“Najwa!” suara Sarah membuat Najwa tersadar dari lamunan kala gadis berambut coklat itu memanggil namanya di ambang pintu masuk café tempat mereka membuat janji. Najwa membalas lambaian tangannya dan tersenyum manis ke arahnya yang berjalan ke arah Najwa duduk. “Udah lama?” tanyanya seraya meletakkan tas di atas meja dekat jendela. Sarah pelupa, apapun bisa tertinggal jika barang-barangnya tak ada di dalam jangkauan matanya. Jadi di manapun ia berada, barang-barang penting yang selalu ia bawa kemana-mana seperti tas, dompet dan ponsel harus ada dalam jangkauan matanya.
Sarah adalah sahabat baik Najwa. Sejak duduk di kelas sebelas SMA, mereka berteman baik sampai sekarang. Meski dulu sempat berpisah karena mereka tak kuliah di tempat yang sama, tapi mereka tetap menjalin hubungan baik. Sering kali keluar bersama. Bersama Sarah pula, Najwa berani membuka toko kue atas bakatnya, Sarah yang terus menyemangatinya, membantunya berusaha di bidang marketing dengan mempromosikan kue Sarah ke teman-teman kantornya. Sarah adalah staff akuntansi dari perusahaan investasi yang besar.
“Baru aja nyampek,” jawab Najwa.
“Tumben banget nieh kamu ngajakin keluar, emang mas Hamish masih di luar kota?” tanya Sarah pada Najwa.
“Mau pesan apa, Rah?” alih-alih menjawab pertanyaan sahabatnya, Najwa malah melontarkan pertanyaan padanya.
“Hmm, aku udah makan, gimana kalau orange juice saja?” tanyanya dan Najwa mengangguk. Najwa mengangkat tangannya cukup tinggi untuk memanggil pelayan agar datang menghampirinya. Pelayan datang dan Najwa memesan satu orange juice untuk Sarah dan beberapa camilan untuk mereka mengobrol.
“Kamu gak sibuk, kan?” tanya Najwa dan Sarah menggeleng.
“Bos lagi ke luar negeri, makanya aku bisa on time pulang kerja,” jawab Sarah, “mau ngomong apa?” tanya Sarah. Najwa bingung harus bicara dari mana dulu, tentu saja ia mendatangi Sarah karena ia tak tahu harus kemana lagi pergi untuk mencari solusi atas masalah yang dihadapinya. Sarah adalah satu-satunya teman yang ia percaya setelah kematian bibinya. Paman Najwa masih hidup di kampung, tapi mana bisa ia bercerita pada pamannya soal Hamish? Bisa-bisa nyawa Hamish melayang juga. Pamannya terkenal keras dan tegas, dan yang paling utama, pamannya menyayangi Najwa. Orang lain tak boleh melukai Najwa.
“Aku butuh saran, Rah,” kata Najwa.
“Mau buka cabang toko kue di mana lagi?” tanya Sarah dan Najwa menggeleng.
“Bukan toko kue. Kamu tahu kan omsetku terus turun, gak mungkin aku buka lagi,” kata Najwa.
“Omsetmu yang terus turun kan yang ada di sebelah rumahmu, kalau yang di Surabaya kan enggak,” kata Sarah. Benar kata Sarah, omset toko kue Najwa terus turun yang ada di sebelah rumahnya tapi cabang yang di Surabaya tidak, itu kenapa kekurangan bahan pokok, kerugian serta gaji pegawai Najwa yang di toko dekat rumahnya bisa ditutupi dengan hasil dari omset yang ada di Surabaya.
“Iya, tapi kamu kan tahu, agar toko yang di sini bisa terus jalan, aku tambal sulam dari toko yang di Surabaya,” kata Najwa pada Sarah. Sarah mengangguk.
“Jadi, masalahmu apa? jika bukan toko, terus apa? momongan?” tanya Sarah, “itu hak mutlak sang pencipta, aku gak bisa kasih saran untukmu berpisah dari mas Hamish, dia akan paham kalau kamu tak punya hak soal itu,” kata Sarah dan Najwa kembali menggeleng.
“Lalu apa, Najwa?” Sarah terlihat mulai gemas.
