Terlihat jelas bahwa ibu Alesha langsung panik saat mendengar penuturan menantunya. Dia menelan saliva, ingin menyangkal tapi sadar siapa lawannya saat ini. Ibu Alesha hanya tidak mau hidupnya akan berantakan kalau berurusan sama menantunya.
“Tolong ibu, nak.”Alesha menatap bingung.“Pokoknya kamu harus bujuk suami kamu biar nggak laporin ibu. Kamu harus ingat sama semua usaha ibu merawat kamu dari bayi. Butuh uang banyak buat mengurus kamu dan itu nggak kecil! Jadi, ibu harap kamu bakalan tolongin ibu,” pinta ibunya dengan memohon.Alesha memiringkan wajahnya, bingung.“Setelah semua yang ibu lakuin sama aku, ibu malah kayak gini?” tanya Alesha menggeleng pelan. “Maaf, bu. Bahkan aku nggak deket sama tuan Arsen dan hubungan kita nggak sebaik itu buat minta tuan Arsen berhenti laporin ibu. Dan juga kenapa ibu ngelakuin ini?” tanya AleshaIbunya berdecak kesal.“Kamu nih ya—“Sampai sekarang aku nggak mengerti kenapa ibu bisa ngelakuin ini ke anak ibu sendiri. Jadi, apa yang ibu perbuat seharusnya ibu yang urus sendiri. Aku nggak ikut campur.”Alesha beranjak meninggalkan ibunya.“Ibu bakal nurutin semua kemauan kamu kalau turutin ibu yang sekarang.”Langkah Alesha terhenti. Pilihan yang sangat menggiurkan. Perempuan itu menimang-nimang, apa ini memang menguntungkan dirinya atau tidak. Setelah mendapat keputusan, ia berbalik dan kembali duduk di hadapan ibunya.“Benar ibu bakal nurutin semua yang Alesha pinta? Ibu nggak bakalan bohong lagi? Ibu nggak bakalan nipu Alesha?”Ibunya mengangguk, memasang wajah serius.“Ibu beneran malas berurusan sama suami kamu itu. Jadi, ibu minta tolong supaya kamu larang suami kamu itu buat laporin ibu dan kalau kamu memang bisa. Ibu bakalan turutin semua yang kamu pinta.”“Termasuk lepasin hidup aku? Dan jangan nyuruh aku ikutin kemauan ibu?” tanya Alesha dengan penuh harap. Ia sudah terlalu lelah mengikuti semua kemauan ibunya yang jauh dari kata yang dia inginkan.Makanya, ini terdengar sangat menggiurkan baginya.“Termasuk itu.” Yakin ibunyaAlesha tersenyum simpul dan mengangguk pelan.“Aku bakal usaha buat bantu ibu. Asal ibu janji nggak bohong lagi.”***Dari tempatnya duduk, Alesha hanya memandang Arsen yang sedang membuka laptop. Entah mengerjakan apa. Tapi suaminya itu kelihatan sangat serius.Dari jarak yang tidak terlalu jauh, Alesha bisa memperhatikan wajah suaminya yang ternyata sangat tampan. Dengan wajah tegas yang terkesan galak. Alis tebal, hidung mancung, kulit yang termasuk putih untuk laki-laki. Annisa tak menemukan keburukan sama sekali di wajah suaminya.Alesha melirik ke samping, menatap wajahnya yang terpampang nyata di kaca. Ia menelan saliva. Dirinya sama sekali nggak sebanding dengan Arsen yang begitu tampan dan kaya.Saat ini,Alesha jadi penasaran alasan di balik laki-laki itu menikahi dirinya.“Kalau memang nggak mau nikah, kenapa dia malah beli aku? Apa dia cuman butuh status doang?” tanya Alesha di dalam hatinya. “Kalau aku nggak salah inget. Kemarin tuan Arsen mau ngomongin tentang isi kontrak pernikahan ya? Apa aku tanya sekarang aja ya?”Alesha tidak tahu kalau sejao tadi Arsen sudah sadar ada yang melihatnya sampai membuat ia risih sendiri.“Kalau ada yang mau di bicarakan, silahkan bicara saja. Kalau tidak jangan lihat saya seperti itu. Saya terganggu!” jujur Arsen membuat Alesha tersentak.“Itu— ,” ucapan Alesha terhenti, bingung harus memulai dari mana. Ini kesempatan yang bagus untuk mengatakan apa yang ibunya minta.