Senyum di wajah Dimitri menghilang dan dia menatap ibunya tanpa berkedip. Meskipun dia anak berusia lima tahun, dia mengerti apa kata ‘pergi ke awan’ karena orang-orang dewasa selalu menggunakan alasan tersebut ketika menyebutkan orang yang sudah meninggal. “Dimi mengerti. Kakek Philip juga pergi ke awan. Dimi juga tidak bisa bertemu Kakek Philip lagi,” ujarnya dengan suara kekanakannya. Iris tersenyum sedih mengusap rambut Dimitri. “Tapi, kita masih bisa mengunjungi kakak Zein, Dimi mau ikut, ‘kan?” Dimitri mengangguk. Wajah mengantuknya sudah menghilang setelah mengetahui tentang saudara laki-lakinya. “Kalau begitu mari kita pergi beli bunga sebelum mengunjungi Kakak Zein,” ajak Iris berdiri dan meraih tangan mungil Dimitri. Iris membawa Dimitri ke salah satu toko bunga dekat area pemakaman. Toko bunga itu buka meskipun masih pagi. Setelah memilih bunga anyelir berwarna merah muda, Iris membawa Dimitri untuk membayar bunga tersebut. “Anda datang pagi-pagi, siapa yang ingin Anda
“Dimitri, ayo beri salam pada kakakmu,” pintanya lembut mengulurkan tangannya pada Dimitri agar mendekat ke pusara Zein. Dimitri patuh mendekat dengan kaki kecilnya berdiri di samping makan Zein dan memberi salam ke pusara Zein. Dia berjongkok mengusap batu nisan Zein. “Halo, Kakak, namaku Dimitri. Aku adalah adikmu. Meskipun kita tidak pernah bertemu, aku senang memiliki Kakak.” Mata Iris memerah mendengar kata-kata Dimitri. Dia merangkul putranya dan memandang pusara Zein. “Sayangku, Zein putra mommy, maaf mommy baru datang berkunjung. Apa kamu baik-baik saja di sana? Kamu bersama Kakek dan Nenek?” bisik Iris penuh kerinduan. Tidak ada yang menanggapi ucapannya. Anak yang terbaring di bawah sana tidak akan bangun dan tak peduli berapa banyak Iris merindukannya. Mata Iris terpejam membiarkan air matanya mengalir di pipinya. ‘Sayang, mommy berjanji akan membalas orang-orang yang membunuhmu,’ bisiknya lirih dalam hati. “Mommy ....” Sebuah tangan kecil mengusap pipi Iris membuatny
Iris selalu peduli dengan gizi putranya, namun kali ini ia berpikir tidak ada salahnya membelikan cumi-cumi bakar sesekali pada Dimitri. Dia sudah sering memakannya sejak kecil dan tidak berpengaruh pada kesehatannya. Iris tersenyum dan mengangguk. “Asal Dimi merahasiakan ini dari nenek Lilian, janji?” dia membungkuk mengulurkan jari kelingkingnya pada Dimitri. Mata Dimitri berbinar. “Yeay, Dimi janji tidak akan kasih tahu Nenek!” serunya gembira menjalin jari kelingking mungilnya pada jari kelingking Iris. Iris tersenyum menggenggam tangan Dimitri dan membawanya ke stand makanan jajanan cumi-cumi bakar. Akan tetapi, sayangnya stand itu cukup ramai pembeli yang berkerumun. Jika dia menunggu para pembeli yang lain selesai, itu akan memakan waktu lama. Belum lagi pembeli selalu berdatangan. Stand jajanan itu tampaknya sangat disukai dan laris oleh pembeli. “Mommy, kapan belinya? Aku lapar ....” Dimitri mengeluh setelah menunggu selama hampir sepuluh menit. “Sebentar sayang tunggu m
