"Halo semua! maaf, terlambat. Biasa, macet di jalan," sapa Ayu pada kami.Ayu masih cantik seperti dulu, bahkan semakin cantik. Dengan mengenakan dress selutut berwarna maroon, ditambah riasan wajah yang flawless, membuat siapapun tak akan berkedip menatapnya.Ia mengambil posisi duduk tepat di sebelah kananku. Ada rasa bangga ketika melihat ia lebih memilih duduk di dekatku dari pada di kursi kosong yang ada di antara Alex dan Agung."Kau semakin tampan saja, Rei." Sapaannya membuatku menegakkan punggung."Ah, biasa saja." Aku melempar senyum bangga."Sudah sukses sekarang ya, itu mobilmu ya?" tanyanya sambil menunjuk ke arah mobil kesayanganku."Tentu saja," jawabku sambil menyilang kan kaki. Ah, lihatlah. Pandangan mata Ayu nampak begitu terpukau saat melihat mobil kesayanganku. Aku yakin saat ini ia juga mulai terpesona denganku. Pada Reshwara yang tampan dan mapan ini.Ah, mengapa aku sangat menikmati tatapan mata itu."Kudengar kau sudah menikah?" Tanyaku kemudian."Iya, tapi p
(5)Keesokan harinya,"Bagaimana menurutmu, Rei? Apakah masih ada yang belum masuk?" Tanya mama begitu baru saja menghempas bobot tubuh ini ke sofa. Lalu menyodorkan lembaran kertas bertulis nama-nama orang."Apaan ini, Ma? lagipula apa nya yang belum masuk?" tanyaku sambil memperhatikan nama yang tertulis."Itu daftar para tamu yang akan diundang ke acara akad nikah kalian," Jawab mama enteng."Daftar para tamu undangan?""Akad nikah?"Iya, sayang. Pernikahanmu kan tinggal dua minggu lagi, jadi kita harus mempersiapkannya dari sekarang.""Kan cuma ngucapin akad saja, ma. Tak perlu lah pesta mewah, akhir bulan aku sibuk dengan rapat dan laporan bulanan," tolakku sambil mencari cari alasan.Tentu saja aku tak ingin pernikahan ini diselenggarakan meriah, setidaknya untuk sekarang, aku tak ingin orang tahu jika sebentar lagi aku akan menikah. Bagaimana nanti wibawaku jika mereka tahu istriku hanya seorang remaja yang hanya lulusan SMA. Ah, membayangkannya saja sudah membuatku pusing.Se
Wangi shampoo menguar begitu Luna keluar dari kamar mandi. Rambut basahnya yang terbungkus handuk dengan wajah yang masih terlihat basah karena tetesan air, ditambah bi birnya yang begitu ranum merekah, membuat desiran di dada bahkan sesuatu di bawah juga ikut berdenyut.Mataku menjelajah, membayangkan semua bagian tubuhnya di balik kimono merah yang dipakainya. Namun, begitu membayangkan bagaimana kuatnya Luna memb4nting pencopet waktu itu, seketika membuatku menelan ludah.Ini adalah malam pertama kami setelah tadi siang mengucapkan ijab kabul. Aku masih duduk di kursi berpura-pura memainkan ponsel sambil melirik dan mencuri pandang ke arahnya, memperhatikan apa yang sedang dilakukannya sekarang.Ia menarik handuk kecil yang membungkus rambutnya lalu menggosokkan dengan tujuan untuk mengeringkan sisa air yang masih ada di sana. Tak lama, ia lalu melangkah menuju ke sebelah lemari, mengeluarkan sebuah koper dan menarik resletingnya, mengeluarkan sebuah setelan piyama bercorak hijau f