“Mas Hamish,-”
“Mas Hamish rugi dari proyeknya?” tebaknya tak sabar dan Najwa kembali menggeleng. Ketika ia akan melayangkan protes karena Najwa terkesan mengulur-ngulur waktu, pelayan datang membawa pesanan mereka dan meletakkannya di atas meja. Sarah menyeruput orange juice miliknya yang terdengar nikmat.
“Mas Hamish selingkuh, Ra,”
“Byurr!” Sarah menyemburkan minuman di mulutnya ke wajah Najwa. Saking kagetnya mendengar apa yang disampaikan oleh Najwa, Sarah sampai refleks melakukan hal itu. Semua orang yang di café menatap ke arah mereka dengan heran dan kaget, tapi tidak dengan para pelayan di sana. Bagi mereka hal itu adalah pemandangan umum. Bahkan ada yang lebih parah dari hanya menyemburkan minuman saja.
“Kamu bilang apa, Wa?” tanya Sarah. Najwa menunduk, ia memilin ujung bajunya dari tadi. Ia bingung.
“Aku bilang kalau mas Hamish ketahuan selingkuh, Ra,” kata Najwa pada Sarah.
“Gak mungkin,” kata Sarah seraya menggeleng-gelengkan kepalanya. Bayangan Hamish yang soleh dan baik itu membuat Sarah menolak apa yang baru saja dikatakan oleh Najwa. Air mata Najwa berjatuhan, membuat Sarah tertegun.
“Kenyataannya memang seperti itu, Ra,” jawab Najwa.
“Apa kamu sudah selidiki?” tanya Sarah.
“Aku gak menyelidikinya,” kata Najwa.
“Jadi, kamu hanya dengar gossip murahan?” tanya Sarah dan Najwa menggeleng.
“Aku tahu sendiri,” kata Najwa.
“Gimana ceritanya?” tanya Sarah tak sabar.
“Mas Hamish kemarin kecelakaan, Ra,”
“Astaghfirulloh, terus kondisinya sekarang gimana?” tanya Sarah cemas, Najwa menggeleng lemah.
“Masih di ruang ICU,” kata Najwa, “dia mengalami kecelakaan di tol bersama istri mudanya yang sedang hamil,” kata Najwa.
“Apa?” pekik Sarah keras dan tak percaya. Najwa terlihat berusaha bersabar, meski mengatakannya kepada Sarah membutuhkan kemantapan hati. Membeberkan aib suami sendiri kepada orang lain bukanlah hobinya, tapi ia butuh saran dari orang lain, permintaan ibu mertuanya yang tak masuk akal itu membuat otak Najwa penuh.
“Gila!” akhirnya Sarah mengumpat juga. “Terus gimana sekarang? Berarti madumu kecelakaan juga? Anaknya?” tanya Sarah bingung.
“Dokter memintaku menandatangani surat operasi section Caesar dan aku menandatanganinya,”
“Kenapa gak dibiarkan mati saja?!” tanya Sarah gemas, kemarahan di matanya terlihat berapi-api.
“Bagaimana aku bisa melakukan itu, Sarah?” tanya Najwa, “dia sedang mengandung,” katanya lagi. Najwa tak tahan lagi, air mata yang sedari tadi ia bendung, keluar juga. Sakit hatinya tak akan pernah sembuh, ia tahu hal itu. Yang tidak ia ketahui adalah bagaimana caranya ia melewati ini semua?
“Dasar Hamish gila!” Sarah benar-benar kesal, bahkan ia tak menyebut nama lelaki itu dengan ‘mas’ lagi. Napasnya naik turun dan ia membiarkan Najwa menangis sampai perempuan itu merasa puas. Berulang kali Sarah menghembuskan napasnya dengan kesal. Bagi Sarah, Najwa sudah menjadi sahabat sekaligus saudara, saat dulu ia tak memiliki keberanian diri karena dibully oleh teman-teman SMAnya, Najwa menolongnya dan mengembali kepercayaan dirinya serta keberaniannya. Dan Sarah tahu betul, pengkhianatan Hamish pada Najwa pasti berdampak besar pada mental Najwa.
