Hari itu, Najwa memutuskan tidak kembali ke rumah sakit dan menyerahkan mas Hamish sepenuhnya kepada ibu. Tidak enak badan, itu adalah alasannya pada ibu dan bi Surti. Akhirnya, asisten rumah tangga di rumah itu yang bergantian menjaga Hamish dan Aisyah. Ibu dan Bi Surti kembali ke rumah pukul tujuh malam. Saat beliau kembali, Najwa sedang membuat kue, menyibukkan diri dengan hobi yang beberapa tahun lalu menjadi satu-satunya sumber penghasilannya hingga ia memiliki rumah yang ia tinggali bersama suami dan ibu mertuanya. serta toku kue di sebelah rumah. Sayangnya, tiga tahun belakangan, omsetnya terus menurun dan ia terpaksa memecat beberapa pegawainya di sana. Yang tadinya ada lima belas orang yang membantu Najwa di dapur, dan empat orang yang berjaga di toko, kini hanya tersisa empat orang di dapur dan dua orang di toko. Najwa tak sanggup membayar banyak orang saat ini. Sekarang toko kue dan roti ada di mana-mana, beberapa pelanggannya masih ada yang setia beli kue dan memesan padanya, tapi sebagian yang lain memilih membeli kue di sekitar daerah mereka tinggal.
“Kamu masih sibuk, nduk?” tanya ibu mertua pada Najwa yang sedang menguleni adonan kue. Najwa menggeleng ke arah beliau dan ibu mertua mengajaknya duduk di meja makan.
“Baik, bu, setelah adonan ini kalis dan aku tutup nanti, ya,” jawab Najwa dan perempuan paruh baya itu mengangguk. Najwa tahu apa yang ingin ibu mertuanya bicarakan dengannya. Yang tak ia tahu adalah bagaimana menjelaskan perkara yang ada di hatinya kepada sang ibu nanti.
Setelah meletakkan adonan donat itu pada wadah yang cukup besar dan menutupnya dengan kain serbet bersih yang sedikit basah, Najwa duduk di hadapan ibunya dengan dada berdebar-debar. Najwa meletakkan kedua tangannya di atas meja, dan itu membuat ibunya mengambil tangannya dari sana. Jika sudah begini, Najwa yakin ibunya pasti memiliki permintaan dan permohonan. Najwa tiba-tiba menyesal kenapa meletakkan kedua tangannya di atas meja, kenapa tak menyembunyikannya tadi di atas pangkuannya saja?
“Ibu memiliki permohonan,” katanya dengan suara serak yang berat. Dada Najwa makin berdebar-debar. Jika saja suara ibu tak serak dan matanya tak terlihat bingung, mungkin Najwa akan lebih tegar dari pada sekarang ini. Belum apa-apa saja, rasanya ia sudah ingin menangis lagi. Kenapa rasanya sesakit ini? pikirnya
“Iya, bu? Ada apa?” tanya Najwa pada ibu mertuanya.
“Ibu memohon kamu menerima Aisyah dan anaknya di rumah ini,” kata ibu. Mendengar itu tentu saja Najwa kaget bukan main. Najwa pikir sang ibu akan memintanya menerima madunya, tapi sang ibu bahkan belum bertanya apa keputusannya soal perselingkuhan anaknya malah memintanya untuk menerima Aisyah tinggal bersama dengannya juga di rumah ini, Bagaimana mungkin Najwa bisa melakukan itu?
“Ibu …”
“Ibu tahu, kamu syok dan sedih dengan kenyataan pahit ini, nduk,” kata ibu. Akhirnya, air mata yang sudah sedari tadi Najwa bendung, tumpah juga. Ternyata, ia tak setegar itu.
“Ibu, Najwa tahu kalau Najwa bukan istri yang baik buat mas Hamish, tapi pengkhianatannya?” Najwa sungguh berharap ibu memahami apa yang tengah ia rasakan. Ia tarik kedua tangannya dari genggaman tangan ibu mertuanya dan menghapus kedua air matanya segera.
“Ibu tahu bagaimana sakitnya, nduk,” kata ibu. Jelas, ibu tahu bagaimana sakit hatinya Najwa, karena dulu ayah mertua juga melakukan hal yang sama padanya. Hanya saja, Najwa bertanya-tanya kenapa Hamish juga melakukan hal itu padanya? Tidakkah ia melihat kepedihan di mata ibunya bertahun-tahun karena pengkhianatan ayahnya? Kenapa ia sampai tega melakukan hal yang sama seperti yang ayahnya lakukan kepada ibunya? Pikir Najwa.