Mata mama masih melihatku dengan penuh curiga. Aku lupa jika gadis itu menantu kesayangannya. Lagipula, ada di mana gadis itu? menyusahkankanku saja.Di tengah kebingunganku, tiba-tiba pintu kamar mandi berderit, tak lama, kemudian terbuka lebar. Tampak keluar dari sana Luna yang sudah rapi, lalu menyambut kedatangan mama dengan sopan."Mama," sapa Luna sembari mencium punggung tangan mama."Ah, syukurlah. Mama pikir kau di usir Rei tadi malam. Mama hanya khawatir, untunglah sepertinya Rei tidak menganggumu," balas Mama sambil tersenyum manis pada menantu kesayangannya itu."Wah, rambutnya masih basah, berarti terjadi sesuatu dong semalam, pantas si bu4ya comberan itu nampak kesal dibangunkan, rupanya sudah belah duren toh," Ledek Raina terkikik."Iya-iya, aduh mama lupa jika kalian baru saja menikah." "Mama lupa atau sengaja pura pura lupa?" sindirku."Sengaja." Raina menjawabnya sambil nyengir kuda."Hei sudahlah! Mama kesini mau ajak Luna sarapan. Kau pasti belum sarapan, kan? Rei
Rumah berlantai dua dengan model Mediterania klasik ini langsung terlihat begitu mobilku berbelok, rumah yang dibeli papa sebulan sebelum pernikahanku seakan menjadi ungkapan kebahagiaannya.Mobil yang kukemudikan kini berhenti tepat sempurna di depan pintu masuk utama rumah ini. Ku pindai pandangan ke sekeliling bangunan, mengagumi keindahan eksterior rumah ini.Sebuah Pohon Flamboyan merah terlihat begitu kokoh di sudut kanan, pohon dengan rantingnya yang lebat dan bunganya yang berwarna kemerahan itu seolah ingin memberikan kesan indah dan berbeda. Aku memuji selera dan pilihan papa. Dalam sekali lihat, aku sudah menyukai rumah baruku ini.Reshwara, harusnya kau tahu jika papa sangat menyayangimu. Yang harus kau lakukan adalah menjalani pernikahan ini saja, jika nantinya memang tidak ada kecocokan antara kalian, bukankah itu alasan yang bagus untuk menceraikannya?Lagipula, hanya sedikit orang saja yang tahu jika kau sudah menikah. Tentu itu sangat baik untuk kepopuleranku. Dengan
Aku masih terpaku menatapnya, Ia masih di sana terlihat menoleh terus ke sisi kirinya, tak lama, sebuah taksi on-line berhenti di dekatnya.Tanpa menoleh, gadis itu langsung naik ke dalam taksi tersebut. Sejenak aku merasa kesal, mengapa ia tak mencoba meminta tumpangan padaku. Bukankah, kampusnya dan kantorku searah?Baru kali ini ada seorang gadis yang membuang pandangan dariku, seolah tak tertarik dengan pesona seorang Reshwara yang tampan dan mapan. Tak tahukah gadis itu, jika seharusnya ia banyak bersyukur karena bisa menikah denganku.Ah, pagi ini suasana hatiku seketika buruk.Taksi yang ditumpangi Luna sudah bergerak menjauh meninggalkan rumah ini. Segera, ku letakkan kasar tas kerjaku dan mulai menyalakan mobilnya. Seperti biasa, Sekretarisku Sarah, langsung menyapa begitu tiba di kantor. Tubuh seksi dan senyumannya yang menggoda selalu bisa membuat suasana hatiku membaik. Setidaknya, dengan begini, rasa kesalku bisa sedikit terlupakan. "Selamat atas pernikahannya, Pak," uj
Seminggu sudah kami menempati rumah ini. Itu artinya, sudah seminggu pula, pernikahan ini kujalani. Sungguh, tak ada yang berubah, semua hampir sama seperti saat belum menikah dulu, bedanya sekarang hanyalah statusku saja yang berubah.Pagi ini sama seperti hari biasa. Luna membangunkanku untuk sarapan bersama. Seperti biasanya, dia tetap menunggu di meja makan, meski telah kuberitahu jika aku memilih sarapan di kantor saja.Tak ada orang lain di rumah ini, selain aku dan Luna saja yang menghuni. Aku sungguh tak mengerti, mengapa Luna masih bisa bersikap tenang saja meskipun sikapku tidak pernah baik padanya.Semoga suatu saat nanti, Luna sendiri yang mengajukan permohonan cerai. Dengan begitu, aku tidak akan dianggap bersalah dimata papa, karena jika terjadi perceraian diantara kami, Papa pasti akan menyalahkanku."Ah, benar benar rencana yang brilian, Rei." Aku tersenyum sendiri mengingat rencanaku untuk menendang Luna dari hidupku."Mas!" Panggil Luna.Untuk sesaat aku terpesona de