“Kamu pasti akan menceraikan Hamish, kan?” tanya Sarah setelah Najwa sudah lebih tenang dan menghapus air matanya.
“Itu masalahku, Rsh,” kata Najwa. Matanya kembali berkaca-kaca.
“Jangan bilang kamu akan rela dimadu?” tanya Sarah. Najwa diam, “are you lost your mind?” tanya Sarah tak percaya yang seolah-olah paham apa yang menjadi keputusan Najwa.
“Aku, ibu …”
“Ibu mertuamu?”
“Kamu tahu kan kalau ibu sakit-sakitan,” kata Najwa pada Sarah.
“Tapi ini bukan kesalahanmu, Najwa! Kamu harus berpisah dari Hamish, sekali pria berselingkuh, dia akan berselingkuh lagi dan lagi,” kata Sarah.
“Perempuan yang menjadi selingkuhan mas Hamish itu adalah mantan kekasihnya,”
“Apa?” pekik Sarah lagi. “Aisyah? Aisyah yang selalu kamu ceritakan itu?” tanya Sarah tak percaya. Najwa mengangguk. Sarah mengusap wajahnya dengan kasar.
“Aku,-”
“Kamu sudah tamat, Najwa! Alias, Hamish tak pernah mencintaimu!” kata Sarah. Najwa diam.
“Untuk itu aku datang padamu, meminta solusi,” kata Najwa putus asa.
“Bercerailah!”
“Bagaimana aku bisa melakukannya, Sarah? Ibu sakit sekarang! Kemarin dia memintaku untuk berbesar hati membagi ruang di rumahku untuk Aisyah,-”
“Apa? gila! Kamu gak akan bercerai dari Hamish dan akan membagi ruang di rumahmu untuk madumu? Kamu sadar gak sih kalau kamu sendiri yang membuat lubang neraka di rumahmu?”
“Aku harus bagaimana? Ibu memintaku bertahan dengan mas Hamish, ia yakin mas Hamish bisa adil padaku dan Aisyah,”
“Dan kamu percaya?” Najwa menghela napas berat. Sejak tadi, saking geramnya, Sarah memotong kalimatnya terus.
“Sudah kukatakan, Ibu sakit, Sarah. Ibu sakit sekarang dan ia di rumah, menolak makan dan minum,” kata Najwa. Sarah membuang wajahnya dengan kesal. Masalah hidup Najwa membuatnya langsung menghabiskan minumannya. Sarah mengangkat tangannya lagi, pelayan datang dan ia memesan tiga gelas orange juice kembali.
“Kamu tahu jawabanku, kan, Najwa?” tanya Sarah ketika pelayan itu pergi, “aku hanya akan menyarankanmu satu hal. Pergi dan tinggalkan Hamish, masa bodoh dengan semua hal yang membuatmu enggan. Kamu butuh waras terlebih dahulu,” kata Sarah.
“Ibu, bagaimana?” tanya Najwa.
“Coba bicara dengannya baik-baik, jika gagal, kamu ambil keputusan sendiri. Aku angkat tangan,” kata Sarah.
“Tapi kamu masih mau jadi temanku, kan?” seputus asanya itu Najwa pada hidupnya sampai-sampai ia memohon hal seperti itu pada Sarah.
“Kau bodoh! Tentu saja, kita masih teman, tapi maaf, Hamish sudah kuanggap mati,” kata Sarah. Najwa merasa lega, setidaknya ia masih punya sahabat untuknya berbagi keluh kesah. Suami yang ia harapkan telah hilang kini.
Pelayan datang dan membawakan tiga orange juice. Sarah langsung meminum tiga gelas itu sekaligus, membuat pelayan dan para pengunjung lainnya hanya bisa menatap heran dan tak percaya. Setelah menghabiskan orange juice itu, Sarah bangkit dari tempat dudunya.
“Ayo!” ajaknya pada Najwa.
“Ke mana?” tanya Najwa.
“Bawa kartu kredit Hamish, kan?” tanya Sarah dan Najwa mengangguk.
“Mulai habiskan sekarang! Dia harus diberi pelajaran!” kata Sarah.
“Tapi,”
“Kamu butuh waras! Kita belanja sampai puas, bila perlu borong semua isi dari toko perhiasan,” kata Sarah yang langsung menarik tangan Najwa untuk terus mengikutinya.
