"Selamat datang, Nona."
Seorang wanita cantik membuka kacamata hitam yang menutupi kedua mata cantiknya. Mantel tebal dan berbulu yang melekat pada tubuhnya, kini ia lepas dan diserahkan kepada seorang kepala maid yang menyambut kedatangannya."Suhu udara kota ini masih sama, bahkan setelah lima tahun berlalu. Di mana, Ayah?""Tuan besar, sudah menunggu Anda diruang kerjanya, Nona," jawab kepala Maid tersebut."Baik! Bawakan semua barang ku ke kamar, saya akan menemui Ayah sebentar."Wanita itu melangkahkan kakinya menyusuri setiap sudut ruangn yang didominasi dengan warna putih dan gold. Hingga pada saat langkahnya terhenti tepat di depan sebuah pintu bercorak unik dengan warna coklat gelap.
Ceklek.
Tanpa mengetuknya, wanita itu langsung masuk ke dalam. Dari jarang beberapa langkah dia bisa melihat seorang pria paruh baya yang tengan duduk membelaki meja kerjanya dengan pandangan terarah di luar jendela kaca, pria itu tidak lain ialah sang Ayah.
"Hai, Ayah, long time no see. Kini putrimu sudah kembali." Ia berhambur memeluk sang Ayah dengan erat.
Setelah beberapa saat melepaskan pelukannya, dia menatap sang Ayah dengan raut wajah bahagia. Namun, berbeda dengan sang Ayah yang terlihat memasang wajah datar.
"Sudah lima tahun berlalu dan kamu baru kembali dengan wajah bahagia sekarang? Bagaimana, apa kamu sudah merasa puas dengan kebebasan mu beberapa tahun ini? Clara, kamu adalah wanita yang paling bodoh selama Ayah mengenalimu, dan dengan kelakukan mu ini kamu telah banyak kehilangan hal yang sangat berharga, akan tetapi kamu sama sekali tidak terlihat menyesalinya.”
Ya, wanita cantik berusia berusia duua puluh lima itu adalah Clara Madison. Diumur yang kian matang, wajahnya masih tetap terlihat begitu cantik, meski tidak selaras dengan sikapnya yang cenderung angkuh dan sombong.
“Apa maksud, Ayah?” tanya dengan alis mengkerut.
Sang Ayah membuang nafas kasar dengan membuang pandangannya ke samping, lalu kembali menatap putrinya itu.
“Apa kepala mu terbentur sebelum kembali ke sini, hah?! Anak itu masih hidup dan sekarang dia tumbuh dengan sangat baik dan tampan. Sean Alexander Adhyatma, anak kamu dan Arkan.”
Deg!
Seketika wajah Clara berubah pias. Lima tahun ia pergi hanya untuk mencari kebebasan diri, meninggalkan kehidupannya yang telah dulu terajut dengan indah. Namun sekarang, seperti itu tidak akan ada lagi harapan untuknya. Menolak takdir yang bertentangan hanya akan membawa kehancuran diakhir cerita hidupnya kelak.
“Na- namanya, Sean?” lirihnya menyebut nama seorang anak yang pernah dulu ia perjuangi setengah mati, namun berakhir ia sia-siakan begitu saja tanpa tahu jika perbuatannya itu akan menjadi sebua bumerang untuk dirinya sendiri.
“Ck, kamu bahkan tidak mengetahui nama anakmu sendiri? Selama lima tahun ini, Ayah terus mengawasinya walau hanya dari kejauhan karena Arkan menjaganya begitu sangat ketat. Ke mana pun anak kecil itu pergi, disekitarnya akan selalu ada pengawal yang menjaganya.”
“Ta tapi bagaimana bisa, Ayah?! Lima tahun itu bukan waktu yang sangat singkat, dan anak itu ... a- anak itu saat ku lahirkan dia sudah tidak punya harapan untuk hidup karena terlahir permatur. Bahkan dokter langsung mengagnosanya memiliki kerusakan jantung.”
Clara nampak terdiam terpaku sesaat, karena sang Ayah kembali membuatnya mengingatkan tentang masa lalu yang telah susah payah ia kubur dalam kenangannya.
*****
Kembali ke lima tahun yang lalu ...