“Jangan aaa eee saja, silahkan bicara apa yang mau kamu katakan. Saya sibuk kalau kamu harus tau!” seru Arsen“Tuan ... tentang ibu,” ujar Alesha berusaha memberanikan diri. “Apa omongan tuan yang tadi benar? Tuan benar mau melaporkan ibu saya? Tuan bercanda saja kan? Itu tuan cuman menakuti ibu saya aja kan? Karena tuan nggak mungkin tega ngelakuin itu pada ibu saya?”Arsen menghentikan kegiatannya lalu memutar kursi. Ia menatap Alesha dan tertawa kecil sambil menggeleng pelan.“Kamu ternyata belum mengenal saya.”“Maksud tuan?” Alesha mengerjap bingung.“Semua yang saya ucapkan pasti akan saya lakukan. Saya tidak menakut-nakuti ibu kamu. Tapi saya akan melakukannya. Kenapa? Kamu merasa saya terlalu tega sama ibu kamu?”Alesha mengangguk pelan.Tangannya terus memilih ujung bajunya. Alesha tak berani lagi menatap mata Arsen secara langsung.Ia takut.“Lalu ... kenapa tiba-tiba kamu nanya kayak gini?” bingung Arsen. “Bukannya kamu ikut senang karena saya bisa menghukum ibu kamu? Bukankah kamu juga korban?”Alesha terdiam.“Mau bagaimana juga itu ibu saya,” gumamnya pelan. “Tuan ... saya boleh minta tolong? Tolong jangan laporin ibu saya ya. Saya nggak mau ibu saya ke napa-napa. Biarlah ibu saya bebas di luaran sana. Ibu janji kok nggak bakal berbuat macam-macam lagi. Ya tuan ... saya mohon. Saya janji akan lakuin apa aja yang tuan pinta kok. Kalau tuan mau ikutin yang saya mau.”Arsen terdiam.“Saya tau ... ibu memang udah jahat banget sama saya dan sama tuan. Saya juga nggak tau apa alesan ibu ngelakuin itu semua. Tapi jujur aja, saya nggak bakalan bisa liat ibu ada di balik jeruji besi. Saya kecewa sama ibu. Tapi saya nggak bisa ngebayangin ibu hidup susah karena aku. Jadi, saya minta maaf ngewakilin ibu. Saya mohon, tuan ...”Arsen menghela napas kesal.“Saya bahkan rela bersujud di kaki tuan, kalau memang itu yang tuan mau.” Alesha mulai duduk di bawah dan akan bersujud kalau mendapat persetujuan dari Arsen.“Berdiri!” titah Arsen“Hah?”“Saya bilang berdiri!” Buru-buru Alesha berdiri dan merapihkan bajunya yang terlipat. Sungguh, ia tak akan berani mengganggu Arsen. Arsen marah sangat menyeramkan dan Alesha sedikit takut.“Lihat mata saya!” titah Arsen lagi membuat Alesha hanya menggeleng penuh ketakutan.Terdengar hembusan napas kasar, disusul suara langkah kaki mendekat. Alesha ingin sekali kabur tapi kakinya sangat lemas. Sampai buat dirinya bingung harus melakukan apa.Bayangan Arsen semakin mendekat dan sebuah tangan mengangkat dagu perempuan itu. Mau tidak mau, Alesha menatap wajah marah Arsen yang terlihat sangat menyeramkan.“Saya tegas tapi saya tidak gila hormat sampai kamu harus bersujud di kaki saya dan di sini yang salah itu ibu kamu. Bukan kamu. Jadi yang perlu minta maaf itu ibu kamu!”“Tapi tuan ...” Alesha mengerjap pelan.Tanpa sadar Arsen terdiam memandang wajah Alesha. Jantungnya berdegup. Ia menghempas kan begitu saja dan berbalik.“Lihat nanti, biar saya pikirkan dulu!” seru Arsen lalu buru-buru meninggalkan AleshaMelihat itu Alesha menatap bingung.“Segitu menjijikannya kah aku? Sampai tuan Arsen langsung pergi gitu aja?” ucapnya sedihSementara itu,Arsen menyentuh jantungnya sambil berdiri di dekat balkon. Ia mendengus.“Kenapa dada saya berdegup pas lihat wajahnya?” Arsen menggeleng, berusaha menyangkal. “Tidak ... saya tidak boleh jatuh cinta sama dia!”