Setelah Raven tiba di rumah ponselnya masih terus berbunyi. Aline tidak berhenti meneleponnya. Raven sampai gerah dan memutuskan untuk mengabaikannya.Turun dari mobil, Raven langsung melangkah masuk ke rumah. Begitu baru saja tangannya menyentuh knop pintu, daun pintu terbuka lebih dulu dari dalam. Kanya yang membukanya.Raven refleks mengembangkan senyum. Melihat wajah Kanya membuatnya merasa tenteram dan menemukan kedamaian.“Kamu belum tidur?” tanya Raven mengetahui sudah selarut ini Kanya masih bangun.“Saya menunggu kamu pulang dulu,” jawab istrinya itu.“Harusnya nggak usah ditunggu. Kalau kamu sudah ngantuk tidur saja dulu."“Sudah ngantuk, tapi nggak bisa tidur kalau nggak ada kamu.” Jawaban itu terlontar dengan begitu saja dari bibir Kanya tanpa direncana. Kanya tidak akan tahu betapa Raven sangat gemas mendengarnya. Raven merangkul perempuan itu ke kamar lalu mengunci pintu. Hal yang sangat ingin Raven lakukan saat ini adalah beristirahat dengan tenang sambil memeluk Kany
“Karena Bapak udah datang, saya tinggal dulu ya! Oh iya, bentar lagi kan gajian nih, jangan lupa shopping di Female Boutique ya. Lagi ada diskon gede-gedean lho, tapi cuma sampai weekend. Dan khusus buat kalian bakal ada diskon tambahan. Caranya tinggal tunjukin badge aja.” Aline pergi setelah mempromosikan butiknya yang disambut dengan senyum lebar dan cengiran para pegawai perempuan. Kerumunan para pegawai tersebut ikut bubar. Mereka kembali ke tempat masing-masing untuk bekerja.“Kamu sedang apa di sini, Lin?” tanya Raven yang berjalan ke ruangannya.“Aku cuma mau ngenalin anak kita sama pegawai kamu. Ada yang salah?” balas Aline yang merasa tidak melakukan kesalahan apapun. Yang ia lakukan adalah hal yang wajar menurutnya.“Jelas saja salah. Dia bukan anak aku. Anak aku belum lahir dan saat ini masih dikandung ibunya. Kenapa kamu selancang ini?” Raven membuka pintu dengan keras menumpahkan rasa jengkelnya.“Apa kamu lupa, Rav? Aku udah ngizinin kamu untuk menikah lagi demi warisa
Kanya baru saja tiba di rumah dan saat ini sedang beristirahat di tempat tidur. Tadi setelah dari toko buku Kanya merealisasikan niatnya untuk melihat-lihat keperluan yang dibutuhkan. Nanti setelah rancangannya selesai ia akan membeli semuanya. Yang terpenting sekarang adalah mencari ide dulu.Sambil berbaring, Kanya memainkan iPad milik Davva. Kanya tidak menduga ternyata di dunia ini ada orang sebaik itu. Davva memberikan iPad miliknya seakan sedang berbagi cemilan pada Kanya. Kanya tidak tahu apa Davva mengetahui bahwa dirinya dipecat oleh Wanda, bukan mengundurkan diri. Tapi ya sudahlah, yang telah lewat tidak perlu diingat-ingat lagi. Kanya hanya perlu mengambil hikmah dan menepis semua rasa sakit dari semua itu.Membuka aplikasi desain yang ada di gadget, Kanya mulai mempelajarinya. Di awal Kanya memang bingung. Namun lama kelamaan ia mulai terbiasa. Ternyata tidak sulit.‘Astaga! Aku lupa bilang terima kasih.’Kanya baru ingat akan hal tersebut. Lagi pula tadi Davva sangat ter
Raven mengembuskan napas panjang lalu menghirup udara baru untuk mengisi paru-parunya. Raven tidak tahu harus senang atau sedih menyikapi hal mahapenting dalam kehidupannya saat ini.Hari ini pengadilan memutuskan untuk mengabulkan permohonan Aline untuk menjadi orang tua angkat Lavanya. Anak itu resmi menjadi anak mereka. Setelah melengkapi berbagai dokumen serta persyaratan yang dibutuhkan lainnya termasuk beberapa rangkaian wawancara intens sekitar empat bulan yang lalu, kini semuanya membuahkan hasil. “Aku bahagia banget, Rav. Akhirnya Lavanya resmi jadi anak kita,” ujar Aline memanjatkan syukur. Susah payah Aline meyakinkan Raven bahwa ia mampu dan tidak akan menelantarkan anak itu hingga akhirnya Raven percaya.Raven mengulas senyum. Dipandanginya bayi perempuan berumur empat bulan yang saat ini berada dalam dekapan Aline. Anak itu tidak bersalah. Dia bahkan terlalu suci dan tidak tahu apa-apa. Hanya saja sampai sejauh ini Raven masih belum bisa menerimanya. Bukan. Raven sama