Anak adalah bagian dari pelengkapnya sebuah rumah tangga untuk dua insan yang saling mencintai. Namun, sepertinya tidak demikian untuk satu wanita ini, Clara. Satu bulan paska persalinan, kehdiran anaknya bagaikan mimpi buruk untuk dirinya karena telah merusah kisah sempurnanya.
‘Tidak! Aku tidak mau, aku lelah. Untuk apa aku menyusui anak sikit-sakitan seperti dia?! Payudara ku bisa kendur karena dia hisap setiap waktu. Aku tidak sudi!”
Alat pompa asi yang sedari tadi digenggam Arkan, kini terjatuh begitu saja ke lantai kamar. Terlihat penampilan pria itu sangat kacau, bagaimana tidak sudah satu bulan ini dia terus bolak-balik ke rumah sakit hanya untuk mengontrol anaknya yang masih terbaring lemah di ruangan NICU.
Arkan tidak pernah ingin menyerah meski dokter selalu berkata jika hidup anaknya berkemungkinan hanya tiga puluh lima persen saja.
Ditengah perjuangan yang tidak pernah ada habisnya, Arkan justru tertampar oleh kenyataan saat menyadari jika selama ini hanya dirinya lah berjuang dalam rumah tangganya, mempertahankan buah hati mereka dengan sangat keras, sementara Clara, tidak sekali pun.
“Bagaimana bisa kamu berkata seperti itu pada anakmu sendiri?!” Kobaran amarah mulai menguasai diri Arkan.
Pria itu merasa sangat menyesal karena pernah menaruh cintanya pada wanita yang salah, dan sekarang justru menjadi ibu untuk darah dagingnya. Sungguh, dia menyesalinya.
Orang tua mana yang ingin anaknya jika terlahir mempunyai penyakit bawaan. Tidak akan ada, akan tetapi Arkan sangat mempercayai jika Tuhan-Nya tidak pernah salah dalam menempatkan takdir makhluknya.
Arkan sangat menyayangi putra kecilnya dan akan terus berjuang untuk kesembuhannya. Pria itu tidak membutuhkan yang lain, putraya adalah segalanya untuk dirinya, jika bisa ia ingin sekali menjadi pengganti dalam kesiksaan yang dirasakan anaknya.
Clara nampak berkaca-kaca saat Arkan membentaknya. Perlahan ia mundur hingga terduduk lemas di pinggir ranjang. “Kamu tega membentak ku? Arkan, kamu telah berjanji akan memberikan aku kehidupan yang sempurna setelah kita menikah. Tapi apa, setelah kelahirannya anak itu kamu tidak lagi memperhatikan aku! Kamu lebih menyibukkan diri dengan mengurus anak itu. Arkan, kamu telah mebuang-buang waktu.”
Hati Arkan seakan diremas dengan sangat kuat, wanita yang begitu dia cintai kini terlihat seperti monster yang tidak ingin mengakui anaknya sendiri.
Clara kembali berdiri menghampiri Arkan dan menggenggam tangannya dengan erat. “Arkan, aku mohon menyerah saja. Lepaskan semua alat medis yang menempel pada di tubuh anak itu, tidak akan ada harapan lagi. Aku masih bisa dan mampu memberikan kamu anak.”
“Clara ... Clara!” seru Arkan seraya menghempaskan dengan kasar tangannya dari genggaman sang istri.
Air mata kekecewaan luruh begitu saja di sudut matanya, sisi rapuhnya sebagai seorang Ayah kini tak bisa disembunyikan lagi. Kata-kata Clara bagaikan air keras yang tersiram diuluh hatinya, begitu menyakitkan. Dengan kasar ia menyeka air matanya lalu kembali menatap Clara dengan merah dan basah karena menangis.
“Kamu adalah wanita yang tidak pantas disebut sebagai seorang ibu! Hewan buas saja menyayangi anaknya, tapi kamu ... justru ingin membunuhnya! Anakku akan baik-baik saja, sampai kapan pun aku akan tetap memperjuangkannya. Dia anak yang kuat!”