“Tolong telepon ambulans! Anak itu berdarah!” “Dimitri! anakku!” tangis Iris histeris menerobos kerumunan, mencoba melihat keadaan putranya.“Tolong minggir, aku ibunya!” Iris menangis tidak bisa menerobos kerumunan orang di sekitar lokasi.Orang-orang mendengar tangisan Iris dan memberinya jalan.“Dimi! Anakku!” Iris jatuh berlutut menutup mulutnya dan menangis melihat putranya berdarah di pelukan seorang pria. “Dimi, sayangku ....” Dia tidak memperhatikan Aiden dan menangis ingin mengambil Dimitri ke pelukannya.Tangisan Iris menarik perhatian Aiden. Aiden menoleh menatapnya dengan tatapan heran dan terkejut. “Dia anakmu?”Iris mendongak menatap Aiden. Matanya melebar terkejut dan tergagap.“A-Aiden ....”Mata Aiden menyipit menatapnya curiga. Namun, seorang pria memberitahu mereka dan memutuskan tatapan Aiden dan Iris.“Tuan, kami sudah menelepon ambulans. Tolong jangan gerakan anak itu. Takut anak itu mengalami luka parah.”Aiden mengalihkan pandangannya pada anak di p
Iris paling takut Aiden dan Dimitri akan saling mengenali satu sama lain sebagai ayah dan anak. Bagaimanapun darah lebih kental daripada air.Bunyi alat monitor medis menarik Iris dari pikiran gelisahnya. Dia mengalihkan pandangannya dengan cemas pada petugas ambulans.“Apa putraku akan baik-baik saja?”“Pasien kehilangan banyak darah dan lengan kanannya patah. Anak ini harus segera dioperasi. Tolong sebutkan identitas dan golongan darah anak ini.”Mata Iris memerah dan air matanya mengalir menatap wajah berdarah putranya. Bagaimana putra kecilnya bisa menahan luka separah ini? Dia bahkan tidak pernah terjatuh.Iris mengabaikan keberadaan Aiden dan memberitahu identitas Dimitri beserta golongan darahnya.Setelah petugas selesai mencatat, Iris meraih tangan mungil Dimitri. Dia mencium tangannya dengan penuh sayang dan penyesalan. Seandainya dia tidak melepaskan tangan Dimitri, putranya tidak akan lepas dari pengawasannya dan mengalami kecelakaan.“Maafkan mommy, Sayang ... mommy
Aiden menyipit menatap Iris selama beberapa saat. Dia bersandar lemah, namun menatap Iris curiga. “Sejak tadi kamu gelisah dan bahkan tidak tulus berterima kasih, sekarang kamu ingin mengusirku. Apa sebenarnya yang kamu sembunyikan?”Iris berkedip dan memelototi Aiden. “Memangnya apa yang harus aku sembunyikan darimu?”Aiden tidak menjawab selama beberapa saat sebelum mengalihkan pandangannya ke pintu ruang operasi yang tertutup rapat. “Mungkin tentang putramu. Aneh karena kamu tiba-tiba punya anak. Dilihat dari sosok Dimitri, seharusnya dia berumur lima tahun, ‘kan?” Dia menoleh menatap Iris tajam. “Aku juga tidak pernah mendengar bahwa kamu sudah menikah. Dari mana munculnya Dimitri? Apa dia anak angkatmu?”Iris gelisah dan marah membentak Aiden. “Apa urusannya denganmu aku menikah atau tidak dan siapa Dimitri?! Apa kamu memata-mataiku?!”“Aku hanya penasaran bagaimana kamu bisa menjadi Direktur Utama WLT Group,” balas Aiden mengangkat bahu.Iris mendengus dingin dan tidak mena
Hugo ingat Iris sangat terpuruk saat kematian Zein. Kehadiran Dimitri saat itu menyelamatkan Iris dari keterpurukannya.Iris masih sesenggukan dan Hugo terus menenangkannya. Mereka seolah tak memedulikan Aiden yang masih berada di antara mereka dengan ekspresi gelap.Aiden sekarang mengingat siapa pria itu dan mengapa wajahnya begitu familier. Dia adalah pria yang sama enam tahun yang lalu berselingkuh dengan Iris dan membawanya pergi. Sekarang mereka masih berhubungan dan bahkan mesra di depannya?Pria itu bahkan tahu Dimitri adalah anak Iris. Apa dia ayah kandung Dimitri? Lalu mengapa mereka tidak coba menikah? Aiden merasa sinis dan jengah di dalam hatinya.Mungkinkah Dimitri adalah anak hasil perselingkuhan mereka? Memikirkannya saja membuat Aiden merasa iritasi di hatinya.Pintu ruang operasi terbuka menarik perhatian mereka. Iris melepas pelukannya dari Hugo dan buru-buru menghampiri pria yang keluar dari ruang operasi.“Bagaimana keadaan anakku, Dokter?” Iris bertanya cem