“Jika ibu tahu, kenapa ibu masih bisa meminta hal itu padaku?” tanya Najwa dengan air mata yang berderai. Tak pernah ia sangka, ibunya akan meminta hal itu padanya. Bahkan ibunya memintanya sembari menangis. Najwa bingung, sebenarnya ibunya menangis karena apa? karena merasa sungkan padanya atas permintaan konyolnya atau menangis karena terpaksa demi kebaikan cucu dan menantunya yang lain?
Ya Robbi, ampuni aku karena telah membuat ibuku menangis.
“Ibu juga tidak ingin melakukan hal ini, tapi tadi di rumah sakit, Aisyah hendak bunuh diri dengan anaknya,” kata Ibu dan Najwa kaget mendengarnya.
“Apa?” tanya Najwa dan ibu mertuanya mengangguk.
“Iya, nduk. Kamu bisa tanya bi Surti. Ketika Aisyah tadi sadar, ia kesal kenapa ia tak mati saja dengan anaknya saat kecelakaan. Hamish dan ia terlibat adu mulut di dalam mobil. Hamish yang enggan mengungkapkan hubungan mereka di depanmu, dan Aisyah yang butuh kepastian. Kecelakaan itu terjadi karena mereka bertengkar hebat di dalam mobil. Aisyah berharap mati saja, tapi kamu menyelamatkannya. Operasi itu menyelamatkannya dan menyelamatkan bayinya sedangkan Hamish masih belum sadar. Aisyah yang putus asa merasa mati lebih baik dari pada harus hidup berdua dengan bayinya tapi tak tahu harus berbuat apa,” cerita ibu. Sungguh, Najwa semakin syok dengan apa yang ia dengarkan.
“Lalu?”
“Lalu ibu bicara dengannya. Ia hanya minta maaf dan minta maaf karena tak mati. Ia ambil anaknya dan ia mencoba melemparnya,” Najwa kaget dengan apa yang ibu mertuanya katakan. Wajah ibu yang masih syok itu terlihat jelas, bahkan Najwa saja tak bisa berkata apa-apa. Mungkin, jika ia berada di posisi ibu mertuanya, ia juga akan mengalami hal yang sama, syok karena reaksi dari Aisyah.
“Kenapa mau melempar bayinya?”
“Depresi postpartum, itu yang dikatakan oleh dokter,” kata ibu, “dia butuh support dari keluarga dan pihak keluarga harus menemaninya selalu agar kejadian seperti tadi tak terulang. Masalahnya adalah, Aisyah sebatang kara, aku belum tahu bagaimana akhirnya ia dan Hamish bisa kembali bersama, tapi yang jelas, Aisyah tak punya siapapun di sini,” kata ibu.
Aku dihadapkan keputusan yang sangat sulit lagi.
Jika tadi saat di rumah sakit Najwa hanya enggan menandatangani proses operasi section caesar yang pada akhirnya ia menandatanganinya juga, tapi kali ini ia dihadapkan pada hal yang makin membuatku tak habis pikir. Kenapa ia harus tinggal satu rumah dengan madunya, di rumahnya pula?!
“Najwa tak bisa memberi keputusan, bu. Lagi pula mas Hamish belum sadar, kan?” kata Najwa
“Apa kamu keberatan Aisyah tinggal bersama kita, nduk?” tanya ibu mertuanya.
Kenapa ibu masih mempertanyakannya?
“Tidak ada perempuan yang menikah lalu bercita-cita dimadu, bu,” jawab Najwa padanya. Ibu mertuanya terdengar mendesah lalu menunduk sejenak. Najwa tahu bahwa sang mertua pasti sedang gelisah, “kita tunggu mas Hamish sadar dulu, bu. Najwa tak bisa memberi keputusan,” kata Najwa pada mertuanya. Perempuan paruh baya itu hanya mengangguk lemah lalu berdiri dan pergi dari sana.