“Kalau itu yang kamu inginkan, ceraikan aku! Aku tidak sudi hidup dan terus bertahan dengan seorang pria bodoh yang hanya memikirkan hal sia-sia saja. Masih banyak pria lain di luar sana yang akan siap meratukan aku! Sejak awal, aku memang tidak pernah setuju dengan pernikahan kita, tapi kamu selalu memaksa aku dan akhirnya lihat?! Semuanya berantakan! Impian untuk menjadi seorang model terkenal juga musnah karena keegoisan kamu Arkan!”
Clara segera berbalik mengambil kunci mobil lalu melangkah pergi menuju pintu keluar kamar.Melihat kepergian sang istri, Arkan segera bergerak menyusul dan menghadang langkahnya. "Clara! Clara, tolong kamu jangan gegabah. Ingat, impian dan mimpi kecil yang telah kita susun dan akan lewati bersama dengan anak kita. Aku mencintaimu, tolong jangan pergi dan bertahanlah.""Aku muak, Arkan! Aku capek! Tapi kamu tidak pernah mengerti berada di posisi aku! Sekarang aku tanya dan minta kamu untuk memilih, kamu pilih aku atau anak itu dan kita bercerai?"Arkan terdiam terpaku, disaat dirinya langsung dihadapkan dengan dua pilihan yang sama beratnya. Arkan merasa kini semesta tak lagi berpihak kepadanya.Cintanya kepada Clara begitu besar, namun ia juga tidak bisa meninggalkan anaknya, darah dagingnya sendiri demi memenuhi keegoisan Clara yang sudah tak memiliki hati untuk keutuhan rumah tangganya. "Ayo jawab, kenapa hanya diam saja?"Kedua telapak tangan Arkan terkepal kuat, dia tertunduk me
"Di sana dia, Nona."Clara yang sejak tadi melamun sendiri, kini segera melihat ke arah jendela mobil saat sang sopir menunjuk seorang anak laki-laki yang berjalan keluar dari bangunan sekolah bersama dengan seorang wanita, sepertinya itu guru.Sejenak Clara nampak terdiam, menatap minat pada bocah kecil itu. Ia terpana, ia terpana melihat ternyata bayi yang dulu pernah ia kandung dan lahirkan kini telah tumbuh menjadi anak laki-laki yang tampan, seperti Daddy-nya.Tanpa Clara sadari, dia menjatuhkan air matanya dengan tidak mengeluarkan suara isakan. Mungkin saat ini, wanita tersebut sedikit menyesal dengan karena telah meninggalkan keluarga kecilnya dulu.Lima tahun berlalu ia lebih memilih meninggalkan sang suami dengan anaknya yang saat itu lebih membutuhkannya, hanya karena ingin bebas hidup berkeliaran semaunya."Kau tunggu di sini, aku ingin bertemu dengannya sebentar," ucap Clara dengan sudah siap menarik tukas pintu mobil namu terhenti dengan ucapan sang sopir."Jangan, Nona.
Keadaan loby kantor berubah jadi sangat menegangkan karena pertengkaran dua mantan pasangan itu.Para pekerja dan karyawan hanya mampu terdiam menyaksikannya, karena mereka sadar siapa itu Arkan. Pria yang diam-diam mereka takuti.Clara, wanita itu terdiam mendengar ucapan Arkan. satu kesalahan lagi yang ia lupakan begitu saja. Betapa bodohnya dia dulu hingga tega menghindari darah dagingnya sendiri.Hingga tanpa sengaja matanya bergulir menatap sosok kecil yang dulu ia tidak anggap, tepat di belakang Arkan, Sean."A—anak mama ..." lirihnya dengan tangan yang memnjulur, berusaha ingin menggapai tubuh kecil itu dalam dekapannya. Namun, Sean dengan spontan berbalik menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Hanum, kedua tangan kecilnya melingkar erat pada leher Hanum.Melihat reaksi Sean yang begitu menghindarinya tidak membuat Clara gencar ingin menggedong Sean. Namun tetap saja ia mendapat penolakan dari berontaknya sang empu.Arkan yang melihat sang anak tidak ingin disentuh Clara pun