Aiden kembali ke ruang operasi Dimitri. Dia tiba-tiba berhenti tak jauh dari ruang tunggu operasi Dimitri. Di sana Iris duduk di kursi tunggu mengusap wajahnya dan terlihat putus asa memandang berkali-kali ke arah ruang operasi yang tertutup rapat. Aiden mengalihkan pandangannya pada pria di sebelahnya yang merangkul pundak Iris dan menenangkan wanita itu.Mata Aiden menyipit. Apa sebenarnya hubungan mereka?Aiden mendengus muram tidak jadi menunggu operasi Dimitri selesai dan berbalik pergi.“Tuan Ridley!”Asistennya, Peter, dari kejauhan mendekati Aiden dengan napas terengah-engah. “Tuan Ridley, Anda baik-baik saja?”Aiden mengangguk. “Bagaimana pertemuan dengan investor dari negara C?”Hari ini seharusnya Aiden ada pertemuan dengan para investor dari negara C pada pukul 10 pagi. Namun, karena kecelakaan Dimitri, Aiden terlambat dan menunda pertemuan dengan investor negara C.“Saya sudah menjadwalkan ulang pertemuan besok siang. Beruntung pihak investor negara C sangat pen
Mereka pun telah selesai makan malam bersama. Lily dan Candra melangkah menuju ke arah ruang tamu. Sementara itu Aurelio sudah terlelap di kamarnya. Candra sengaja menemani putra tunggal Hugo hingga ia terlelap agar dirinya bisa pergi meninggalkan Aurelio tanpa merasa terbebani oleh rasa bersalah, karena sang putra tak ingin melepaskannya. “Candra apakah kamu yakin tetap balik hotel malam ini? Sudah larut malam Candra, apa tidak sebaiknya besok pagi-pagi sekali kamu kembali ke hotel. Kurasa belum terlambat jika kamu memang akan kembali besok ke Italia.” Ucap Lily seraya melangkah di sisi Candra. “Sekali lagi aku minta maaf Bibi Lily. Aku harus kembali malam ini ke hotel, jika aku harus menginap malam ini di sini dan kembali pagi harinya ke hotel, rasanya aku tak punya banyak waktu untuk berberes-beres barang-barangku yang berada di hotel, karena besok pagi aku harus segera berangkat ke Italia.” Jelas Candra menanggapi tawaran dari nyonya Wallington. “Ya sudah. Jika memang demikian,
Lily mengerucutkan bibirnya melihat sikap dingin Hugo. Dia menatap Candra dan menepuk lengannya menenangkan.“Jangan berkecil hati. Hugo selalu seperti ini.”Candra mengangguk, dia tidak mengambil sikap dingin Hugo, apalagi setelah mendengar kata-kata Aurelio bahwa Hugo menyimpan foto dirinya.Lily menyruh pelayan menyiapkan camilan ringan dan menghabiskan waktu mengobrol bersama Candra dan bermain dengan Aurelio.Sepanjang hari itu Hugo tidak turun dan berada di ruang kerjanya. Entah dia sengaja untuk menghindari Candra atau pria itu memang seperti itu. Candra tidak terlalu memikirkannya. Dia menikmati bermain dengan Aurelio. Candra tampak bahagia ia menikmati kebersamaannya bersama Aurelio di rumah Hugo Wallington. Meskipun Hugo terlihat cuek tak mengacuhkannya, namun Candra tidak mempedulikannya.Ia justru semakin akrab dan dekat dengan putra tunggal CEO berwajah tampan tersebut.Lily menyukai Candra, setelah melihat ketika Candra begitu pintar mengambil hati cucunya. Ini peluang te