Najwa merasa bersalah karena membuat mertuanya bersedih. Najwa tahu niat ibu mertuanya baik, ia hanya ingin menolong Aisyah dan anaknya. Tapi, bagaimana denganku? Apakah aku harus angkat kaki dari rumahku sendiri demi agar ia bisa tinggal di sini? Apa yang harus aku lakukan? Menerimanya sebagai maduku, tak mungkin aku lakukan. Pikir Najwa
Ibu kembali datang dan menegurnya yang tengah melamun, “ibu dengar, sebelum ibu dan Hamish tinggal di sini, kamu menerima kost untuk mahasiswa di rumahmu agar bisa menempati kamar-kamar kosong di rumah ini,” kata ibu dan Najwa mengangguk, firasatnya makin tak enak jika sudah seperti ini.
“Kenapa, bu?” tanya Najwa.
“Sisa penjualan rumah dulu selain melunasi hutang ayah Hamish, sebagian ibu belikan perhiasan ini, nduk. Kamu simpan, tolong biarkan Aisyah dan anaknya tinggal di sini. Ibu tak tega, ibu takut terjadi sesuatu pada bayi tersebut.” Ibu memohon pada Najwa seraya menyerahkan koleksi perhiasannya tersebut. Permintaan ibu itu benar-benar membuat Najwa tak bisa berkata apa-apa lagi.
Mana mungkin aku tega menerima perhiasannya tersebut?
Bagaimana caraku menolaknya dan menjelaskan perasaanku padanya?
“Najwa!” suara Sarah membuat Najwa tersadar dari lamunan kala gadis berambut coklat itu memanggil namanya di ambang pintu masuk café tempat mereka membuat janji. Najwa membalas lambaian tangannya dan tersenyum manis ke arahnya yang berjalan ke arah Najwa duduk. “Udah lama?” tanyanya seraya meletakkan tas di atas meja dekat jendela. Sarah pelupa, apapun bisa tertinggal jika barang-barangnya tak ada di dalam jangkauan matanya. Jadi di manapun ia berada, barang-barang penting yang selalu ia bawa kemana-mana seperti tas, dompet dan ponsel harus ada dalam jangkauan matanya.Sarah adalah sahabat baik Najwa. Sejak duduk di kelas sebelas SMA, mereka berteman baik sampai sekarang. Meski dulu sempat berpisah karena mereka tak kuliah di tempat yang sama, tapi mereka tetap menjalin hubungan baik. Sering kali keluar bersama. Bersama Sarah pula, Najwa berani membuka toko kue atas bakatnya, Sarah yang terus menyemangatinya, membantunya berusaha di bidang marketing dengan mempromosikan kue Sarah ke t
Setelah puas belanja sampai limit kartu kredit milik mas Hamish Najwa gunakan habis, ia dan Sarah memutuskan pulang ke rumah. Sampai di rumah dengan belanjaan yang banyak, ibu mertua menatapnya dengan wajah terkejut dan bingung dengan barang belanjaan milik Najwa. “Bi Surti! Tolong bantu bawakan belanjaanku,” teriaknya memanggil asisten rumah tangga. “Kamu belanja apa, nak? Banyak sekali,” tanya ibu mertuanya yang bingung kala Najwa meletakkan beberapa paper bag di ruang tamu. Bi Surti terlihat mengangguk ke arah Najwa sebelum ia menuju keluar dan kembali beberapa saat dengan delapan paper bag di kedua tangannya. Setelah meletakkannya di dekat Najwa, ia kembali keluar lalu mengambil delapan paper bag lagi dan meletakkannya di samping paper bag yang ia letakkan sebelumnya. Bi Surti mengulangi kegiatannya sampai tiga kali dan selama itu pula, ibu mertua Najwa hanya diam melongo. “Aku beli beberapa baju, tas dan sandal buat ibu,” kata Najwa menyerahkan tiga paper bag untuk ibu mertuany