Di ruangannya yang nampak luas dan dominan itu Arkan tengah berkutat dengan semua berkas-berkas yang menumpuk. Itu karena dirinya yang sudah sangat lama meninggalkan pekerjaannya sebagai seorang pemimpin perusahaan. Dan hari ini dia akan menyesuaikannya juga, dengan sengaja tidak masuk mengajar dulu.Tanpa ia ketahui di luar sedang ada keributan lagi setelah hari kemarin mantan istrinya, dan sekarang pun kembali berulah lagi.Beberapa saat terlihat seorang staf laki-laki memasuki ruangan dengan langkah tergesa-gesa. Ia segera menghampiri Arkan, dan membisikan sesuatu.Detik selanjutnya aura yang dikeluarkan Arkan sangat tidak biasanya, raut wajahnya mendatar dengan tangan yang terkepal kuat setelah mendengar apa yang disampaikan oleh salah satu staf senior tersebut. Arkan yang tadinya duduk kini segera berdiri dari posisinya. "Sekarang kamu keluar."Orang yang diperintahkan keluar itu langsung pergi tanpa melakukan protes apapun, ia masih sayang dengan nyawannya jika sudah melihat
Hari sudah berganti dengan malam. Hanum kini tengah di kamar sang anak, karena memang sekarang sudah memasuki waktu untuk Sean tidur. Hanum dan keluarga kecilnya masih menetap di rumah kedua orang tua Arkan, ia tidak berani bertanya pada suaminya apakah mereka akan tetap menetap di rumah tersebut atau akan berpindah memiliki rumah sendiri. Hanum hanya akan mengikut ke mana Arkan membawanya saja.Sean sudah tertidur, dan waktu sebentar lagi akan memasuki pukul sepuluh malam, namun Hanum masih belum melihat adanya tanda-tanda Arkan akan pulang dari kantor."Sudah pukul sepuluh tapi dia masih belum pulang?" ujar pelan Hanum sembari jalan keluar dari kamar Sean. Entah kenapa Hanum kini memiliki rasa khawatir pada Arkan. Apakah pria itu masih mengerjakan pekerjaannya dijam segini? Apa dia sudah makan malam? Mungkin sekarang dia sedang makan di suatu restoran? Atau mungkin dia sedang di jalan pulang ke rumah? Begitu banyak pertanyaan-pertanyaan yang mulai muncul dalam pikiran Hanum untun
“Ayah, sudah menjodohkan kamu dengan pria pilihan Ayah, dia juga anak sahabat Ayah. Namanya Arkan. Dia seorang pria dewasa yang sudah mapan, keluarganya juga sangat terpandang, dan Ayah yakin kamu akan hidup bahagia jika menikah dengannya,” jelas Ayah. Hanum terdiam mematung. Entah perbuatan dosa apa yang sudah ia lakukan sehingga sekarang ia mendapat karma yang sangat menyakitkan hati.“Ayah, Hanum masih kuliah ... Ba—bahkan baru setengah jalan. Ba—bagaimana dengan cita-cita, Hanum?” tanya Hanum dengan suara yang sudah bergetar. Apa yang ia pernah takutkan pun kini terjadi juga. “Hanum, kamu masih akan tetap bisa kuliah sampai lulus, Ayah tidak akan buat kamu putus ditengah jalan. Yang pasti, karena Ayah telah menjodohkan kamu, Ayah berharap kamu menerimanya,” ujar Ayah seraya menatap sang putri dengan lekat, Bunda pun tidak mampu berkata-kata karena beliau juga hanya bisa pasrah dan menyerahkan semua keputusan terbaik itu pada sang suami. Hanum tergugu, sebisa mungkin ia mencerna
Kini semua orang sudah terkumpul. Suasana seketika menjadi hening, hingga pada akhirnya Ayah Bara langsung membuka perbincangan antara mereka. “Hanum, kenalkan mereka adalah sahabat Ayah dan Bunda, namanya Om Bagas dan Tante Stela. Kalau pria itu, anaknya, putra sulung beliau, orang yang Ayah jodohkan dan akan menjadi suami kamu nanti, namanya Arkan. Lalu, bocah kecil yang tengah kamu pangku itu adalah putra Nak Arkan. Ya, dia adalah duda satu anak,” ucap Ayah memperkenalkan keluarga yang bertamu di rumahnya. “Apa?! Apa Ayah tidak salah? Ayah, dia itu bahkan dosen Hanum sendiri di kampus!” Kaget Hanum tanpa sadar memekikkan suaranya. “Ya, Ayah tau itu,” sambung Ayah. Hanum tambah terkejut. Yang benar saja, tuhan. – batin Hanum. “Nak Arkan, ini anak perempuan satu-satunya saya yang bernama Arsyila Hanum Khayla.” Ayah Bara kini memperkenalkan Hanum pada pria tersebut. “Ayah, apa yang Ayah lakukan? Hanum bahkan belum menjawab titah Ayah yang tadi pagi,” ucap Hanum pada sang Ayah ag
