Iris terdiam tidak bisa berkata-kata. Bagaimana dia bisa menelepon Aiden dan memberitahunya bahwa putra mereka merindukannya?Aiden pasti menganggapnya sudah gila, atau akan mengambil Dimitri darinya mengingat pria itu sangat menginginkan anak untuk membuat pijakannya semakin kokoh di RDY Group, pikirnya getir.“Ah, telepon Daddy?”Dimitri mengangguk dan menatap Iris penuh harap.Iris meringis dan merutuk dirinya dalam hati. Mengapa dia tidak mengatakan sejak awal saja kalau Aiden sudah mati hingga putranya tidak akan terus bertanya tentang ayahnya.Karena Iris sudah terlanjur berbohong, dia bisa berbohong lagi pada putranya.“Telepon Daddy .... baiklah ....” Iris tersenyum berpura-pura mengambil ponselnya menelepon nomor Hugo dan bukan Aiden.Mata hitam Dimitri mengawasi Iris penuh harap membuatnya merasa bersalah.Dia mengalihkan tatapannya dan fokus ke panggilan telepon. Sebelum Hugo menjawab panggilannya, Iris buru-buru mematikan panggilan dan menatap putranya.“Yaaah, Daddy tidak
“Mengapa kamu ada di sini?!”Iris tersentak dan menoleh ke samping menemukan wajah wanita paruh baya yang dikenalnya, mantan ibu mertuanya, Esme Spinet.Esme tidak sendiri, dia bersama Felicia yang memandangnya dengan ekspresi tidak senang.“Iris Jessen, mengapa kamu ada di sini?!” tanya Esme sekali lagi menatapnya tajam.Iris menarik tangannya dari cengkeraman Esme dan berhadapan dengan mantan ibu mertuanya. “Memangnya kenapa jika aku di sini?” balas Iris tenang. Dia mengepalkan tangannya berkeringat dingin dan mencemaskan Dimitri. Iris tidak ingin putranya bertemu dengan salah satu anggota keluarga Ridley, terutama Esme yang merupakan ibu tiri Aiden. Iris masih mencurigai Esme sebagai dalang yang menyebabkan kematian Zein.“Bukan apa-apa, hanya saja kamu tidak pantas ada di sini.”“Apa mal atau toko ini milikmu, Nyonya Ridley, hingga kamu bisa menyebutku pantas atau tidak di sini?” balas Iris dinginEsme menatapnya dengan mata membelalak keheranan. ”Wow, Iris, lama tidak bertemu
“Apa?! Dia menghina wanita muda itu karena mantan pelayan bar, tapi dia sendiri dulunya ‘wanita panggilan’ ““Benarkah Nyonya Ridley dulu ‘wanita panggilan’ dan simpanan?”“Aku tidak menyangka Presdir Ridley memiliki ibu tiri mantan ‘wanita panggilan’“Wajah Esme memucat mendengar bisik-bisik yang tertuju padanya. Dia memelototi Iris penuh amarah.Bagaimana wanita itu bisa tahu tentang masa lalunya yang mati-matian ditutupinya?“Kamu—beraninya kamu memfitnahku!” Dia mengangkat tangannya untuk menampar Iris.Iris menangkap tangan yang melayang di udara sebelum Esme bisa menamparnya dan menatap dingin wanita tua itu. “Sekarang kamu tahu bagaimana rasanya direndahkan? Jika kamu tidak ingin orang lain mengungkap masa lalumu, lebih baik tutup mulutmu dan sadari sendiri posisimu,” desis Iris melempar tangan Esme.Tubuh Esme bergetar menahan amarah.“Iris, kamu sudah keterlaluan! Bagaimana pun Bibi adalah ibu Aiden dan mantan mertuamu. Beraninya kamu menghina Bibi! Apa kamu tidak takut Aiden
