Seminggu sudah kami menempati rumah ini. Itu artinya, sudah seminggu pula, pernikahan ini kujalani. Sungguh, tak ada yang berubah, semua hampir sama seperti saat belum menikah dulu, bedanya sekarang hanyalah statusku saja yang berubah.Pagi ini sama seperti hari biasa. Luna membangunkanku untuk sarapan bersama. Seperti biasanya, dia tetap menunggu di meja makan, meski telah kuberitahu jika aku memilih sarapan di kantor saja.Tak ada orang lain di rumah ini, selain aku dan Luna saja yang menghuni. Aku sungguh tak mengerti, mengapa Luna masih bisa bersikap tenang saja meskipun sikapku tidak pernah baik padanya.Semoga suatu saat nanti, Luna sendiri yang mengajukan permohonan cerai. Dengan begitu, aku tidak akan dianggap bersalah dimata papa, karena jika terjadi perceraian diantara kami, Papa pasti akan menyalahkanku."Ah, benar benar rencana yang brilian, Rei." Aku tersenyum sendiri mengingat rencanaku untuk menendang Luna dari hidupku."Mas!" Panggil Luna.Untuk sesaat aku terpesona de
"Kau ..." Geramku sambil mengepalkan tangan."Lho, marah ya? Daripada marah-marah ndak jelas, buang-buang tenaga, lebih baik mas ambil ember dan kain lapnya, lalu gosok dan bersihkan semua perabotan yang ada di rumah ini," ujarnya seakan memberi perintah.Aku menelan ludah mendengarnya bicara. Ingin rasanya ku tarik bibir yang seenaknya saja menyuruh. Tapi, hal itu hanya sebatas angan dalam kepalaku saja. Mana berani aku melakukannya karena tiba-tiba saja melintas bayangan saat Luna dengan mudahnya membanting tubuh pencopet di halte bus waktu itu.Hii ... Aku bergidik. Tidak Rei, jangan coba mencari masalah dengannya jika tidak ingin berakhir di rumah sakit."Baiklah," ucapku menyerah.Dengan senyum yang begitu manis, tangan Luna menunjuk ember kecil dan kain lap yang kulempar tadi padanya. Aku melirik sinis padanya seakan bentuk protesku atas perlakuan kasarnya padaku.Jika sudah seperti ini, apa dia masih juga ingin menuduhku melakukan kekerasan? Kurasa dia lah yang telah melakukan
"Mas, apa yang sedang kau lakukan?""Apa itu kain lap kotor?" Tanya Raina sambil menunjuk kain lap kotor di bahuku dengan tatapan mata tak berkedip seakan tak percaya dengan apa yang sedang dilihatnya."Anu ... itu." Mendadak lidahku kaku menjawabnya. Ah, apa yang sedang terjadi padaku? Mengapa tiba-tiba saja aku malu pada Raina.Mata Raina menyipit, menunggu jawaban dariku."Apa, Mas? Jangan bilang kalau kau sedang ..." "Ya, aku baru selesai menggosok semua lemari, meja, pegangan tangga, bahkan tembok juga ku gosok sampai mengilap. Puas kau!?" Potongku cepat dengan wajah masam saat mengakuinya."Menggosok? Dengan kain lap itu?" Tanyanya memastikan."Iya," jawabku ketus. "Kenapa?"Tawa Raina pecah, gadis itu terbahak menertawakanku. Tentu saja karena melihat penampilanku yang tak ubahnya seperti pembantu ini. "Jadi, kau sedang bersih-bersih rumah, Mas. Aku yakin mama pasti sangat senang melihatmu rajin seperti ini.""Berisik, puas kau tertawa, hah?" aku bersungut kesal lalu membalik
