Dimitri menggelengkan kepalanya sambil melipat tangannya di dadanya dengan ekspresi cemberut. “Aku tidak mau dimandikan Bibi Marry, aku sudah besar!”Iris terkekeh gemas mencium dan mencubit pipinya. Perasaan tertekan dan gelisahnya seolah menguap saat memandang dan mendengar suara putra kecilnya.Aiden memandang dengan ekspresi tenang melihat Iris tampak riang saat berbicara pada putra mereka. Dia tidak terlihat tertekan seperti di rumah sakit.Aiden berpikir dengan pahit bahwa itu karena mereka sudah memutuskan untuk tidak mempertahankan bayi yang baru tumbuh di perut Iris. “Okey, okey putra mommy sudah besar. Jadi Dimi mau mandi sekarang sama Mommy?”Dimitri menggelengkan kepalanya. “Aku mau mandi sama daddy.”Dia kemudian mengalihkan pandangannya pada Aiden dengan penuh harap.“Daddy, ayo mandi bersama!”Aiden memaksakan senyum agar tidak terlihat sedih di depan Iris dan putranya.“Okey, mari jagoan kecilku.” Dia menggendong Dimitri dan menciumnya.“Kamu semakin berat, apa saja k
“Kalau begitu, tidurlah. Ini hampir larut. Aku akan menyusul nanti setelah menyelesaikan pekerjaanku,” kata Aiden.Iris menggigit bibir bawahnya cemberut, kecewa dengan respons Aiden. Dia memutuskan masuk ke ruang kerja sebelum berhenti di samping kursi Aiden yang tengah bekerja.“Ada yang ingin aku bicarakan denganmu.”“Bisakah nanti kita bicara besok, aku masih banyak pekerjaan. Kita akan berbicara besok, okey?” balas Aiden tanpa mengalihkan pandangannya dari laptop.Iris cemberut. Jelas pria itu sedang tidak ingin bicaranya. Biasanya ketika mereka di rumah, Aiden akan mengabaikan pekerjaan dan melakukan banyak hal untuk menggodanya di tempat tidur. Apalagi ketika Iris mengenakan baju tidur yang minim, tapi pria itu mengabaikan godaanya dan hanya fokus pada pekerjaan.“Aku ingin membicarakan tentang aborsi,” kata Iris tenang mengamati Aiden sambil mengelus perutnya yang rata.Dia dapat melihat pundak Aiden menegang. Tangan pria itu berhenti mengetik dan mengepal di atas keyboard, t
“Dia tidak pernah bisa diandalkan,” Iris mendengus kesal keluar dari kamarnya.“Selama pagi Nyonya, apa Anda ingin sarapan?” kata Bibi Lina menyambut Iris di meja makan dan menyajikan jus buah di depannya/“Apa Bibi Marry sudah membawa Dimitri ke sekolah?” tanya Iris duduk dengan perasaan lesu di kursi meja makan dan menyeruput jus buah yang dibuatkan Bibi Lina.Ini hari pertama Dimitri masuk sekolah, tapi dia melewatkan hari pertama sekolah putranya.“Tuan Muda sudah berangkat ke sekolah. Tuan Aiden yang mengantarnya ke sekolah.”Iris berhenti menyeruput jus buahnya dan menatap Bibi Lina.“Suamiku yang mengantar Dimitri?”Pria itu memiliki waktu untuk mengantar putranya, tapi tidak membangunkannya? Iris benar-benar kesal.“Ya, Nyonya.”“Mengapa tidak ada yang membangunkan aku?”“Tuan Aiden berkata untuk membiarkan Nyonya tidur lebih lama. Katanya Nyonya sedang tidak sehat dan meminta agar aku menyiapkan jus buah ketika Nyonya bangun,” kata Bibi Lina dengan hati-hati mengamati Iris.“
Iris terisak berjongkok memeluk perutnya. Dia menyadari kesalahannya. “Maaf, maafkan aku karena egois,” bisiknya lirih. Selama dua hari itu, Aiden tidak menghubungnya meski Iris sering meneleponnya. Iris kecewa dan merasa sangat bersalah. Dia akan meminta maaf ketika pria itu kembali dari perjalanan bisnis dan menyambutnya di bandara. Di hari ketiga kepulangan Aiden, pada saat yang sama ibunya akan meninggalkan negara ini dan kembali ke negara S. “Mengecewakan sekali. Dia bahkan tidak menemanimu mengantarku pergi,” komentar Lilian melihat hanya Iris dan Dimitri yang mengantarnya. “Aiden sedang dalam perjalan bisnis, Bu.” Iris berkata dengan sabar. “Dia sombong sekali mentang-mentang sudah mengusai RDY Group. Jadi dia tidak merasa perlu untuk menghormatiku, bukan?” “Bu ....” Iris menatapnya jengah. “Sudah kubilang, Aiden dalam perjalanan bisnis. Jika dia sudah kembali, dia pasti akan mengantarmu pergi juga.” Lilian melipast tangannya dengan wajah acuh tak acuh. “Ini sudah hari
