“Daddy, daddy, daddy bangun!”Aiden tersentak bangun merasakan rasa sakit di perutnya. Dia terbangun memelototi Dimitri yang duduk di perutnya. Anak itu menyengir lebar melihat Aiden akhirnya bangun.“Dimitri ....” Aiden mengerang mengusap matanya mencoba bangun. Rasa sakit seketika menyerang kepalanya seperti di pukul palu gondam.Aiden kembali berbaring di sofa sambil memejamkan matanya dengan ekspresi kesakitan.“Daddy bangun! Ini sudah siang!” Dimitri menghentakkan pantat kecilnya di perut Aiden.Aiden melenguh kesakitan dan menahan Dimitri sambil memelototi putranya. “Dimi jangan ganggu Daddy. Daddy sakit kepala.”“Mommy suruh aku bangunkan daddy! Jika Daddy tidak bangun, Mommy akan siram daddy dengan air ember! Cepat bangun daddy atau Mommy akan siram dengan air!” Suara Dimitri seperti kecauan burung, manis sekaligus mengganggu Aiden yang merasakan kepalanya akan pecah.Dia bangun dengan perlahan dan menurunkan Dimitri dari tubuhnya. Sambil memegang kepalanya memandang ke sekel
Peter terkejut. “Presdir, kamu ingin memberikan saham Nyonya Anna pada Nyonya Muda?” “Ya. Aku tidak membutuhkan saham ibuku.” Aiden melirik jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul empat sore. “Apa jadwalku sore ini?” “Tidak ada Tuan. Ini sudah jam pulang karyawan. Apa Anda akan lembur malam ini?” Aiden berdiri dari kursinya dan mengambil ponselnya. “Tidak perlu lembur malam ini, aku akan pulang. Kamu dan Royid sudah bekerja keras. Aku akan menambah bonus kalian.” Peter mendesah lega dan menahan dirinya agar tidak tersenyum lebar. “Baik Tuan. Kalau begitu aku permisi.” Dia hendak berbalik meninggalkan kantor Aiden ketika bosnya tiba-tiba memanggilnya. “Peter.” Peter dengan cepat berbalik menghadap bosnya. “Ya, ada apa Tuan?” Aiden menatapnya dengan pandangan menyipit. “Apa kamu mengatakan sesuatu yang salah pada istriku tadi malam? Pagi ini sikap Iris berubah dan aku dibiarkan tidur di sofa semalaman. Apa yang sudah kamu katakan pada istriku saat mengantarku pulang tadi mala
“Kamu minta maaf untuk apa?”Aiden tersenyum meremas pundaknya.“Maaf aku pulang terlambat kemarin. Banyak yang terjadi di pesta dan aku banyak minum. Jangan marah lagi, hm,” bisiknya lembut mencium sepanjang leher Iris naik ke rahang dan mencium sudut bibirnya.Iris menoleh ke samping menghindari bibir Aiden dan menatapnya tanpa ekspresi melalui cermin. “Hanya itu?”Aiden menatapnya bingung sebelum kemudian mengangguk. Dia kemudian mengambil kotak perhiasan di atas meja rias dan menunjukkan sebuah kalung di depan Iris.“Aku tidak tahu apa yang kamu suka, kuharap kamu menyukai hadiah dariku,” ujarnya mengenakan kalung itu di leher Iris.Namun Iris menahan tangannya dan mendorong kalung itu dari lehernya. Dia berkata dengan dingin. “Aku sudah memiliki model kalung ini.”“Ah, maaf aku tidak tahu. Lalu apa yang kamu suka? Aku akan membelinya besok.”Iris hanya menatapnya datar lalu berdiri. “Tidak perlu. Aku tidak membutuhkannya.”Dia mengabaikan Aiden dan berjalan menuju ke tempat ti
