Aroma minyak kayu putih mulai terasa, Alesha meringis dan memegang kepalanya. Mata perempuan itu mulai terbuka dan berusaha menyesuaikan cahaya terang.
“Alhamdulillah ... nona sudah bangun, sebentar saya panggilkan tuan Arsen dulu ya.”Perempuan itu tampak tidak peduli dan memilih mengedarkan pandangan ke segala arah. Sadar dia tidak tahu posisinya di mana, ia tersentak dan langsung duduk. Ia menggeleng pelan.“Aku di mana,” ucapnya dalam hati. Alesha takut terjadi sesuatu hal dan memilih turun dari kasur, belum sempat pergi. Pintu terbuka dan Arsen masuk dengan langkah tegap.“Mau ke mana kamu?”“Eh itu—“Diam di sana, saya tidak mau di repotkan lagi dengan menggendong kamu.”Alesha diam tak berkutik di tempatnya.“Tadi saya sudah bicara dengan asisten saya dan ternyata memang benar, ibu kamu pelaku alias dalang di balik kejadian semalam. Saat ini, ibu kamu sedang dalam perjalanan ke sini. Jadi saya harap kamu bisa memarahi ibu kamu bukan saya, karena saya juga korban di sini.”Arsen terus menyudutkan Alesha yang tidak tahu apa-apa itu. Semua kata kasar terus di lontarkan Aresen yang tanpa sadar membuat Alesha memekik sambil menutup telinganya. Ia menggeleng.“Ini juga bukan yang aku mau!” histeris Alesha memberanikan diri menatap Arsen. “Aku juga korban di sini, kalau tuan salahin saya. Terus saya salahin siapa? Bahkan sampai detik ini aja saya nggak tau kenapa bisa ada di sini. Bukan ini yang saya mau,” ucap Alesha menjadi formalArsen tersentak lalu diam.“...”“Bahkan saya nggak mau menikah,” ucap perempuan itu dengan sendu. “Bukan ini ... bukan ini yang aku mau.” Setetes air mata turun di wajahnya manisnya.Alesha meremat kerudungnya, hatinya sesesak itu membicarakan fakta yang berusaha ia tolak.“Aku bahkan berusaha nerima fakta yang tuan bilang kalau ibu kandung aku sendiri udah jual aku sama orang asing.” Alesha mendekati Arsen. “Dari semua itu, aku harus nyalahin siapa?” tanya Alesha dengan suara tertahan.Arsen hanya diam.“Apa aku harus nyalahin ibu? Atau nyalahin tuan yang malah beli aku dari ibu? Atau aku harus nyalahin takdir buruk yang selalu datang ke hidup aku? Atau ... Aku harus nyalahin diri aku sendiri, kenapa harus hidup di tengah masalah yang berat.”Arsen berdeham.“Saya tidak peduli dan saya tidak mau mendengar semua kesedihan di hidup kamu, karena itu bukan urusan saya sama sekali,” ucap Arsen tidak punya hati. “Saya tunggu di luar dulu, nanti setelah ibu kamu datang. Terserah kamu mau ngelakuin apa aja, karena saya malas bertemu sama orang munafik macam ibu kamu.”Arsen melangkah keluar, meninggalkan Alesha yang sudah terjatuh dan menyandar di balik dinding.Pandangannya mengabur dan ia kembali menangis histeris. Tangannya bergerak memukul dadanya berulang kali, berusaha menghilangkan rasa sesak yang malah semakin terasa.“Apa nggak puas ibu ngelakuin hal jahat sama aku? Sampai ngelakuin semuanya sama aku kayak gini?” tanya AleshaIa menarik napas dalam dan menatap ke langit rumah. “Ya Tuhan ... Aku capek.”***Alesha memandang lurus keberadaan sang ibu yang sedari tadi hanya duduk santai di sofa. Seperti tidak ada masalah sama sekali dan itu semakin membuat Alesha marah. Dengan perasaan tak menentu, ia mendekati ibunya dan tersenyum sangat tipis.“Bu ... apa kabarnya?” tanya Alesha. “Gimana? Semua yang ibu mau udah terwujud kan? Ibu bisa bayar semua hutang ibu. Ibu bisa belanja pakai uang hasil ngejual anak sendiri. Ibu juga bisa senang-senang karena aku udah nggak tinggal bareng sama ibu.”Ibunya hanya diam.