Setelah puas belanja sampai limit kartu kredit milik mas Hamish Najwa gunakan habis, ia dan Sarah memutuskan pulang ke rumah. Sampai di rumah dengan belanjaan yang banyak, ibu mertua menatapnya dengan wajah terkejut dan bingung dengan barang belanjaan milik Najwa. “Bi Surti! Tolong bantu bawakan belanjaanku,” teriaknya memanggil asisten rumah tangga. “Kamu belanja apa, nak? Banyak sekali,” tanya ibu mertuanya yang bingung kala Najwa meletakkan beberapa paper bag di ruang tamu. Bi Surti terlihat mengangguk ke arah Najwa sebelum ia menuju keluar dan kembali beberapa saat dengan delapan paper bag di kedua tangannya. Setelah meletakkannya di dekat Najwa, ia kembali keluar lalu mengambil delapan paper bag lagi dan meletakkannya di samping paper bag yang ia letakkan sebelumnya. Bi Surti mengulangi kegiatannya sampai tiga kali dan selama itu pula, ibu mertua Najwa hanya diam melongo. “Aku beli beberapa baju, tas dan sandal buat ibu,” kata Najwa menyerahkan tiga paper bag untuk ibu mertuany
“Apa yang dikatakan oleh Najwa, Hamish?” tanya ibu Hamish pada Hamish. Hamish memandang wajah ibunya sejenak sebelum menggeleng ke arahnya. “Nggak ada,” jawab Hamish. “Kita jadi pulang hari ini, kan? Najwa ke sini dan bayar tagihan rumah sakit, kan?” tanya ibunya kembali. Hamish diam, ia masih bergeming. Sebenarnya ia memiliki uang, hanya saja ia tak mau menggunakannya lebih dulu jika bukan hal yang mendesak. Ia benar-benar heran dengan Najwa, kenapa istrinya itu menghabiskan limit kartu kreditnya? “Iya, bu, sebentar Hamish ke bagian administrasi dulu lagi,” kata Hamish seraya beranjak dari kasurnya. “Loh? Katanya Najwa ke sini dan bayar tagihannya?” tanya ibunya heran. “Najwa sibuk beresin kamar, bu. Dia cuma transfer,” jawab Hamish berbohong pada ibunya. Ida mengangguk mengerti dan mendampingi sang putra berjalan ke bagian administrasi untuk melakukan pelunasan tagihan rumah sakit. “Kamu gak jenguk anakmu dulu?” tanya sang ibu setelah Hamish selesai melakukan pelunasan pada tag
Mobil Hamish yang mengalami kecelakaan masih berada di polsek untuk diamankan. Mobil itu mengalami kerusakan yang cukup berat dan Najwa sama sekali tak berniat untuk memperbaikinya. Bukan tidak mau memperbaikinya, tapi hatinya masih sakit kala ia teringat bahwa mobil itu tak hanya suaminya saja yang naiki tapi juga madunya, Aisyah Rahmah.Terpaksa, Hamish memanggil taksi online untuknya dan Aisyah pulang. Untung saja barang bawaan ibunya tak banyak, hanya ada beberapa baju dan itu bisa ia bawa dengan sebelah tangannya yang baik-baik saja, sedangkan ibunya membantu membawa barang-barang Aisyah dan bayinya. Aisyah sendiri menggendong bayinya.“Kenapa gak ada yang jemput kita, mas?” tanya Aisyah berbisik pada Hamish. Hamish menoleh sejenak dan tak berniat sama sekali menjawab pertanyaan Aisyah itu, masalahnya adalah ia akan pulang ke rumah tapi entah mengapa perasaannya tak enak. Hamish sadar kalau rumah itu bukanlah rumahn