“Apa yang dikatakan oleh Najwa, Hamish?” tanya ibu Hamish pada Hamish. Hamish memandang wajah ibunya sejenak sebelum menggeleng ke arahnya. “Nggak ada,” jawab Hamish. “Kita jadi pulang hari ini, kan? Najwa ke sini dan bayar tagihan rumah sakit, kan?” tanya ibunya kembali. Hamish diam, ia masih bergeming. Sebenarnya ia memiliki uang, hanya saja ia tak mau menggunakannya lebih dulu jika bukan hal yang mendesak. Ia benar-benar heran dengan Najwa, kenapa istrinya itu menghabiskan limit kartu kreditnya? “Iya, bu, sebentar Hamish ke bagian administrasi dulu lagi,” kata Hamish seraya beranjak dari kasurnya. “Loh? Katanya Najwa ke sini dan bayar tagihannya?” tanya ibunya heran. “Najwa sibuk beresin kamar, bu. Dia cuma transfer,” jawab Hamish berbohong pada ibunya. Ida mengangguk mengerti dan mendampingi sang putra berjalan ke bagian administrasi untuk melakukan pelunasan tagihan rumah sakit. “Kamu gak jenguk anakmu dulu?” tanya sang ibu setelah Hamish selesai melakukan pelunasan pada tag
Mobil Hamish yang mengalami kecelakaan masih berada di polsek untuk diamankan. Mobil itu mengalami kerusakan yang cukup berat dan Najwa sama sekali tak berniat untuk memperbaikinya. Bukan tidak mau memperbaikinya, tapi hatinya masih sakit kala ia teringat bahwa mobil itu tak hanya suaminya saja yang naiki tapi juga madunya, Aisyah Rahmah.Terpaksa, Hamish memanggil taksi online untuknya dan Aisyah pulang. Untung saja barang bawaan ibunya tak banyak, hanya ada beberapa baju dan itu bisa ia bawa dengan sebelah tangannya yang baik-baik saja, sedangkan ibunya membantu membawa barang-barang Aisyah dan bayinya. Aisyah sendiri menggendong bayinya.“Kenapa gak ada yang jemput kita, mas?” tanya Aisyah berbisik pada Hamish. Hamish menoleh sejenak dan tak berniat sama sekali menjawab pertanyaan Aisyah itu, masalahnya adalah ia akan pulang ke rumah tapi entah mengapa perasaannya tak enak. Hamish sadar kalau rumah itu bukanlah rumahn
“Ibu,” sapa Najwa pada ibu mertuanya sembari mencium punggung tangan perempuan paruh baya tersebut saat menyambutnya datang. Ida tersenyum kepada Najwa, “masuk, bu,” ajak Najwa. Ia menoleh ke arah suaminya dan istri muda suaminya yang tertunduk tak berani menatap wajah Najwa.“Mas, ayo masuk,” ajak Najwa pada Hamish yang masih diam. Biasanya, Najwa juga akan menyambutnya dengan mencium tangannya, tapi kini sang istri tak melakukan hal itu. Membuat Hamish merasa ada yang hilang di sudut hatinya. Senyum Najwa juga terasa dingin.“Mas, aku langsung ke kamar aja,” bisik Aisyah yang terlihat sungkan. Najwa mendengar itu dan menoleh ke arah Aisyah yang langsung kembali menundukkan pandangannya, tak berani menatap wajah Najwa. Aisyah sendiri bingung harus menegur Najwa dari mana dulu, jadi ia memilih diam dan membiarkan suaminya bertindak, sedangkan Najwa seolah tak menganggapnya ada. Melihat sikap Najwa yang
Rasa bersalah kepada Najwa terus menggelayuti hati Hamish. Bahkan, sebenarnya ia enggan keluar dari kamar sang istri. Tujuh tahun ia tidur bersama Najwa, kini Najwa bahkan memalingkan wajah darinya. Hati Hamish terasa diremas, berulang kali ia menghela napas karena merasa bingung dan gelisah. Jujur saja, sejak mendapatkan donor darah dari Najwa, hati terdalamnya terenyuh dan semua kebaikan Najwa melambai dibenaknyaDengan langkah kaki goyah, Hamish turun ke bawah. Impiannya untuk memeluk sang istri, sirna dan entah mengapa itu menyurutkan semangatnya.“Kenapa, nak?” tanya Ida pada sang putra. Hamish mengangkat wajahnya, raut kebingungan tercetak jelas di wajah sang putra, membuat ibu merasa iba, apalagi kondisi Hamish masih belum baik betul.“Najwa memintaku keluar dari kamar, bu,” keluh Hamish yang membuat sang ibu kaget.“Kamu sudah jelaskan situasi kamu kepada Najwa dan meminta maaf padanya?” tanya sang
