Saat Aiden pulang larut malam. Dia melihat lampu ruang tamu terang benderang tidak seperti biasa. Dia melirik jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Jam segini Iris dan Dimitri sudah tidur di kamar. Tapi lampu ruang tamu menyala dan terdengar suara televisi ketika dia masuk.Apa Iris tidak tidur? Atau sedang menunggungnya? Pikir Aiden melepaskan sepatunya dan mengenakan sendal rumahan.Mungkin amarah Iris sudah mereda setelah seharian mereka saling mengabaikan? Batin Aiden sedikit menunjukkan senyum di wajahnya yang lelah.Mau semarah apa pun dia, Aiden tidak akan tahan jika tidak berbicara dengan Iris. Dia sedikit merindukannya.Dengan wajah penuh senyum, Aiden memasuki ruang tamu dan melihat Dimitri di ruang tamu sedang menggambar dengan di temani Bibi Marry, pengasuh Dimitri.“Aku pulang.”Dimitri langsung mendongak dengan wajah berbinar.“Daddy ....” Dia berlari menghampiri Aiden dan memeluk paha Aiden.Aiden berjongkok memeluknya dan mencium kening putranya se
Sosok pria jangkung berjalan dengan langkah tegap di lobi perusahaan. Sosok kecil mengikuti di sampingnya dan memandang ke sekeliling dengan tatapan ingin tahu. Dia mengenakan kaos biru pucat dan celana pendek biru tua. Topi merah mencolok di kepalanya membuatnya anak itu terlihat menggemaskan.Dimitri mengenakan sepatu dan kaos kaki putih bergaris-garis serta menggendong tas kecil di punggung membuat pemandangan itu terlihat lucu melihat seorang anak menggendong tas sekolah berjalan di samping sosok Aiden yang terlihat serius.“Selamat pagi Presdir.” Seorang karyawan menyapa Aiden dengan hormat.Aiden mengangguk dengan ekspresi acuh tak acuh dan wajah tanpa ekspresi.“Selamat pagi Presdir.”Karyawan lain juga menyapa ketika Aiden dan membungkuk hormat pada pria. Begitu Aiden lewat, mereka berbalik memandang sosok kecil Dimitri dengan tatapan ingin tahu.“Apa itu putra Presdir kita?”“Sepertinya begitu? Kamu tidak lihat wajah mereka sangat mirip.”“Sepertinya rumor itu benar Presdir
Waktu terus berjalan, Dimitri duduk dengan patuh di sofa memegang mainnya sambil menonton ayahnya bekerja. Asisten dam sekretaris Aiden beberapa kali keluar masuk memberi laporan.Dimitri tetap di tempatnya, tidak berani keluar dan berjalan-jalan di perusahaan seperti yang selalu dia lakukan saat mengikuti ibunya ke tempat kerja. Tidak ada yang menjaganya di kantor selain ayahnya sendiri yang sibuk dengan pekerjaannya.Dimitri bosan dan melemparkan mainannya ke atas meja sambil mengayun-ayunkan kakinya pendeknya, lalu memandang ayahnya. Beberapa saat kemudian dia turun dari sofa. Dimitri menghampiri Aiden dan menarik kain celananya meminta perhatian.“Daddy ....”Aiden mengalihkan pandangannya dari laptop dan memandang putranya dengan alis terangkat.Dimitri mengulurkan tangannya meminta di gendong. “Daddy, gendong.”“Dimi, Daddy sedang kerja. Bermainlah dengan mainanmu, okey?”Dimitri cemberut sebelum memaksa memanjat ke pangkaun Aiden.“Dimi jangan nakal, daddy sedang kerja,” tegu
“Daddy, aku kangen Mommy. Kapan mommy pulang?”Aiden memandang pintu lift yang tertutup dengan wajah tanpa ekspresi. Iris sama sekali tidak menelepon atau sekadar menyabari dirinya. Wanita itu hanya menghubungi ponsel putra mereka beberapa kali dan menanyakan kabar Dimitri tapi tidak pernah menyebutkan Aiden.Aiden terlalu gengsi untuk menghubungi wanita itu duluan. Apalagi setelah pertengkaran mereka.“Mungkin nanti. Daddy akan menelepon Mommy setelah makan siang.”Para wanita itu terlihat kecewa dan patah hati karena presdir mereka sudah memiliki istri.Wajah kecil Dimitri terlihat puas dan memeluk leher ayahnya dengan penuh sayang.“Okey, telepon Mommy nanti,” ujarnya dengan suara keras.Pintu lift terbuka tiba di lantai dasar.. Aiden keluar dengan Dimitri tetap dalam gendongannya. Anak itu pun enggan turun dari gendongan ayahnya.Peter sudah menunggu mereka di depan gedung.“Presdir, mobil sudah siap,” ujar pria itu membuka pintu mobil penumpang.Aiden mengangguk masuk ke dalam m