“Tuan ... aku mohon, maafkan ibu. Jangan laporin ibu ke polisi. Tuan bisa marah sama aku aja, keluarin semua amarah tuan ke aku. Tapi jangan laporin ibu,” ucap Alesha untuk yang kesekian kalinya dalam hari ini. Cukup muak Arsen mendengar penuturan Alesha sejak tadi. Dengan tegas dia menatap Alesha sambil menggebrak meja. “Berulang kali saya bilang, bukan kamu yang salah! Jadi stop untuk mihak ke ibu kamu! Mihak ke orang yang udah nyakitin kamu. Kamu tahu sendiri keadaan kamu yang sekarang juga karena ibu kamu. Jadi, tolong ... berhenti bersikap baik ke orang yang udah jahat sama ibu kamu.”Alesha tersentak hingga terjatuh ke lantai. Tubuhnya gemetar dan ia kembali menangis. Alesha malu, sungguh. Karena dia sudah memperlihatkan sisi menyedihkannya ke orang asing yang memaksa masuk ke hidupnya. Tapi Alesha tidak bisa apa-apa. Ini reaksi tubuhnya secara refleks, mengingat ini pertama kalinya dia merasa seperti ini. Dibentak, dimarahi oleh seorang laki-laki dan itu menyakiti hati mung
Arsen menghisap sebatang nikotin lalu menghembuskannya. Ia menatap gemerlapnya malam yang begitu indah. Ia menatap ke arah langit malam dan berdecak. Menyesali keputusan dirinya untuk menikah. “Saya kira menikah tidak akan seribet ini. Ternyata semua ini tidak mudah. Bangsttt.”Arsen terus diam di balkon. Angin malam tak membuatnya memilih untuk masuk. Kepalanya begitu penat. Banyak hal yang dia pikirkan. Arsen menghembuskan napas kesal. “Lagian ... kenapa Alesha masih bisa baik sama ibunya sih!" kesalnya. "Saya masih tidak terima dia yang nuduh saya macam-macam. Padahal semua ini karena ulah ibunya."Arsen mengerang marah. Tangannya ia kepalkan, berusaha menahan emosi menggebu. "Seharusnya dia bisa marah lah sama ibunya. Bukan malah meminta saya untuk memaafkannya."Tapi ... Teringat lagi bayangan wajah melas Alesha yang memohon pada dirinya. Bagaimana suara perempuan itu yang mendayu meminta belas kasihnya. Hingga kaki Alesha yang menumpu, berharap dirinya bisa menurunkan ego d
Dengan langkah ragu, Alesha kembali masuk ke dalam kamar. Ia membuka pintu dengan perlahan dan itu bertepatan dengan Arsen yang keluar dari kamar mandi. "Ah!" pekik Alesha langsung berbalik. Arsen melirik malas dan mendengus. "Saya sudah pakai celana kali," seru Arsen membuat Alesha jadi kikuk sendiri. Ia kembali berbalik dan melangkah masuk ke dalam. Tak berani menatap Arsen yang auranga selalu saja berhasil memprovokasi dirinya. Ia berjalan mendekat dan mendongak. "Tuan .. katanya aku harus siapin semua kebutuhan tuan. Jadi, karena aku nggak tahu apa aja yang harus di siapin. Tuan bisa ajarin aku, biar aku bisa nyiapin semua kebutuhan tuan buat sekarang?"Arsen meninggalkan Alesh dan beranjak ke almari yang memiliki ruangan tersendiri. Pintunya di biarkan terbuka membuat Alesha mengikuti jejak Arsen. "Kenapa ikut ke sini?""Kan tadi aku udah bilang mau belajar buat ngurus tuan. Ya aku kira tuan nyuruh aku buat ke sini untuk liatin semua kebutuhan tuan," jawab Alesha. "Aku gak s