"Kau ..." Geramku sambil mengepalkan tangan."Lho, marah ya? Daripada marah-marah ndak jelas, buang-buang tenaga, lebih baik mas ambil ember dan kain lapnya, lalu gosok dan bersihkan semua perabotan yang ada di rumah ini," ujarnya seakan memberi perintah.Aku menelan ludah mendengarnya bicara. Ingin rasanya ku tarik bibir yang seenaknya saja menyuruh. Tapi, hal itu hanya sebatas angan dalam kepalaku saja. Mana berani aku melakukannya karena tiba-tiba saja melintas bayangan saat Luna dengan mudahnya membanting tubuh pencopet di halte bus waktu itu.Hii ... Aku bergidik. Tidak Rei, jangan coba mencari masalah dengannya jika tidak ingin berakhir di rumah sakit."Baiklah," ucapku menyerah.Dengan senyum yang begitu manis, tangan Luna menunjuk ember kecil dan kain lap yang kulempar tadi padanya. Aku melirik sinis padanya seakan bentuk protesku atas perlakuan kasarnya padaku.Jika sudah seperti ini, apa dia masih juga ingin menuduhku melakukan kekerasan? Kurasa dia lah yang telah melakukan
Aaww! Teriakku cukup keras saat Luna menekan kasar bagian memar di bagian pelipisku, seperti di lakukannya dengan sengaja. Ah, mengapa aku sampai lupa jika ia adalah Mak lampir. "Dasar Mak lampir, kau sengaja melakukannya untuk membunuhku, ya?" Ucapku yang tanpa sadar kelepasan bicara. "Apa? Kau mengataiku Mak lampir?" Mata Luna melotot padaku. "Ah, itu ... Hehe! lagipula kau memang seperti Mak Lampir." Kupaksakan bibirku tersenyum. "Kau mau memar-mu ini kutambah, mas?" ancam Luna cemberut, ah, mengapa aku baru sadar jika ia ternyata semanis ini. "Iya, Jika kau yang melakukannya, aku tak akan menolak," ujarku dengan cepat menarik tubuhnya ke dalam pelukanku. "Kau tahu, sepertinya aku telah jatuh cinta pada seorang mak lampir yang cantik," bisikku di telinganya. "Mulai sekarang, maukah kau menerima pria bodoh ini menjadi suamimu?" Lanjutku lalu mengurai sedikit pelukanku dan memandangnya. Luna terdiam sesaat. tak lama kulihat kepalanya mengangguk. entah mengapa membu
"Maaf, karena telah menyakiti hatimu," ucapku pelan lalu kembali mengusap bibirku yang masih terasa nyeri. Saskia menatapku nanar, seolah tak percaya ungkapan itu berasal dari mulutku. Tak lama, ia kembali bicara. "Lebih baik sekarang kau pergi dari sini mas, sebelum aku meminta pihak keamanan untuk mengusirmu," Suaranya terdengar bergetar disertai dengan jari telunjuk yang mengarah ke arah pintu. "Iya, aku akan keluar dari sini. Sekali lagi aku minta maaf karena telah membohongimu." Yah, memang seharusnya aku meminta maaf padanya karena bagaimanapun ia berkata benar, akulah orang pertama yang mengkhianati hubungan kami, akulah orang yang telah berbohong padanya karena menyembunyikan status pernikahanku darinya. Setidaknya aku bisa sedikit mengerti alasan mengapa ia bertindak senekat ini. Mungkin ini juga bentuk hukuman dari tuhan padaku karena telah berbohong dan mengabaikan keberadaan Luna selama ini. Ah, mengapa aku semakin merindukan istri kecilku itu? Akuilah Reshwara jika