“Ibu sebenarnya mikir perasaan Alesha nggak sih?” Alesha menyentuh dadanya. “Alesha ini anak ibu kan? Kalau memang anak ibu, kenapa ibu jahat banget sama Alesha? Alesha tuh kurang apa sih sama ibu? Walaupun hidup ibu sama hidup Alesha bertentangan, Alesha selalu berusaha buat nurutin semua yang ibu mau. Tapi kenapa malah ini yang aku terima?”Dengan berbagai protes yang keluar dari mulut Alesha. Ibunya itu hanya diam saja. Memasang wajah tak bersalah.“Cukup ya bu ... Ibu dari dulu selalu ngomong kalau muak punya anak kayak Alesha kan?” tanya AleshaIbunya mendengus membuat Alesha berpikir kalau itu jawaban ‘iya' dari sang ibu.“Ibu udah jual aku, yang artinya ibu nggak ada hak atas aku lagi. Jadi ibu nggak bisa merintah aku lagi. Jadi aku harap. Ini terakhir kalinya ibu otoriter sama aku. Udah cukup ya, bu. Sampai di sini aja.”Suara tawa remeh dari ibu membuat salah satu alis Alesha terangkat.“Bu?”“Kamu ngomong gini karena tahu kan hidup kamu bakalan terjamin buat ke depannya?” sarkas ibu. “Kamu takut kalau ibu nanti minta sama kamu. Alah, harusnya kamu bersyukur kalau ibu ngelakuin ini semua demi kamu. Tapi malah ini yang ibu dapetin dari kamu. Dasar anak tidak tahu diri. Anak pembangkang kamu.”“...”“Harusnya kamu seneng sama semua yang ibu lakuin ke kamu. Akhirnya kamu bisa tinggal di rumah sebagus ini. Hidup kamu bakalan terjamin. Nggak ada lagi tuh kamu harus kesulitan cari uang kesana kemari. Cukup diam dan nadahin tangan ke suami. Kamu udah bisa dapet uang. Jadi, jangan malah marah sama ibu. Semua yang ibu lakuin juga demi kamu.”“Ini mungkin baik buat ibu, tapi enggak buat aku.”Alesha menatap sekeliling rumah. Rumah yang sangat megah ini tidak pernah terlihat menarik di matanya. Bagi Alesha semua orang yang hidup di rumah megah itu palsu. Mereka memalsukan semua kebahagiaan. Padahal kenyataannya, rumah megah ini membuat semua orang tersiksa.Dan,Impian Alesha bukan menjadi orang kaya yang tinggal di rumah besar. Sejak kecil Alesha hanya mau tinggal bersama keluarga yang hangat dan paham agama. Supaya bisa membawanya ke surga-Nya Allah. Alesha mau hidul bahagia bersama orang yang dia sayangi. Bukan sama orang asing yang bahkan tidak Alesha kenal sama sekali.“Bu ... setelah semua yang ibu lakuin sama Alesha? Ibu masih bisa santai kayak gini? Ya ampun ... dari kemarin Alesha nggak berhenti menangis. Tapi bisa-bisanya ibu masih santai karena udah jual anak kandungnya sendiri.”“...”“Mungkin di dunia ibu ini hal biasa. Tapi enggak bagi Alesha, bu. Ini udah keterlaluan. Ibu jahat banget.”Berulang kali Alesha menghembuskan napas kasar. Berusaha menenangkan diri supaya tidak kelepasan marah sama ibunya.“Kamu marah hanya karena hal kecil gini?”“Ini bukan hal kecil,” sela seseorang dengan suara beratnya.Dari lantai dua Arsen turun dengan langkah tegapnya. Laki-laki itu mendatangi mereka dan berdiri di samping Alesha.