“Ibu,” sapa Najwa pada ibu mertuanya sembari mencium punggung tangan perempuan paruh baya tersebut saat menyambutnya datang. Ida tersenyum kepada Najwa, “masuk, bu,” ajak Najwa. Ia menoleh ke arah suaminya dan istri muda suaminya yang tertunduk tak berani menatap wajah Najwa.“Mas, ayo masuk,” ajak Najwa pada Hamish yang masih diam. Biasanya, Najwa juga akan menyambutnya dengan mencium tangannya, tapi kini sang istri tak melakukan hal itu. Membuat Hamish merasa ada yang hilang di sudut hatinya. Senyum Najwa juga terasa dingin.“Mas, aku langsung ke kamar aja,” bisik Aisyah yang terlihat sungkan. Najwa mendengar itu dan menoleh ke arah Aisyah yang langsung kembali menundukkan pandangannya, tak berani menatap wajah Najwa. Aisyah sendiri bingung harus menegur Najwa dari mana dulu, jadi ia memilih diam dan membiarkan suaminya bertindak, sedangkan Najwa seolah tak menganggapnya ada. Melihat sikap Najwa yang
Rasa bersalah kepada Najwa terus menggelayuti hati Hamish. Bahkan, sebenarnya ia enggan keluar dari kamar sang istri. Tujuh tahun ia tidur bersama Najwa, kini Najwa bahkan memalingkan wajah darinya. Hati Hamish terasa diremas, berulang kali ia menghela napas karena merasa bingung dan gelisah. Jujur saja, sejak mendapatkan donor darah dari Najwa, hati terdalamnya terenyuh dan semua kebaikan Najwa melambai dibenaknyaDengan langkah kaki goyah, Hamish turun ke bawah. Impiannya untuk memeluk sang istri, sirna dan entah mengapa itu menyurutkan semangatnya.“Kenapa, nak?” tanya Ida pada sang putra. Hamish mengangkat wajahnya, raut kebingungan tercetak jelas di wajah sang putra, membuat ibu merasa iba, apalagi kondisi Hamish masih belum baik betul.“Najwa memintaku keluar dari kamar, bu,” keluh Hamish yang membuat sang ibu kaget.“Kamu sudah jelaskan situasi kamu kepada Najwa dan meminta maaf padanya?” tanya sang
“Kamu sedang apa, mas?” tanya Aisyah selidik saat ia baru saja bangun karena suara keributan di dapur. Resiko memiliki kamar yang dekat dengan dapur kotor, belum juga matahari terbit dengan sempurna, tapi suara-suara berisik di dapur membuat anaknya susah terlelap dan akhirnya menangis lalu ia terpaksa bangun. Diperhatikannya baik-baik Hamish yang sedang sibuk berkutat di dapur dengan lihai, “tangan kamu bukannya masih cedera, ya, mas? Apa yang kamu lakukan di dapur sepagi ini sih?” tanya Aisyah heran. Tak pernah sama sekali ia melihat Hamish begitu sibuk di dapur, setahunya dia lelaki yang anti ke dapur, baginya dapur adalah tempat wanita yang menyajikan makanan buat suami, dan bukan malah sebaliknya.“Aku sedang buat nasi goreng, kamu mau, kan?” tanya Hamish. Hati Aisyah terenyuh mendengarnya. Siapa yang sangka bahwa Hamish benar-benar memerhatikannya sampai melewati batas yang ditetapkannya sendiri demi membuatkan sarapan untuknya.“Mau, mas,” kata Aisyah malu-malu. Hamish hanya te
Aisyah masih menangis di kamarnya setelah kepergian Hamish ke kamar Najwa seraya memberikan sarapan nasi goreng buat perempuan itu. Aisyah merasa Hamish berubah sejak pulang, diingatnya baik-baik sikap Hamish sejak kecelakaan itu. Hamish yang hanya menatap datar ke arahnya dan sang bayi yang ada di pangkuannya saat ia sadar. Hamish yang banyak melamun dan tak pernah menggendong bayinya.“Aisyah, apakah,-“ suara Ida, mertuanya yang tiba-tiba masuk ke dalam kamarnya membuat Aisyah buru-buru menghapus air matanya. Ida mengerutkan kening melihat sikap Aisyah yang menyembunyikan air matanya itu. Ida mendekat dan duduk di samping Aisyah di sisi ranjang, “ada apa, Aisyah?” tanya Ida. Aisyah yang mudah menangis dan tak pandai menyimpan luka hati itu, langsung kembali menangis di hadapan Ida yang semakin membuat Ida menatapnya heran.“Mas Hamish, bu,” jawab Ida dengan air mata yang berderai.“Hamish, kenapa?” tanya Ida heran.“Mas Hamish ke kamar mbak Najwa sembari membawakan nasi goreng buata