Sudah tiga minggu berlalu setelah acara lamaran hari itu, dan semua keluarga telah menetapkan sekaligus tanggal hari pernikahan saat itu juga, dan jatuhnya pada satu bulan lagi hitungannya dari beberapa minggu yang lalu. Hari-hari Hanum lalui dengan monoton, dan besok adalah hari di mana dirinya akan segera melangsungkan acara sakral bersama dosennya sendiri.Semua telah disiapkan dari baju pengantin, hantaran, dan hotel yang telah di dekor dengan indah untuk melangsungkan pernikahan."Rasanya aku tidak ingin pernah percaya jika besok aku akan menjadi istrinya. memiliki mimpi atau bahkan berkhayal pun tidak pernah terlintas dalam pikiran ku," ucap Hanum dengan helaan nafas."Tapi tidak buruk juga, karena aku akan mendapatkan bonus dengan bocah laki-laki menggemaskan itu akan menjadi anakku," ucap Hanum lagi senyum di bibirnya.Hanum segera bersiap untuk tidur, karena tadi Bunda sudah berpesan besok pagi-pagi sekali ia akan dirias oleh MUA untuk melangsungkan acara akadnya. Saat akan
Hari sudah berganti dengan malam. Hanum kini tengah di kamar sang anak, karena memang sekarang sudah memasuki waktu untuk Sean tidur. Hanum dan keluarga kecilnya masih menetap di rumah kedua orang tua Arkan, ia tidak berani bertanya pada suaminya apakah mereka akan tetap menetap di rumah tersebut atau akan berpindah memiliki rumah sendiri. Hanum hanya akan mengikut ke mana Arkan membawanya saja.Sean sudah tertidur, dan waktu sebentar lagi akan memasuki pukul sepuluh malam, namun Hanum masih belum melihat adanya tanda-tanda Arkan akan pulang dari kantor."Sudah pukul sepuluh tapi dia masih belum pulang?" ujar pelan Hanum sembari jalan keluar dari kamar Sean. Entah kenapa Hanum kini memiliki rasa khawatir pada Arkan. Apakah pria itu masih mengerjakan pekerjaannya dijam segini? Apa dia sudah makan malam? Mungkin sekarang dia sedang makan di suatu restoran? Atau mungkin dia sedang di jalan pulang ke rumah? Begitu banyak pertanyaan-pertanyaan yang mulai muncul dalam pikiran Hanum untun
Di ruangannya yang nampak luas dan dominan itu Arkan tengah berkutat dengan semua berkas-berkas yang menumpuk. Itu karena dirinya yang sudah sangat lama meninggalkan pekerjaannya sebagai seorang pemimpin perusahaan. Dan hari ini dia akan menyesuaikannya juga, dengan sengaja tidak masuk mengajar dulu.Tanpa ia ketahui di luar sedang ada keributan lagi setelah hari kemarin mantan istrinya, dan sekarang pun kembali berulah lagi.Beberapa saat terlihat seorang staf laki-laki memasuki ruangan dengan langkah tergesa-gesa. Ia segera menghampiri Arkan, dan membisikan sesuatu.Detik selanjutnya aura yang dikeluarkan Arkan sangat tidak biasanya, raut wajahnya mendatar dengan tangan yang terkepal kuat setelah mendengar apa yang disampaikan oleh salah satu staf senior tersebut. Arkan yang tadinya duduk kini segera berdiri dari posisinya. "Sekarang kamu keluar."Orang yang diperintahkan keluar itu langsung pergi tanpa melakukan protes apapun, ia masih sayang dengan nyawannya jika sudah melihat