“Mommy akan pulang besok, bersikap baik dan patuh di rumah, okey?” Iris membungkuk mengelus rambut putranya berpamitan.Dia enggan meninggalkan putranya sendiri. Tapi dia tidak bisa membawa Dimitri ke peringatan pemakaman ayahnya yang di makamkan di kampung halamannya yang cukup jauh dari ibukota.Dimitri mengangguk. “Mommy, cepat pulang ya ....”Iris tersenyum mencium keningnya.“Nyonya, apa Nyonya sudah memberitahu Tuan Aiden akan pergi dan meninggalkan Tuan Dimitri di rumah?” Bibi Lina bertanya sambil menyerahkan tas berisi pakaian ganti Iris.Senyum di wajah Iris berubah kaku dan acuh tak acuh.“Aku akan memberitahunya ketika di jalan. tolong jaga Dimitri saat aku tidak ada di rumah,” ujarnya memandang Bibi Lina dan Bibi Marry.“Baik Nyonya,” jawab Bibi Lina dan Bibi Marry bersamaan.Iris mencium putranya dan memeluk Dimitri sekali lagi.“Mommy pergi dulu sayang.” Iris melambai menuju ke mobil. Supir pribadinya dengan sigap membuka pintu mobil sebelum menutupnya lagi ketika Iris m
Saat Aiden pulang larut malam. Dia melihat lampu ruang tamu terang benderang tidak seperti biasa. Dia melirik jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Jam segini Iris dan Dimitri sudah tidur di kamar. Tapi lampu ruang tamu menyala dan terdengar suara televisi ketika dia masuk.Apa Iris tidak tidur? Atau sedang menunggungnya? Pikir Aiden melepaskan sepatunya dan mengenakan sendal rumahan.Mungkin amarah Iris sudah mereda setelah seharian mereka saling mengabaikan? Batin Aiden sedikit menunjukkan senyum di wajahnya yang lelah.Mau semarah apa pun dia, Aiden tidak akan tahan jika tidak berbicara dengan Iris. Dia sedikit merindukannya.Dengan wajah penuh senyum, Aiden memasuki ruang tamu dan melihat Dimitri di ruang tamu sedang menggambar dengan di temani Bibi Marry, pengasuh Dimitri.“Aku pulang.”Dimitri langsung mendongak dengan wajah berbinar.“Daddy ....” Dia berlari menghampiri Aiden dan memeluk paha Aiden.Aiden berjongkok memeluknya dan mencium kening putranya se
Sosok pria jangkung berjalan dengan langkah tegap di lobi perusahaan. Sosok kecil mengikuti di sampingnya dan memandang ke sekeliling dengan tatapan ingin tahu. Dia mengenakan kaos biru pucat dan celana pendek biru tua. Topi merah mencolok di kepalanya membuatnya anak itu terlihat menggemaskan.Dimitri mengenakan sepatu dan kaos kaki putih bergaris-garis serta menggendong tas kecil di punggung membuat pemandangan itu terlihat lucu melihat seorang anak menggendong tas sekolah berjalan di samping sosok Aiden yang terlihat serius.“Selamat pagi Presdir.” Seorang karyawan menyapa Aiden dengan hormat.Aiden mengangguk dengan ekspresi acuh tak acuh dan wajah tanpa ekspresi.“Selamat pagi Presdir.”Karyawan lain juga menyapa ketika Aiden dan membungkuk hormat pada pria. Begitu Aiden lewat, mereka berbalik memandang sosok kecil Dimitri dengan tatapan ingin tahu.“Apa itu putra Presdir kita?”“Sepertinya begitu? Kamu tidak lihat wajah mereka sangat mirip.”“Sepertinya rumor itu benar Presdir
Waktu terus berjalan, Dimitri duduk dengan patuh di sofa memegang mainnya sambil menonton ayahnya bekerja. Asisten dam sekretaris Aiden beberapa kali keluar masuk memberi laporan.Dimitri tetap di tempatnya, tidak berani keluar dan berjalan-jalan di perusahaan seperti yang selalu dia lakukan saat mengikuti ibunya ke tempat kerja. Tidak ada yang menjaganya di kantor selain ayahnya sendiri yang sibuk dengan pekerjaannya.Dimitri bosan dan melemparkan mainannya ke atas meja sambil mengayun-ayunkan kakinya pendeknya, lalu memandang ayahnya. Beberapa saat kemudian dia turun dari sofa. Dimitri menghampiri Aiden dan menarik kain celananya meminta perhatian.“Daddy ....”Aiden mengalihkan pandangannya dari laptop dan memandang putranya dengan alis terangkat.Dimitri mengulurkan tangannya meminta di gendong. “Daddy, gendong.”“Dimi, Daddy sedang kerja. Bermainlah dengan mainanmu, okey?”Dimitri cemberut sebelum memaksa memanjat ke pangkaun Aiden.“Dimi jangan nakal, daddy sedang kerja,” tegu