"Melihat lelaki ini ada di apartemenmu, sudah cukup menjadi jawabannya. Aku tak menyangka jika ternyata kau juga menjalin hubungan lain di belakangku, benar -benar perempuan murahan." Cih! "Ya, aku yang melakukannya. Mengapa? Kau kesal, marah, kecewa?" Suara Saskia terdengar lantang, seakan mewakili kemarahannya. Kupalingkan wajah dan menatapnya yang saat ini tengah melempar tatapan tajam padaku. "Kau bener sekali, aku yang membocorkannya. Bagaimana rasanya di khianati? Sakit?" Desis Saskia. "Kau ...!" Geramku padanya dengan tangan terkepal. Andai ia bukan seorang perempuan, sudah ku hajar ia sekarang. Atmosfir ruangan ini kini berubah panas, mata itu masih melempar tatapan menghujam padaku, seakan sedang melepaskan semua kemarahannya padaku. "Aku tidak menyangka jika kau bisa mengkhianatiku, Saskia." "Tentu saja bisa, kau tahu mengapa aku melakukannya?" Bibir itu mengulas senyum sinis padaku. "Karena kau yang lebih dulu mengkhianatiku. Apa kau pikir aku tidak tahu jika terny
"Saat seorang wanita sudah merasa tidak nyaman di rumah suaminya, maka secara naluri ia akan pulang ke rumah orang tuanya, karena ia tahu bahwa rumah orang tuanya adalah satu satunya tempat ternyaman untuknya," ujar Tante Wina ikut bicara. "Begitukah?" ucapku tanpa sadar sambil melirik Raina yang menggeleng kesal. "Makanya mas, cari tahu dulu penyebabnya, jangan bisanya cuma asal tuduh saja. Kalau begini kau juga yang malu kan?" Aku mengulas senyum getir saat mendengarnya. Raina berkata benar, entah mengapa saat ini aku merindukan Luna, merindukan tingkah konyol Mak lampir cantik itu. Ponselku tiba tiba berdering, kulirik arloji di pergelangan tangan yang sudah menunjukkan angka delapan, rasanya masih belum terlalu malam untuk meluncur ke Depok dan menjemput Luna. Namun, sebelum itu, aku akan menjawab panggilan teleponku dulu. Senyumku seketika terbit saat kulihat nama seseorang yang tertera di layar, kelihatannya, aku harus menunda sebentar kepergian ku ke Depok karena masih ada
Aku menoleh pada Keenan yang masih menatapku, ada rasa bersalah dalam hati karena telah asal menuduhnya, jika memang itu yang sebenarnya terjadi, maka aku telah melakukan kesalahan yang besar pada Luna. Ah, mengapa aku bisa sampai bertindak se-ceroboh ini, tak biasanya aku melakukan sesuatu hal tanpa rencana, sungguh aku merasa sangat malu saat ini. Papa terlihat menggelengkan kepalanya, sementara mama masih tertawa geli, dan Raina, gadis itu mengulas senyum tipis di wajahnya, senyuman yang entah mengapa terlihat begitu menyebalkan. Tak lama kudengar mama bicara. "Luna adalah gadis yang baik, Rei. Cobalah untuk mengenalnya lebih dekat, kau pasti tahu mengapa mama dan papa memilihnya untuk menjadi pendampingmu." Aku tak menjawabnya, hanya mengangguk lemah. Ucapan Mama mungkin ada benarnya, aku yang salah, karena masih belum sepenuhnya menerima keberadaan dirinya dan juga pernikahan kami. Mungkin karena jarak usia kami yang terpaut cukup jauh, membuatku meremehkannya atau mungkin
"Ha ... Ha ... ha" Tawa papa terdengar begitu keras memenuhi seisi ruangan ini sesaat aku selesai menceritakan kecurigaanku tentang hubungan terlarang Keenan dan Luna. Aku melongo melihat papa yang tampak begitu renyah tertawa, tak hanya papa, mama, Raina bahkan Keenan juga tampak tertawa. Hanya Tante Wina yang tampak mengulum senyum seakan ingin menjaga wibawaku. Ini aneh. Apa yang terjadi pada mereka semua? Mengapa tertawa? Bukankah seharusnya mereka marah dan kesal? Aku masih menatap mereka dengan wajah bingung dan tak mengerti, tak lama ku dengar Raina bicara. "Kau memang orang paling lucu yang pernah kukenal, mas." "Lucu sekali," gelak tawa Raina sambil menunjuk padaku. "Aku bicara yang sebenarnya, kenapa kalian semua tertawa?" Ketusku lalu memalingkan wajah. "Tentu saja kami semua tertawa, karena semua tuduhanmu itu tidak benar," balas Raina. "Tidak benar bagaimana, aku serius. Kalian bisa tanyakan sendiri pada Keenan," geramku sambil melirik pada pemuda yang duduk di
