“Kamu brengsek ....”Aiden menangkap tangan wanita itu dan meraih belakang lehernya sebelum menunduk mencium bibirnya untuk menghentikan tangisannya.“Hmph—“ mata Iris melebar memandang Aiden dengan tatapan kosong.Aiden memejamkan matanya merasakan bibir mungil Iris di bibinya. Bibirnya manis dan lezat seperti yang diingat. Dia hanya ingin membungkamnya, tapi ketagihan ingin terus mencium bibir Iris. Tiga hari dia menahan diri dan menjauh dari Iris membuatnya sangat frustasi.Aiden memperdalam ciumanya dan menekan tubuh Iris di sofa. Dia menjulurkan lidahnya membujuk Iris membuka mulutnya.Iris mengatupkan bibirnya dan meletakkan tangannya di dada Aiden, berusaha mendorongnya.“Lepaskan ... brengsek—ah!” Iris mengerang saat Aiden menyerang mulutnya lidahnya yang panas dan bernafsu.Iris membuka mulutnya dan menggigit bibir Aiden dengan kuat. Tapi pria itu tampak tidak peduli dan terus menciumnya dengan penuh nafsu. Tangannya terulur untuk meraba-raba tubuh Iris sebelum menangkup sala
Keenam pria yang tak dikenal menyeringai memandang Iris dan mengelilingi wanita itu. “Kamu tidak perlu tahu tentang kami, jalang. Bermainlah dengan kami, kami akan menyenangkan kamu, hahaha ....” Salah satu pria itu berkata dengan tawa cabul memandang tubuh Iris. Teman-temannya yang lain tertawa terbahak-bahak. Wajah Iris pucat. Jelas tujuan keenam pria itu adalah dirinya. Dia tidak bisa melarikan diri karena pintu keluar ditutupi oleh dua orang pria. Dia dengan cepat mengambil ponselnya di dalam tas panik untuk menghubungi polisi tapi tasnya ditarik dan dilempar ke sudut kamar mandi. “Jangan coba-coba panggil polisi jalang!” “Aku tidak mengenal kalian. Aku akan membayar berapa pun jika kalian melepaskan aku,” ujar Iris memohon dan panik. “Kamu tidak bisa membayar kami Nona, karena seseorang sudah membayar kami dengan sangat mahal untuk memperkosa kamu.” Mata Iris menyipit mendengar ucapan salah satu pria itu. “Seseorang membayar kalian? Siapa dia?” Keenam orang itu saling pa
Kelompok pria itu saling pandang dan pemimpin pria itu memerintahkan anak buahnya. “Hajar orang itu! jangan diam saja! kalian tidak akan mendapat apa-apa jika tidak menyelesaikan ini!” Mereka berjumlah enam orang tidak mungkin bisa dikalah oleh satu orang. Serentak kelompok pria itu bergegas menghajar Aiden. Tapi yang tidak mereka sangka pria itu ahli bela diri dan melawan enam orang sekaligus. Iris meringkuk memeluk dirinya dengan gemetar memandang Aiden cemas.Suara perkelahian mereka menyebabkan keributan dan menarik perhatian orang-orang yang berada di dekat toilet. Mereka mendekat dan tercengang melihat Aiden melawan enam orang sendirian. “Tolong hentikan mereka! panggilkan keamanan!” Iris berteriak putus asa melihat orang-orang hanya berdiri di depan toilet tanpa niat untuk membantu. Tapi orang-orang itu pengecut dan mabuk, tidak berani terlibat atau menghentikan perkelahian yang tidak seimbang itu. Tidak peduli Aiden terlatih bela diri, tenaganya tidak mampu melawan enam
Aiden dibawa ke rumah sakit sementara Peter tinggal untuk mengurus orang-orang yang menganiaya Iris di klub.Di rumah sakit, Iris berjalan mondar-mandir di depan pintu UGD menunggu dokter yang sedang menangani Aiden.“Iris!”Iris berbalik melihat sepupunya berlari menghampirinya.Hugo berhenti di depannya dengan napas terengah-engah. “Apa yang terjadi? Aku dengar kamu di rumah sakit. Kamu terluka lagi?” Dia menatap memar di wajah Iris dengan ekspresi terkejut.Pipi Iris memar dan bengkak seperti seseorang memukulnya dengan keras.Dia mengulurkan tangannya menyentuh memar parah di pipi Iris. “Siapa yang melakukan ini padamu?"Iris meringis merasakan sakit di sisi kiri wajahnya. Dia menjauhkan wajahnya dari tangan Hugo dan bertanya dengan gugup. “Hugo, kenapa kamu ada di sini?”Hugo menatapnya tajam. “Aku mencarimu karena ada masalah mendesak. Bibi Lina bilang kamu ada di rumah sakit merawat Dimitri. Tapi Bibi Marry bilang kamu sedang keluar. Aku kebetulan melihatmu di sini.”Dia meman
