Kanya melangkah gontai keluar dari ruangan pemilik restoran. Belum genap satu bulan bekerja tapi ia sudah dipecat. Martha tidak ingin mendengar penjelasan apapun darinya. Bahkan, perempuan itu juga tidak sudi memberi gaji Kanya selama beberapa minggu kerja di sana sebagai ganti rugi atas kesalahan yang Kanya lakukan.“Kanya!” Panggilan yang menyerukan namanya menghentikan langkah Kanya.Kanya menoleh ke belakang. Tampak Reza, sesama pekerja restoran dengannya memanggil Kanya. Laki-laki itu menggunakan motor. Begitu tiba di dekat Kanya, Reza berhenti.“Mau ke mana?” tanya laki-laki itu pada Kanya.“Mau pulang,” jawab Kanya pelan.“Kenapa pulang jam segini?” Reza keheranan. Masih terlalu sore untuk pulang. Biasanya mereka keluar dari restoran itu paling cepat jam sepuluh malam. Apalagi Kanya yang bertanggung jawab atas kebersihan restoran.“Saya dipecat.”“Dipecat? Kamu nyasar lagi?”Hampir semua pekerja di restoran menyaksikan dengan mata mereka saat Martha memarahi Kanya habis-habisa
Raven berhenti tepat di depan Delicious Restaurant. Meski masih pagi akan tetapi situasi di restoran itu sudah ramai oleh pengunjung yang ingin sarapan atau hanya ingin menyesap segelas teh manis atau secangkir kopi hangat. Setelah meneliti tempat tersebut cukup lama dari tempat duduknya, Raven turun dari mobil lalu melangkah masuk ke dalam restoran. Seorang pelayan menyambutnya serta menunjukkan tempat duduk yang masih kosong.“Terima kasih, tapi saya ke sini bukan untuk sarapan,” kata Raven pada pelayan restoran.Sang pelayan memandang bingung dengan sorot bertanya, ‘Kalau bukan untuk sarapan, lalu untuk apa?’“Saya ke sini ingin bertemu dengan pemilik restoran ini. Dia ada?”“Bu Martha belum datang, Pak. Biasanya ke sini sekitar jam sepuluh atau jam sebelas siang,” jawab pelayan memberitahu.Raven memandang TAG Heuer di pergelangan tangannya. Waktu saat ini menunjukkan pukul delapan empat puluh menit. Hal itu berarti ia harus menanti sekitar satu jam atau dua jam lagi. Ia tidak mun
“Baik, Pak Andi, kalau begitu besok kita bertemu.”Raven menyudahi panggilan telepon dengan salah seorang rekan bisnisnya setelah membuat janji temu.Menyimpan ponsel ke dalam saku celana, Raven memeriksa waktu di arloji. Sudah pukul tiga siang. Sudah saatnya makan walau terlamba. Raven ingat rencananya tadi untuk menemui pemilik restoran. Mengacu pada waktu yang disampaikan pelayan pasti saat ini pemilik restoran sudah berada di tempat. Raven tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan itu. Raven langsung meluncur menuju restoran tersebut sebelum pemiliknya pergi dari sana.Sekitar tiga puluh menit kemudian Raven tiba di restoran tersebut. Kebetulan yang sangat kebetulan masih pelayan tadi pagi yang menyambutnya.“Ibu Martha ada?” Raven langsung bertanya. Dan syukurlah pelayan tersebut masih mengingatnya.“Ada, Pak. Silakan tunggu sebentar, saya beritahu dulu.”Raven duduk di salah satu kursi yang letaknya berdekatan dekat jendela. Beberapa menit kemudian orang yang dinanti pun muncul di
Pemilik tubuh menjulang itu mengayunkan kakinya dengan tegap mendekati Kanya yang berdiri membeku di tempatnya. Wajah lelaki itu menyiratkan ekspresi yang sulit Kanya artikan maknanya. Tadi dari dalam mobil Raven menyaksikan segalanya. Mulai sejak Kanya datang bersama pria berkacamata dengan rambut ikal itu, lalu menyaksikan interaksi keduanya di teras. Betapa lelaki itu dengan santai berbaring di dekat Kanya hingga pergi meninggalkannya sambil mengusap kepala Kanya. Raven tidak bisa menerima karena Kanya adalah miliknya.Sampai jarak mereka tersisa hitungan senti Kanya masih tidak bereaksi hingga ucapan yang disampaikan dengan nada dingin keluar dari mulut laki-laki itu.“Sudah pergi pacar kamu?”Kanya tersentak. Ia tidak mengerti apa yang Raven maksudkan. Datang-datang lelaki itu langsung menudingnya.Raven mendengkus melihat kombinasi ekspresi bingung serta lugu yang ditunjukkan Kanya. Dengkusan yang cukup keras dan terdengar oleh Kanya.Raven tidak tahu harus mulai mencecar dari
