Mata Iris bergetar dan memerah. Dia menggertakkan gigi menahan air matanya mati-matian agar tidak menangis di depan Aiden. Dia pernah mencintai pria itu dan kata-katanya masih menusuk, membuat hatinya sakit. Dia benci kenyataan bahwa pria itu adalah ayah Dimitri.“Memangnya kenapa jika aku wanita yang seperti itu? Kamu menyesal sudah menikah denganku?”Aiden tidak menjawab.Iris tersenyum dingin dan berkata datar, “Aku juga menyesal. Mengapa aku harus bertahan denganmu dan membuat Zein menderita? Jika saat itu aku memilih meninggalkanmu dan membawa pergi Zein, putraku tidak akan meninggal karena keegoisan keluargamu yang busuk.” Dia menatap Aiden dengan tatapan penuh kebencian. Air mata mengalir di pipinya.Aiden sesaat tertegun melihat air mata mengalir di pipi Iris. Tangannya yang mencengkeram pergelangan tangan Iris tanpa sadar melonggar.Iris mengalihkan pandangannya ke samping dan menarik tangannya dari cengkeraman Aiden. Dia menghapus air matanya kasar dan menenangkan dirinya s
Iris terdiam tidak bisa berkata-kata. Bagaimana dia bisa menelepon Aiden dan memberitahunya bahwa putra mereka merindukannya?Aiden pasti menganggapnya sudah gila, atau akan mengambil Dimitri darinya mengingat pria itu sangat menginginkan anak untuk membuat pijakannya semakin kokoh di RDY Group, pikirnya getir.“Ah, telepon Daddy?”Dimitri mengangguk dan menatap Iris penuh harap.Iris meringis dan merutuk dirinya dalam hati. Mengapa dia tidak mengatakan sejak awal saja kalau Aiden sudah mati hingga putranya tidak akan terus bertanya tentang ayahnya.Karena Iris sudah terlanjur berbohong, dia bisa berbohong lagi pada putranya.“Telepon Daddy .... baiklah ....” Iris tersenyum berpura-pura mengambil ponselnya menelepon nomor Hugo dan bukan Aiden.Mata hitam Dimitri mengawasi Iris penuh harap membuatnya merasa bersalah.Dia mengalihkan tatapannya dan fokus ke panggilan telepon. Sebelum Hugo menjawab panggilannya, Iris buru-buru mematikan panggilan dan menatap putranya.“Yaaah, Daddy tidak
“Mengapa kamu ada di sini?!”Iris tersentak dan menoleh ke samping menemukan wajah wanita paruh baya yang dikenalnya, mantan ibu mertuanya, Esme Spinet.Esme tidak sendiri, dia bersama Felicia yang memandangnya dengan ekspresi tidak senang.“Iris Jessen, mengapa kamu ada di sini?!” tanya Esme sekali lagi menatapnya tajam.Iris menarik tangannya dari cengkeraman Esme dan berhadapan dengan mantan ibu mertuanya. “Memangnya kenapa jika aku di sini?” balas Iris tenang. Dia mengepalkan tangannya berkeringat dingin dan mencemaskan Dimitri. Iris tidak ingin putranya bertemu dengan salah satu anggota keluarga Ridley, terutama Esme yang merupakan ibu tiri Aiden. Iris masih mencurigai Esme sebagai dalang yang menyebabkan kematian Zein.“Bukan apa-apa, hanya saja kamu tidak pantas ada di sini.”“Apa mal atau toko ini milikmu, Nyonya Ridley, hingga kamu bisa menyebutku pantas atau tidak di sini?” balas Iris dinginEsme menatapnya dengan mata membelalak keheranan. ”Wow, Iris, lama tidak bertemu
“Apa?! Dia menghina wanita muda itu karena mantan pelayan bar, tapi dia sendiri dulunya ‘wanita panggilan’ ““Benarkah Nyonya Ridley dulu ‘wanita panggilan’ dan simpanan?”“Aku tidak menyangka Presdir Ridley memiliki ibu tiri mantan ‘wanita panggilan’“Wajah Esme memucat mendengar bisik-bisik yang tertuju padanya. Dia memelototi Iris penuh amarah.Bagaimana wanita itu bisa tahu tentang masa lalunya yang mati-matian ditutupinya?“Kamu—beraninya kamu memfitnahku!” Dia mengangkat tangannya untuk menampar Iris.Iris menangkap tangan yang melayang di udara sebelum Esme bisa menamparnya dan menatap dingin wanita tua itu. “Sekarang kamu tahu bagaimana rasanya direndahkan? Jika kamu tidak ingin orang lain mengungkap masa lalumu, lebih baik tutup mulutmu dan sadari sendiri posisimu,” desis Iris melempar tangan Esme.Tubuh Esme bergetar menahan amarah.“Iris, kamu sudah keterlaluan! Bagaimana pun Bibi adalah ibu Aiden dan mantan mertuamu. Beraninya kamu menghina Bibi! Apa kamu tidak takut Aiden