“Silakan ikuti saya, Nona.”Iris melirik Felicia dan Esme untuk terakhir kalinya sebelum menyusul staf toko ke kasir. Iris menghela napas lega karena Esme dan Felicia tidak melihat Dimitri. Dia segera mencari putranya.Orang-orang di sekitar yang menonton juga mulai bubar. “Apa-apaan perempuan murahan itu!” Esme sangat marah.Dia menoleh memelototi Felicia. “Apa maksud kata-kata Iris? Kerja sama apa yang dia maksud?!”Felicia terlihat meringis dan berkata dengan hati-hati, “Bibi, aku lupa memberitahumu. Iris adalah Direktur Utama WLT Group. Baru-baru ini RDY Group dan WLT Group bekerja sama untuk proyek taman bermain Big Island.”Wajah Esme terkejut dan memucat.“Apa kamu bilang?! Dia Direktur Utama WLT Group? Bagaimana wanita murahan itu bisa jadi Direktur?!” desisnya tidak percaya.“Aku juga tidak ingin percaya. Siapa yang menyangka mantan pelayan bar bisa menjadi direktur utama. Mungkin dia menjual tubuhnya atau menjadi wanita simpanan pria dari keluarga Wallington? Wanita pemanja
Setelah meninggalkan mal, Felicia gelisah di kamarnya. Dia terus memikirkan anak yang bersama Iris di mal. Wajah anak itu mirip dengan Aiden. Dia tidak yakin Iris sudah menikah lagi setelah bercerai dengan Aiden. Felicia harus memastikan sendiri apa anak itu adalah anak Aiden atau pria lain, dan harus menyingkirkan anak itu lebih cepat sebelum menimbulkan masalah untuknya di masa depan. Felicia berhenti berpikir dan mengambil tasnya lalu keluar dari kamar, pergi ke suatu tempat untuk menemui seseorang. Felicia mengendarai mobilnya selama satu jam sebelum berhenti di sebuah pub terpencil. Dia harus menyewa seseorang untuk menyelidiki Iris dan mengawasi anak itu. Dia harus menyingkirkan anak itu tak peduli siapa ayahnya. Firasatnya mengatakan anak itu akan membawa bencana pada rencananya dan Aiden. .... “Mommy, kita mau ke mana?” Dimitri menarik tangan Iris dengan wajah mengantuk saat Iris membawanya berjalan kaki menuju ke suatu tempat. Iris tersenyum menatap wajah kecil Dimitri y
Senyum di wajah Dimitri menghilang dan dia menatap ibunya tanpa berkedip. Meskipun dia anak berusia lima tahun, dia mengerti apa kata ‘pergi ke awan’ karena orang-orang dewasa selalu menggunakan alasan tersebut ketika menyebutkan orang yang sudah meninggal. “Dimi mengerti. Kakek Philip juga pergi ke awan. Dimi juga tidak bisa bertemu Kakek Philip lagi,” ujarnya dengan suara kekanakannya. Iris tersenyum sedih mengusap rambut Dimitri. “Tapi, kita masih bisa mengunjungi kakak Zein, Dimi mau ikut, ‘kan?” Dimitri mengangguk. Wajah mengantuknya sudah menghilang setelah mengetahui tentang saudara laki-lakinya. “Kalau begitu mari kita pergi beli bunga sebelum mengunjungi Kakak Zein,” ajak Iris berdiri dan meraih tangan mungil Dimitri. Iris membawa Dimitri ke salah satu toko bunga dekat area pemakaman. Toko bunga itu buka meskipun masih pagi. Setelah memilih bunga anyelir berwarna merah muda, Iris membawa Dimitri untuk membayar bunga tersebut. “Anda datang pagi-pagi, siapa yang ingin Anda
“Dimitri, ayo beri salam pada kakakmu,” pintanya lembut mengulurkan tangannya pada Dimitri agar mendekat ke pusara Zein. Dimitri patuh mendekat dengan kaki kecilnya berdiri di samping makan Zein dan memberi salam ke pusara Zein. Dia berjongkok mengusap batu nisan Zein. “Halo, Kakak, namaku Dimitri. Aku adalah adikmu. Meskipun kita tidak pernah bertemu, aku senang memiliki Kakak.” Mata Iris memerah mendengar kata-kata Dimitri. Dia merangkul putranya dan memandang pusara Zein. “Sayangku, Zein putra mommy, maaf mommy baru datang berkunjung. Apa kamu baik-baik saja di sana? Kamu bersama Kakek dan Nenek?” bisik Iris penuh kerinduan. Tidak ada yang menanggapi ucapannya. Anak yang terbaring di bawah sana tidak akan bangun dan tak peduli berapa banyak Iris merindukannya. Mata Iris terpejam membiarkan air matanya mengalir di pipinya. ‘Sayang, mommy berjanji akan membalas orang-orang yang membunuhmu,’ bisiknya lirih dalam hati. “Mommy ....” Sebuah tangan kecil mengusap pipi Iris membuatny