“Kamu sedang apa, mas?” tanya Aisyah selidik saat ia baru saja bangun karena suara keributan di dapur. Resiko memiliki kamar yang dekat dengan dapur kotor, belum juga matahari terbit dengan sempurna, tapi suara-suara berisik di dapur membuat anaknya susah terlelap dan akhirnya menangis lalu ia terpaksa bangun. Diperhatikannya baik-baik Hamish yang sedang sibuk berkutat di dapur dengan lihai, “tangan kamu bukannya masih cedera, ya, mas? Apa yang kamu lakukan di dapur sepagi ini sih?” tanya Aisyah heran. Tak pernah sama sekali ia melihat Hamish begitu sibuk di dapur, setahunya dia lelaki yang anti ke dapur, baginya dapur adalah tempat wanita yang menyajikan makanan buat suami, dan bukan malah sebaliknya.“Aku sedang buat nasi goreng, kamu mau, kan?” tanya Hamish. Hati Aisyah terenyuh mendengarnya. Siapa yang sangka bahwa Hamish benar-benar memerhatikannya sampai melewati batas yang ditetapkannya sendiri demi membuatkan sarapan untuknya.“Mau, mas,” kata Aisyah malu-malu. Hamish hanya te
Aisyah masih menangis di kamarnya setelah kepergian Hamish ke kamar Najwa seraya memberikan sarapan nasi goreng buat perempuan itu. Aisyah merasa Hamish berubah sejak pulang, diingatnya baik-baik sikap Hamish sejak kecelakaan itu. Hamish yang hanya menatap datar ke arahnya dan sang bayi yang ada di pangkuannya saat ia sadar. Hamish yang banyak melamun dan tak pernah menggendong bayinya.“Aisyah, apakah,-“ suara Ida, mertuanya yang tiba-tiba masuk ke dalam kamarnya membuat Aisyah buru-buru menghapus air matanya. Ida mengerutkan kening melihat sikap Aisyah yang menyembunyikan air matanya itu. Ida mendekat dan duduk di samping Aisyah di sisi ranjang, “ada apa, Aisyah?” tanya Ida. Aisyah yang mudah menangis dan tak pandai menyimpan luka hati itu, langsung kembali menangis di hadapan Ida yang semakin membuat Ida menatapnya heran.“Mas Hamish, bu,” jawab Ida dengan air mata yang berderai.“Hamish, kenapa?” tanya Ida heran.“Mas Hamish ke kamar mbak Najwa sembari membawakan nasi goreng buata
Najwa sedang memilih-milih bahan yang bagus untuk kue yang akan ia buat nanti sore. Ia ingin memakan cake yang cantik dan enak. Membayangkannya saja membuat Najwa menelan ludah.“Najwa,” panggil seseorang yang langsung membuat Najwa menoleh dan kaget begitupun dengan pria yang ada di hadapannya ketika ia baru menyadari perut Najwa sedikit membuncit. Tubuh Najwa yang kurus selama kehamilan membuat kandungan Najwa yang sudah dua puluh empat minggu itu terlihat lebih jelas, padahal ini adalah kehamilan pertamanya.Hamish yang mengenali Najwa dari belakang dan ingin menyapanya saat ia memasuki supermarket tak pernah menyangka sebelumnya kalau Najwa akan hamil secepat ini di pernikahan keduanya.“Mas Hamish,” panggil Najwa kikuk seraya menoleh ke kanan dan kiri untuk menemukan suaminya yang entah kemana.“Kamu hamil, Najwa?” tanya Hamish dengan suara berat, rasanya seperti ada yang mengganjal di kerongkongannya saat ia mengucapkan hal itu pada Najwa.“Alhamdulillah, iya, mas. Gak nyangka b
Aisyah menangis di dalam tahanan karena tak menyangka ada orang yang tega memfitnahnya dengan menaruh obat terlarang dalam tasnya.Berulang kali ia berteriak tak menggunakan obat terlarang tersebut, tapi pihak kepolisian mengabaikannya."Pak,tolong pak, saya punya anak balita di rumah, bebaskan saya, saya mohon ..." rengek Aisyah pada petugas kepolisian yang lewat di depan tahanan sementaranya."Ibu macam apa yang dandanannya seperti wanita malam dan keluyuran tengah malam?" sahut polisi tersebut kepada Aisyah."Setidaknya biarkan saya telepon suami saya dulu," pinta Aisyah."Bukankah ponselmu sedang di cas? Tunggu dulu sekalian tunggu giliran kamu diperiksa," kata petugas itu geram."Percaya sama saya pak, saya bukan pemakai atau pengedar obat terlarang," kata Aisyah pada petugas tersebut."Semua orang juga bilang begitu kalau sudah ketahuan. Kamu akan menjalani rangkaian test, kalau terbukti bukan pemakai mungkin memang beberapa pil itu bukan milikmu," kata pak polisi itu pada Aisya