(13)"Mengapa melihatku seperti itu?" tanyaku pada Luna yang kini memandangiku dengan senyum anehnya."Aku bosan di kamar sendiri, maunya sama kamu saja." Luna menirukan ucapanku tadi padanya."Apa maksudnya berkata seperti itu di depan Raina?" Lanjutnya ketus dengan wajah masam."Menurutmu? Apa yang biasanya dilakukan oleh pasangan pengantin baru saat berada di kamar?" Tantangku. Sungguh, aku ingin melihat bagaimana reaksinya.Luna tampak mengeryitkan dahi lalu kembali tersenyum. Melihat senyum itu mendadak aku menelan ludah. Entah mengapa rasanya ada yang tidak beres."Mas maunya apa? Mau kelonan sama aku? Bobo bareng?" jawabnya dengan suara mendayu.Wajah itu kini tampak menggoda, apalagi saat ia mengulas senyum, bibirnya mengapa terlihat begitu seksi. Seketika aku merasakan sekujur tubuhku bagai tersengat aliran listrik.Ada apa denganku? Apa ada yang salah?Masa iya aku tergoda dengannya? Dengan gadis remaja itu?Tidak. Masa Reshwara yang tampan dan mapan ini bisa tergoda denganny
Keesokan paginya. "Mas, aku berangkat ke kampus dulu, ya," pamit Luna padaku saat hendak mengambil ponsel yang tertinggal di kamar. "Naik apa?" tanyaku berbasa-basi. "Aku udah pesan ojek online," jawabnya. "Oh, nanti pulangnya kapan?" "Mungkin agak sorean. Sudah ya Mas. Aku berangkat dulu, sebentar lagi ojeknya datang," ujar Luna bergegas meraih punggung tanganku dan menciumnya. "Hati hati," ucapku cepat. Jujur saja aku agak cemas membiarkannya naik ojek dengan orang yang tidak dikenal. Tapi jika aku menawarkan diri mengantarnya ke kampus, nanti dia bisa besar kepala. Ah, tidak, aku tak mau itu terjadi! Biarkan saja ia pergi naik ojek. Bukankah tadi ia bilang sudah biasa? Lagipula aku masih kesal dengan kejadian semalam. Ia begitu sukses membuatku malu. Bayangkan seorang Reshwara yang tampan dan mapan, pria yang diinginkan banyak wanita cantik tiba- tiba jatuh dalam tipuan seorang gadis remaja berusia sembilan tahun? Benar benar memalukan dan menjatuhkan wibawaku saja seba
"Terima kasih banyak, mas. Luna pasti senang mendengarnya." Ucapan Keenan barusan membuatku seketika melongo, apa tadi katanya, Luna? Spontan aku teringat akan Mak lampir itu. Seseorang yang menyebabkanku bisa nyasar ke tempat ini. "Luna? Apa dia temanmu?" Tanyaku penasaran. Entah mengapa rasanya tidak nyaman jika mendengar nama gadis menyebalkan itu disebut oleh pria lain. Tapi mengapa aku tiba-tiba kesal begini bukankah gadis yang bernama Luna itu banyak? Lagipula, rasanya tak mungkin Keenan tidak mengenal sosok Mak lampir itu, karena Tante Wina, Ibunya sempat berfoto bersama Luna selepas acara akad nikah kami. Ah, mungkin ini karena aku terlalu banyak berpikir. Apalagi jika mengingat perbuatan Luna semalam. Sungguh rasanya ingin menghukum gadis itu. "Tentu saja, ia gadis yang kuincar," ucap Keenan dengan mata berbinar. Tampak jelas sekali jika pria muda ini sedang jatuh cinta. Sinar matahari yang mulai terasa menyengat di wajah, membuatku sadar jika tak seharusn
"Jadi, Luna yang kau maksud itu adalah dia?" Tanyaku penuh selidik. Mencoba menahan gejolak amarah."Iya, itu Luna. Gadis yang sedari tadi kita bicarakan. Kenapa mas? Apa kau mengenalnya?" tanya Keenan sumringah. Taklama, tangannya melambai ke arah Luna. "Aku tak ...." Ucapanku terhenti karena kulihat pandangan Keenan kini fokus pada istri kecilku itu. Untuk sesaat aku merasa lega, karena tak perlu menjawab pertanyaannya, namun, bagaimana dengan Luna?Aku menatap Luna yang berjalan kearah kami dengan perasaan marah bercampur gelisah. Tanganku kini mengetuk meja, mencoba meredakan dan menutupi rasa ketidaknyamananku. Ingin rasanya aku beranjak pergi dari sini dan menarik tangan Luna, namun entah mengapa kakiku seolah tertahan.Reshwara, apa yang sedang kau lakukan di tempat ini? Batinku kini berbisik.Langkah Luna semakin dekat, membuatku semakin gelisah, bagaimana jika ia bertanya mengapa aku bisa ada di kampusnya?Bisa puas Mak Lampir itu menertawakanku jika sampai Ia mengetahui