“Maaf jika aku terlalu ikut campur dalam urusanmu.” Hugo menenangkan amarahnya dan bersikap tenang.“Aku ingin memberitahumu Bibi Lilian ....” Hugo merendahkan suaranya. “Aku mendapat berita dari keluarga bahwa Bibi Lilian meninggal malam ini.”Iris mendongak dengan ekspresi tercengang. Kata-kata Hugo seperti petir yang menyambarnya.“A-apa ....”Hugo menatapnya tanpa ekspresi. “Bibi Lilian meninggal karena serangan jantung. Aku berencana terbang malam ini. Pemakaman Bibi Lilian besok. Terserah kamu akan tinggal di sini, atau melewatkan pemakaman ibumu.”Setelah mengatakan itu, Hugo berbalik meninggalkan Iris yang membeku. Hugo melewati Peter yang baru datang.“Tuan Wallington, apa kabar ....”Hugo mengabaikannya dengan ekspresi dingin dan berjalan cepat meninggalkan tempat itu.Peter mengusap belakang lehernya dan menghampiri Iris.“Nyonya, apa yang terjadi pada— Nyonya!” Peter buru-buru menahan tubuh Iris yang tiba-tiba lunglai dan akan pingsan. Dia berlutut di depan Iris dan menaha
Aiden memandangnya dengan alis terangkat. “Ada apa?” “N-nyonya ... dia tidak ada di rumah sakit sekarang. Kamu tidak bisa menemuinya sekarang.” Peter menjawab dengan tergagap. “Mengapa?” tuntut Aiden tidak sabar. Sebelum Aiden menjawab, terdengar suara kekanakkan memanggilnya. “Daddy!” Aiden berbalik melihat Dimitri berlari menghampirinya. “Dimitri.” Dia sangat merindukan putranya dan berlutut membuka lengan untuk memeluk putranya. Tapi dia justru mendapat pukulan di wajahnya. “Daddy jahat!” Dimitri berseru memukul Aiden. “Aku benci Daddy! Aku tidak mau sama Daddy! Aku mau sama Mommy! Antar aku pada Mommy! Aku tidak mau tinggal sama Daddy!” Anak itu menangis memukul-mukul Aiden. Aiden kewalahan dengan serangan tiba-tiba putranya. “Tuan muda, kamu tidak boleh begitu pada Daddy.” Bibi Marry mencoba menahan Dimitri dan menariknya menjauh dari Aiden. “Biarkan dia,” perintah Aiden pada Bibi Marry. Dia menangkap tangan mungil Dimitri yang memukulnya. “Dimitri, apa yang sudah da
Awan gelap menaungi pemakaman tempat peristirahatan Lilian Wallington. Rintik-rintik mulai hujan turun seolah ikut berkabung. Pemakaman tampak khusyuk. Semua orang mengenakan pakaian hitam berkabung mengucapkan belasungkawa pada Iris dan Hugo sebelum berjalan meninggalkan pemakaman saat hujan turun semakin deras. Iris berdiri dengan wajah tanpa ekspresi memegang payung hitam di tangannya memandang batu nisan yang bertuliskan nama Lilian. Dia pikir tidak akan merasa sakit kehilangan ibunya karena Lilian adalah sosok ibu yang dingin dan tegas padanya. Dia tidak pernah merasakan kasih sayang atau kehangatan ibu kandungnya sejak tinggal di keluarga Wallington. Dia tetap merasa kehilangan mendengar kematian Lilian. “Meski Bibi Lilian adalah orang dingin, dia menyayangimu dan Dimitri. Sebelum meninggal, Bibi Lilian membuat wasiat dan meninggalkan banyak aset untukmu dan Dimitri agar kalian bisa hidup tanpa khawatir,” kata Hugo di sebelah Iris.“Aku tahu,” balas Iris tenang.Hugo menoleh
Iris mengerut keningnya mendengar ucapan pelayan itu. “Jangan khawatir tentang itu. Aku tidak akan membiarkan orang-orang mengangguku. Aku membutuhkan ponselku untuk menghubungi suami dan anakku. Aku ingin tahu kabar mereka. berikan ponselku,” ujar Iris mengulurkan tangan meminta ponselnya. Pelayan menggelengkan kepala dan berkata dengan tenang. “Maafkan aku Nona, aku belum bisa memberi ponselmu tanpa persetujuan Tuan Hugo.” “Kalau begitu telepon dan beritahu dia. Aku membutuhkan ponselku sekarang,” ujar Iris tidak sabar. “Tuan Hugo sedang sibuk dan tidak bisa dihubungi. Tuan Hugo berkata akan pulang malam ini dan berbicara denganmu,” balas pelayan itu tenang. Iris tidak bisa berkata-kata mendengar ucapan pelayan itu. “Apa maksudnya ini? Sudahlah, aku akan menemuinya sendiri,” ujarnya kesal berjalan meninggalkan kamarnya. Ketika keluar dari kediaman seorang pria berpakaian seperti pengawal menghentikannya di depan pintu.. “Nona, kamu akan ke mana?” Iris mengerutkan keningnya