sama sekali
Si Kembar kembali bungkam. Mereka tidak tahu jawaban apa yang tepat. Mereka tidak ingin kembali ke kurungan sempit itu, tetapi mereka juga tidak mau ditembak. Apalagi, pemburu di hadapan mereka tampak serius dengan ancamannya. "Louis, kurasa kita jangan melawan. Dia tidak akan ragu menembak kita. Lihat, jarinya sudah siap menekan pelatuk," bisik Emily was-was. Louis menelan ludah. Ia sepakat dengan sang adik, tetapi enggan mengakuinya. "Tenang, Emily. Masih ada cara lain untuk selamat." Ia berpikir keras, memaksa otak untuk menelurkan ide spontan. "Tuan, bagaimana kalau kita bernegosiasi?" ucapnya tanpa terduga. Sang pemburu menarik matanya mundur dari lubang pengintai. Sebelah alisnya terdongkrak naik. Ia tidak menduga bisa mendengar kata itu. "Negosiasi apa yang bisa ditawarkan anak kecil sepertimu?" "Kami ini bukan anak-anak biasa. Kami adalah pewaris Savior Group, calon pemimpin hebat di masa depan. Kalau kau bersedia membebaskan kami, kami akan membayarmu dengan jumlah besar
"Papa, kebetulan sekali, GPS milik Louis ada padaku. Aku sedang melihat koordinat lokasinya," ujar Sky sambil berkedip-kedip gusar. "Itu bagus, Sayang. Bisa kau bacakan koordinatnya? Papa akan langsung menuju ke sana." Sky menelan ludah. Keringat dingin membutir di keningnya. "Itulah masalahnya. Aku lupa angka-angka yang sudah kuhafal." Edmund terdiam sejenak. Sky bisa membayangkan sang ayah mendesah kecewa. "Papa, apakah Papa marah? Ganti." "Tidak, Sayang. Papa tidak marah. Papa mengerti kalau kamu terlalu gugup sekarang. Coba tarik napas dalam-dalam, tenangkan pikiran. Kamu sudah berhasil mengingat semua angka dan bahkan huruf, Sayang. Pelan-pelan, kamu pasti bisa membacanya." Sky menuruti saran Edmund. Setelah terpejam sejenak, ia memperhatikan koordinat dengan saksama. "Ada garis kecil yang sedang tidur di sini, Papa." "Oke. Itu tanda negatif. Artinya kalian sedang berada di selatan garis khatulistiwa. Lalu?" "Ada bulat. Ini nol, kan?" "Ya. Kamu melakukannya dengan baik s
"Apakah aku tidak salah lihat? Ada anak manusia di tengah hutan?" Pria itu berbicara dengan bahasa yang tidak Louis dan Emily mengerti.Decak kesal terlontar dari pria yang satu lagi. "Sial! Menambah pekerjaan kita saja." "Apa yang harus kita lakukan sekarang?" "Apa lagi? Kita tidak mungkin membiarkan mereka lepas. Mereka bisa melapor kepada orang-orang. Rencana kita bisa berantakan. Ayo tangkap mereka!" Si Kembar mengerjap melihat senapan yang ditodongkan ke arah mereka. Emily langsung bersembunyi di balik punggung Louis, sedangkan Louis dengan berani melangkah maju dan merentangkan tangan di depan Mimi. "Jangan sakiti orang utan ini! Mereka adalah hewan langka yang dilindungi oleh seluruh dunia. Mereka tidak boleh diburu dan diperdagangkan!" seru Louis lantang. Dari balik pundak Louis, Emily mengintip. "Ya! Orang utan harus dilestarikan, bukan diburu. Memangnya kalian tidak kasihan kepada mereka? Lihat! Anaknya sampai ketakutan!" Di luar dugaan, dua pemburu itu malah tertawa. T
"Tidak, Louis." Emily mengernyitkan dahi. "Kita tidak boleh meninggalkan Mimi sendirian di sini. Dia bisa mati.""Tapi itu yang dia mau. Dia ingin anaknya selamat. Dia pasti bertahan. Kita hanya perlu menyelamatkan anak Mimi dengan cepat. Menurutku, kita bisa melakukannya. Kita ini anak-anak terlatih, kau ingat?" Alih-alih setuju, Emily menggeleng tegas. "Tidak, Louis. Itu terlalu berisiko. Kita tidak boleh egois dan memikirkan kesenangan kita sendiri. Bagaimana kalau kita hubungi rumah hutan saja? Ini masalah serius."Sementara Louis menghela napas berat, Sky menautkan alis. Ia terlihat sangat serius dengan bibir terlipat ke dalam."Kurasa Emily benar. Kita tidak bisa menyelesaikan masalah ini sendiri. Kita butuh bantuan orang dewasa. Papa Mama kita dan orang-orang yayasan. Kita harus melaporkan hal ini kepada mereka. Mimi butuh bantuan medis, sedangkan para pemburu liar itu harus ditangkap." Louis termenung sebentar. Ia sebetulnya enggan menghubungi orang tuanya. Ia ingin mandiri.