Kanya terbangun dari tidurnya dengan tiba-tiba. Anak di dalam perutnya menendang dengan begitu kuat, membuatnya tidak tahan dan langsung membuka mata.“Rav … Raven …” Tangan Kanya menggapai-gapai mencari sosok suaminya. Namun tidak ada lelaki itu di sana. Yang ada hanyalah permukaan kasur yang kosong.“Duuhhhhh … sakit …” Kanya merintih ketika gelombang pasang itu tidak hanya berasal dari perutnya. Namun hampir seluruh bagian tubuhnya memberi perlawanan pada Kanya. Punggungnya bagai ditusuk-tusuk. Pinggangnya bagaikan akan patah. Ditambah lagi perutnya yang melilit dan mulas seperti akan buang air besar.“Raveeen …” Rintihan lirih Kanya tenggelam dalam suaranya sendiri.Sesaat kemudian barulah Kanya sadar bahwa Raven sedang tidak berada bersamanya.Kemarin Raven berangkat ke daerah guna meninjau perkebunannya. Masalah seakan tidak ada habis-habisnya menimpa. Jika dulu Raven dipusingkan oleh masalah kepemilikan lahan, penggelapan uang oleh oknum pegawai, maka kali ini masalah datang k
Suara deringan ponsel itu begitu keras dan sangat memekakkan telinga. Sudah berkali-kali deringan itu menggema. Tapi pemiliknya mengabaikan suara itu dan lebih memilih untuk melanjutkan tidurnya.Namun ketika deringnya terasa semakin berisik dan begitu mengusik, pemiliknya merasa tidak bisa untuk tidak menggubrisnya.Aline, perempuan sang pemilik ponsel tersebut berdecak kesal karena merasa ketenangan tidurnya terganggu. Matanya langsung tertuju pada jam dinding. Waktu menunjukkan pukul setengah empat dini hari. Siapa yang usil menelepon pada jam segini?Apa mungkin Raven? Opsi itu hadir di kepalanya kemudian.Mengangkat sedikit badannya agar lebih memudahkan menjangkau ponsel, Aline mengambil benda itu. Keningnya berkerut dalam saat menyaksikan sendiri nama yang tertera di layar. Bukan Raven, suaminya, melainkan Titik, asisten rumah tangga di rumah Kanya. Aline memang menyimpan nomor Titik. Sesekali saat Raven tidak pulang Aline menelepon Titik guna memastikan keberadaan suaminya ter
Satu hari berlalu pasca melahirkan. Kondisi Kanya masih belum pulih. Beberapa jam setelah efek anestesi habis Kanya tak kuasa menahan tangis. Rasa sakitnya begitu menggigit. Kanya menanggung semua itu sendiri tanpa bisa berbagi dengan siapa pun, bahkan dengan suami sendiri karena sampai saat ini Raven masih belum bisa dihubungi.“Sus, apa saya boleh bertemu dengan anak saya?” tanya Kanya saat perawat masuk ke ruangannya. Sudah sejak kemarin Kanya merengek ingin bertemu tapi ia belum mendapat izin.“Tentu boleh, Bu, mari saya antar.” Kanya tersenyum lega. Akhirnya ia akan bertemu dengan sang buah hati.“Saya jalan kaki saja, Sus,” ucap Kanya ketika perawat akan menyiapkan kursi roda untuk membawanya.“Ibu sanggup berjalan?” Perawat terlihat bimbang.Kanya mengangguk pelan. Walau tidak begitu yakin namun ia harus mencobanya. Yang Kanya pelajari dari forum ibu hamil, dua puluh empat jam setelah melahirkan para ibu baru sebaiknya belajar berjalan.Suster dengan sabar menemani Kanya menuj