Iris selalu peduli dengan gizi putranya, namun kali ini ia berpikir tidak ada salahnya membelikan cumi-cumi bakar sesekali pada Dimitri. Dia sudah sering memakannya sejak kecil dan tidak berpengaruh pada kesehatannya. Iris tersenyum dan mengangguk. “Asal Dimi merahasiakan ini dari nenek Lilian, janji?” dia membungkuk mengulurkan jari kelingkingnya pada Dimitri. Mata Dimitri berbinar. “Yeay, Dimi janji tidak akan kasih tahu Nenek!” serunya gembira menjalin jari kelingking mungilnya pada jari kelingking Iris. Iris tersenyum menggenggam tangan Dimitri dan membawanya ke stand makanan jajanan cumi-cumi bakar. Akan tetapi, sayangnya stand itu cukup ramai pembeli yang berkerumun. Jika dia menunggu para pembeli yang lain selesai, itu akan memakan waktu lama. Belum lagi pembeli selalu berdatangan. Stand jajanan itu tampaknya sangat disukai dan laris oleh pembeli. “Mommy, kapan belinya? Aku lapar ....” Dimitri mengeluh setelah menunggu selama hampir sepuluh menit. “Sebentar sayang tunggu m
Mereka pun telah selesai makan malam bersama. Lily dan Candra melangkah menuju ke arah ruang tamu. Sementara itu Aurelio sudah terlelap di kamarnya. Candra sengaja menemani putra tunggal Hugo hingga ia terlelap agar dirinya bisa pergi meninggalkan Aurelio tanpa merasa terbebani oleh rasa bersalah, karena sang putra tak ingin melepaskannya. “Candra apakah kamu yakin tetap balik hotel malam ini? Sudah larut malam Candra, apa tidak sebaiknya besok pagi-pagi sekali kamu kembali ke hotel. Kurasa belum terlambat jika kamu memang akan kembali besok ke Italia.” Ucap Lily seraya melangkah di sisi Candra. “Sekali lagi aku minta maaf Bibi Lily. Aku harus kembali malam ini ke hotel, jika aku harus menginap malam ini di sini dan kembali pagi harinya ke hotel, rasanya aku tak punya banyak waktu untuk berberes-beres barang-barangku yang berada di hotel, karena besok pagi aku harus segera berangkat ke Italia.” Jelas Candra menanggapi tawaran dari nyonya Wallington. “Ya sudah. Jika memang demikian,
Lily mengerucutkan bibirnya melihat sikap dingin Hugo. Dia menatap Candra dan menepuk lengannya menenangkan.“Jangan berkecil hati. Hugo selalu seperti ini.”Candra mengangguk, dia tidak mengambil sikap dingin Hugo, apalagi setelah mendengar kata-kata Aurelio bahwa Hugo menyimpan foto dirinya.Lily menyruh pelayan menyiapkan camilan ringan dan menghabiskan waktu mengobrol bersama Candra dan bermain dengan Aurelio.Sepanjang hari itu Hugo tidak turun dan berada di ruang kerjanya. Entah dia sengaja untuk menghindari Candra atau pria itu memang seperti itu. Candra tidak terlalu memikirkannya. Dia menikmati bermain dengan Aurelio. Candra tampak bahagia ia menikmati kebersamaannya bersama Aurelio di rumah Hugo Wallington. Meskipun Hugo terlihat cuek tak mengacuhkannya, namun Candra tidak mempedulikannya.Ia justru semakin akrab dan dekat dengan putra tunggal CEO berwajah tampan tersebut.Lily menyukai Candra, setelah melihat ketika Candra begitu pintar mengambil hati cucunya. Ini peluang te
