Aiden memeluk pinggangnya dan menggiling pinggul mereka memperdalam ciumannya, melampiaskan kekesalan dan hasrat dua hari tanpa menyentuh wanita itu.“Uhmp—“ Mata Iris melebar, tangannya menahan dada Aiden dan mendorongnya.Aiden mencengkeram pinggangnya menariknya semakin erat ke tubuhnya. Bibirnya meraup lidah mungil Iris dalam ciuman gairah dan menuntut. Tangannya meraba-raba payudara Iris lapar dan menarik blusnya hingga robek. Dia dengan tidak samar menangkup salah satu bukit kembarnya dan mencubit putingnya.Iris melepaskan bibirnya dan mengeluarkan suara erangan yang memikat. Tubuh Aiden terangsang mendengar suara erangannya. Dia mencium mencium leher jenjang Iris penuh nafsu.“Ahh ... Aiden— lepaskan ....” Iris susah payah menahan sensasi kenikmatan yang menjalar di tubuhnya dan mendorong dada Aiden sebelum dirinya jatuh dalam kesenangan yang dibuat pria itu. Dia menggeliat mencoba melepaskan diri dari pelukan Aiden.“Apa kamu yakin, sayang?” bisik Aiden seduktif mencium telin
“Ya. Istri Anda sedang hamil. Tapi dia baik-baik saja.” Dokter itu kemudian tersenyum menepuk pundak Aiden sebelum berbalik meninggalkannya.Aiden tidak bisa menjelaskan dengan kata-kata apa yang dia rasakan. Dadanya berdebar untuk pertama kalinya dengan perasaan gembira, terkejut dan penuh harap yang bercampur aduk.Meski bukan pertama kali menjadi ayah, Aiden tetap merasa bahagia mendengar kabar menggembirakan ini.Dia ingat ketika Iris hamil Zein, dia tidak pernah merasakan perasaan seperti saat ini. Saat itu dia bingung dan tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Dan putra keduanya, dia gembira dan kecewa telah melewatkan momen kelahiran serta pertumbuhan Dimitri.Kehamilan Iris sekali lagi memberi perasaan kegembiraan seolah dirinya menerima berita pertama kali menjadi seorang ayah.Aiden tersenyum bodoh menghampiri tempat tidur Iris dan meraih tangannya.“Sayang, terima kasih,” bisiknya mencium wajah Iris bertubi-tubi untuk melampiaskan kebahagiaan yang membuncah di dadanya.Saya
“Oke, oke, jangan mengungkit itu terus. Tenanglah demi bayi kita, okey?” Aiden buru-buru menenangkannya ketika masalahnya dengan Letizia diungkit lagi.Dia tahu ibu hamil selalu sensitif dan tidak boleh diransang oleh perasaan negatif. Aiden harus melakukan segala upaya untuk menenangkan dan menjaga moodnya tetap baik“Jika kamu sudah merasa lebih baik, mari kita ke dokter.”“Jika aku tidak ingin mempertahankan anak ini, apa yang akan kamu lakukan padaku? Apa kamu akan kembali ke mantan pacarmu?” balas Iris ngotot. Belum melupakan mantan pacar Aiden yang mirip dengannya. Suaminya bahkan berciuman dengan mantannya! Siapa yang bisa menerima itu.“Aku tidak akan melakukan apa pun yang menyakitimu,” bisik Aiden lembut tampak tertekan. Sadar dirinya salah membiarkan dirinya berinteraksi dengan Letizia malam itu.Iris tampak akan terus mengenang foto itu dan menggunakan itu untuk menentangnya.Iris menatapnya dengan acuh tak acuh sebelum kembali berbaring membelakangi Aiden. hatinya kalut m