Alesha menutup pintu kamar kosong lalu mengunci dari dalam. Tubuhnya luruh ke lantai di balik pintu dan ia menangis sejadi-jadinya. Ia menutup mulut, tidak mau ada yang mendengar tangisannya. Tangan Alesha terus memukul dadanya yang terasa sangat sesak. Fakta baru yang sangat menyakitkan. "Ya Allah ...," gumamnya di sela-sela tangisan. Alesha merasa bingung harus bereaksi seperti apa lagi. Belum ada satu minggu ia menikah. Alesha udah mendengar banyak fakta yang menyakitkan. Dan ini sangat tidak adil bagi dirinya. Dia menggeleng pelan. "Entah kenapa aku harus ngelewatin ini semua," ucap Alesha pelan. Ia menatap lurus dengan tatapan kosong. Bayangan kisah hidupnya sejak kecil yang tak pernah bahagia membuat pikiran Alesha semakin ling lung. Tangannya terus memukul dadanya, membiarkan tubuhnya merasa sakit. Setidaknya sakit yang diperbuat olehnya nggak sebanding dengan perasaan dia saat ini. Beberapa jam kemudian, Alesha keluar dengan matanya yang super sembab. Bahkan Alesha han
/Hallo sayang ... firstly aku benar-benar minta maaf sama kamu, karena belakangan ini sibuk banget dan kita nggak sempet teleponan. Aku beneran sibuk banget. Soalnya bakal ada acara besar gitu di sini dan aku nggak mungkin hilangin kesempatan buat ikutan acara itu dan sayangnya, aku harus merelakan waktu untuk ikut acara itu. Makanya, aku beneran nggak bisa di hubungi sama sekali./Arsen mengangguk, wajah yang selalu datar itu kini tersenyum lebar hingga matanya menyipit. Dan lesung pipinya yang terlihat. "Nggak apa-apa Selena sayang. Seenggaknya kamu sempet ngabarin mas kalau kamu baik-baik aja. Itu lebih cukup di banding apa pun. Jadi, kamu nggak usah panik gitu. Mas memaklumi semuanya."Terdengar helaan napas lega dari seberang sana. /Arsen, aku benar-benar kangen sama kamu. Kamu kangen aku juga kan? Kamu nggak macem-macem kan di sana? gimana sama istri kamu itu? kamu tahu nggak sih, salah satu alesan aku ambil projek ini tuh biar aku nggak mikirin kamu. Lagian siapa yang nggak s
Akibat pertengkarannya dengan Selena. Arsen merasa hari ini begitu suram. Entah sudah berapa orang yang membuat emosinya semakin tersulut dan entah udah berapa orang yang mendapat bentakan darinya. Buat sang asisten yang harus kerja dua kali untuk minta maaf sama orang yang jadi sasaran amarah Arsen. "Benar-benar menyebalkan!"Arsen mendengus. Ia melirik pegawai yang baru masuk untuk memperlihatkan data keuangan bulan kemarin. "Memangnya kamu kira saya bisa membaca data se berantakan ini!" seru Arsen membuat laki-laki itu tersentak dan buru-buru menggeleng. "Sudah berapa tahun sih anda bekerja di sini!" tanya Arsen penuh penekanan. Bukannya menjawab, pria itu malah semakin menunduk membuat Arsen semakin marah. "JAWAB!" bentak Arsen sambil menggebrak meja. "MAAF TUAN," ucapnyaArsen berdecak dan melempar file tersebut. "Saya tidak mau menerima file seberantakan itu. Cepat bereskan dan dua jam kemudian semuanya harus udah rapih! kalau masih belum rapih dan belum sesuai dengan krite
"Dulu sekali ..."Farhan sengaja menghentikan ucapannya untuk melihat respon Arsen dan lihat saja bagaimana pria itu yang mengangguk dan menatapnya saksama. Ah, melihat atasannya yang seperti ini membuat Farhan berpikir kalau ke depannya Arsen akan memiliki hubungan yang baik dengan Alesha lalu ninggalin kekasihnya yang tak pernah memiliki itikad baik itu. "Hmmm," deham Farhan dengan sengaja. Hingga sebuah bolpoin terlempar ke arahnya dan spontan Farhan tertawa puas sambil bertepuk tangan. Ia menggeleng pelan dan menatap Arsen. "Katanya nggak peduli sama istri lu. Tapi kenapa sekarang malah penasaran? aneh nggak sih? kalau nggak peduli. Ya nggak peduli aja. Nggak usah tiba-tiba jadi peduli. Hidup tuh harus konsisten," ledek Farhan dengan tidak tahu dirinya. Arsen mencibir. Wajahnya yang putih itu seketika memerah. Tapi gengsinya setinggi langit. Ia pura-pura acuh dan sibuk lagi dengan pekerjaannya. "Hahaha." Farhan tertawa puas hingga perutnya sakit. "Sorry bro ... gue nggak mak