Aisyah dan Hans akhirnya terpaksa keluar rumah keesokan harinya bersama dengan barang-barang perabotan yang baru saja dibeli oleh Hans. Saat memasuki kost rumah tangga yang sangat sederhana, Aisyah menggerutu kesal dan marah-marah tak jelas.“Kenapa kita tinggal di sini, sih, mas?” tanya Aisyah kesal sekali, “panas sekali,”“Nyalakan saja kipasnya,” kata Hans.“Kenapa kita gak cari apartemen sih, mas?” tanya Aisyah kembali,“Uangku gak cukup dan aku belum dapat pekerjaan baru,”“Seharusnya kamu itu gak dipecat dari perusahaan, mas. Masalah kita kan masalah pribadi, seharusnya mbak Mirna tahu kalau masalah pribadi gak bisa dicampur dengan masalah perusahaan,” kata Aisyah mengomel. Hans lelah, Aisyah sama sekali tak mau membantunya dalam hal beres-beres tempat kost yang baru, jadi ia sungguh lelah karena harus mengerjakannya sendirian.Setelah menata semua perabot di dalam kostnya, Hans mencoba mencari pekerjaan lewat rekan bisnis dan teman-teman kerjanya. Tapi sayang sekali, ia tak men
“Bayinya sehat, sebentar saya dengarkan detak jantungnya, ya,” ujar dokter kandungan yang bernama Amalia itu kala ia memeriksa kandungan Najwa secara USG. Dada Najwa berdebar-debar sejak tadi diperiksa saking terharunya ia mengetahui kehamilannya lewat test pack dan Jacob langsung membawanya ke dokter kandungan.“Nah, dengar, kan? usianya delapan minggu,” kata dokter Amalia lagi saat mendengarkan detak jantung sang calon bayi di rahim Najwa. Najwa tak kuasa menahannya hingga air mata haru dan bahagia meleleh begitu saja di pipinya.Jacob bergerak membantu Najwa yang bangun setelah selesai diperiksa, sedangkan dokter memberikan resep vitamin yang harus dikonsumsi oleh Najwa dan mengingatkannya untuk kontrol ulang tiga minggu lagi.“Terima kasih banyak, dok,” kata Najwa dan Jacob bersamaan. Mereka keluar ruang periksa dan berjalan dengan beriringan. Jacob merangkul Najwa dengan perasaan bahagia luar biasa.“Kita ke rumah mama, ya,” ajak Jacob dan Najwa mengangguk. Najwa terus memandangi
Aisyah dan Hans tak mengijinkan perempuan gemuk itu masuk ke dalam rumah karena Hans merasa tak pernah menjual rumahnya pada siapapun. "Kamu yakin gak pernah jual rumah ini, mas?" tanya Aisyah cemas."Nggak,""Kalau gitu kamu simpan surat-suratnya?" tanya Aisyah lagi. Hans menoleh ke Aisyah dan ia baru ingat kalau surat rumah ini dibawa salah seorang saudaranya. Gegas Hans menuju kamarnya dan mengambil ponsel yang ada di sebelah kasur di atas nakas. Hans mencoba menghubungi saudaranya yang memegang sertifikat rumah tapi ia tak bisa menghubunginya.Kecemasan melanda Hans, ia panik karena perempuan gemuk yang ia pikir sudah pergi dari rumahnya, kini marah-marah dan berteriak di luar sana lalu akan mengancam melaporkan Hans ke polisi."Mas, aku takut," kata Aisyah yang muncul di ambang pintu kamar. "Aku bukain pintu saja mas, biar dia gak teriak-teriak!" kata Aisyah pada Hans yang diam saja. Pikiran Hans penuh, ia takut kalau saudaranya memang menjual rumah peninggalan orang tuanya.Ais