"Ada apa kau melihatku begitu?" Ketusku lalu menyilangkan tangan di depan dada, mencoba menutupi rasa gugup ini. "Tidak, aku hanya tidak menyangka kalau Mas bisa ada di kampusku?!" Sahutnya cepat. "Memangnya kenapa kalau aku ada di sini? Ada aturan yang tidak memperbolehkanku datang kesini? Jangan lupa kalau aku adalah salah satu sponsor acara amal nanti. Jadi bersikap baiklah padaku," ucapku dengan sedikit menaikkan volume suara. Mencoba menunjukkan eksistensiku padanya. "Oh, tapi aku tak yakin jika kedatangan mas kesini hanya untuk membahas masalah acara amal itu. Mas kan seorang direktur, punya anak buah. Seharusnya kan bisa menyuruh seseorang atau mungkin tinggal menelpon saja perwakilan dari kampus untuk membicarakannya, apalagi ini hanya soal sponsor. Bagi seorang direktur utama, ini bukanlah perkara penting." "Maksudmu apa? Jangan membuatku bingung," aku mendesis. Pandangan mata Luna kini semakin tajam padaku, membuatku seakan menjadi seorang pesakitan di hadapan hakim. T
Aaww! Teriakku cukup keras saat Luna menekan kasar bagian memar di bagian pelipisku, seperti di lakukannya dengan sengaja. Ah, mengapa aku sampai lupa jika ia adalah Mak lampir. "Dasar Mak lampir, kau sengaja melakukannya untuk membunuhku, ya?" Ucapku yang tanpa sadar kelepasan bicara. "Apa? Kau mengataiku Mak lampir?" Mata Luna melotot padaku. "Ah, itu ... Hehe! lagipula kau memang seperti Mak Lampir." Kupaksakan bibirku tersenyum. "Kau mau memar-mu ini kutambah, mas?" ancam Luna cemberut, ah, mengapa aku baru sadar jika ia ternyata semanis ini. "Iya, Jika kau yang melakukannya, aku tak akan menolak," ujarku dengan cepat menarik tubuhnya ke dalam pelukanku. "Kau tahu, sepertinya aku telah jatuh cinta pada seorang mak lampir yang cantik," bisikku di telinganya. "Mulai sekarang, maukah kau menerima pria bodoh ini menjadi suamimu?" Lanjutku lalu mengurai sedikit pelukanku dan memandangnya. Luna terdiam sesaat. tak lama kulihat kepalanya mengangguk. entah mengapa membu
"Maaf, karena telah menyakiti hatimu," ucapku pelan lalu kembali mengusap bibirku yang masih terasa nyeri. Saskia menatapku nanar, seolah tak percaya ungkapan itu berasal dari mulutku. Tak lama, ia kembali bicara. "Lebih baik sekarang kau pergi dari sini mas, sebelum aku meminta pihak keamanan untuk mengusirmu," Suaranya terdengar bergetar disertai dengan jari telunjuk yang mengarah ke arah pintu. "Iya, aku akan keluar dari sini. Sekali lagi aku minta maaf karena telah membohongimu." Yah, memang seharusnya aku meminta maaf padanya karena bagaimanapun ia berkata benar, akulah orang pertama yang mengkhianati hubungan kami, akulah orang yang telah berbohong padanya karena menyembunyikan status pernikahanku darinya. Setidaknya aku bisa sedikit mengerti alasan mengapa ia bertindak senekat ini. Mungkin ini juga bentuk hukuman dari tuhan padaku karena telah berbohong dan mengabaikan keberadaan Luna selama ini. Ah, mengapa aku semakin merindukan istri kecilku itu? Akuilah Reshwara jika