Sebelum keluar dari rumah sakit, Aiden dan Iris menemui dokter kandungan untuk pemeriksaan. Aiden tidak meninggalkan sisi Iris ketika dokter yang bertanggung jawab memeriksa Iris. Berbeda dengan Iris yang dalam perasaan kalut dan gelisah menunggu pemeriksaannya selesai.Aiden meremas tangannya menenangkan dan mengalihkan pandangannya pada dokter di depan mereka dengan penuh perhatian saat dokter memberikan hasil diagnosisnya.“Selamat Tuan, Nyonya Ridley hamil empat minggu.” Dokter itu tersemyum memberikan hasil diagnosis pada pasangan di depannya.Empat minggu? Hati Iris mencelos. Dia benar-benar hamil! Dia ingat saat itu berhubungan intim di kantor Aiden dan lupa membawa pil KB-nya.Iris menggigit kuku jarinya sementara tangan satunya mengelus perutnya yang rata cemas. Dia benar-benar tidak mengharapkan akan ada anak lagi setelah kelahiran Dimitri. Dia masih ingat masih sakit melahirkan itu. Apalagi dia sudah memiliki dua anak sebelumnya.Meski memiliki bayi lagi kedengaran sangat
Dimitri menggelengkan kepalanya sambil melipat tangannya di dadanya dengan ekspresi cemberut. “Aku tidak mau dimandikan Bibi Marry, aku sudah besar!”Iris terkekeh gemas mencium dan mencubit pipinya. Perasaan tertekan dan gelisahnya seolah menguap saat memandang dan mendengar suara putra kecilnya.Aiden memandang dengan ekspresi tenang melihat Iris tampak riang saat berbicara pada putra mereka. Dia tidak terlihat tertekan seperti di rumah sakit.Aiden berpikir dengan pahit bahwa itu karena mereka sudah memutuskan untuk tidak mempertahankan bayi yang baru tumbuh di perut Iris. “Okey, okey putra mommy sudah besar. Jadi Dimi mau mandi sekarang sama Mommy?”Dimitri menggelengkan kepalanya. “Aku mau mandi sama daddy.”Dia kemudian mengalihkan pandangannya pada Aiden dengan penuh harap.“Daddy, ayo mandi bersama!”Aiden memaksakan senyum agar tidak terlihat sedih di depan Iris dan putranya.“Okey, mari jagoan kecilku.” Dia menggendong Dimitri dan menciumnya.“Kamu semakin berat, apa saja k
“Kalau begitu, tidurlah. Ini hampir larut. Aku akan menyusul nanti setelah menyelesaikan pekerjaanku,” kata Aiden.Iris menggigit bibir bawahnya cemberut, kecewa dengan respons Aiden. Dia memutuskan masuk ke ruang kerja sebelum berhenti di samping kursi Aiden yang tengah bekerja.“Ada yang ingin aku bicarakan denganmu.”“Bisakah nanti kita bicara besok, aku masih banyak pekerjaan. Kita akan berbicara besok, okey?” balas Aiden tanpa mengalihkan pandangannya dari laptop.Iris cemberut. Jelas pria itu sedang tidak ingin bicaranya. Biasanya ketika mereka di rumah, Aiden akan mengabaikan pekerjaan dan melakukan banyak hal untuk menggodanya di tempat tidur. Apalagi ketika Iris mengenakan baju tidur yang minim, tapi pria itu mengabaikan godaanya dan hanya fokus pada pekerjaan.“Aku ingin membicarakan tentang aborsi,” kata Iris tenang mengamati Aiden sambil mengelus perutnya yang rata.Dia dapat melihat pundak Aiden menegang. Tangan pria itu berhenti mengetik dan mengepal di atas keyboard, t
“Dia tidak pernah bisa diandalkan,” Iris mendengus kesal keluar dari kamarnya.“Selama pagi Nyonya, apa Anda ingin sarapan?” kata Bibi Lina menyambut Iris di meja makan dan menyajikan jus buah di depannya/“Apa Bibi Marry sudah membawa Dimitri ke sekolah?” tanya Iris duduk dengan perasaan lesu di kursi meja makan dan menyeruput jus buah yang dibuatkan Bibi Lina.Ini hari pertama Dimitri masuk sekolah, tapi dia melewatkan hari pertama sekolah putranya.“Tuan Muda sudah berangkat ke sekolah. Tuan Aiden yang mengantarnya ke sekolah.”Iris berhenti menyeruput jus buahnya dan menatap Bibi Lina.“Suamiku yang mengantar Dimitri?”Pria itu memiliki waktu untuk mengantar putranya, tapi tidak membangunkannya? Iris benar-benar kesal.“Ya, Nyonya.”“Mengapa tidak ada yang membangunkan aku?”“Tuan Aiden berkata untuk membiarkan Nyonya tidur lebih lama. Katanya Nyonya sedang tidak sehat dan meminta agar aku menyiapkan jus buah ketika Nyonya bangun,” kata Bibi Lina dengan hati-hati mengamati Iris.“