“Silakan ikuti saya, Nona.”Iris melirik Felicia dan Esme untuk terakhir kalinya sebelum menyusul staf toko ke kasir. Iris menghela napas lega karena Esme dan Felicia tidak melihat Dimitri. Dia segera mencari putranya.Orang-orang di sekitar yang menonton juga mulai bubar. “Apa-apaan perempuan murahan itu!” Esme sangat marah.Dia menoleh memelototi Felicia. “Apa maksud kata-kata Iris? Kerja sama apa yang dia maksud?!”Felicia terlihat meringis dan berkata dengan hati-hati, “Bibi, aku lupa memberitahumu. Iris adalah Direktur Utama WLT Group. Baru-baru ini RDY Group dan WLT Group bekerja sama untuk proyek taman bermain Big Island.”Wajah Esme terkejut dan memucat.“Apa kamu bilang?! Dia Direktur Utama WLT Group? Bagaimana wanita murahan itu bisa jadi Direktur?!” desisnya tidak percaya.“Aku juga tidak ingin percaya. Siapa yang menyangka mantan pelayan bar bisa menjadi direktur utama. Mungkin dia menjual tubuhnya atau menjadi wanita simpanan pria dari keluarga Wallington? Wanita pemanja
Setelah meninggalkan mal, Felicia gelisah di kamarnya. Dia terus memikirkan anak yang bersama Iris di mal. Wajah anak itu mirip dengan Aiden. Dia tidak yakin Iris sudah menikah lagi setelah bercerai dengan Aiden. Felicia harus memastikan sendiri apa anak itu adalah anak Aiden atau pria lain, dan harus menyingkirkan anak itu lebih cepat sebelum menimbulkan masalah untuknya di masa depan. Felicia berhenti berpikir dan mengambil tasnya lalu keluar dari kamar, pergi ke suatu tempat untuk menemui seseorang. Felicia mengendarai mobilnya selama satu jam sebelum berhenti di sebuah pub terpencil. Dia harus menyewa seseorang untuk menyelidiki Iris dan mengawasi anak itu. Dia harus menyingkirkan anak itu tak peduli siapa ayahnya. Firasatnya mengatakan anak itu akan membawa bencana pada rencananya dan Aiden. .... “Mommy, kita mau ke mana?” Dimitri menarik tangan Iris dengan wajah mengantuk saat Iris membawanya berjalan kaki menuju ke suatu tempat. Iris tersenyum menatap wajah kecil Dimitri y
Senyum di wajah Dimitri menghilang dan dia menatap ibunya tanpa berkedip. Meskipun dia anak berusia lima tahun, dia mengerti apa kata ‘pergi ke awan’ karena orang-orang dewasa selalu menggunakan alasan tersebut ketika menyebutkan orang yang sudah meninggal. “Dimi mengerti. Kakek Philip juga pergi ke awan. Dimi juga tidak bisa bertemu Kakek Philip lagi,” ujarnya dengan suara kekanakannya. Iris tersenyum sedih mengusap rambut Dimitri. “Tapi, kita masih bisa mengunjungi kakak Zein, Dimi mau ikut, ‘kan?” Dimitri mengangguk. Wajah mengantuknya sudah menghilang setelah mengetahui tentang saudara laki-lakinya. “Kalau begitu mari kita pergi beli bunga sebelum mengunjungi Kakak Zein,” ajak Iris berdiri dan meraih tangan mungil Dimitri. Iris membawa Dimitri ke salah satu toko bunga dekat area pemakaman. Toko bunga itu buka meskipun masih pagi. Setelah memilih bunga anyelir berwarna merah muda, Iris membawa Dimitri untuk membayar bunga tersebut. “Anda datang pagi-pagi, siapa yang ingin Anda
“Dimitri, ayo beri salam pada kakakmu,” pintanya lembut mengulurkan tangannya pada Dimitri agar mendekat ke pusara Zein. Dimitri patuh mendekat dengan kaki kecilnya berdiri di samping makan Zein dan memberi salam ke pusara Zein. Dia berjongkok mengusap batu nisan Zein. “Halo, Kakak, namaku Dimitri. Aku adalah adikmu. Meskipun kita tidak pernah bertemu, aku senang memiliki Kakak.” Mata Iris memerah mendengar kata-kata Dimitri. Dia merangkul putranya dan memandang pusara Zein. “Sayangku, Zein putra mommy, maaf mommy baru datang berkunjung. Apa kamu baik-baik saja di sana? Kamu bersama Kakek dan Nenek?” bisik Iris penuh kerinduan. Tidak ada yang menanggapi ucapannya. Anak yang terbaring di bawah sana tidak akan bangun dan tak peduli berapa banyak Iris merindukannya. Mata Iris terpejam membiarkan air matanya mengalir di pipinya. ‘Sayang, mommy berjanji akan membalas orang-orang yang membunuhmu,’ bisiknya lirih dalam hati. “Mommy ....” Sebuah tangan kecil mengusap pipi Iris membuatny