"Lalu untuk apa kau pulang ke sini? Jangan bilang jika ucapan mama tadi pagi benar bahwa kau dan Luna sedang bertengkar," ujar mama dengan mata penuh selidik padaku. mendengarnya, wajahku seketika cemberut. "Tak bisakah mama membiarkanku beristirahat sebentar?" Keluhku yang kesal karena mendadak langsung di serang pertanyaan oleh mama. "Kau ini? entah apa yang ada dalam pikiranmu," geram mama padaku sambil menatap kesal. aneh sekali mengapa Mama tampak kesal padaku. tak hanya mama, tatapan mata papa pun kini terasa menusuk kornea mata kupalingkan wajah sejenak dari mama, rasanya malas di pandanginya dengan tatapan seperti itu. berharap kekesalannya segera hilang karena bisa gawat kalau ia meminta pembelaan dari papa. "Mama sudah telepon Luna? Sudah bertemu dengannya?" Tanyaku beberapa saat kemudian. "Iya, saat mama telepon, Luna bilang kalau ibunya sudah pulang dari rumah sakit, mama juga tidak bertemu Luna saat tadi menjenguk ibunya di sana, jadi belum sempat bicara dengannya
"Tentu saja bisa, karena Keenan ..." "Keenan? Kenapa? Apa yang dia bilang?" Potongku cepat, entah kenapa aku selalu tak sabar dan emosi saat mendengar nama itu. "Karena Keenan yang memberi tahu mama jika ibu mertuamu itu sedang dirawat di rumah sakit. Ah, tidak. Jangan bilang pada mama jika Luna tak memberitahumu sebab kalian berdua sedang bertengkar," tebak mama yang lagi-lagi membuat kerongkonganku tercekat. "Itu tidak benar, kami berdua baik-baik saja." "Benarkah? Jika begitu kau pasti tahu keadaan ibu mertuamu, Rei." Untuk kali ini akhirnya aku terdiam. Entah mengapa rasanya ada selalu sulit berkelit pada mama. "Sudahlah, nanti mama telepon Luna atau Keenan saja, bicara denganmu sama saja seperti bicara dengan tembok. Kau selalu saja tidak peka dengan orang di sekelilingmu," ujar mama lalu memutus sambungan teleponnya. "Keenan, kenapa harus selalu dia?" Mendadak hatiku kembali kesal mendengar nama itu. "Apa bagusnya sih anak cengeng itu? Pemuda dua puluh satu tahun yan
Pagi ini kulihat Luna tampak bergegas keluar rumah dengan membawa travel bag yang cukup besar. Wajahnya yang sendu dengan mata yang sembab begitu jelas terlihat saat tak sengaja pandangan mata kami bertemu. Luna hanya diam, sikapnya tampak datar. Tak lama kulihat ia mengenakan topi di kepalanya, mungkin untuk menutupi jejak tangisan di wajahnya. Sebuah sepeda motor kulihat menepi dan berhenti. Sepeda motor yang sama yang selalu menjemputnya. Tak lama, ia meletakkan travel bag itu di depan sang pengendara, sementara dia sendiri duduk membonceng di belakang. "Ah. Mengapa semua akhirnya kacau seperti ini?" Keluhku lalu mengigit bibir. Aku masih memandang Luna hingga akhirnya sepeda motor itu bergerak perlahan meninggalkan rumah ini. Tak lama, akupun beranjak pergi dari muka pintu ini menuju ke kamarku. Hendak mengambil tas dan kunci mobil. Langkahku tertahan saat melintas depan kamar Luna, entah mengapa mendadak tanganku ingin meraih kenop pintunya, suara cklek terdengar, tak lama p