Najwa berniat ke dapur untuk mengambil beberapa Loyang yang baru ia beli bersama Sarah kemarin dan akan ia bawa ke toko kue hari ini. Sepanjang jalan menuju dapur, hatinya yang gamang dan galau itu kini berangsur lega. Tak bisa dipungkiri bahwa ia masih mencintai Hamish dan menempatkan lelaki itu satu-satunya di hatinya hingga kini. Najwa sangat mencintai Hamish, sosok ayah yang selama ini dirindukannya ia temui dalam diri Hamish. Lembut dan pengertian, meski terkadang ucapan Hamish ada yang menusuk hatinya, ia bisa memakluminya.Pagi ini tak bisa dipungkiri kalau Najwa merasa tersanjung dengan perhatian Hamish yang tiba-tiba itu padanya. Najwa tahu bahwa Hamish tak suka berada di dapur, menyiapkan makanan seperti tadi benar-benar bukan seperti Hamish, itu kenapa Najwa merasa diratukan. Najwa terus melangkah, sesekali senyum terbit di wajahnya yang ayu itu. Gamis panjang dan kerudungnya yang berwarna pink itu seolah menegaskan bahwa hari ini hatinya sangat cerah seperti mentari pagi y
Najwa sedang memilih-milih bahan yang bagus untuk kue yang akan ia buat nanti sore. Ia ingin memakan cake yang cantik dan enak. Membayangkannya saja membuat Najwa menelan ludah.“Najwa,” panggil seseorang yang langsung membuat Najwa menoleh dan kaget begitupun dengan pria yang ada di hadapannya ketika ia baru menyadari perut Najwa sedikit membuncit. Tubuh Najwa yang kurus selama kehamilan membuat kandungan Najwa yang sudah dua puluh empat minggu itu terlihat lebih jelas, padahal ini adalah kehamilan pertamanya.Hamish yang mengenali Najwa dari belakang dan ingin menyapanya saat ia memasuki supermarket tak pernah menyangka sebelumnya kalau Najwa akan hamil secepat ini di pernikahan keduanya.“Mas Hamish,” panggil Najwa kikuk seraya menoleh ke kanan dan kiri untuk menemukan suaminya yang entah kemana.“Kamu hamil, Najwa?” tanya Hamish dengan suara berat, rasanya seperti ada yang mengganjal di kerongkongannya saat ia mengucapkan hal itu pada Najwa.“Alhamdulillah, iya, mas. Gak nyangka b
Aisyah menangis di dalam tahanan karena tak menyangka ada orang yang tega memfitnahnya dengan menaruh obat terlarang dalam tasnya.Berulang kali ia berteriak tak menggunakan obat terlarang tersebut, tapi pihak kepolisian mengabaikannya."Pak,tolong pak, saya punya anak balita di rumah, bebaskan saya, saya mohon ..." rengek Aisyah pada petugas kepolisian yang lewat di depan tahanan sementaranya."Ibu macam apa yang dandanannya seperti wanita malam dan keluyuran tengah malam?" sahut polisi tersebut kepada Aisyah."Setidaknya biarkan saya telepon suami saya dulu," pinta Aisyah."Bukankah ponselmu sedang di cas? Tunggu dulu sekalian tunggu giliran kamu diperiksa," kata petugas itu geram."Percaya sama saya pak, saya bukan pemakai atau pengedar obat terlarang," kata Aisyah pada petugas tersebut."Semua orang juga bilang begitu kalau sudah ketahuan. Kamu akan menjalani rangkaian test, kalau terbukti bukan pemakai mungkin memang beberapa pil itu bukan milikmu," kata pak polisi itu pada Aisya