“Tidak kok nyonya. Aku tidak memikirkan apapun, dan aku baik-baik saja kok nyonya,” ucapnya kembali berbohong menutupi jika sesungguhnya pikirannya justru melayang ke arah Hugo berada.“Candra. Aku minta maaf, jika selama ini sikapku sudah sangat keterlaluan padamu. Aku sadar, seharusnya aku tak memperlakukanmu seperti itu, hingga akhirnya kamu pergi meninggalkan putraku Hugo. Aku berharap kamu bisa memaafkanku Candra, meskipun aku akui kesalahanku mungkin sudah terlalu besar terhadapmu.”Candra tak menyangka, jika nyonya Wallington bisa berkata demikian padanya. Mengakui kesalahannya dan meminta maaf atas kesalahan yang pernah ia lakukan terhadap Candra.Candra menyentuh tangan nyonya Wallington, seraya menganggukkan kepalanya pelan. Candra tersenyum begitu juga dengan nyonya Wallington.“Iya nyonya. Aku sudah memaafkanmu nyonya, jauh sebelum nyonya minta maaf padaku,” jawab Candra seketika membuat nyonya Wallington berbinar-binar wajahnya.“Sungguhkah? Kamu memaafkanku Candra..? Kam
"Ya, ibu bantu cari pengasuh yang lebih kompenten.”“Kamu tidak butuh pengasuh untuk Aurelio, tapi seorang ibu untuk anakmu,” ujar Lily melirik Hugo dengan hati-hati.“Ibu ....” Hugo menatap ibunya tidak suka topik itu di bahas lagi.“Kamu tidak berniat mencari ibu untuk Aurelio? Apa karena kamu tidak bisa melupakan Candra?”Hugo terdiam, pikirannya kembali memikirkan Candra. Wanita itu memperlakukan Aurelio dengan baik saat itu dan dia pula yang menemukan putranya.Hugo menggelengkan kepala mengusir bayangan gadis itu dan berpura-pura mengetik sesuatu di laptop. "Aku sibuk, tolong tinggalkan aku, Bu.”Lily mendesah pasrah dan meninggalkan Hugo untuk mengurus pekerjaannya.....Beberapa hari kemudian sejak pertemuannya dengan Paman Hugo, Candra masih tidak memiliki keberanian mencari pria itu.Gadis berparas manis itu, bolak-balik tak jelas dan gelisah di ruang tamu kamar hotelnya seolah-olah mengukur ruang luas di kamar hotel tempat ia menginap selama berada di kota tersebut. Pikira
Candra merasa sedih atas sikap Hugo Wallington bersikap dingin dan mengabaikannya. Dia meninggalkan taman hiburan dan kembali ke hotel tempat dia menginap. Candra gelisah terus memikirkan pertemuannya dengan Hugo. Dia berusaha menahan diri untuk tidak mencari tahu tentang pria itu selama lima tahun sejak dia meninggalkannya. Pada akhirnya dia tidak bisa menahan keinginannya dan menelepon seorang asisten yang mengurus semua keperluannya. Dia menyuruh asistennya mencari tahu tentang Hugo selama lima tahun ini. Setelah itu Candra menunggu informasi dari asistennya semalaman. Beberapa jam kemudian asistennya datang ke kamar hotelnya. “Bagaimana, Vivi?” Candra bertanya gelisah meraih tangan wanita itu. “Nona muda, Tuan Wallington tidak pernah menikah, tapi dia memiliki seorang anak yang sampai saat ini masih dia sembunyikan dari mata publik. Ibu dari anak itu, mantan pelacur Tuan Wallington meninggal saat melahirkan.” Mata Candra melebar, jantung berdegup kencang merasa senang karena
“Kamu tidak usah takut dengan kakak. Kakak tidak jahat kok, jadi adik kecil jangan menangis lagi ya. Tenang saja, Kakak akan bantuin kamu kok.” Candra terus mengajak anak kecil tersebut berbicara, meskipun ia tetap bungkam tak mau bicara sepatah kata pun.“Ayo sini..! Ikut dengan kakak. Kita cari keberadaan orang tua kamu ya,” ujar Candra mengulurkan tangannya pada anak kecil itu.Anak itu seolah mengerti dan menghapus air matanya. dia mengulurkan tangan kecilnya meraih tangan wanita di depannya.Candra tersenyum hangat meremas tangan kecilnya. Dia pun menggendong dan mengajaknya menuju ke arah ruangan bagian informasi. Candra berpikir jika anak tersebut adalah anak hilang, mungkin dengan bantuan bagian informasi dapat mempertemukan kembali anak kecil yang terpisah dari orang tuanya bisa berkumpul lagi dengan keluarganya.Anak kecil tersebut saat ini berada dalam gendongan Candra tidak menangis dan memeluk leher Candra saat dibawa masuk ke pusat informasi taman hiburan.Candra mendeka