“Daddy, aku kangen Mommy. Kapan mommy pulang?”Aiden memandang pintu lift yang tertutup dengan wajah tanpa ekspresi. Iris sama sekali tidak menelepon atau sekadar menyabari dirinya. Wanita itu hanya menghubungi ponsel putra mereka beberapa kali dan menanyakan kabar Dimitri tapi tidak pernah menyebutkan Aiden.Aiden terlalu gengsi untuk menghubungi wanita itu duluan. Apalagi setelah pertengkaran mereka.“Mungkin nanti. Daddy akan menelepon Mommy setelah makan siang.”Para wanita itu terlihat kecewa dan patah hati karena presdir mereka sudah memiliki istri.Wajah kecil Dimitri terlihat puas dan memeluk leher ayahnya dengan penuh sayang.“Okey, telepon Mommy nanti,” ujarnya dengan suara keras.Pintu lift terbuka tiba di lantai dasar.. Aiden keluar dengan Dimitri tetap dalam gendongannya. Anak itu pun enggan turun dari gendongan ayahnya.Peter sudah menunggu mereka di depan gedung.“Presdir, mobil sudah siap,” ujar pria itu membuka pintu mobil penumpang.Aiden mengangguk masuk ke dalam m
Mereka pun telah selesai makan malam bersama. Lily dan Candra melangkah menuju ke arah ruang tamu. Sementara itu Aurelio sudah terlelap di kamarnya. Candra sengaja menemani putra tunggal Hugo hingga ia terlelap agar dirinya bisa pergi meninggalkan Aurelio tanpa merasa terbebani oleh rasa bersalah, karena sang putra tak ingin melepaskannya. “Candra apakah kamu yakin tetap balik hotel malam ini? Sudah larut malam Candra, apa tidak sebaiknya besok pagi-pagi sekali kamu kembali ke hotel. Kurasa belum terlambat jika kamu memang akan kembali besok ke Italia.” Ucap Lily seraya melangkah di sisi Candra. “Sekali lagi aku minta maaf Bibi Lily. Aku harus kembali malam ini ke hotel, jika aku harus menginap malam ini di sini dan kembali pagi harinya ke hotel, rasanya aku tak punya banyak waktu untuk berberes-beres barang-barangku yang berada di hotel, karena besok pagi aku harus segera berangkat ke Italia.” Jelas Candra menanggapi tawaran dari nyonya Wallington. “Ya sudah. Jika memang demikian,
Lily mengerucutkan bibirnya melihat sikap dingin Hugo. Dia menatap Candra dan menepuk lengannya menenangkan.“Jangan berkecil hati. Hugo selalu seperti ini.”Candra mengangguk, dia tidak mengambil sikap dingin Hugo, apalagi setelah mendengar kata-kata Aurelio bahwa Hugo menyimpan foto dirinya.Lily menyruh pelayan menyiapkan camilan ringan dan menghabiskan waktu mengobrol bersama Candra dan bermain dengan Aurelio.Sepanjang hari itu Hugo tidak turun dan berada di ruang kerjanya. Entah dia sengaja untuk menghindari Candra atau pria itu memang seperti itu. Candra tidak terlalu memikirkannya. Dia menikmati bermain dengan Aurelio. Candra tampak bahagia ia menikmati kebersamaannya bersama Aurelio di rumah Hugo Wallington. Meskipun Hugo terlihat cuek tak mengacuhkannya, namun Candra tidak mempedulikannya.Ia justru semakin akrab dan dekat dengan putra tunggal CEO berwajah tampan tersebut.Lily menyukai Candra, setelah melihat ketika Candra begitu pintar mengambil hati cucunya. Ini peluang te