Aisyah dan Hans akhirnya terpaksa keluar rumah keesokan harinya bersama dengan barang-barang perabotan yang baru saja dibeli oleh Hans. Saat memasuki kost rumah tangga yang sangat sederhana, Aisyah menggerutu kesal dan marah-marah tak jelas.“Kenapa kita tinggal di sini, sih, mas?” tanya Aisyah kesal sekali, “panas sekali,”“Nyalakan saja kipasnya,” kata Hans.“Kenapa kita gak cari apartemen sih, mas?” tanya Aisyah kembali,“Uangku gak cukup dan aku belum dapat pekerjaan baru,”“Seharusnya kamu itu gak dipecat dari perusahaan, mas. Masalah kita kan masalah pribadi, seharusnya mbak Mirna tahu kalau masalah pribadi gak bisa dicampur dengan masalah perusahaan,” kata Aisyah mengomel. Hans lelah, Aisyah sama sekali tak mau membantunya dalam hal beres-beres tempat kost yang baru, jadi ia sungguh lelah karena harus mengerjakannya sendirian.Setelah menata semua perabot di dalam kostnya, Hans mencoba mencari pekerjaan lewat rekan bisnis dan teman-teman kerjanya. Tapi sayang sekali, ia tak men
“Bayinya sehat, sebentar saya dengarkan detak jantungnya, ya,” ujar dokter kandungan yang bernama Amalia itu kala ia memeriksa kandungan Najwa secara USG. Dada Najwa berdebar-debar sejak tadi diperiksa saking terharunya ia mengetahui kehamilannya lewat test pack dan Jacob langsung membawanya ke dokter kandungan.“Nah, dengar, kan? usianya delapan minggu,” kata dokter Amalia lagi saat mendengarkan detak jantung sang calon bayi di rahim Najwa. Najwa tak kuasa menahannya hingga air mata haru dan bahagia meleleh begitu saja di pipinya.Jacob bergerak membantu Najwa yang bangun setelah selesai diperiksa, sedangkan dokter memberikan resep vitamin yang harus dikonsumsi oleh Najwa dan mengingatkannya untuk kontrol ulang tiga minggu lagi.“Terima kasih banyak, dok,” kata Najwa dan Jacob bersamaan. Mereka keluar ruang periksa dan berjalan dengan beriringan. Jacob merangkul Najwa dengan perasaan bahagia luar biasa.“Kita ke rumah mama, ya,” ajak Jacob dan Najwa mengangguk. Najwa terus memandangi
Aisyah dan Hans tak mengijinkan perempuan gemuk itu masuk ke dalam rumah karena Hans merasa tak pernah menjual rumahnya pada siapapun. "Kamu yakin gak pernah jual rumah ini, mas?" tanya Aisyah cemas."Nggak,""Kalau gitu kamu simpan surat-suratnya?" tanya Aisyah lagi. Hans menoleh ke Aisyah dan ia baru ingat kalau surat rumah ini dibawa salah seorang saudaranya. Gegas Hans menuju kamarnya dan mengambil ponsel yang ada di sebelah kasur di atas nakas. Hans mencoba menghubungi saudaranya yang memegang sertifikat rumah tapi ia tak bisa menghubunginya.Kecemasan melanda Hans, ia panik karena perempuan gemuk yang ia pikir sudah pergi dari rumahnya, kini marah-marah dan berteriak di luar sana lalu akan mengancam melaporkan Hans ke polisi."Mas, aku takut," kata Aisyah yang muncul di ambang pintu kamar. "Aku bukain pintu saja mas, biar dia gak teriak-teriak!" kata Aisyah pada Hans yang diam saja. Pikiran Hans penuh, ia takut kalau saudaranya memang menjual rumah peninggalan orang tuanya.Ais
“Mirna! Tunggu! Maafkan aku!” seru Hans seraya mengejar Mirna yang akhirnya bisa ia temui di pusat perbelanjaan setelah mengikutinya keluar rumah. Surat sidang perceraian pertama telah ia terima, baju-bajunya juga sudah dikeluarkan semuanya oleh Mirna saat ia berusaha pulang ke rumah malam itu dan ternyata mendapatkan pengusiran yang menyedihkan. Hans sangat sulit menemui Mirna, karena Mirna terus menghindarinya dan tak mau bicara dengannya. Selain Mirna tak mau bertemu dengannya, Hans juga dilarang menemui anak-anak mereka sampai sidang putusan perceraian itu keluar dan hakim memutuskan kepada siapa hak asuh anak mereka akan jatuh.“Apa lagi sih, mas?” tanya Mirna kesal seraya melepaskan cekalan Hans dari tangannya, tatapan Mirna penuh amarah dan kebencian yang luar biasa pada Hans.“Aku tahu aku salah, maafkan aku. Aku ingin jika kita berpisah, kita bisa pisah secara damai,” kata Hans pada Mirna. Mirna tak menyangka kalau Hans juga akan menyerah dengan hubungan mereka dan menerima p
