Peter terkejut. “Presdir, kamu ingin memberikan saham Nyonya Anna pada Nyonya Muda?” “Ya. Aku tidak membutuhkan saham ibuku.” Aiden melirik jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul empat sore. “Apa jadwalku sore ini?” “Tidak ada Tuan. Ini sudah jam pulang karyawan. Apa Anda akan lembur malam ini?” Aiden berdiri dari kursinya dan mengambil ponselnya. “Tidak perlu lembur malam ini, aku akan pulang. Kamu dan Royid sudah bekerja keras. Aku akan menambah bonus kalian.” Peter mendesah lega dan menahan dirinya agar tidak tersenyum lebar. “Baik Tuan. Kalau begitu aku permisi.” Dia hendak berbalik meninggalkan kantor Aiden ketika bosnya tiba-tiba memanggilnya. “Peter.” Peter dengan cepat berbalik menghadap bosnya. “Ya, ada apa Tuan?” Aiden menatapnya dengan pandangan menyipit. “Apa kamu mengatakan sesuatu yang salah pada istriku tadi malam? Pagi ini sikap Iris berubah dan aku dibiarkan tidur di sofa semalaman. Apa yang sudah kamu katakan pada istriku saat mengantarku pulang tadi mala
“Kamu minta maaf untuk apa?”Aiden tersenyum meremas pundaknya.“Maaf aku pulang terlambat kemarin. Banyak yang terjadi di pesta dan aku banyak minum. Jangan marah lagi, hm,” bisiknya lembut mencium sepanjang leher Iris naik ke rahang dan mencium sudut bibirnya.Iris menoleh ke samping menghindari bibir Aiden dan menatapnya tanpa ekspresi melalui cermin. “Hanya itu?”Aiden menatapnya bingung sebelum kemudian mengangguk. Dia kemudian mengambil kotak perhiasan di atas meja rias dan menunjukkan sebuah kalung di depan Iris.“Aku tidak tahu apa yang kamu suka, kuharap kamu menyukai hadiah dariku,” ujarnya mengenakan kalung itu di leher Iris.Namun Iris menahan tangannya dan mendorong kalung itu dari lehernya. Dia berkata dengan dingin. “Aku sudah memiliki model kalung ini.”“Ah, maaf aku tidak tahu. Lalu apa yang kamu suka? Aku akan membelinya besok.”Iris hanya menatapnya datar lalu berdiri. “Tidak perlu. Aku tidak membutuhkannya.”Dia mengabaikan Aiden dan berjalan menuju ke tempat ti
“Mommy akan pulang besok, bersikap baik dan patuh di rumah, okey?” Iris membungkuk mengelus rambut putranya berpamitan.Dia enggan meninggalkan putranya sendiri. Tapi dia tidak bisa membawa Dimitri ke peringatan pemakaman ayahnya yang di makamkan di kampung halamannya yang cukup jauh dari ibukota.Dimitri mengangguk. “Mommy, cepat pulang ya ....”Iris tersenyum mencium keningnya.“Nyonya, apa Nyonya sudah memberitahu Tuan Aiden akan pergi dan meninggalkan Tuan Dimitri di rumah?” Bibi Lina bertanya sambil menyerahkan tas berisi pakaian ganti Iris.Senyum di wajah Iris berubah kaku dan acuh tak acuh.“Aku akan memberitahunya ketika di jalan. tolong jaga Dimitri saat aku tidak ada di rumah,” ujarnya memandang Bibi Lina dan Bibi Marry.“Baik Nyonya,” jawab Bibi Lina dan Bibi Marry bersamaan.Iris mencium putranya dan memeluk Dimitri sekali lagi.“Mommy pergi dulu sayang.” Iris melambai menuju ke mobil. Supir pribadinya dengan sigap membuka pintu mobil sebelum menutupnya lagi ketika Iris m
Saat Aiden pulang larut malam. Dia melihat lampu ruang tamu terang benderang tidak seperti biasa. Dia melirik jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Jam segini Iris dan Dimitri sudah tidur di kamar. Tapi lampu ruang tamu menyala dan terdengar suara televisi ketika dia masuk.Apa Iris tidak tidur? Atau sedang menunggungnya? Pikir Aiden melepaskan sepatunya dan mengenakan sendal rumahan.Mungkin amarah Iris sudah mereda setelah seharian mereka saling mengabaikan? Batin Aiden sedikit menunjukkan senyum di wajahnya yang lelah.Mau semarah apa pun dia, Aiden tidak akan tahan jika tidak berbicara dengan Iris. Dia sedikit merindukannya.Dengan wajah penuh senyum, Aiden memasuki ruang tamu dan melihat Dimitri di ruang tamu sedang menggambar dengan di temani Bibi Marry, pengasuh Dimitri.“Aku pulang.”Dimitri langsung mendongak dengan wajah berbinar.“Daddy ....” Dia berlari menghampiri Aiden dan memeluk paha Aiden.Aiden berjongkok memeluknya dan mencium kening putranya se