Raven membawa Kanya pulang.Perdebatan panjang mereka berakhir setelah Raven menutupnya dengan satu kecupan singkat. Lalu keduanya menghabiskan sisa perjalanan dalam hening yang panjang.Sungguh, perjalanan hidup bagaikan misteri. Setelah liku-liku kehidupan yang tak berujung pada akhirnya takdir membawa Kanya kembali pada Raven.Kanya yang sejak tadi diam saja dan menghabiskan waktu menegakkan duduknya ketika merasa ada sesuatu yang janggal. Kanya baru menyadari jika Raven membawanya ke arah yang berbeda. Ini bukanlah jalan menuju rumah mereka. Akan tetapi ke Nirvana Residence, kediaman Aline serta Marissa.“Kenapa kita ke sini?” Kanya menyuarakan keheranan di kepalanya.“Ray ada di rumah.” Raven menjawab setelah memandang pada Kanya.Kanya tidak bertanya lagi. Mungkin nanti setelah menjemput Ray Raven akan membawa Kanya ke rumah yang mereka tempati dulu. Senyum tipis terbit di bibir Kanya sebagai refleksi dari perasaan bahagianya. Sebentar lagi ia akan bersama anaknya, memeluk hanga
Raven memandang intens pada layar monitor di hadapannya. Layar tersebut menampilkan rekaman adegan sebulan belakangan. Raven ingin tahu apa saja yang terjadi dalam rentang tiga puluh hari ini. Tanpa terasa satu bulan sudah mereka tinggal bersama. Raven, Aline serta Kanya. Sejauh ini yang tertangkap oleh Raven secara kasat mata adalah hubungan kedua istrinya yang begitu akur. Aline kerap mengajak Kanya belanja bersama, menghabiskan waktu berempat dengan Lavanya serta hal-hal kecil lainnya. Keharmonisan mereka membuat Raven bersyukur. Meski dulu Aline dan Marissa sempat sentimen pada Kanya namun kehadiran Ray mengubah segalanya. Anak itu membawa berkah buat semuanya. Tidak hanya menghadirkan rezeki namun juga mendatangkan kedamaian.Raven memajukan duduk menatap lebih lekat layar monitor yang sedang memutar adegan di kamar. Saat itu Ray menangis sedang sang ibu sedang mandi dan tidak mengetahuinya. Aline datang menggendong Ray dan mendiamkannya. Lalu pada adegan lainnya tampak Kanya
Acara yang diselenggarakan dengan meriah dan dihadiri oleh banyak tamu tersebut pun berakhir, membuat Kanya merasa lega karena ia bisa pulang dan berhenti menjadi pajangan.Dan saat ini mereka bertiga sudah berada di mobil. Sama seperti saat akan berangkat tadi, Kanya kembali duduk sendiri di belakang. Sementara anaknya yang sudah tidur berada dalam dekapan Aline yang duduk di sebelah Raven.Kanya larut dalam lamunan panjang yang sangat menyedihkan. Tadi, tepatnya sekian jam yang lalu saat ada yang bertanya padanya dan Kanya mengatakan bahwa ia adalah seorang pengasuh yang bekerja pada Raven, orang itu tidak memercayainya. Malah mengatakan bahwa Kanya dan Ray lebih terlihat seperti kakak adik. Sepanjang acara berlangsung Kanya duduk sendiri, sedangkan Raven dan Aline mengabaikannya. Kanya hanya dipanggil ketika dibutuhkan, yaitu ketika Aline ingin mengenalkan Ray pada orang-orang sebagai anaknya. Dan Kanya hanya bisa diam membiarkan. Ini memang nasibnya.Tidak ada yang bisa Kanya laku
Kanya termangu menggenggam ponselnya dengan tangan gemetar. Semua rangkaian kata yang baru saja dibacanya membuat tubuhnya menggigil hebat.Bukan. Ini bukanlah berita buruk yang mengejutkan. Akan tetapi sebaliknya. Kabar yang baru saja diterimanya membuat Kanya luar biasa bahagia. Saking bahagianya Kanya kesulitan untuk memercayai berita yang baru saja diterimanya.Sebelah tangan Kanya menutup mulut, menahan agar tidak berteriak. Sedangkan sebelahnya lagi menahan ponsel dalam genggaman. Kanya baru saja menerima kabar bahwa gaun hasil rancangannnya memenangkan sayembara. Kanya menjadi pemenang utama di samping dua pemenang lainnya. Maka Kanya berhak menerima hadiah kemenangan yang berjumlah dua ratus juta rupiah. Selain itu ia juga menerima pendidikan gratis selama enam bulan sampai satu tahun. Ada dua pilihan yang ditawarkan di negara yang berbeda. Semua terserah Kanya mau memilih yang mana.“Astaga … ini semua nggak mungkin. Kenapa aku yang menang?” Kanya menggumam pelan. Bukan ing