Keadaan loby kantor berubah jadi sangat menegangkan karena pertengkaran dua mantan pasangan itu.Para pekerja dan karyawan hanya mampu terdiam menyaksikannya, karena mereka sadar siapa itu Arkan. Pria yang diam-diam mereka takuti.Clara, wanita itu terdiam mendengar ucapan Arkan. satu kesalahan lagi yang ia lupakan begitu saja. Betapa bodohnya dia dulu hingga tega menghindari darah dagingnya sendiri.Hingga tanpa sengaja matanya bergulir menatap sosok kecil yang dulu ia tidak anggap, tepat di belakang Arkan, Sean."A—anak mama ..." lirihnya dengan tangan yang memnjulur, berusaha ingin menggapai tubuh kecil itu dalam dekapannya. Namun, Sean dengan spontan berbalik menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Hanum, kedua tangan kecilnya melingkar erat pada leher Hanum.Melihat reaksi Sean yang begitu menghindarinya tidak membuat Clara gencar ingin menggedong Sean. Namun tetap saja ia mendapat penolakan dari berontaknya sang empu.Arkan yang melihat sang anak tidak ingin disentuh Clara pun
"Di sana dia, Nona."Clara yang sejak tadi melamun sendiri, kini segera melihat ke arah jendela mobil saat sang sopir menunjuk seorang anak laki-laki yang berjalan keluar dari bangunan sekolah bersama dengan seorang wanita, sepertinya itu guru.Sejenak Clara nampak terdiam, menatap minat pada bocah kecil itu. Ia terpana, ia terpana melihat ternyata bayi yang dulu pernah ia kandung dan lahirkan kini telah tumbuh menjadi anak laki-laki yang tampan, seperti Daddy-nya.Tanpa Clara sadari, dia menjatuhkan air matanya dengan tidak mengeluarkan suara isakan. Mungkin saat ini, wanita tersebut sedikit menyesal dengan karena telah meninggalkan keluarga kecilnya dulu.Lima tahun berlalu ia lebih memilih meninggalkan sang suami dengan anaknya yang saat itu lebih membutuhkannya, hanya karena ingin bebas hidup berkeliaran semaunya."Kau tunggu di sini, aku ingin bertemu dengannya sebentar," ucap Clara dengan sudah siap menarik tukas pintu mobil namu terhenti dengan ucapan sang sopir."Jangan, Nona.
Clara segera berbalik mengambil kunci mobil lalu melangkah pergi menuju pintu keluar kamar.Melihat kepergian sang istri, Arkan segera bergerak menyusul dan menghadang langkahnya. "Clara! Clara, tolong kamu jangan gegabah. Ingat, impian dan mimpi kecil yang telah kita susun dan akan lewati bersama dengan anak kita. Aku mencintaimu, tolong jangan pergi dan bertahanlah.""Aku muak, Arkan! Aku capek! Tapi kamu tidak pernah mengerti berada di posisi aku! Sekarang aku tanya dan minta kamu untuk memilih, kamu pilih aku atau anak itu dan kita bercerai?"Arkan terdiam terpaku, disaat dirinya langsung dihadapkan dengan dua pilihan yang sama beratnya. Arkan merasa kini semesta tak lagi berpihak kepadanya.Cintanya kepada Clara begitu besar, namun ia juga tidak bisa meninggalkan anaknya, darah dagingnya sendiri demi memenuhi keegoisan Clara yang sudah tak memiliki hati untuk keutuhan rumah tangganya. "Ayo jawab, kenapa hanya diam saja?"Kedua telapak tangan Arkan terkepal kuat, dia tertunduk me
"Selamat datang, Nona." Seorang wanita cantik membuka kacamata hitam yang menutupi kedua mata cantiknya. Mantel tebal dan berbulu yang melekat pada tubuhnya, kini ia lepas dan diserahkan kepada seorang kepala maid yang menyambut kedatangannya."Suhu udara kota ini masih sama, bahkan setelah lima tahun berlalu. Di mana, Ayah?" "Tuan besar, sudah menunggu Anda diruang kerjanya, Nona," jawab kepala Maid tersebut."Baik! Bawakan semua barang ku ke kamar, saya akan menemui Ayah sebentar."Wanita itu melangkahkan kakinya menyusuri setiap sudut ruangn yang didominasi dengan warna putih dan gold. Hingga pada saat langkahnya terhenti tepat di depan sebuah pintu bercorak unik dengan warna coklat gelap.Ceklek.Tanpa mengetuknya, wanita itu langsung masuk ke dalam. Dari jarang beberapa langkah dia bisa melihat seorang pria paruh baya yang tengan duduk membelaki meja kerjanya dengan pandangan terarah di luar jendela kaca, pria itu tidak lain ialah sang Ayah."Hai, Ayah, long time no see. Kini p