“Tidak kok nyonya. Aku tidak memikirkan apapun, dan aku baik-baik saja kok nyonya,” ucapnya kembali berbohong menutupi jika sesungguhnya pikirannya justru melayang ke arah Hugo berada.“Candra. Aku minta maaf, jika selama ini sikapku sudah sangat keterlaluan padamu. Aku sadar, seharusnya aku tak memperlakukanmu seperti itu, hingga akhirnya kamu pergi meninggalkan putraku Hugo. Aku berharap kamu bisa memaafkanku Candra, meskipun aku akui kesalahanku mungkin sudah terlalu besar terhadapmu.”Candra tak menyangka, jika nyonya Wallington bisa berkata demikian padanya. Mengakui kesalahannya dan meminta maaf atas kesalahan yang pernah ia lakukan terhadap Candra.Candra menyentuh tangan nyonya Wallington, seraya menganggukkan kepalanya pelan. Candra tersenyum begitu juga dengan nyonya Wallington.“Iya nyonya. Aku sudah memaafkanmu nyonya, jauh sebelum nyonya minta maaf padaku,” jawab Candra seketika membuat nyonya Wallington berbinar-binar wajahnya.“Sungguhkah? Kamu memaafkanku Candra..? Kam
"Ya, ibu bantu cari pengasuh yang lebih kompenten.”“Kamu tidak butuh pengasuh untuk Aurelio, tapi seorang ibu untuk anakmu,” ujar Lily melirik Hugo dengan hati-hati.“Ibu ....” Hugo menatap ibunya tidak suka topik itu di bahas lagi.“Kamu tidak berniat mencari ibu untuk Aurelio? Apa karena kamu tidak bisa melupakan Candra?”Hugo terdiam, pikirannya kembali memikirkan Candra. Wanita itu memperlakukan Aurelio dengan baik saat itu dan dia pula yang menemukan putranya.Hugo menggelengkan kepala mengusir bayangan gadis itu dan berpura-pura mengetik sesuatu di laptop. "Aku sibuk, tolong tinggalkan aku, Bu.”Lily mendesah pasrah dan meninggalkan Hugo untuk mengurus pekerjaannya.....Beberapa hari kemudian sejak pertemuannya dengan Paman Hugo, Candra masih tidak memiliki keberanian mencari pria itu.Gadis berparas manis itu, bolak-balik tak jelas dan gelisah di ruang tamu kamar hotelnya seolah-olah mengukur ruang luas di kamar hotel tempat ia menginap selama berada di kota tersebut. Pikira
Candra merasa sedih atas sikap Hugo Wallington bersikap dingin dan mengabaikannya. Dia meninggalkan taman hiburan dan kembali ke hotel tempat dia menginap. Candra gelisah terus memikirkan pertemuannya dengan Hugo. Dia berusaha menahan diri untuk tidak mencari tahu tentang pria itu selama lima tahun sejak dia meninggalkannya. Pada akhirnya dia tidak bisa menahan keinginannya dan menelepon seorang asisten yang mengurus semua keperluannya. Dia menyuruh asistennya mencari tahu tentang Hugo selama lima tahun ini. Setelah itu Candra menunggu informasi dari asistennya semalaman. Beberapa jam kemudian asistennya datang ke kamar hotelnya. “Bagaimana, Vivi?” Candra bertanya gelisah meraih tangan wanita itu. “Nona muda, Tuan Wallington tidak pernah menikah, tapi dia memiliki seorang anak yang sampai saat ini masih dia sembunyikan dari mata publik. Ibu dari anak itu, mantan pelacur Tuan Wallington meninggal saat melahirkan.” Mata Candra melebar, jantung berdegup kencang merasa senang karena
“Kamu tidak usah takut dengan kakak. Kakak tidak jahat kok, jadi adik kecil jangan menangis lagi ya. Tenang saja, Kakak akan bantuin kamu kok.” Candra terus mengajak anak kecil tersebut berbicara, meskipun ia tetap bungkam tak mau bicara sepatah kata pun.“Ayo sini..! Ikut dengan kakak. Kita cari keberadaan orang tua kamu ya,” ujar Candra mengulurkan tangannya pada anak kecil itu.Anak itu seolah mengerti dan menghapus air matanya. dia mengulurkan tangan kecilnya meraih tangan wanita di depannya.Candra tersenyum hangat meremas tangan kecilnya. Dia pun menggendong dan mengajaknya menuju ke arah ruangan bagian informasi. Candra berpikir jika anak tersebut adalah anak hilang, mungkin dengan bantuan bagian informasi dapat mempertemukan kembali anak kecil yang terpisah dari orang tuanya bisa berkumpul lagi dengan keluarganya.Anak kecil tersebut saat ini berada dalam gendongan Candra tidak menangis dan memeluk leher Candra saat dibawa masuk ke pusat informasi taman hiburan.Candra mendeka