“Di perjanjian, sudah tertulis kalau anda tidak ada hak atas Alesha lagi setelah saya membayarnya. Tetapi, sekarang saya mendapat fakta kalau anda mencampuri urusan pernikahan kami? Saya tidak akan tinggal diam. Tunggu surat panggilan yang datang ke rumah anda!”Terlihat jelas bahwa ibu Alesha langsung panik saat mendengar penuturan menantunya. Dia menelan saliva, ingin menyangkal tapi sadar siapa lawannya saat ini. Ibu Alesha hanya tidak mau hidupnya akan berantakan kalau berurusan sama menantunya. “Tolong ibu, nak.”Alesha menatap bingung. “Pokoknya kamu harus bujuk suami kamu biar nggak laporin ibu. Kamu harus ingat sama semua usaha ibu merawat kamu dari bayi. Butuh uang banyak buat mengurus kamu dan itu nggak kecil! Jadi, ibu harap kamu bakalan tolongin ibu,” pinta ibunya dengan memohon. Alesha memiringkan wajahnya, bingung. “Setelah semua yang ibu lakuin sama aku, ibu malah kayak gini?” tanya Alesha menggeleng pelan. “Maaf, bu. Bahkan aku nggak deket sama tuan Arsen dan hubungan kita nggak sebaik itu buat minta tuan Arsen berhenti laporin ibu. Dan juga kenapa ibu ngelakuin ini?” tanya AleshaIbunya berdecak kesal. “Kamu nih ya—“Sampai sekarang aku nggak mengerti kenapa ibu bisa ngelakuin ini ke anak ibu sendiri. Jadi, apa yang ibu
“Tuan ... aku mohon, maafkan ibu. Jangan laporin ibu ke polisi. Tuan bisa marah sama aku aja, keluarin semua amarah tuan ke aku. Tapi jangan laporin ibu,” ucap Alesha untuk yang kesekian kalinya dalam hari ini. Cukup muak Arsen mendengar penuturan Alesha sejak tadi. Dengan tegas dia menatap Alesha sambil menggebrak meja. “Berulang kali saya bilang, bukan kamu yang salah! Jadi stop untuk mihak ke ibu kamu! Mihak ke orang yang udah nyakitin kamu. Kamu tahu sendiri keadaan kamu yang sekarang juga karena ibu kamu. Jadi, tolong ... berhenti bersikap baik ke orang yang udah jahat sama ibu kamu.”Alesha tersentak hingga terjatuh ke lantai. Tubuhnya gemetar dan ia kembali menangis. Alesha malu, sungguh. Karena dia sudah memperlihatkan sisi menyedihkannya ke orang asing yang memaksa masuk ke hidupnya. Tapi Alesha tidak bisa apa-apa. Ini reaksi tubuhnya secara refleks, mengingat ini pertama kalinya dia merasa seperti ini. Dibentak, dimarahi oleh seorang laki-laki dan itu menyakiti hati mung
Arsen menghisap sebatang nikotin lalu menghembuskannya. Ia menatap gemerlapnya malam yang begitu indah. Ia menatap ke arah langit malam dan berdecak. Menyesali keputusan dirinya untuk menikah. “Saya kira menikah tidak akan seribet ini. Ternyata semua ini tidak mudah. Bangsttt.”Arsen terus diam di balkon. Angin malam tak membuatnya memilih untuk masuk. Kepalanya begitu penat. Banyak hal yang dia pikirkan. Arsen menghembuskan napas kesal. “Lagian ... kenapa Alesha masih bisa baik sama ibunya sih!" kesalnya. "Saya masih tidak terima dia yang nuduh saya macam-macam. Padahal semua ini karena ulah ibunya."Arsen mengerang marah. Tangannya ia kepalkan, berusaha menahan emosi menggebu. "Seharusnya dia bisa marah lah sama ibunya. Bukan malah meminta saya untuk memaafkannya."Tapi ... Teringat lagi bayangan wajah melas Alesha yang memohon pada dirinya. Bagaimana suara perempuan itu yang mendayu meminta belas kasihnya. Hingga kaki Alesha yang menumpu, berharap dirinya bisa menurunkan ego d