Jacob memeluk Najwa dari arah belakang ketika Najwa sedang asyik menikmati panorama keindahan alam dari balkon kamar hotelnya. Najwa menoleh dan tersenyum manis ke arah Jacob yang langsung mengecup bibirnya singkat. Lalu keduanya kini kembali menikmati pemandangan luar yang indah sekali. “Kita sarapan?” tanya Jacob dan Najwa mengangguk. Jacob menggandeng tangan Najwa keluar kamar dan langsung mengajaknya turun untuk makan sarapan di lobi hotel. Kemesraan keduanya terlihat jelas dari wajah mereka masing-masing. Sembari menikmati roti bakar serta buah-buahan segar, mereka berbicara tentang rencana bulan madu mereka di kota itu. Sesekali mereka mengambil foto berdua lalu mempostingnya di media sosial mereka masing-masing.Malam hari setelah lelah berkeliling kota dan menikmati destinasi wisata dimana-mana, mereka akan kembali saling menjamah berkali-kali sampai kelelahan dan tertidur hingga keesokan paginya.***Setelah melihat story Najwa yang bahagia di luar negeri saat menikmati bul
Hamish pulang bersama Mirna ke rumah Mirna lebih dulu baru ia pulang ke rumahnya dengan naik motor.“Kamu gak mau masuk buat obatin luka di tanganmu?” tawar Mirna dan Hamish menggeleng ke arahnya. Sepanjang perjalanan tadi ia terus melamun, membayangkan adegan dimana ia harus melihat istrinya sendiri bercumbu dengan pria lain, itu sangat memalukan buatnya.Mirna menatap kepergian Hamish dengan hati yang juga hancur, pasalnya setelah hari ini, ia tahu bahwa ia akan menjadi single mom untuk anak-anaknya. Mirna masuk rumah dan sebelum masuk ia berpesan pada satpam rumah.“Jangan biarkan bapak masuk rumah malam ini, apapun yang terjadi. Kunci semua pintu rumah,” kata Mirna yang membuat satpam rumahnya kaget dan bingung. “Kamu dengar perintah saya, kan?” tanya Mirna dan satpam rumahnya mengangguk ke arahnya meski bingung. Selepas kepergian sang tuan rumah, barulah satpam rumah bertanya kepada pak sopri, apa yang sudah terjadi sehelumnya.“Bapak selingkuh, ibu dapatin bapak lagi di kamar b
"Mas ...." Aisyah merasa risih karena sikap Hans yang menginginkannya, sedangkan dirinya merasa tak tenang dan nyaman sama sekali hari ini. Aisyah kepikiran Hamish, bertanya-tanya dimana ia sekarang dan apa yang terjadi padanya saat Hamish tahu bahwa Hans sudah tak ada di hotel tempat mereka janjian bertemu. Hans tak peduli dengan penolakan halus dari Aisyah, hasratnya sudah tinggi dan ia tak bisa membendungnya lagi. Anehnya, kepada Mirna yang cantik dan masih memiliki tubuh indah, Hans tak seperti ini, apakah ini namanya menikmati hubungan haram, membuat manusia terlena hingga mengulanginya lagi dan lagi?"Mas, tunggu, bagaimana ..." Aisyah hendak menolak Hans kala Hans berusaha melucuti pakaiannya tapi Hans tak peduli, ia terus melancarkan aksinya dan mulai melepaskan pakaian Aisyah satu persatu sembari terus mencumbunya dan membuat Aisyah akhirnya tak berkutik dengan permintaan Hans tersebut.Mata Hans makin berkilat penuh nafsu kala ia melihat tubuh polos Aisyah di hadapannya. Ia