Lima tahun kemudian.Langit biru cerah dan angin bertiup lembut. Taman hiburan tampak hidup dan meriah.Gadis itu memandang langit musim panas dan memejamkan mata menikmati sinar matahari bersinar cukup cerah.Dia cantik berada di usia muda 25 tahun, kecantikannya mekar dengan indah. Jejak naif dan polos seorang gadis memudar dengan kecantikan wanita dewasa. Dia menarik perhatian beberapa pria yang lewat.Candra memuka mata, memperlihat matanya yang cerah dan cemerlang, namun menyimpan jejak kesedihan.Lima tahun telah berlalu, kota ini tak begitu banyak perubahannya. Kerinduannya begitu besar terhadap kota ini, begitu banyak kenangan yang tak mudah dilupakan di sini. Candra telah kembali ke kota di mana dulu ia memiliki story dan kenangan yang begitu membekas untuk dirinya.Bagaimana kabarnya kamu paman Hugo?Pasti saat ini dia sudah bahagia menikah dengan perempuan itu.Candra mendesah. Tak ada gunanya lagi mengingat semuanya jika saat ini paman Hugo sudah menjadi milik perempua
Candra tidak menjawab, dia menatap bibir tipis Hugo sebelum menundukkan kepala mencium bibirnya. Ciumannya agak grogi dan gugup. Hugo merasa terkejut. Sudah lama sekali Candra tidak mengambil inisitif menciumnya. Tapi dia tidak membalas ciuman Candra dan menahan keinginannya untuk melumat bibirnya menggoda. Dia harus memberinya pelajaran hari ini. Merasa Hugo tidak membalas ciumannya membuat Candra agak cemas dan malu. Tapi Hugo tidak mendoronya. Candra agak berani memperdalam ciumannya, bibir menghisap bibir bawah pria itu dan menyapu lidahnya di sepanjang bibir Hugo. Hugo mengerang pelan dalam bibirnya, tangannya mencengkeram pinggang ramping gadis itu. Candra semakin berani menyelipkan lidahnya menggoda bibir Hugo, tanganya mengusap-ngusap dada pria itu dengan gerakan menggodanya. Pinggulnya mengosok pangkal paha Hugo, menggoda ‘junior’ pria itu. Napas Hugo semakin dalam, dia mengcengkeram pinggang gadis itu semakin erat. Salah satu tangannya meremas pantat Candra di balik cel
“Tidak,” balas Candra serak dan menundukkan kepala agar Hugo tidak melihat dia menangis.“Benarkah?” Hugo meraih dagu gadis agar mendongak menatapnya. Dia melihat mata Candra berkaca-kaca dan basah. “Kamu menangis? Mengapa kamu menangis?” tanyanya dengan kening berkerut.Candra menggelengkan kepala. “Tidak, aku hanya mengantuk kok.”Candra mengusap matanya dan berpura-pura menguap. “Aku tidak tidur nyenyak semalam dan bangun pagi-pagi sekali untuk membuat bubur.”Hugo menatapnya lekat-lekat seolah mencari kebohongan dari mata gadis itu.Candra menguap hingga air matanya keluar. “Aku mengantuk. Bangunkan aku jika makan malam sudah selesai ....” Lalu dia dengan hati-hati memeluk pinggang Hugo agar menekan luka di perutnya dan bersandar di dada Hugo. Matanya terpenjam, dalam hitungan beberapa menit, dia sudah tertidur.Hugo mengamati gadis yang tertidur itu dan mendesah memeluk kepalanya di dadanya. Dia mencium kepala Candra dan memejamkan mata mencoba untuk tidur.Satu jam kemudian, Hug