"Farhan?"Alesha menggeleng pelan. "Aku nggak pernah punya teman laki-laki yang namanya Farhan. Kenapa? tuan kenal sesuatu?"Arsen menghela napas lega dan langsung menggeleng begitu saja. "Enggak ... saya salah sangka. Sudah kamu masuk ke kamar saya. Saya mulai bosan melihat wajah kamu terus."Alesha tersenyum sendu dan mengangguk. Ia meninggalkan Arsen dengan perasaan campur aduk. Tapi janjinya pada diri sendiri untuk bahagia membuat Alesha tidak bisa apa-apa selain tersenyum dan berusaha untuk tidak memikirkan omongan jahat untuk dirinya. Ia mengunci pintu kamar dari dalam dan menaruh kue tersebut di atas meja. "Untuk hari ini, misi aku sukses. Aku bisa tersenyum dan nggak ngeluh sama sekali di depan tuan Arsen!" pekiknya pelan. Sementara itu, di depan sana Arsen buru-buru mengeluarkan ponselnya dan mengirimkan pesan untuk Farhan. /Dasar pembohong! membuat saya malu saja./***Hari ini, Alesha mulai membiasakan diri untuk tinggal di tempat baru. Ia juga mulai membiasakan diri un
"Tuan berubah setelan memiliki mbak."Perhatian Alesha teralihkan saat sedang makan dan menatap bibi yang datang dari arah dapur sambil membawa tambahan lauk karena Alesha yang minta untuk nambah. "Berubah kayak gimana?" tanya Alesha penasaran. "Bibi boleh duduk aja, aku jadi mau tau apa yang biasa tuan Arsen lakuin sebelumnya dan ngomongin tentang hal ini. Karena bibi pasti tahu kan apa yang terjadi di rumah ini?"Bibi tersenyum tipis lalu menarik kursi dan duduk di hadapan Alesha yang masih makan. Maklum, nafsu makannya jadi bertambah karena Arsen sendiri yang memintanya untuk makan. "Bi," panggil Alesha. "Boleh aku dengar apa pun tentang tuan Arsen? pasti bibi udah tahu kan apa yang terjadi antara aku sama tuan Arsen? tentang pernikahan paksa kami karena dari kami nggak ada yang mau tentang pernikahan ini?" tanya AleshaBibi itu mengangguk pelan. "Dulu sekali tuan Arsen sudah tinggal sendiri di rumah ini dan sejak dulu tak pernah ada senyuman sama sekali di wajahnya. Tuan Arsen
Dunia memang tak adil. Tentu Alesha mengetahui itu semua. Tidak semua yang kita mau akan terwujud karena Allah lebih tahu apa yang di butuhkan oleh kita. Terlebih manusia hanya di izinkan untuk berperan bukan untuk menentukan semua takdir. Tapi Alesha tidak tahu kalau peran yang ia laksanakan akan seberat ini. "Sebenarnya ... apa yang terjadi sama aku sih? apa yang pernah aku lakuin di masa lalu, sampai aku hidup segininya banget. Selalu salah dan gak pernah ada yang dukung sama sekali."Alesha menatap jalanan yang tampak basah lantaran habis hujan. Ia termenung dengan tangan yang tak bisa diam, sejak tadi terus mengetuk meja. "Aku gak punya keluarga yang bisa aku jadikan tempat curhat. Aku juga gak punya apa yang aku mau untuk tempat aku mengadukan kesedihan. Aku gak ada teman sama sekali." Perasaan sedih semakin menyelimuti Alesha dan ia hanya bisa memalingkan wajahnya saja. "Bahkan ... sekarang yang punya status sama denganku, gak pernah menganggap aku ada."Dia menarik napas dal