Dengan langkah ragu, Alesha kembali masuk ke dalam kamar. Ia membuka pintu dengan perlahan dan itu bertepatan dengan Arsen yang keluar dari kamar mandi. "Ah!" pekik Alesha langsung berbalik. Arsen melirik malas dan mendengus. "Saya sudah pakai celana kali," seru Arsen membuat Alesha jadi kikuk sendiri. Ia kembali berbalik dan melangkah masuk ke dalam. Tak berani menatap Arsen yang auranga selalu saja berhasil memprovokasi dirinya. Ia berjalan mendekat dan mendongak. "Tuan .. katanya aku harus siapin semua kebutuhan tuan. Jadi, karena aku nggak tahu apa aja yang harus di siapin. Tuan bisa ajarin aku, biar aku bisa nyiapin semua kebutuhan tuan buat sekarang?"Arsen meninggalkan Alesh dan beranjak ke almari yang memiliki ruangan tersendiri. Pintunya di biarkan terbuka membuat Alesha mengikuti jejak Arsen. "Kenapa ikut ke sini?""Kan tadi aku udah bilang mau belajar buat ngurus tuan. Ya aku kira tuan nyuruh aku buat ke sini untuk liatin semua kebutuhan tuan," jawab Alesha. "Aku gak s
Alesha menutup pintu kamar kosong lalu mengunci dari dalam. Tubuhnya luruh ke lantai di balik pintu dan ia menangis sejadi-jadinya. Ia menutup mulut, tidak mau ada yang mendengar tangisannya. Tangan Alesha terus memukul dadanya yang terasa sangat sesak. Fakta baru yang sangat menyakitkan. "Ya Allah ...," gumamnya di sela-sela tangisan. Alesha merasa bingung harus bereaksi seperti apa lagi. Belum ada satu minggu ia menikah. Alesha udah mendengar banyak fakta yang menyakitkan. Dan ini sangat tidak adil bagi dirinya. Dia menggeleng pelan. "Entah kenapa aku harus ngelewatin ini semua," ucap Alesha pelan. Ia menatap lurus dengan tatapan kosong. Bayangan kisah hidupnya sejak kecil yang tak pernah bahagia membuat pikiran Alesha semakin ling lung. Tangannya terus memukul dadanya, membiarkan tubuhnya merasa sakit. Setidaknya sakit yang diperbuat olehnya nggak sebanding dengan perasaan dia saat ini. Beberapa jam kemudian, Alesha keluar dengan matanya yang super sembab. Bahkan Alesha han
/Hallo sayang ... firstly aku benar-benar minta maaf sama kamu, karena belakangan ini sibuk banget dan kita nggak sempet teleponan. Aku beneran sibuk banget. Soalnya bakal ada acara besar gitu di sini dan aku nggak mungkin hilangin kesempatan buat ikutan acara itu dan sayangnya, aku harus merelakan waktu untuk ikut acara itu. Makanya, aku beneran nggak bisa di hubungi sama sekali./Arsen mengangguk, wajah yang selalu datar itu kini tersenyum lebar hingga matanya menyipit. Dan lesung pipinya yang terlihat. "Nggak apa-apa Selena sayang. Seenggaknya kamu sempet ngabarin mas kalau kamu baik-baik aja. Itu lebih cukup di banding apa pun. Jadi, kamu nggak usah panik gitu. Mas memaklumi semuanya."Terdengar helaan napas lega dari seberang sana. /Arsen, aku benar-benar kangen sama kamu. Kamu kangen aku juga kan? Kamu nggak macem-macem kan di sana? gimana sama istri kamu itu? kamu tahu nggak sih, salah satu alesan aku ambil projek ini tuh biar aku nggak mikirin kamu. Lagian siapa yang nggak s
Akibat pertengkarannya dengan Selena. Arsen merasa hari ini begitu suram. Entah sudah berapa orang yang membuat emosinya semakin tersulut dan entah udah berapa orang yang mendapat bentakan darinya. Buat sang asisten yang harus kerja dua kali untuk minta maaf sama orang yang jadi sasaran amarah Arsen. "Benar-benar menyebalkan!"Arsen mendengus. Ia melirik pegawai yang baru masuk untuk memperlihatkan data keuangan bulan kemarin. "Memangnya kamu kira saya bisa membaca data se berantakan ini!" seru Arsen membuat laki-laki itu tersentak dan buru-buru menggeleng. "Sudah berapa tahun sih anda bekerja di sini!" tanya Arsen penuh penekanan. Bukannya menjawab, pria itu malah semakin menunduk membuat Arsen semakin marah. "JAWAB!" bentak Arsen sambil menggebrak meja. "MAAF TUAN," ucapnyaArsen berdecak dan melempar file tersebut. "Saya tidak mau menerima file seberantakan itu. Cepat bereskan dan dua jam kemudian semuanya harus udah rapih! kalau masih belum rapih dan belum sesuai dengan krite