"Melihat lelaki ini ada di apartemenmu, sudah cukup menjadi jawabannya. Aku tak menyangka jika ternyata kau juga menjalin hubungan lain di belakangku, benar -benar perempuan murahan." Cih! "Ya, aku yang melakukannya. Mengapa? Kau kesal, marah, kecewa?" Suara Saskia terdengar lantang, seakan mewakili kemarahannya. Kupalingkan wajah dan menatapnya yang saat ini tengah melempar tatapan tajam padaku. "Kau bener sekali, aku yang membocorkannya. Bagaimana rasanya di khianati? Sakit?" Desis Saskia. "Kau ...!" Geramku padanya dengan tangan terkepal. Andai ia bukan seorang perempuan, sudah ku hajar ia sekarang. Atmosfir ruangan ini kini berubah panas, mata itu masih melempar tatapan menghujam padaku, seakan sedang melepaskan semua kemarahannya padaku. "Aku tidak menyangka jika kau bisa mengkhianatiku, Saskia." "Tentu saja bisa, kau tahu mengapa aku melakukannya?" Bibir itu mengulas senyum sinis padaku. "Karena kau yang lebih dulu mengkhianatiku. Apa kau pikir aku tidak tahu jika terny
"Saat seorang wanita sudah merasa tidak nyaman di rumah suaminya, maka secara naluri ia akan pulang ke rumah orang tuanya, karena ia tahu bahwa rumah orang tuanya adalah satu satunya tempat ternyaman untuknya," ujar Tante Wina ikut bicara. "Begitukah?" ucapku tanpa sadar sambil melirik Raina yang menggeleng kesal. "Makanya mas, cari tahu dulu penyebabnya, jangan bisanya cuma asal tuduh saja. Kalau begini kau juga yang malu kan?" Aku mengulas senyum getir saat mendengarnya. Raina berkata benar, entah mengapa saat ini aku merindukan Luna, merindukan tingkah konyol Mak lampir cantik itu. Ponselku tiba tiba berdering, kulirik arloji di pergelangan tangan yang sudah menunjukkan angka delapan, rasanya masih belum terlalu malam untuk meluncur ke Depok dan menjemput Luna. Namun, sebelum itu, aku akan menjawab panggilan teleponku dulu. Senyumku seketika terbit saat kulihat nama seseorang yang tertera di layar, kelihatannya, aku harus menunda sebentar kepergian ku ke Depok karena masih ada
Aku menoleh pada Keenan yang masih menatapku, ada rasa bersalah dalam hati karena telah asal menuduhnya, jika memang itu yang sebenarnya terjadi, maka aku telah melakukan kesalahan yang besar pada Luna. Ah, mengapa aku bisa sampai bertindak se-ceroboh ini, tak biasanya aku melakukan sesuatu hal tanpa rencana, sungguh aku merasa sangat malu saat ini. Papa terlihat menggelengkan kepalanya, sementara mama masih tertawa geli, dan Raina, gadis itu mengulas senyum tipis di wajahnya, senyuman yang entah mengapa terlihat begitu menyebalkan. Tak lama kudengar mama bicara. "Luna adalah gadis yang baik, Rei. Cobalah untuk mengenalnya lebih dekat, kau pasti tahu mengapa mama dan papa memilihnya untuk menjadi pendampingmu." Aku tak menjawabnya, hanya mengangguk lemah. Ucapan Mama mungkin ada benarnya, aku yang salah, karena masih belum sepenuhnya menerima keberadaan dirinya dan juga pernikahan kami. Mungkin karena jarak usia kami yang terpaut cukup jauh, membuatku meremehkannya atau mungkin
"Ha ... Ha ... ha" Tawa papa terdengar begitu keras memenuhi seisi ruangan ini sesaat aku selesai menceritakan kecurigaanku tentang hubungan terlarang Keenan dan Luna. Aku melongo melihat papa yang tampak begitu renyah tertawa, tak hanya papa, mama, Raina bahkan Keenan juga tampak tertawa. Hanya Tante Wina yang tampak mengulum senyum seakan ingin menjaga wibawaku. Ini aneh. Apa yang terjadi pada mereka semua? Mengapa tertawa? Bukankah seharusnya mereka marah dan kesal? Aku masih menatap mereka dengan wajah bingung dan tak mengerti, tak lama ku dengar Raina bicara. "Kau memang orang paling lucu yang pernah kukenal, mas." "Lucu sekali," gelak tawa Raina sambil menunjuk padaku. "Aku bicara yang sebenarnya, kenapa kalian semua tertawa?" Ketusku lalu memalingkan wajah. "Tentu saja kami semua tertawa, karena semua tuduhanmu itu tidak benar," balas Raina. "Tidak benar bagaimana, aku serius. Kalian bisa tanyakan sendiri pada Keenan," geramku sambil melirik pada pemuda yang duduk di