Iris terisak berjongkok memeluk perutnya. Dia menyadari kesalahannya. “Maaf, maafkan aku karena egois,” bisiknya lirih. Selama dua hari itu, Aiden tidak menghubungnya meski Iris sering meneleponnya. Iris kecewa dan merasa sangat bersalah. Dia akan meminta maaf ketika pria itu kembali dari perjalanan bisnis dan menyambutnya di bandara. Di hari ketiga kepulangan Aiden, pada saat yang sama ibunya akan meninggalkan negara ini dan kembali ke negara S. “Mengecewakan sekali. Dia bahkan tidak menemanimu mengantarku pergi,” komentar Lilian melihat hanya Iris dan Dimitri yang mengantarnya. “Aiden sedang dalam perjalan bisnis, Bu.” Iris berkata dengan sabar. “Dia sombong sekali mentang-mentang sudah mengusai RDY Group. Jadi dia tidak merasa perlu untuk menghormatiku, bukan?” “Bu ....” Iris menatapnya jengah. “Sudah kubilang, Aiden dalam perjalanan bisnis. Jika dia sudah kembali, dia pasti akan mengantarmu pergi juga.” Lilian melipast tangannya dengan wajah acuh tak acuh. “Ini sudah hari
Mereka pun telah selesai makan malam bersama. Lily dan Candra melangkah menuju ke arah ruang tamu. Sementara itu Aurelio sudah terlelap di kamarnya. Candra sengaja menemani putra tunggal Hugo hingga ia terlelap agar dirinya bisa pergi meninggalkan Aurelio tanpa merasa terbebani oleh rasa bersalah, karena sang putra tak ingin melepaskannya. “Candra apakah kamu yakin tetap balik hotel malam ini? Sudah larut malam Candra, apa tidak sebaiknya besok pagi-pagi sekali kamu kembali ke hotel. Kurasa belum terlambat jika kamu memang akan kembali besok ke Italia.” Ucap Lily seraya melangkah di sisi Candra. “Sekali lagi aku minta maaf Bibi Lily. Aku harus kembali malam ini ke hotel, jika aku harus menginap malam ini di sini dan kembali pagi harinya ke hotel, rasanya aku tak punya banyak waktu untuk berberes-beres barang-barangku yang berada di hotel, karena besok pagi aku harus segera berangkat ke Italia.” Jelas Candra menanggapi tawaran dari nyonya Wallington. “Ya sudah. Jika memang demikian,
Lily mengerucutkan bibirnya melihat sikap dingin Hugo. Dia menatap Candra dan menepuk lengannya menenangkan.“Jangan berkecil hati. Hugo selalu seperti ini.”Candra mengangguk, dia tidak mengambil sikap dingin Hugo, apalagi setelah mendengar kata-kata Aurelio bahwa Hugo menyimpan foto dirinya.Lily menyruh pelayan menyiapkan camilan ringan dan menghabiskan waktu mengobrol bersama Candra dan bermain dengan Aurelio.Sepanjang hari itu Hugo tidak turun dan berada di ruang kerjanya. Entah dia sengaja untuk menghindari Candra atau pria itu memang seperti itu. Candra tidak terlalu memikirkannya. Dia menikmati bermain dengan Aurelio. Candra tampak bahagia ia menikmati kebersamaannya bersama Aurelio di rumah Hugo Wallington. Meskipun Hugo terlihat cuek tak mengacuhkannya, namun Candra tidak mempedulikannya.Ia justru semakin akrab dan dekat dengan putra tunggal CEO berwajah tampan tersebut.Lily menyukai Candra, setelah melihat ketika Candra begitu pintar mengambil hati cucunya. Ini peluang te