"Sedari dulu aku udah belajar banyak tentang agama. Aku memang bukan orang yang paham banget agama atau agamis banget. Tapi aku tahu kalau pernikahan itu sakral dan bukan main-main."Alesha memainkan ujung jarinya di atas pahanya. Ia melilitkan rok yang ia kenakan, tanda sangat gugup. "Dari awal pernikahan ini, aku menganggap semua ini serius kok. Apalagi pernikahan kita udah sah di mata negara dan agama. Jadi, aku gak ada alasan lagi buat nolak kenyataan ini."Tatapan Arsen memicing, "walaupun kamu dipaksa dalam pernikahan ini?" tanya Arsen dengan penuh penekanan membuat jantung Alesha serasa ditusuk oleh benda tajam hingga ia merasakan sangat sesak di ulu hatinya. Alesha mengangguk. "Kamu ini aneh. Setelah semua yang kamu lewatin beberapa hari ini, kamu masih anggap baik pernikahan ini?""Oh ... dalam agama nggak ada yang namanya main-main, tuan." Alesha memperjelas dengan senyuman tipis. "Kalau tuan anggap biasa aja pernikahan ini, ya itu hak tuan. Tapi enggak bagi aku. Makanya
"Ya ... biasa aja dong tuan."Alesha membawakan masakannya ke atas meja lalu menyiapkannya untuk Arsen. "Tapi, memangnya tuan nggak masalah makan masakan aku? maksudnya kan ini masakan biasa. Takutnya tuan nggak suka lagi. Jadi, nggak usah deh. Tuan makan makanan bibi di sini aja. Kalau mau cicip doang mah boleh deh. Tapi kalau makan nggak usah."Arsen menarik piring di depannya, membuat Alesha melayangkan tatapan protes. "Saya kan udah bilang mau makan ini. Jadi nggak ada masalah sama sekali," ucapnya penuh penekanan. "Lagi pula saya mau melihat sejauh mana skill masak kamu. Skill orang yang selama ini mengaku selalu masak di rumah.""Dih ... masakan aku mah yang penting bisa kemakan. Aku nggak pernah ngomong kalau masakan aku tuh enak. Jadi, tuan nggak boleh protes sama sekali."Alesha mau beranjak tapi Arsen kembali memanggil dirinya itu. "Apalagi tuan?" tanya Alesha yang geregetan. Perutnya udah memberontak minta di isi tapi Arsen menunda terus sejak tadi"Mau ke mana?" tanyany
"Farhan?"Alesha menggeleng pelan. "Aku nggak pernah punya teman laki-laki yang namanya Farhan. Kenapa? tuan kenal sesuatu?"Arsen menghela napas lega dan langsung menggeleng begitu saja. "Enggak ... saya salah sangka. Sudah kamu masuk ke kamar saya. Saya mulai bosan melihat wajah kamu terus."Alesha tersenyum sendu dan mengangguk. Ia meninggalkan Arsen dengan perasaan campur aduk. Tapi janjinya pada diri sendiri untuk bahagia membuat Alesha tidak bisa apa-apa selain tersenyum dan berusaha untuk tidak memikirkan omongan jahat untuk dirinya. Ia mengunci pintu kamar dari dalam dan menaruh kue tersebut di atas meja. "Untuk hari ini, misi aku sukses. Aku bisa tersenyum dan nggak ngeluh sama sekali di depan tuan Arsen!" pekiknya pelan. Sementara itu, di depan sana Arsen buru-buru mengeluarkan ponselnya dan mengirimkan pesan untuk Farhan. /Dasar pembohong! membuat saya malu saja./***Hari ini, Alesha mulai membiasakan diri untuk tinggal di tempat baru. Ia juga mulai membiasakan diri un
"Dulu sekali ..."Farhan sengaja menghentikan ucapannya untuk melihat respon Arsen dan lihat saja bagaimana pria itu yang mengangguk dan menatapnya saksama. Ah, melihat atasannya yang seperti ini membuat Farhan berpikir kalau ke depannya Arsen akan memiliki hubungan yang baik dengan Alesha lalu ninggalin kekasihnya yang tak pernah memiliki itikad baik itu. "Hmmm," deham Farhan dengan sengaja. Hingga sebuah bolpoin terlempar ke arahnya dan spontan Farhan tertawa puas sambil bertepuk tangan. Ia menggeleng pelan dan menatap Arsen. "Katanya nggak peduli sama istri lu. Tapi kenapa sekarang malah penasaran? aneh nggak sih? kalau nggak peduli. Ya nggak peduli aja. Nggak usah tiba-tiba jadi peduli. Hidup tuh harus konsisten," ledek Farhan dengan tidak tahu dirinya. Arsen mencibir. Wajahnya yang putih itu seketika memerah. Tapi gengsinya setinggi langit. Ia pura-pura acuh dan sibuk lagi dengan pekerjaannya. "Hahaha." Farhan tertawa puas hingga perutnya sakit. "Sorry bro ... gue nggak mak