Aiden tertegun melihat sosok Iris di lantai dasar dengan putranya. Dia tidak menyangka Iris akan datang langsung menjemputnya.Iris menatapnya dengan ekspresi marah dan memelototi wanita di sebelahnya.Ah, Aiden mengerti mengapa Iris marah. Dia turun dari tangga eskalator dengan tergesa-gesa melihat putranya hendak naik eksakulator yang berjalan turun.“Dimi jangan naik! Menjauh dari eskulator, daddy akan menemuimu di bawah!” Seru Aiden cemas meninggalkan kopernya dan berlari turun untuk mencegat Dimitri mendekati eskalator.Tapi anak itu tiba-tiba tersandung tali sepatunya yang tidak terikat, tubuhnya terhuyung ke tangga eskulator.Sebelum anak itu jatuh, Aiden sudah meraih tubuhnya ke pelukannya dengan cepat.“Dimi!” Iris tersedar dan cemas mengejar Dimitri ketika putranya mendekati eskulator sendirian.Aiden menoleh menatapnya tajam. “Mengapa kamu membiarkan Dimitri berlarian di tempat ramai. Apa kamu tahu berbahayanya itu! Dimitri hampir celaka!” Dia memarahi Iris dengan suara k
Letizia menatapnya dengan mata berkaca-kaca dan tiba-tiba memeluknya.“Bagaimana kamu bisa mengatakan itu padaku? Aku sudah menderita selama sepuluh tahun dan kehilangan segalanya. Keluargaku hancur, mantan suamiku tidak ingin melepaskan aku. Aku bahkan tidak bisa kembali berkarir karena mantan suamiku mempersulitkan aku. Aiden apa sebenarnya salahku hingga mengalami semua ini. Ini sangat tidak adil,” isaknya berbisik putus asa.“Hanya kamu satu-satuunya harapanku Aiden. Aku masih mencintaimu dan tidak pernah melupakanmu selama sepuluh tahun. Aku bertahan selama sepuluh tahun untuk tidak menemuimu karena aku takut pada ibu tirimu akan mempersulitkanmu dan mengusik keluargaku lagi. Kumohon Aiden ....” Letizia menatapnya dengan wajah penuh air mata dan putus asa.“Mengapa aku mengalami semua ini hanya karena aku mencintaimu?” bisiknya dengan suara serak.Aiden mengepalkan tangannya dan melepaskan tangan Letizia di perutnya.“Tidak ada yang bisa kuberikan padamu untuk menebus penderitaan
Aiden tidak kembali ke rumah sejak mereka bertengkar di bandara dan Iris mengurung dirinya di kamar, membiarkan Bibi Marry yang menjaga Dimitri.Mungkin karena pengaruh hormon kehamilannya, Iris sangat sentimental. Dia menangis sepanjang hari di kamarnya.“Mommy ....” Suara Dimitri terdengar di luar kamar disertai ketukan di pintu kamarnya.“Dimi, mommy baik-baik saja. Mommy hanya sedang beristirahat, bermainlah dengan Bibi Marry,” kata Iris lemah memandang pintu kamarnya yang terkunci.Dia tidak putranya melihat dirinya menangis.Tidak terdengar lagi suara dari putranya. Setelah beberapa saat kemudian suara Dimitri terdengar di balik pintu dan berkata, “Baik Mommy. Mommy cepatlah beristirahat hingga bisa bermain dengan Dimi. Dimi mau main sama Mommy.”Suara anak itu terdengar lirih membuat hati Iris masam. Air mata tidak berhenti mengalir di pipinya. Tapi hatinya saat ini sangat kacau, dia tidak bisa bermain dengan putranya. Dia takut akan melampiaskan kemarahannya pada Dimitri karen
Sejak mengenal Aiden sebagai ayahnya, Dimitri selalu mencari perhatian ayahnya dan tidak bersikap manja lagi.Memikirkan pria itu yang sama sekali tidak menelepon setelah pertengkaran mereka di bandara membuat Iris sekali merasa kesedihan dan kepahitan di hatinya.Dia menggelengkan kepalanya tidak ingin memikirkan Aiden. Pria itu sudah berselingkuh dan menamparnya, dia tidak pantas ditangisi.Iris memandang Hugo, “Tunggulah di bawah dan makan malam bersama kami. Kamu tidak pernah makan bersama kami lagi.”Ya, tidak sejak Aiden tinggal di rumah ini, pikir Iris masam.Hugo menatapnya dan memandang ke sekeliling. “Apa Aiden ada di rumah? Dia tidak keberatan aku tinggal untuk makan malam?”“Dia tidak akan keberatan, dia mungkin tidak akan pulang,” balas Iris acuh tak acuh.Dia tidak yakin pria itu akan pulang ke rumah dan memilih makan mantan pacarnya yang cantik.Hugo menatapnya dengan alis terangkat. “Apa kamu dan Aiden sedang bertengkar?”Iris membuang muka dan berbohong. “Tidak, kenap