"Sky, bunyi apa itu?" bisik Emily dengan suara tersekat. "Apakah itu suara ledakan?" "Kurasa itu suara senapan," potong Louis sebelum menggenggam lengan gadis yang paling kecil. "Sky, mungkinkah itu pemburu liar?" Sky berkedip-kedip gusar. "Mungkin iya. Daerah ini sudah berada di luar lingkup yayasan. Tim patroli hanya sesekali memeriksanya. Itu pun kalau mereka sempat." "Bukankah perburuan liar itu dilarang? Kenapa masih ada saja orang-orang jahat yang membunuh satwa? Kira-kira, apa yang baru saja mereka tembak? Apakah orang utan?" tanya Louis dengan ekspresi serius. Emily langsung bergidik ngeri. "Oh, kalau memang para pemburu itu mengincar orang utan, kuharap dia berhasil lolos dan selamat. Orang utan itu hewan langka. Kasihan kalau mereka punah." "Dan kuharap itu bukan Mimi," lanjut Sky sembari mengentakkan kaki. "Dia selalu membawa anaknya ke mana-mana. Dia pasti susah bergerak dan rentan terhadap serangan." "Bagaimana kalau kita memeriksanya? Kalau memang itu ulah pemburu l
"Sayang, apakah kamu melihat anak-anak?" tanya Alice sembari menghampiri Edmund. "Anak-anak?" Edmund mengalihkan pandangan dari laptopnya. Kedua alisnya terdongkrak. "Bukankah mereka masih tidur? Aku tidak melihat mereka keluar tenda." "Kupikir juga begitu. Tapi setelah kuperiksa, mereka tidak ada." Edmund pun menoleh ke sekeliling. Mata dan telinganya menajam. Akan tetapi, tidak ada jejak anak-anak yang terdeteksi. "Mungkinkah mereka bermain di kebun belakang?" Alice menggeleng. "Aku sudah mencari mereka di sana. Tidak ada." "Kandang ayam? Siapa tahu, Sky mengajak si Kembar dan Russell melihat anak ayam." "Tidak ada juga." Edmund menjentikkan jari. "Kandang angsa! Mereka pasti sedang bermain dengan Gigi dan Gusi." Alice menghela napas berat. Guratan di keningnya tampak lebih jelas. "Tidak ada, Ed. Aku sudah mencari mereka ke mana-mana. Mereka tidak ada." "Apakah kau sudah mencari di dalam rumah? Siapa tahu mereka sedang bermain petak umpet. Mereka mungkin saja sedang bersemb
Alis Louis berkerut mendengar pertanyaan Edmund. "Kenapa Anda bertanya begitu, Tuan? Tentu saja aku menyayangi Sky. Dia temanku. Dia sudah seperti seorang adik bagiku." Edmund berkedip kaku. "Begitukah? Kau menganggapnya sebagai seorang adik?" Louis mengangguk mantap. "Ya, kurasa Emily juga begitu. Dulu dia menginginkan adik perempuan. Ternyata, Russell yang keluar. Dia sempat sedih. Kehadiran Sky membantu mengobati kekecewaannya." Bibir Edmund perlahan mengerucut. Tangannya disempal ke dalam saku. "Jadi, kau menganggap putriku sebagai adikmu?" gumamnya. Entah mengapa, perasaan lega timbul dalam hatinya. "Apakah itu berarti kau akan menjaganya seperti adik-adikmu?" "Ya, aku akan berusaha untuk menjaga Sky dengan baik. Aku tidak akan membuatnya menangis." Alis Edmund kembali tertaut. "Tapi tadi, aku melihatmu mengusili Emily. Apakah kau bisa dipercaya untuk menjaga adik-adikmu?" Tiba-tiba saja, bibir Louis berkedut. Sambil menggaruk pelipis, ia terkekeh. "Soal itu, aku memang suk
Semua orang bertepuk tangan saat Sky dan teman-teman hewannya selesai melakukan pertunjukan. Bukan hanya anak-anak Harper yang terkesima, tetapi orang tua mereka juga. "Terima kasih, Sky. Ini adalah sambutan paling manis yang pernah kami terima," tutur Kara dengan senyum lebar. "Ya, ini sambutan yang luar biasa. Bagaimana caramu melatih hewan-hewan itu? Bukan hanya kucing dan anjing, kamu juga berhasil melatih dua ekor angsa." Frank mengacungkan jempolnya. Sky terkekeh bangga. "Itu karena mereka bukan sembarang hewan, Tuan. Mereka adalah teman-temanku dan mereka pintar. Kurasa mereka mau mengikuti aba-aba dariku karena kami akrab." "Mereka teman-temanmu?" Frank menaikkan alis. Si Kembar langsung berebut menjelaskan. "Tidak ada anak-anak lain di sini, Papa. Karena itu, Sky hanya bermain dengan teman-teman hewannya." "Sky bilang dia selalu memberi mereka makan yang banyak. Kurasa, karena itu juga hewan-hewan itu patuh padanya. Mereka suka pada Sky!" Sky melompat antusias. "Louis