"Dulu sekali ..."Farhan sengaja menghentikan ucapannya untuk melihat respon Arsen dan lihat saja bagaimana pria itu yang mengangguk dan menatapnya saksama. Ah, melihat atasannya yang seperti ini membuat Farhan berpikir kalau ke depannya Arsen akan memiliki hubungan yang baik dengan Alesha lalu ninggalin kekasihnya yang tak pernah memiliki itikad baik itu. "Hmmm," deham Farhan dengan sengaja. Hingga sebuah bolpoin terlempar ke arahnya dan spontan Farhan tertawa puas sambil bertepuk tangan. Ia menggeleng pelan dan menatap Arsen. "Katanya nggak peduli sama istri lu. Tapi kenapa sekarang malah penasaran? aneh nggak sih? kalau nggak peduli. Ya nggak peduli aja. Nggak usah tiba-tiba jadi peduli. Hidup tuh harus konsisten," ledek Farhan dengan tidak tahu dirinya. Arsen mencibir. Wajahnya yang putih itu seketika memerah. Tapi gengsinya setinggi langit. Ia pura-pura acuh dan sibuk lagi dengan pekerjaannya. "Hahaha." Farhan tertawa puas hingga perutnya sakit. "Sorry bro ... gue nggak mak
"Tuan berubah setelan memiliki mbak."Perhatian Alesha teralihkan saat sedang makan dan menatap bibi yang datang dari arah dapur sambil membawa tambahan lauk karena Alesha yang minta untuk nambah. "Berubah kayak gimana?" tanya Alesha penasaran. "Bibi boleh duduk aja, aku jadi mau tau apa yang biasa tuan Arsen lakuin sebelumnya dan ngomongin tentang hal ini. Karena bibi pasti tahu kan apa yang terjadi di rumah ini?"Bibi tersenyum tipis lalu menarik kursi dan duduk di hadapan Alesha yang masih makan. Maklum, nafsu makannya jadi bertambah karena Arsen sendiri yang memintanya untuk makan. "Bi," panggil Alesha. "Boleh aku dengar apa pun tentang tuan Arsen? pasti bibi udah tahu kan apa yang terjadi antara aku sama tuan Arsen? tentang pernikahan paksa kami karena dari kami nggak ada yang mau tentang pernikahan ini?" tanya AleshaBibi itu mengangguk pelan. "Dulu sekali tuan Arsen sudah tinggal sendiri di rumah ini dan sejak dulu tak pernah ada senyuman sama sekali di wajahnya. Tuan Arsen
Dunia memang tak adil. Tentu Alesha mengetahui itu semua. Tidak semua yang kita mau akan terwujud karena Allah lebih tahu apa yang di butuhkan oleh kita. Terlebih manusia hanya di izinkan untuk berperan bukan untuk menentukan semua takdir. Tapi Alesha tidak tahu kalau peran yang ia laksanakan akan seberat ini. "Sebenarnya ... apa yang terjadi sama aku sih? apa yang pernah aku lakuin di masa lalu, sampai aku hidup segininya banget. Selalu salah dan gak pernah ada yang dukung sama sekali."Alesha menatap jalanan yang tampak basah lantaran habis hujan. Ia termenung dengan tangan yang tak bisa diam, sejak tadi terus mengetuk meja. "Aku gak punya keluarga yang bisa aku jadikan tempat curhat. Aku juga gak punya apa yang aku mau untuk tempat aku mengadukan kesedihan. Aku gak ada teman sama sekali." Perasaan sedih semakin menyelimuti Alesha dan ia hanya bisa memalingkan wajahnya saja. "Bahkan ... sekarang yang punya status sama denganku, gak pernah menganggap aku ada."Dia menarik napas dal