“Tidak kok nyonya. Aku tidak memikirkan apapun, dan aku baik-baik saja kok nyonya,” ucapnya kembali berbohong menutupi jika sesungguhnya pikirannya justru melayang ke arah Hugo berada.“Candra. Aku minta maaf, jika selama ini sikapku sudah sangat keterlaluan padamu. Aku sadar, seharusnya aku tak memperlakukanmu seperti itu, hingga akhirnya kamu pergi meninggalkan putraku Hugo. Aku berharap kamu bisa memaafkanku Candra, meskipun aku akui kesalahanku mungkin sudah terlalu besar terhadapmu.”Candra tak menyangka, jika nyonya Wallington bisa berkata demikian padanya. Mengakui kesalahannya dan meminta maaf atas kesalahan yang pernah ia lakukan terhadap Candra.Candra menyentuh tangan nyonya Wallington, seraya menganggukkan kepalanya pelan. Candra tersenyum begitu juga dengan nyonya Wallington.“Iya nyonya. Aku sudah memaafkanmu nyonya, jauh sebelum nyonya minta maaf padaku,” jawab Candra seketika membuat nyonya Wallington berbinar-binar wajahnya.“Sungguhkah? Kamu memaafkanku Candra..? Kam
"Ya, ibu bantu cari pengasuh yang lebih kompenten.”“Kamu tidak butuh pengasuh untuk Aurelio, tapi seorang ibu untuk anakmu,” ujar Lily melirik Hugo dengan hati-hati.“Ibu ....” Hugo menatap ibunya tidak suka topik itu di bahas lagi.“Kamu tidak berniat mencari ibu untuk Aurelio? Apa karena kamu tidak bisa melupakan Candra?”Hugo terdiam, pikirannya kembali memikirkan Candra. Wanita itu memperlakukan Aurelio dengan baik saat itu dan dia pula yang menemukan putranya.Hugo menggelengkan kepala mengusir bayangan gadis itu dan berpura-pura mengetik sesuatu di laptop. "Aku sibuk, tolong tinggalkan aku, Bu.”Lily mendesah pasrah dan meninggalkan Hugo untuk mengurus pekerjaannya.....Beberapa hari kemudian sejak pertemuannya dengan Paman Hugo, Candra masih tidak memiliki keberanian mencari pria itu.Gadis berparas manis itu, bolak-balik tak jelas dan gelisah di ruang tamu kamar hotelnya seolah-olah mengukur ruang luas di kamar hotel tempat ia menginap selama berada di kota tersebut. Pikira
Candra merasa sedih atas sikap Hugo Wallington bersikap dingin dan mengabaikannya. Dia meninggalkan taman hiburan dan kembali ke hotel tempat dia menginap. Candra gelisah terus memikirkan pertemuannya dengan Hugo. Dia berusaha menahan diri untuk tidak mencari tahu tentang pria itu selama lima tahun sejak dia meninggalkannya. Pada akhirnya dia tidak bisa menahan keinginannya dan menelepon seorang asisten yang mengurus semua keperluannya. Dia menyuruh asistennya mencari tahu tentang Hugo selama lima tahun ini. Setelah itu Candra menunggu informasi dari asistennya semalaman. Beberapa jam kemudian asistennya datang ke kamar hotelnya. “Bagaimana, Vivi?” Candra bertanya gelisah meraih tangan wanita itu. “Nona muda, Tuan Wallington tidak pernah menikah, tapi dia memiliki seorang anak yang sampai saat ini masih dia sembunyikan dari mata publik. Ibu dari anak itu, mantan pelacur Tuan Wallington meninggal saat melahirkan.” Mata Candra melebar, jantung berdegup kencang merasa senang karena
“Kamu tidak usah takut dengan kakak. Kakak tidak jahat kok, jadi adik kecil jangan menangis lagi ya. Tenang saja, Kakak akan bantuin kamu kok.” Candra terus mengajak anak kecil tersebut berbicara, meskipun ia tetap bungkam tak mau bicara sepatah kata pun.“Ayo sini..! Ikut dengan kakak. Kita cari keberadaan orang tua kamu ya,” ujar Candra mengulurkan tangannya pada anak kecil itu.Anak itu seolah mengerti dan menghapus air matanya. dia mengulurkan tangan kecilnya meraih tangan wanita di depannya.Candra tersenyum hangat meremas tangan kecilnya. Dia pun menggendong dan mengajaknya menuju ke arah ruangan bagian informasi. Candra berpikir jika anak tersebut adalah anak hilang, mungkin dengan bantuan bagian informasi dapat mempertemukan kembali anak kecil yang terpisah dari orang tuanya bisa berkumpul lagi dengan keluarganya.Anak kecil tersebut saat ini berada dalam gendongan Candra tidak menangis dan memeluk leher Candra saat dibawa masuk ke pusat informasi taman hiburan.Candra mendeka