“Tidak kok nyonya. Aku tidak memikirkan apapun, dan aku baik-baik saja kok nyonya,” ucapnya kembali berbohong menutupi jika sesungguhnya pikirannya justru melayang ke arah Hugo berada.“Candra. Aku minta maaf, jika selama ini sikapku sudah sangat keterlaluan padamu. Aku sadar, seharusnya aku tak memperlakukanmu seperti itu, hingga akhirnya kamu pergi meninggalkan putraku Hugo. Aku berharap kamu bisa memaafkanku Candra, meskipun aku akui kesalahanku mungkin sudah terlalu besar terhadapmu.”Candra tak menyangka, jika nyonya Wallington bisa berkata demikian padanya. Mengakui kesalahannya dan meminta maaf atas kesalahan yang pernah ia lakukan terhadap Candra.Candra menyentuh tangan nyonya Wallington, seraya menganggukkan kepalanya pelan. Candra tersenyum begitu juga dengan nyonya Wallington.“Iya nyonya. Aku sudah memaafkanmu nyonya, jauh sebelum nyonya minta maaf padaku,” jawab Candra seketika membuat nyonya Wallington berbinar-binar wajahnya.“Sungguhkah? Kamu memaafkanku Candra..? Kam
"Ya, ibu bantu cari pengasuh yang lebih kompenten.”“Kamu tidak butuh pengasuh untuk Aurelio, tapi seorang ibu untuk anakmu,” ujar Lily melirik Hugo dengan hati-hati.“Ibu ....” Hugo menatap ibunya tidak suka topik itu di bahas lagi.“Kamu tidak berniat mencari ibu untuk Aurelio? Apa karena kamu tidak bisa melupakan Candra?”Hugo terdiam, pikirannya kembali memikirkan Candra. Wanita itu memperlakukan Aurelio dengan baik saat itu dan dia pula yang menemukan putranya.Hugo menggelengkan kepala mengusir bayangan gadis itu dan berpura-pura mengetik sesuatu di laptop. "Aku sibuk, tolong tinggalkan aku, Bu.”Lily mendesah pasrah dan meninggalkan Hugo untuk mengurus pekerjaannya.....Beberapa hari kemudian sejak pertemuannya dengan Paman Hugo, Candra masih tidak memiliki keberanian mencari pria itu.Gadis berparas manis itu, bolak-balik tak jelas dan gelisah di ruang tamu kamar hotelnya seolah-olah mengukur ruang luas di kamar hotel tempat ia menginap selama berada di kota tersebut. Pikira
Candra merasa sedih atas sikap Hugo Wallington bersikap dingin dan mengabaikannya. Dia meninggalkan taman hiburan dan kembali ke hotel tempat dia menginap. Candra gelisah terus memikirkan pertemuannya dengan Hugo. Dia berusaha menahan diri untuk tidak mencari tahu tentang pria itu selama lima tahun sejak dia meninggalkannya. Pada akhirnya dia tidak bisa menahan keinginannya dan menelepon seorang asisten yang mengurus semua keperluannya. Dia menyuruh asistennya mencari tahu tentang Hugo selama lima tahun ini. Setelah itu Candra menunggu informasi dari asistennya semalaman. Beberapa jam kemudian asistennya datang ke kamar hotelnya. “Bagaimana, Vivi?” Candra bertanya gelisah meraih tangan wanita itu. “Nona muda, Tuan Wallington tidak pernah menikah, tapi dia memiliki seorang anak yang sampai saat ini masih dia sembunyikan dari mata publik. Ibu dari anak itu, mantan pelacur Tuan Wallington meninggal saat melahirkan.” Mata Candra melebar, jantung berdegup kencang merasa senang karena
“Kamu tidak usah takut dengan kakak. Kakak tidak jahat kok, jadi adik kecil jangan menangis lagi ya. Tenang saja, Kakak akan bantuin kamu kok.” Candra terus mengajak anak kecil tersebut berbicara, meskipun ia tetap bungkam tak mau bicara sepatah kata pun.“Ayo sini..! Ikut dengan kakak. Kita cari keberadaan orang tua kamu ya,” ujar Candra mengulurkan tangannya pada anak kecil itu.Anak itu seolah mengerti dan menghapus air matanya. dia mengulurkan tangan kecilnya meraih tangan wanita di depannya.Candra tersenyum hangat meremas tangan kecilnya. Dia pun menggendong dan mengajaknya menuju ke arah ruangan bagian informasi. Candra berpikir jika anak tersebut adalah anak hilang, mungkin dengan bantuan bagian informasi dapat mempertemukan kembali anak kecil yang terpisah dari orang tuanya bisa berkumpul lagi dengan keluarganya.Anak kecil tersebut saat ini berada dalam gendongan Candra tidak menangis dan memeluk leher Candra saat dibawa masuk ke pusat informasi taman hiburan.Candra mendeka