"Sedari dulu aku udah belajar banyak tentang agama. Aku memang bukan orang yang paham banget agama atau agamis banget. Tapi aku tahu kalau pernikahan itu sakral dan bukan main-main."Alesha memainkan ujung jarinya di atas pahanya. Ia melilitkan rok yang ia kenakan, tanda sangat gugup. "Dari awal pernikahan ini, aku menganggap semua ini serius kok. Apalagi pernikahan kita udah sah di mata negara dan agama. Jadi, aku gak ada alasan lagi buat nolak kenyataan ini."Tatapan Arsen memicing, "walaupun kamu dipaksa dalam pernikahan ini?" tanya Arsen dengan penuh penekanan membuat jantung Alesha serasa ditusuk oleh benda tajam hingga ia merasakan sangat sesak di ulu hatinya. Alesha mengangguk. "Kamu ini aneh. Setelah semua yang kamu lewatin beberapa hari ini, kamu masih anggap baik pernikahan ini?""Oh ... dalam agama nggak ada yang namanya main-main, tuan." Alesha memperjelas dengan senyuman tipis. "Kalau tuan anggap biasa aja pernikahan ini, ya itu hak tuan. Tapi enggak bagi aku. Makanya
"Ya ... biasa aja dong tuan."Alesha membawakan masakannya ke atas meja lalu menyiapkannya untuk Arsen. "Tapi, memangnya tuan nggak masalah makan masakan aku? maksudnya kan ini masakan biasa. Takutnya tuan nggak suka lagi. Jadi, nggak usah deh. Tuan makan makanan bibi di sini aja. Kalau mau cicip doang mah boleh deh. Tapi kalau makan nggak usah."Arsen menarik piring di depannya, membuat Alesha melayangkan tatapan protes. "Saya kan udah bilang mau makan ini. Jadi nggak ada masalah sama sekali," ucapnya penuh penekanan. "Lagi pula saya mau melihat sejauh mana skill masak kamu. Skill orang yang selama ini mengaku selalu masak di rumah.""Dih ... masakan aku mah yang penting bisa kemakan. Aku nggak pernah ngomong kalau masakan aku tuh enak. Jadi, tuan nggak boleh protes sama sekali."Alesha mau beranjak tapi Arsen kembali memanggil dirinya itu. "Apalagi tuan?" tanya Alesha yang geregetan. Perutnya udah memberontak minta di isi tapi Arsen menunda terus sejak tadi"Mau ke mana?" tanyany
"Farhan?"Alesha menggeleng pelan. "Aku nggak pernah punya teman laki-laki yang namanya Farhan. Kenapa? tuan kenal sesuatu?"Arsen menghela napas lega dan langsung menggeleng begitu saja. "Enggak ... saya salah sangka. Sudah kamu masuk ke kamar saya. Saya mulai bosan melihat wajah kamu terus."Alesha tersenyum sendu dan mengangguk. Ia meninggalkan Arsen dengan perasaan campur aduk. Tapi janjinya pada diri sendiri untuk bahagia membuat Alesha tidak bisa apa-apa selain tersenyum dan berusaha untuk tidak memikirkan omongan jahat untuk dirinya. Ia mengunci pintu kamar dari dalam dan menaruh kue tersebut di atas meja. "Untuk hari ini, misi aku sukses. Aku bisa tersenyum dan nggak ngeluh sama sekali di depan tuan Arsen!" pekiknya pelan. Sementara itu, di depan sana Arsen buru-buru mengeluarkan ponselnya dan mengirimkan pesan untuk Farhan. /Dasar pembohong! membuat saya malu saja./***Hari ini, Alesha mulai membiasakan diri untuk tinggal di tempat baru. Ia juga mulai membiasakan diri un
"Dulu sekali ..."Farhan sengaja menghentikan ucapannya untuk melihat respon Arsen dan lihat saja bagaimana pria itu yang mengangguk dan menatapnya saksama. Ah, melihat atasannya yang seperti ini membuat Farhan berpikir kalau ke depannya Arsen akan memiliki hubungan yang baik dengan Alesha lalu ninggalin kekasihnya yang tak pernah memiliki itikad baik itu. "Hmmm," deham Farhan dengan sengaja. Hingga sebuah bolpoin terlempar ke arahnya dan spontan Farhan tertawa puas sambil bertepuk tangan. Ia menggeleng pelan dan menatap Arsen. "Katanya nggak peduli sama istri lu. Tapi kenapa sekarang malah penasaran? aneh nggak sih? kalau nggak peduli. Ya nggak peduli aja. Nggak usah tiba-tiba jadi peduli. Hidup tuh harus konsisten," ledek Farhan dengan tidak tahu dirinya. Arsen mencibir. Wajahnya yang putih itu seketika memerah. Tapi gengsinya setinggi langit. Ia pura-pura acuh dan sibuk lagi dengan pekerjaannya. "Hahaha." Farhan tertawa puas hingga perutnya sakit. "Sorry bro ... gue nggak mak