Kanya berbaring dengan mata bengkak. Sudah sejak tadi ia menangis.Seharusnya hari ini Kanya sudah boleh pulang dari rumah sakit. Tapi Kanya minta dirawat satu hari lagi. Kanya mengatakan pada perawat tadi dirinya tidak sengaja jatuh terjerambab di lantai.“Gimana keadaan Ibu sekarang? Apa masih sakit?” Seorang perawat datang membawa makanan makan malam untuk Kanya lalu meletakkannya di atas meja.“Sedikit, Sus,” jawab Kanya.“Makanya lain kali Ibu harus hati-hati. Jangan dipaksakan kalau belum bisa berjalan.”Kanya hanya diam. Sementara pikirannya mereka ulang kejadian itu di kepalanya. Kanya tidak akan pernah melupakan hari ini. Semua perlakuan dan penghinaan Marissa serta Aline akan ia ingat selamanya. Kalau dulu Kanya bisa memaafkan mereka, maka untuk kali ini ia tidak bisa merendahkan hatinya. Luka batin Kanya terlalu dalam.“Ibu di sini sendiri? Siapa yang menemani Ibu di sini?” Pertanyaan itu menyentak Kanya. Sejak mengantarnya ke rumah sakit, Titik dan Rudi tidak pernah lagi t
Raven termangu sekian lama sambil memandang nanar cincin yang diberikan Kanya langsung ke telapak tangannya.“Nggak bisa begitu, Nya. Kamu nggak bisa membatalkan pernikahan kita hanya karena Qiandra terbukti sebagai anak Davva. Kita sudah merencanakan semua ini dengan matang. Undangan sudah dicetak, gedung sudah di-booking, belum lagi yang lainnya,” tukas Raven tidak terima. Ini bukan hanya semata-mata perihal persiapan pernikahan, melainkan tentang perasaannya pada Kanya. Ia tidak rela melepas Kanya justru setelah perempuan itu berada di genggamannya.“Rav, mengertilah, aku nggak bisa,” jawab Kanya putus asa. Entah bagaimana lagi caranya menjelaskan pada Raven bahwa dirinya benar-benar tidak bisa melanjutkan hubungan mereka.“Kamu minta aku untuk mengerti kamu, tapi apa kamu mengerti aku? Alasan kamu nggak jelas. Kenapa baru sekarang kamu bilang nggak bisa menikah denganku? Kenapa bukan dari sebelum-sebelumnya? Kenapa setelah kedatangan Davva? Semua ini terlalu lucu untuk disebut hany
Waktu saat ini menunjukkan pukul satu malam waktu Indonesia bagian barat, tapi tidak sepicing pun Kanya mampu memejamkan matanya. Adegan demi adegan tadi siang terus membayang. Saat ia bertemu dengan Davva, bicara berdua dari hati ke hati, serta mengungkapkan langsung kegalauannya pada laki-laki itu. Dan Davva dengan begitu bijak menjawab saat Kanya menanyakan apa ia harus memikirkan lagi hubungannya dengan Raven.“Aku rasa aku butuh waktu untuk mengkaji ulang hubungan dengan Raven. Aku nggak mau gagal lagi seperti dulu. Menurut kamu gimana kalau misalnya aku menunda atau membatalkan pernikahan itu?”Davva terlihat kaget mendengar pertanyaan Kanya. Ia memindai raut Kanya dengan seksama demi meyakinkan jika Kanya sungguh-sungguh bertanya padanya. Dan hasilnya adalah Davva melihat keraguan yang begitu kentara di wajah Kanya.“Aku bingung, aku nggak mau gagal lagi.” Kanya mengucapkannya sekali lagi sambil menatap Davva dengan intens.“Follow your heart, Nya. Ikuti apa kata hatimu. Dan ja
Kanya tersentak ketika mendengar ketukan di depan pintu. Pasti itu Raven yang datang, pikirnya. Beberapa hari ini memang tidak bertemu dengan laki-laki itu. Bukan karena mereka ada masalah, tapi karena Kanya sedang butuh waktu untuk sendiri.Mengayunkan langkah ke depan, Kanya membuka pintu. Tubuhnya membeku seketika begitu mengetahui siapa yang saat ini berdiri tegak di hadapannya. Bukan Raven seperti yang tadi menjadi dugaannya, tapi ...“Dav ...”Davva membalas gumaman Kanya dengan membawa perempuan itu ke dalam pelukannya.“Aku baru tahu semuanya dari Raven. Aku minta maaf karena waktu itu ninggalin kamu. Aku nggak tahu kalau kamu hamil anak kita,” bisik Davva pelan penuh penyesalan.“Kamu nggak salah, Dav, aku yang salah. Aku pikir Qiandra anak Raven,” isak Kanya dalam dekapan laki-laki itu.Kenyataan bahwa Qiandra adalah darah daging Davva membuat Kanya begitu terpukul. Beberapa hari ini ia merenungi diri dan menyesali betapa bodoh dirinya yang tidak tahu mengenai hal tersebut.