"Dengan sigap, sang Tikus membantu Singa keluar dari jaring tersebut dengan menggerogoti jaring sampai terputus. Keduanya pun segera kabur dan menyelamatkan diri." Hanum menutup buku dongeng ketiga yang dia bacakan untuk Sean, hingga akhirnya pria kecil itu tertidur lelap.Hanum menggerakkan tangannya, mengusap kepala Sean dengan lembut. "Tampannya anak, Mommy. Semoga kamu selalu sehat Sayang dengan didatangi oleh kebahagiaan yang abadi, Mommy akan selalu menyayangi kamu meski kenyataannya kamu tidak terlahir dari rahimku." Hanum tersenyum lembut namun, pancaran matanya berkaca-kaca. Ia membayangkan satu hal jika itu terjadi di masa depan, seperti adanya perpisahan antara dirinya dan Sean nanti ketika ibu kandungnya datang dan meminta untuk kembalikan posisinya.Ia tahu itu pasti akan terjadi, karena Hanum yakin mantan istri Arkan tidak benar-benar pergi. Ini yang dia takutkan, alasan utama juga mengapa ia sangat menentang awal perjodohannya, apa lagi dengan seorang pria yang pernah m
"Sean, hari ini Mommy dan Daddy yang akan mengantar ke sekolah, tidak apa-apa, kan?" tanya Ibu Stela.Ibu stela hanya takut sang cucu akan keberatan karena biasanya Sean selalu menolak jika sang Daddy yang mengantarnya dan lebih memilih diantar oleh pak supir di rumah.Sean yang menyelesaikan dulu kunyahan makanan dalam mulutnya barulah ia menjawab. "No problem, Oma. Sean, tidak keberatan karena sekarang ada Mommy juga. Sebenarnya, Sean ingin Daddy menikahi Mommy bukan karena Sean yang mau punya Mommy saja, tapi ... Sean juga ingin Daddy bahagia. Daddy sudah punya semuanya, tapi tidak dengan istri. Sekarang karena semuanya sudah lengkap, Sean sangat bahagia." Ibu Stela seketika dibuat terpaku mendengar pengakuan dari sang cucu, termasuk tiga orang dewasa itu juga. Usia Sean sebentar lagi akan menginjak lima tahun, tapi pria kecil itu seolah sudah mengerti dengan keadaan disekitarnya saja hingga berkata demikian.Tumbuh tanpanya sosok ibu membuat Sean lebih peka dan menyadari apa yan
Malam sudah semakin pekat, Arkan masih betah berada di ruang kerjanya, pria dewasa itu masih saja sempat-sempatnya melakukan pekerjaannya di hari pernikahannya.Sementara di dalam kamar Sean, Hanum duduk di tepi ranjang sambil menatap wajah anak sambungnya yang kini telah tertidur lelap. Hanum yang notabene-nya menyukai anak kecil, sangat menikmati moment pertamanya sebagai seorang ibu dengan membacakan dongeng untuk Sean.Setelah puas menatap wajah lelap Sean, Hanum segera keluar dari kamar itu. Ia melangkah menaiki tangga dengan sejuta pertanyaan dan kemungkinan-kemungkinan memenuhi kepalanya.Malam pertama seperti apa yang akan dia jalani bersama pria yang berprofesi sebagai dosennya itu kini sudah menjadi suaminya.Langkah demi langkah Hanum tapaki hingga akhirnya sampai di depan kamar dengan pintu berwarna hitam. Sejenak ia mengatur degup jantungnya lebih dulu, lalu mulai membuka pintu.CeklekBegitu pintu terbuka, harum maskulin menyapa indra penciumannya. Yang khas milik seoran