Akibat pertengkarannya dengan Selena. Arsen merasa hari ini begitu suram. Entah sudah berapa orang yang membuat emosinya semakin tersulut dan entah udah berapa orang yang mendapat bentakan darinya. Buat sang asisten yang harus kerja dua kali untuk minta maaf sama orang yang jadi sasaran amarah Arsen. "Benar-benar menyebalkan!"Arsen mendengus. Ia melirik pegawai yang baru masuk untuk memperlihatkan data keuangan bulan kemarin. "Memangnya kamu kira saya bisa membaca data se berantakan ini!" seru Arsen membuat laki-laki itu tersentak dan buru-buru menggeleng. "Sudah berapa tahun sih anda bekerja di sini!" tanya Arsen penuh penekanan. Bukannya menjawab, pria itu malah semakin menunduk membuat Arsen semakin marah. "JAWAB!" bentak Arsen sambil menggebrak meja. "MAAF TUAN," ucapnyaArsen berdecak dan melempar file tersebut. "Saya tidak mau menerima file seberantakan itu. Cepat bereskan dan dua jam kemudian semuanya harus udah rapih! kalau masih belum rapih dan belum sesuai dengan krite
/Hallo sayang ... firstly aku benar-benar minta maaf sama kamu, karena belakangan ini sibuk banget dan kita nggak sempet teleponan. Aku beneran sibuk banget. Soalnya bakal ada acara besar gitu di sini dan aku nggak mungkin hilangin kesempatan buat ikutan acara itu dan sayangnya, aku harus merelakan waktu untuk ikut acara itu. Makanya, aku beneran nggak bisa di hubungi sama sekali./Arsen mengangguk, wajah yang selalu datar itu kini tersenyum lebar hingga matanya menyipit. Dan lesung pipinya yang terlihat. "Nggak apa-apa Selena sayang. Seenggaknya kamu sempet ngabarin mas kalau kamu baik-baik aja. Itu lebih cukup di banding apa pun. Jadi, kamu nggak usah panik gitu. Mas memaklumi semuanya."Terdengar helaan napas lega dari seberang sana. /Arsen, aku benar-benar kangen sama kamu. Kamu kangen aku juga kan? Kamu nggak macem-macem kan di sana? gimana sama istri kamu itu? kamu tahu nggak sih, salah satu alesan aku ambil projek ini tuh biar aku nggak mikirin kamu. Lagian siapa yang nggak s
Alesha menutup pintu kamar kosong lalu mengunci dari dalam. Tubuhnya luruh ke lantai di balik pintu dan ia menangis sejadi-jadinya. Ia menutup mulut, tidak mau ada yang mendengar tangisannya. Tangan Alesha terus memukul dadanya yang terasa sangat sesak. Fakta baru yang sangat menyakitkan. "Ya Allah ...," gumamnya di sela-sela tangisan. Alesha merasa bingung harus bereaksi seperti apa lagi. Belum ada satu minggu ia menikah. Alesha udah mendengar banyak fakta yang menyakitkan. Dan ini sangat tidak adil bagi dirinya. Dia menggeleng pelan. "Entah kenapa aku harus ngelewatin ini semua," ucap Alesha pelan. Ia menatap lurus dengan tatapan kosong. Bayangan kisah hidupnya sejak kecil yang tak pernah bahagia membuat pikiran Alesha semakin ling lung. Tangannya terus memukul dadanya, membiarkan tubuhnya merasa sakit. Setidaknya sakit yang diperbuat olehnya nggak sebanding dengan perasaan dia saat ini. Beberapa jam kemudian, Alesha keluar dengan matanya yang super sembab. Bahkan Alesha han