Davva menegakkan duduknya lalu memfokuskan pendengarannya pada Raven yang menelepon dari benua yang berbeda dengannya.“Sorry, Rav, ini kita lagi membicarakan siapa? Baby girl apa maksudnya?” Davva ingin Raven memperjelas maksud ucapannya. Apa mungkin Raven salah orang? “Ini aku Davva. Kamu yakin yang mau ditelepon Davva aku? Atau mungkin Davva yang lain tapi salah dial?”“Aku nggak salah orang. Hanya ada satu Davva yang berhubungan dengan hidupku dan Kanya, yaitu kamu," tegas Raven.Perasaaan Davva semakin tegang mendengarnya, apalagi mendengar nada serius dari nada suara Raven.“Jadi maksudnya baby girl apa? Kenapa kasih selamat sama aku?” tanya Davva tidak mengerti. Justru seharusnya Davvalah yang menyampaikan ucapan tersebut pada Raven karena dialah yang berada di posisi itu.“Aku tahu semua ini nggak akan cukup kalau hanya disampaikan melalui telepon. Ceritanya panjang. Tapi aku harus bilang sekarang kalau Qiandra adalah anak kandung kamu, Dav. Dia bukan darah dagingku. Hasil tes
Kanya mengajak Raven keluar dari ruangan dokter. Mereka tidak mungkin berdebat apalagi sampai bertengkar di sana.“Jawab pertanyaanku, Nya, siapa bapak anak itu?” Raven kembali mendesak setelah mereka tiba di luar.Kanya menggelengkan kepala. Bukan karena tidak tahu, tapi juga akibat syok mendapati kenyataan yang tidak disangka-sangka.“Jadi kamu nggak tahu siapa bapak anak itu? Memangnya berapa banyak lelaki yang meniduri kamu, Nya?” Kanya membuat Raven hampir saja terpancing emosi.“Jangan pernah menuduhkku sembarangan, Rav! Aku bukan perempuan murahan yang akan tidur dengan laki-laki sembarangan! Aku masih punya harga diri,” bantah Kanya membela diri.“Tapi hasil tes itu nggak mungkin berbohong, Kanya!” ucap Raven gregetan. “Ini rumah sakit internasional, tenaga medis di sini juga profesional. Mereka nggak akan mungkin salah menentukan hasil tes. Jangan kamu pikir mamaku yang mengacaukan agar hasilnya berbeda. Ini kehidupan nyata, Kanya, bukan adegan sinetron!”Suara tinggi Raven m
“Kanya, aku rasa sudah saatnya kita lakukan tes DNA. Aku nggak mau menunggu lagi. Aku nggak bisa melihat kamu mengurus anak-anak kita sendiri.”Kanya menolehkan kepalanya kala mendengar ucapan Raven.Hari ini baby Qiandra berumur satu bulan. Kanya sudah sejak lama pulang dari rumah sakit. Kondisinya pasca persalinan juga sangat baik.Setelah saat itu Raven datang ke rumah sakit, Davva pergi tiba-tiba. Padahal Raven ingin mengucapkan terima kasih padanya.“Siang ini aku harus pulang ke NY, Nya.” Itu alasan Davva saat Kanya menelepon menanyakan keberadaannya.“Tapi kenapa kamu pergi nggak bilang aku dulu?”“Maaf banget ya, Nya, aku ada panggilan mendadak dan nggak sempat bilang ke kamu.”Setelah hari itu Kanya tidak pernah lagi berkomunikasi dengan Davva. Davva sibuk dengan pekerjaannya, Kanya juga sedang menikmati hari-harinya memiliki buah hati yang baru.“Kanya! Gimana?” tegur Raven meminta jawaban lantaran Kanya tidak menjawab.“Harus banget ya tes DNA itu?” Kanya masih merasa keber