Pria yang diperkenalkan Bibi Jenny tersenyum memandang Iris dengan ekspresi tenang. Dia pria yang tampan dan tidak terlihat seperti pria yang hampir berusia empat puluhan tahun. Fitur-fitur wajahnya kencang dan baby face, kaca mata ganggang perak membingkai wajahnya tidak membuatnya terlihat tua. Aura seorang sarjana memancar kuat dari sosoknya. Iris memandang pria itu dengan senyum kaku dan tidak tulus. “Hai.”Pria itu tersenyum ramah membalas sapaan Iris, “Halo, kamu bisa memanggilku Jack. Aku mendengar ibuku sering menceritakan tentangmu,” ujarnya dengan sopan.Lilian memandang pria itu dengan pandangan puas. “Jack, kamu sudah besar dan tampan seperti ayahmu. Bibi ingat melihatmu saat kamu masih kecil, kamu belum setinggi ini.”“Bibi terlalu memuji,” balas Jack dengan senyum sopan.“Aku dengar kamu mengajar sebagai dosen dan belum menikah sampai saat ini. Mengapa kamu melajang dan tidak kunjung menikah?”“Aku belum menemukan yang cocok. Aku lebih suka mengajar daripada menghabiskan
Wanita yang ditunjuk Iris memandangnya dengan ekspresi kebingungan di wajahnya yang cantik. Dia sangat cantik dan mempesona. Mata cokelat hangatnya sangat jernih dan besar tampak sangat memikat. Tubuhnya tinggi dan langsing seperti seorang model. Tidak heran wanita itu adalah seorang model dan mantan pacar Aiden. Iris tiba-tiba tidak percaya diri. Dia merasa dirinya tidak secantik wanita itu meski dia lebih muda dari Letizia Hadid. Hati Iris penuh kecemburuan dan tidak bisa menahan dirinya berkata kesal pada Aiden.“Aku hanya pergi sehari, tapi kamu sudah membawa putraku bertemu dengan mantan pacarmu dan membuat Dimitri memanggilnya Mommy. Apa kamu bersenang-senang tanpa aku? Kamu senang reuni dengan mantan pacarmu?” desis Iris pelan dan sinis.“Mantan Pacar? Iris apa yang kamu bicarakan? Kamu bicara omong kosong, kita sedang di depan umum. Jangan bertengkar di sini,” Aiden berkata dengan suara gelap.Iris ingin membalasnya dengan marah tapi wanita di belakang Aiden mendekati merek
Aiden tersenyum mencium pipinya. “Itu artinya Mommy akan memiliki bayi dan Dimitri akan punya adik.”Mata anak itu melebar. “Adik? Dimitri akan punya adik?” Dia memandang Iris dengan pandangan berbinar dan mengulurkan tangannya untuk meraih wajah mommy-nya.“Mommy, aku mau adik perempuan!”Iris tersipu malu dan berkata tidak nyaman. “Itu belum pasti. Aku belum memeriksa ke rumah sakit. Jangan terlalu berharap.” Iris tidak ingat kapan dia lupa memakai pil KB. Dia ingat selalu memakai pil KB. Tapi jantungnya berdebar memikirkan seorang bayi sekali lagi tumbuh di perutnya. Dia sudah pernah melahirkan dua bayi, dia tidak mengharapkan bayi lagi muncul saat dia baru berusia 27 tahun.“Tidak ada salahnya berharap. Kita sudah lama menantikan bayi lagi,” kata Aiden dengan senyum bahagia di wajahnya yang tampan.Seseorang berdeham memecahkan keharmonisan keluarga kecil itu.“Ah, ternyata Anda sedang hamil Nyonya Ridley. Tidak heran Anda sensitif.” Letizia berkata dengan suara ramah menarik perh
Mata Aiden menyipit.Letizia menatapnya sambil tersenyum. “Aku tidak tahu istrimu sangat mirip denganku, dia tampak dia lebih muda.” Dia berhenti sejenak memandang Aiden dengan pandangan penuh makna.“Aiden ... apa kamu belum melupakan aku?” matanya berkedip malu-malu menatap Aiden penuh harap.Aiden menatap wajah cantik wanita itu. Mata cokelatnya yang hangat masih memikat. Wajahnya lebih dewasa daripada sepuluh tahun lalu.Letizia mirip dengan Iris, bahkan lebih cantik dari istrinya. Tapi Aiden tidak berdebar lagi. Dia pernah mencintai wanita itu dengan tergila-gila, tapi wanita itu meninggalkannya dengan kejam.Aiden mengalihkan pandangannya acuh tak acuh. “Sudah sepuluh tahun, tentu aku sudah melupakan perasaanku padamu.”Wajah cantik Letizia terlihat kecewa dan sedih. Dia meraih lengan Aiden dan mencengkeramnya memohon.“Aiden, saat itu tidak ingin meninggalkanmu. Tapi aku tidak punya pilihan—“Aiden menarik lengannya menjauh dari Letizia.“Sudah sepuluh tahun dan aku sudah me