Lima tahun kemudian.Langit biru cerah dan angin bertiup lembut. Taman hiburan tampak hidup dan meriah.Gadis itu memandang langit musim panas dan memejamkan mata menikmati sinar matahari bersinar cukup cerah.Dia cantik berada di usia muda 25 tahun, kecantikannya mekar dengan indah. Jejak naif dan polos seorang gadis memudar dengan kecantikan wanita dewasa. Dia menarik perhatian beberapa pria yang lewat.Candra memuka mata, memperlihat matanya yang cerah dan cemerlang, namun menyimpan jejak kesedihan.Lima tahun telah berlalu, kota ini tak begitu banyak perubahannya. Kerinduannya begitu besar terhadap kota ini, begitu banyak kenangan yang tak mudah dilupakan di sini. Candra telah kembali ke kota di mana dulu ia memiliki story dan kenangan yang begitu membekas untuk dirinya.Bagaimana kabarnya kamu paman Hugo?Pasti saat ini dia sudah bahagia menikah dengan perempuan itu.Candra mendesah. Tak ada gunanya lagi mengingat semuanya jika saat ini paman Hugo sudah menjadi milik perempua
Candra tidak menjawab, dia menatap bibir tipis Hugo sebelum menundukkan kepala mencium bibirnya. Ciumannya agak grogi dan gugup. Hugo merasa terkejut. Sudah lama sekali Candra tidak mengambil inisitif menciumnya. Tapi dia tidak membalas ciuman Candra dan menahan keinginannya untuk melumat bibirnya menggoda. Dia harus memberinya pelajaran hari ini. Merasa Hugo tidak membalas ciumannya membuat Candra agak cemas dan malu. Tapi Hugo tidak mendoronya. Candra agak berani memperdalam ciumannya, bibir menghisap bibir bawah pria itu dan menyapu lidahnya di sepanjang bibir Hugo. Hugo mengerang pelan dalam bibirnya, tangannya mencengkeram pinggang ramping gadis itu. Candra semakin berani menyelipkan lidahnya menggoda bibir Hugo, tanganya mengusap-ngusap dada pria itu dengan gerakan menggodanya. Pinggulnya mengosok pangkal paha Hugo, menggoda ‘junior’ pria itu. Napas Hugo semakin dalam, dia mengcengkeram pinggang gadis itu semakin erat. Salah satu tangannya meremas pantat Candra di balik cel
“Tidak,” balas Candra serak dan menundukkan kepala agar Hugo tidak melihat dia menangis.“Benarkah?” Hugo meraih dagu gadis agar mendongak menatapnya. Dia melihat mata Candra berkaca-kaca dan basah. “Kamu menangis? Mengapa kamu menangis?” tanyanya dengan kening berkerut.Candra menggelengkan kepala. “Tidak, aku hanya mengantuk kok.”Candra mengusap matanya dan berpura-pura menguap. “Aku tidak tidur nyenyak semalam dan bangun pagi-pagi sekali untuk membuat bubur.”Hugo menatapnya lekat-lekat seolah mencari kebohongan dari mata gadis itu.Candra menguap hingga air matanya keluar. “Aku mengantuk. Bangunkan aku jika makan malam sudah selesai ....” Lalu dia dengan hati-hati memeluk pinggang Hugo agar menekan luka di perutnya dan bersandar di dada Hugo. Matanya terpenjam, dalam hitungan beberapa menit, dia sudah tertidur.Hugo mengamati gadis yang tertidur itu dan mendesah memeluk kepalanya di dadanya. Dia mencium kepala Candra dan memejamkan mata mencoba untuk tidur.Satu jam kemudian, Hug