"Lalu untuk apa kau pulang ke sini? Jangan bilang jika ucapan mama tadi pagi benar bahwa kau dan Luna sedang bertengkar," ujar mama dengan mata penuh selidik padaku. mendengarnya, wajahku seketika cemberut. "Tak bisakah mama membiarkanku beristirahat sebentar?" Keluhku yang kesal karena mendadak langsung di serang pertanyaan oleh mama. "Kau ini? entah apa yang ada dalam pikiranmu," geram mama padaku sambil menatap kesal. aneh sekali mengapa Mama tampak kesal padaku. tak hanya mama, tatapan mata papa pun kini terasa menusuk kornea mata kupalingkan wajah sejenak dari mama, rasanya malas di pandanginya dengan tatapan seperti itu. berharap kekesalannya segera hilang karena bisa gawat kalau ia meminta pembelaan dari papa. "Mama sudah telepon Luna? Sudah bertemu dengannya?" Tanyaku beberapa saat kemudian. "Iya, saat mama telepon, Luna bilang kalau ibunya sudah pulang dari rumah sakit, mama juga tidak bertemu Luna saat tadi menjenguk ibunya di sana, jadi belum sempat bicara dengannya
"Tentu saja bisa, karena Keenan ..." "Keenan? Kenapa? Apa yang dia bilang?" Potongku cepat, entah kenapa aku selalu tak sabar dan emosi saat mendengar nama itu. "Karena Keenan yang memberi tahu mama jika ibu mertuamu itu sedang dirawat di rumah sakit. Ah, tidak. Jangan bilang pada mama jika Luna tak memberitahumu sebab kalian berdua sedang bertengkar," tebak mama yang lagi-lagi membuat kerongkonganku tercekat. "Itu tidak benar, kami berdua baik-baik saja." "Benarkah? Jika begitu kau pasti tahu keadaan ibu mertuamu, Rei." Untuk kali ini akhirnya aku terdiam. Entah mengapa rasanya ada selalu sulit berkelit pada mama. "Sudahlah, nanti mama telepon Luna atau Keenan saja, bicara denganmu sama saja seperti bicara dengan tembok. Kau selalu saja tidak peka dengan orang di sekelilingmu," ujar mama lalu memutus sambungan teleponnya. "Keenan, kenapa harus selalu dia?" Mendadak hatiku kembali kesal mendengar nama itu. "Apa bagusnya sih anak cengeng itu? Pemuda dua puluh satu tahun yan
Pagi ini kulihat Luna tampak bergegas keluar rumah dengan membawa travel bag yang cukup besar. Wajahnya yang sendu dengan mata yang sembab begitu jelas terlihat saat tak sengaja pandangan mata kami bertemu. Luna hanya diam, sikapnya tampak datar. Tak lama kulihat ia mengenakan topi di kepalanya, mungkin untuk menutupi jejak tangisan di wajahnya. Sebuah sepeda motor kulihat menepi dan berhenti. Sepeda motor yang sama yang selalu menjemputnya. Tak lama, ia meletakkan travel bag itu di depan sang pengendara, sementara dia sendiri duduk membonceng di belakang. "Ah. Mengapa semua akhirnya kacau seperti ini?" Keluhku lalu mengigit bibir. Aku masih memandang Luna hingga akhirnya sepeda motor itu bergerak perlahan meninggalkan rumah ini. Tak lama, akupun beranjak pergi dari muka pintu ini menuju ke kamarku. Hendak mengambil tas dan kunci mobil. Langkahku tertahan saat melintas depan kamar Luna, entah mengapa mendadak tanganku ingin meraih kenop pintunya, suara cklek terdengar, tak lama p