Sosok pria jangkung berjalan dengan langkah tegap di lobi perusahaan. Sosok kecil mengikuti di sampingnya dan memandang ke sekeliling dengan tatapan ingin tahu. Dia mengenakan kaos biru pucat dan celana pendek biru tua. Topi merah mencolok di kepalanya membuatnya anak itu terlihat menggemaskan.Dimitri mengenakan sepatu dan kaos kaki putih bergaris-garis serta menggendong tas kecil di punggung membuat pemandangan itu terlihat lucu melihat seorang anak menggendong tas sekolah berjalan di samping sosok Aiden yang terlihat serius.“Selamat pagi Presdir.” Seorang karyawan menyapa Aiden dengan hormat.Aiden mengangguk dengan ekspresi acuh tak acuh dan wajah tanpa ekspresi.“Selamat pagi Presdir.”Karyawan lain juga menyapa ketika Aiden dan membungkuk hormat pada pria. Begitu Aiden lewat, mereka berbalik memandang sosok kecil Dimitri dengan tatapan ingin tahu.“Apa itu putra Presdir kita?”“Sepertinya begitu? Kamu tidak lihat wajah mereka sangat mirip.”“Sepertinya rumor itu benar Presdir
Waktu terus berjalan, Dimitri duduk dengan patuh di sofa memegang mainnya sambil menonton ayahnya bekerja. Asisten dam sekretaris Aiden beberapa kali keluar masuk memberi laporan.Dimitri tetap di tempatnya, tidak berani keluar dan berjalan-jalan di perusahaan seperti yang selalu dia lakukan saat mengikuti ibunya ke tempat kerja. Tidak ada yang menjaganya di kantor selain ayahnya sendiri yang sibuk dengan pekerjaannya.Dimitri bosan dan melemparkan mainannya ke atas meja sambil mengayun-ayunkan kakinya pendeknya, lalu memandang ayahnya. Beberapa saat kemudian dia turun dari sofa. Dimitri menghampiri Aiden dan menarik kain celananya meminta perhatian.“Daddy ....”Aiden mengalihkan pandangannya dari laptop dan memandang putranya dengan alis terangkat.Dimitri mengulurkan tangannya meminta di gendong. “Daddy, gendong.”“Dimi, Daddy sedang kerja. Bermainlah dengan mainanmu, okey?”Dimitri cemberut sebelum memaksa memanjat ke pangkaun Aiden.“Dimi jangan nakal, daddy sedang kerja,” tegu
“Daddy, aku kangen Mommy. Kapan mommy pulang?”Aiden memandang pintu lift yang tertutup dengan wajah tanpa ekspresi. Iris sama sekali tidak menelepon atau sekadar menyabari dirinya. Wanita itu hanya menghubungi ponsel putra mereka beberapa kali dan menanyakan kabar Dimitri tapi tidak pernah menyebutkan Aiden.Aiden terlalu gengsi untuk menghubungi wanita itu duluan. Apalagi setelah pertengkaran mereka.“Mungkin nanti. Daddy akan menelepon Mommy setelah makan siang.”Para wanita itu terlihat kecewa dan patah hati karena presdir mereka sudah memiliki istri.Wajah kecil Dimitri terlihat puas dan memeluk leher ayahnya dengan penuh sayang.“Okey, telepon Mommy nanti,” ujarnya dengan suara keras.Pintu lift terbuka tiba di lantai dasar.. Aiden keluar dengan Dimitri tetap dalam gendongannya. Anak itu pun enggan turun dari gendongan ayahnya.Peter sudah menunggu mereka di depan gedung.“Presdir, mobil sudah siap,” ujar pria itu membuka pintu mobil penumpang.Aiden mengangguk masuk ke dalam m
Pria yang diperkenalkan Bibi Jenny tersenyum memandang Iris dengan ekspresi tenang. Dia pria yang tampan dan tidak terlihat seperti pria yang hampir berusia empat puluhan tahun. Fitur-fitur wajahnya kencang dan baby face, kaca mata ganggang perak membingkai wajahnya tidak membuatnya terlihat tua. Aura seorang sarjana memancar kuat dari sosoknya. Iris memandang pria itu dengan senyum kaku dan tidak tulus. “Hai.”Pria itu tersenyum ramah membalas sapaan Iris, “Halo, kamu bisa memanggilku Jack. Aku mendengar ibuku sering menceritakan tentangmu,” ujarnya dengan sopan.Lilian memandang pria itu dengan pandangan puas. “Jack, kamu sudah besar dan tampan seperti ayahmu. Bibi ingat melihatmu saat kamu masih kecil, kamu belum setinggi ini.”“Bibi terlalu memuji,” balas Jack dengan senyum sopan.“Aku dengar kamu mengajar sebagai dosen dan belum menikah sampai saat ini. Mengapa kamu melajang dan tidak kunjung menikah?”“Aku belum menemukan yang cocok. Aku lebih suka mengajar daripada menghabiskan