Lima tahun kemudian.Langit biru cerah dan angin bertiup lembut. Taman hiburan tampak hidup dan meriah.Gadis itu memandang langit musim panas dan memejamkan mata menikmati sinar matahari bersinar cukup cerah.Dia cantik berada di usia muda 25 tahun, kecantikannya mekar dengan indah. Jejak naif dan polos seorang gadis memudar dengan kecantikan wanita dewasa. Dia menarik perhatian beberapa pria yang lewat.Candra memuka mata, memperlihat matanya yang cerah dan cemerlang, namun menyimpan jejak kesedihan.Lima tahun telah berlalu, kota ini tak begitu banyak perubahannya. Kerinduannya begitu besar terhadap kota ini, begitu banyak kenangan yang tak mudah dilupakan di sini. Candra telah kembali ke kota di mana dulu ia memiliki story dan kenangan yang begitu membekas untuk dirinya.Bagaimana kabarnya kamu paman Hugo?Pasti saat ini dia sudah bahagia menikah dengan perempuan itu.Candra mendesah. Tak ada gunanya lagi mengingat semuanya jika saat ini paman Hugo sudah menjadi milik perempua
Candra tidak menjawab, dia menatap bibir tipis Hugo sebelum menundukkan kepala mencium bibirnya. Ciumannya agak grogi dan gugup. Hugo merasa terkejut. Sudah lama sekali Candra tidak mengambil inisitif menciumnya. Tapi dia tidak membalas ciuman Candra dan menahan keinginannya untuk melumat bibirnya menggoda. Dia harus memberinya pelajaran hari ini. Merasa Hugo tidak membalas ciumannya membuat Candra agak cemas dan malu. Tapi Hugo tidak mendoronya. Candra agak berani memperdalam ciumannya, bibir menghisap bibir bawah pria itu dan menyapu lidahnya di sepanjang bibir Hugo. Hugo mengerang pelan dalam bibirnya, tangannya mencengkeram pinggang ramping gadis itu. Candra semakin berani menyelipkan lidahnya menggoda bibir Hugo, tanganya mengusap-ngusap dada pria itu dengan gerakan menggodanya. Pinggulnya mengosok pangkal paha Hugo, menggoda ‘junior’ pria itu. Napas Hugo semakin dalam, dia mengcengkeram pinggang gadis itu semakin erat. Salah satu tangannya meremas pantat Candra di balik cel
“Tidak,” balas Candra serak dan menundukkan kepala agar Hugo tidak melihat dia menangis.“Benarkah?” Hugo meraih dagu gadis agar mendongak menatapnya. Dia melihat mata Candra berkaca-kaca dan basah. “Kamu menangis? Mengapa kamu menangis?” tanyanya dengan kening berkerut.Candra menggelengkan kepala. “Tidak, aku hanya mengantuk kok.”Candra mengusap matanya dan berpura-pura menguap. “Aku tidak tidur nyenyak semalam dan bangun pagi-pagi sekali untuk membuat bubur.”Hugo menatapnya lekat-lekat seolah mencari kebohongan dari mata gadis itu.Candra menguap hingga air matanya keluar. “Aku mengantuk. Bangunkan aku jika makan malam sudah selesai ....” Lalu dia dengan hati-hati memeluk pinggang Hugo agar menekan luka di perutnya dan bersandar di dada Hugo. Matanya terpenjam, dalam hitungan beberapa menit, dia sudah tertidur.Hugo mengamati gadis yang tertidur itu dan mendesah memeluk kepalanya di dadanya. Dia mencium kepala Candra dan memejamkan mata mencoba untuk tidur.Satu jam kemudian, Hug