Akibat pertengkarannya dengan Selena. Arsen merasa hari ini begitu suram. Entah sudah berapa orang yang membuat emosinya semakin tersulut dan entah udah berapa orang yang mendapat bentakan darinya. Buat sang asisten yang harus kerja dua kali untuk minta maaf sama orang yang jadi sasaran amarah Arsen. "Benar-benar menyebalkan!"Arsen mendengus. Ia melirik pegawai yang baru masuk untuk memperlihatkan data keuangan bulan kemarin. "Memangnya kamu kira saya bisa membaca data se berantakan ini!" seru Arsen membuat laki-laki itu tersentak dan buru-buru menggeleng. "Sudah berapa tahun sih anda bekerja di sini!" tanya Arsen penuh penekanan. Bukannya menjawab, pria itu malah semakin menunduk membuat Arsen semakin marah. "JAWAB!" bentak Arsen sambil menggebrak meja. "MAAF TUAN," ucapnyaArsen berdecak dan melempar file tersebut. "Saya tidak mau menerima file seberantakan itu. Cepat bereskan dan dua jam kemudian semuanya harus udah rapih! kalau masih belum rapih dan belum sesuai dengan krite
/Hallo sayang ... firstly aku benar-benar minta maaf sama kamu, karena belakangan ini sibuk banget dan kita nggak sempet teleponan. Aku beneran sibuk banget. Soalnya bakal ada acara besar gitu di sini dan aku nggak mungkin hilangin kesempatan buat ikutan acara itu dan sayangnya, aku harus merelakan waktu untuk ikut acara itu. Makanya, aku beneran nggak bisa di hubungi sama sekali./Arsen mengangguk, wajah yang selalu datar itu kini tersenyum lebar hingga matanya menyipit. Dan lesung pipinya yang terlihat. "Nggak apa-apa Selena sayang. Seenggaknya kamu sempet ngabarin mas kalau kamu baik-baik aja. Itu lebih cukup di banding apa pun. Jadi, kamu nggak usah panik gitu. Mas memaklumi semuanya."Terdengar helaan napas lega dari seberang sana. /Arsen, aku benar-benar kangen sama kamu. Kamu kangen aku juga kan? Kamu nggak macem-macem kan di sana? gimana sama istri kamu itu? kamu tahu nggak sih, salah satu alesan aku ambil projek ini tuh biar aku nggak mikirin kamu. Lagian siapa yang nggak s
Alesha menutup pintu kamar kosong lalu mengunci dari dalam. Tubuhnya luruh ke lantai di balik pintu dan ia menangis sejadi-jadinya. Ia menutup mulut, tidak mau ada yang mendengar tangisannya. Tangan Alesha terus memukul dadanya yang terasa sangat sesak. Fakta baru yang sangat menyakitkan. "Ya Allah ...," gumamnya di sela-sela tangisan. Alesha merasa bingung harus bereaksi seperti apa lagi. Belum ada satu minggu ia menikah. Alesha udah mendengar banyak fakta yang menyakitkan. Dan ini sangat tidak adil bagi dirinya. Dia menggeleng pelan. "Entah kenapa aku harus ngelewatin ini semua," ucap Alesha pelan. Ia menatap lurus dengan tatapan kosong. Bayangan kisah hidupnya sejak kecil yang tak pernah bahagia membuat pikiran Alesha semakin ling lung. Tangannya terus memukul dadanya, membiarkan tubuhnya merasa sakit. Setidaknya sakit yang diperbuat olehnya nggak sebanding dengan perasaan dia saat ini. Beberapa jam kemudian, Alesha keluar dengan matanya yang super sembab. Bahkan Alesha han