Lima tahun kemudian.Langit biru cerah dan angin bertiup lembut. Taman hiburan tampak hidup dan meriah.Gadis itu memandang langit musim panas dan memejamkan mata menikmati sinar matahari bersinar cukup cerah.Dia cantik berada di usia muda 25 tahun, kecantikannya mekar dengan indah. Jejak naif dan polos seorang gadis memudar dengan kecantikan wanita dewasa. Dia menarik perhatian beberapa pria yang lewat.Candra memuka mata, memperlihat matanya yang cerah dan cemerlang, namun menyimpan jejak kesedihan.Lima tahun telah berlalu, kota ini tak begitu banyak perubahannya. Kerinduannya begitu besar terhadap kota ini, begitu banyak kenangan yang tak mudah dilupakan di sini. Candra telah kembali ke kota di mana dulu ia memiliki story dan kenangan yang begitu membekas untuk dirinya.Bagaimana kabarnya kamu paman Hugo?Pasti saat ini dia sudah bahagia menikah dengan perempuan itu.Candra mendesah. Tak ada gunanya lagi mengingat semuanya jika saat ini paman Hugo sudah menjadi milik perempua
Candra tidak menjawab, dia menatap bibir tipis Hugo sebelum menundukkan kepala mencium bibirnya. Ciumannya agak grogi dan gugup. Hugo merasa terkejut. Sudah lama sekali Candra tidak mengambil inisitif menciumnya. Tapi dia tidak membalas ciuman Candra dan menahan keinginannya untuk melumat bibirnya menggoda. Dia harus memberinya pelajaran hari ini. Merasa Hugo tidak membalas ciumannya membuat Candra agak cemas dan malu. Tapi Hugo tidak mendoronya. Candra agak berani memperdalam ciumannya, bibir menghisap bibir bawah pria itu dan menyapu lidahnya di sepanjang bibir Hugo. Hugo mengerang pelan dalam bibirnya, tangannya mencengkeram pinggang ramping gadis itu. Candra semakin berani menyelipkan lidahnya menggoda bibir Hugo, tanganya mengusap-ngusap dada pria itu dengan gerakan menggodanya. Pinggulnya mengosok pangkal paha Hugo, menggoda ‘junior’ pria itu. Napas Hugo semakin dalam, dia mengcengkeram pinggang gadis itu semakin erat. Salah satu tangannya meremas pantat Candra di balik cel
“Tidak,” balas Candra serak dan menundukkan kepala agar Hugo tidak melihat dia menangis.“Benarkah?” Hugo meraih dagu gadis agar mendongak menatapnya. Dia melihat mata Candra berkaca-kaca dan basah. “Kamu menangis? Mengapa kamu menangis?” tanyanya dengan kening berkerut.Candra menggelengkan kepala. “Tidak, aku hanya mengantuk kok.”Candra mengusap matanya dan berpura-pura menguap. “Aku tidak tidur nyenyak semalam dan bangun pagi-pagi sekali untuk membuat bubur.”Hugo menatapnya lekat-lekat seolah mencari kebohongan dari mata gadis itu.Candra menguap hingga air matanya keluar. “Aku mengantuk. Bangunkan aku jika makan malam sudah selesai ....” Lalu dia dengan hati-hati memeluk pinggang Hugo agar menekan luka di perutnya dan bersandar di dada Hugo. Matanya terpenjam, dalam hitungan beberapa menit, dia sudah tertidur.Hugo mengamati gadis yang tertidur itu dan mendesah memeluk kepalanya di dadanya. Dia mencium kepala Candra dan memejamkan mata mencoba untuk tidur.Satu jam kemudian, Hug