“Mirna! Tunggu! Maafkan aku!” seru Hans seraya mengejar Mirna yang akhirnya bisa ia temui di pusat perbelanjaan setelah mengikutinya keluar rumah. Surat sidang perceraian pertama telah ia terima, baju-bajunya juga sudah dikeluarkan semuanya oleh Mirna saat ia berusaha pulang ke rumah malam itu dan ternyata mendapatkan pengusiran yang menyedihkan. Hans sangat sulit menemui Mirna, karena Mirna terus menghindarinya dan tak mau bicara dengannya. Selain Mirna tak mau bertemu dengannya, Hans juga dilarang menemui anak-anak mereka sampai sidang putusan perceraian itu keluar dan hakim memutuskan kepada siapa hak asuh anak mereka akan jatuh.“Apa lagi sih, mas?” tanya Mirna kesal seraya melepaskan cekalan Hans dari tangannya, tatapan Mirna penuh amarah dan kebencian yang luar biasa pada Hans.“Aku tahu aku salah, maafkan aku. Aku ingin jika kita berpisah, kita bisa pisah secara damai,” kata Hans pada Mirna. Mirna tak menyangka kalau Hans juga akan menyerah dengan hubungan mereka dan menerima p
Jacob memeluk Najwa dari arah belakang ketika Najwa sedang asyik menikmati panorama keindahan alam dari balkon kamar hotelnya. Najwa menoleh dan tersenyum manis ke arah Jacob yang langsung mengecup bibirnya singkat. Lalu keduanya kini kembali menikmati pemandangan luar yang indah sekali. “Kita sarapan?” tanya Jacob dan Najwa mengangguk. Jacob menggandeng tangan Najwa keluar kamar dan langsung mengajaknya turun untuk makan sarapan di lobi hotel. Kemesraan keduanya terlihat jelas dari wajah mereka masing-masing. Sembari menikmati roti bakar serta buah-buahan segar, mereka berbicara tentang rencana bulan madu mereka di kota itu. Sesekali mereka mengambil foto berdua lalu mempostingnya di media sosial mereka masing-masing.Malam hari setelah lelah berkeliling kota dan menikmati destinasi wisata dimana-mana, mereka akan kembali saling menjamah berkali-kali sampai kelelahan dan tertidur hingga keesokan paginya.***Setelah melihat story Najwa yang bahagia di luar negeri saat menikmati bul
Hamish pulang bersama Mirna ke rumah Mirna lebih dulu baru ia pulang ke rumahnya dengan naik motor.“Kamu gak mau masuk buat obatin luka di tanganmu?” tawar Mirna dan Hamish menggeleng ke arahnya. Sepanjang perjalanan tadi ia terus melamun, membayangkan adegan dimana ia harus melihat istrinya sendiri bercumbu dengan pria lain, itu sangat memalukan buatnya.Mirna menatap kepergian Hamish dengan hati yang juga hancur, pasalnya setelah hari ini, ia tahu bahwa ia akan menjadi single mom untuk anak-anaknya. Mirna masuk rumah dan sebelum masuk ia berpesan pada satpam rumah.“Jangan biarkan bapak masuk rumah malam ini, apapun yang terjadi. Kunci semua pintu rumah,” kata Mirna yang membuat satpam rumahnya kaget dan bingung. “Kamu dengar perintah saya, kan?” tanya Mirna dan satpam rumahnya mengangguk ke arahnya meski bingung. Selepas kepergian sang tuan rumah, barulah satpam rumah bertanya kepada pak sopri, apa yang sudah terjadi sehelumnya.“Bapak selingkuh, ibu dapatin bapak lagi di kamar b
"Mas ...." Aisyah merasa risih karena sikap Hans yang menginginkannya, sedangkan dirinya merasa tak tenang dan nyaman sama sekali hari ini. Aisyah kepikiran Hamish, bertanya-tanya dimana ia sekarang dan apa yang terjadi padanya saat Hamish tahu bahwa Hans sudah tak ada di hotel tempat mereka janjian bertemu. Hans tak peduli dengan penolakan halus dari Aisyah, hasratnya sudah tinggi dan ia tak bisa membendungnya lagi. Anehnya, kepada Mirna yang cantik dan masih memiliki tubuh indah, Hans tak seperti ini, apakah ini namanya menikmati hubungan haram, membuat manusia terlena hingga mengulanginya lagi dan lagi?"Mas, tunggu, bagaimana ..." Aisyah hendak menolak Hans kala Hans berusaha melucuti pakaiannya tapi Hans tak peduli, ia terus melancarkan aksinya dan mulai melepaskan pakaian Aisyah satu persatu sembari terus mencumbunya dan membuat Aisyah akhirnya tak berkutik dengan permintaan Hans tersebut.Mata Hans makin berkilat penuh nafsu kala ia melihat tubuh polos Aisyah di hadapannya. Ia