Pria itu baru saja keluar dari mobil lalu menarik langkah cepat. Ia mengangguk sepintas pada seseorang saat berpapasan. Entah siapa orang itu tidak terekam di benaknya. Ia hanya ingin segera tiba secepatnya di kamar lalu beristirahat sepuasnya.Smart lock kamarnya berbunyi kecil saat mendeteksi kesesuaian. Pintu kamar pun terbuka.Raven—lelaki itu langsung masuk. Begitu melihat hamparan kasur ia langsung menghambur. Hari ini begitu melelahkan. Pertemuan serta dengar pendapat dengan pemerintah daerah tadi siang berlangsung dengan alot. Pemerintah setempat memberi banyak tuntutan yang kurang masuk akal kepada para pengusaha yang sebagian besar tidak bisa mereka penuhi.Tatapan Raven berlabuh pada benda seukuran telapak tangan yang terselip di antara bantal. Ternyata Raven lupa membawa ponselnya yang ternyata berada dalam keadaan mati.Sambil berbaring Raven menyalakannya. Beberapa detik kemudian setelah mendapat sinyal, notifikasinya berdenting. Raven terkesiap ketika membaca pesan dari
Sedikit pun tidak terlintas di pikiran Kanya bahwa dirinya akan menghadapi hal menakjubkan di dalam hidupnya, yaitu melakukan persalinan sendiri tanpa bantuan tenaga medis dan terjadi di tempat yang sama sekali tidak disangka-sangka.Setelah melahirkan di toilet SPBU ditemani Davva, Kanya mendapat pertolongan dan dibawa ke rumah sakit terdekat. Cerita tentang persalinan di toilet tersebut menjadi buah bibir di sekitar tempat itu, tapi untung tidak sampai viral, karena Kanya tidak ingin populer dengan cara tersebut.Setelah proses observasi, saat ini Kanya berada di ruang rawat. Kondisi Kanya masih terlihat lemah karena kehilangan banyak energi. Tapi perasaan bahagia yang begitu dalam menyelimuti hatinya melihat bayi perempuan yang dilahirkannya begitu sehat, normal, serta lengkap seluruh organ tubuhnya. Bayi mungil itu saat ini berada di dalam box yang diletakkan di samping tempat tidur Kanya.Monic begitu gembira karena pada akhirnya keinginan anak itu untuk memiliki adik perempuan m
“Kanya, maaf sekali, aku nggak bisa menemani kamu lahiran.”Kanya yang saat itu sedang menyesap juice apel refleks memandang ke arah Raven kala mendengar ucapan laki-laki itu. Bagaimana tidak, mereka sudah merencanakannya jauh-jauh hari. Bahkan Raven sudah mem-booking rumah sakit terbaik untuk proses persalinan Kanya. Lalu dengan seenaknya sekarang Raven mengatakan tidak bisa.Raven mengangkat tangan sebagai isyarat bahwa ia akan menjelaskan alasannya pada Kanya sebelum perempuan itu mengajukan aksi protes.“Aku baru mendapat telepon dari asistenku di daerah. Dia bilang ada undangan untuk pertemuan dari pemerintah daerah setempat, dan itu nggak bisa diwakilkan. Bukan hanya aku tapi semua pengusaha sawit yang berada di sana,” jelas Raven menyampaikan alasannya.Kanya memahami argumen Raven. Dalam hal ini ia tidak boleh egois dengan memikirkan dirinya sendiri. Ia juga harus mendukung karir Raven.“Nggak apa-apa, Rav, pergilah,” jawab Kanya merelakan.Raven memindai wajah Kanya, mencoba