Raven termangu sekian lama sambil memandang nanar cincin yang diberikan Kanya langsung ke telapak tangannya.“Nggak bisa begitu, Nya. Kamu nggak bisa membatalkan pernikahan kita hanya karena Qiandra terbukti sebagai anak Davva. Kita sudah merencanakan semua ini dengan matang. Undangan sudah dicetak, gedung sudah di-booking, belum lagi yang lainnya,” tukas Raven tidak terima. Ini bukan hanya semata-mata perihal persiapan pernikahan, melainkan tentang perasaannya pada Kanya. Ia tidak rela melepas Kanya justru setelah perempuan itu berada di genggamannya.“Rav, mengertilah, aku nggak bisa,” jawab Kanya putus asa. Entah bagaimana lagi caranya menjelaskan pada Raven bahwa dirinya benar-benar tidak bisa melanjutkan hubungan mereka.“Kamu minta aku untuk mengerti kamu, tapi apa kamu mengerti aku? Alasan kamu nggak jelas. Kenapa baru sekarang kamu bilang nggak bisa menikah denganku? Kenapa bukan dari sebelum-sebelumnya? Kenapa setelah kedatangan Davva? Semua ini terlalu lucu untuk disebut hany
Waktu saat ini menunjukkan pukul satu malam waktu Indonesia bagian barat, tapi tidak sepicing pun Kanya mampu memejamkan matanya. Adegan demi adegan tadi siang terus membayang. Saat ia bertemu dengan Davva, bicara berdua dari hati ke hati, serta mengungkapkan langsung kegalauannya pada laki-laki itu. Dan Davva dengan begitu bijak menjawab saat Kanya menanyakan apa ia harus memikirkan lagi hubungannya dengan Raven.“Aku rasa aku butuh waktu untuk mengkaji ulang hubungan dengan Raven. Aku nggak mau gagal lagi seperti dulu. Menurut kamu gimana kalau misalnya aku menunda atau membatalkan pernikahan itu?”Davva terlihat kaget mendengar pertanyaan Kanya. Ia memindai raut Kanya dengan seksama demi meyakinkan jika Kanya sungguh-sungguh bertanya padanya. Dan hasilnya adalah Davva melihat keraguan yang begitu kentara di wajah Kanya.“Aku bingung, aku nggak mau gagal lagi.” Kanya mengucapkannya sekali lagi sambil menatap Davva dengan intens.“Follow your heart, Nya. Ikuti apa kata hatimu. Dan ja
Kanya tersentak ketika mendengar ketukan di depan pintu. Pasti itu Raven yang datang, pikirnya. Beberapa hari ini memang tidak bertemu dengan laki-laki itu. Bukan karena mereka ada masalah, tapi karena Kanya sedang butuh waktu untuk sendiri.Mengayunkan langkah ke depan, Kanya membuka pintu. Tubuhnya membeku seketika begitu mengetahui siapa yang saat ini berdiri tegak di hadapannya. Bukan Raven seperti yang tadi menjadi dugaannya, tapi ...“Dav ...”Davva membalas gumaman Kanya dengan membawa perempuan itu ke dalam pelukannya.“Aku baru tahu semuanya dari Raven. Aku minta maaf karena waktu itu ninggalin kamu. Aku nggak tahu kalau kamu hamil anak kita,” bisik Davva pelan penuh penyesalan.“Kamu nggak salah, Dav, aku yang salah. Aku pikir Qiandra anak Raven,” isak Kanya dalam dekapan laki-laki itu.Kenyataan bahwa Qiandra adalah darah daging Davva membuat Kanya begitu terpukul. Beberapa hari ini ia merenungi diri dan menyesali betapa bodoh dirinya yang tidak tahu mengenai hal tersebut.
Davva menegakkan duduknya lalu memfokuskan pendengarannya pada Raven yang menelepon dari benua yang berbeda dengannya.“Sorry, Rav, ini kita lagi membicarakan siapa? Baby girl apa maksudnya?” Davva ingin Raven memperjelas maksud ucapannya. Apa mungkin Raven salah orang? “Ini aku Davva. Kamu yakin yang mau ditelepon Davva aku? Atau mungkin Davva yang lain tapi salah dial?”“Aku nggak salah orang. Hanya ada satu Davva yang berhubungan dengan hidupku dan Kanya, yaitu kamu," tegas Raven.Perasaaan Davva semakin tegang mendengarnya, apalagi mendengar nada serius dari nada suara Raven.“Jadi maksudnya baby girl apa? Kenapa kasih selamat sama aku?” tanya Davva tidak mengerti. Justru seharusnya Davvalah yang menyampaikan ucapan tersebut pada Raven karena dialah yang berada di posisi itu.“Aku tahu semua ini nggak akan cukup kalau hanya disampaikan melalui telepon. Ceritanya panjang. Tapi aku harus bilang sekarang kalau Qiandra adalah anak kandung kamu, Dav. Dia bukan darah dagingku. Hasil tes
Kanya mengajak Raven keluar dari ruangan dokter. Mereka tidak mungkin berdebat apalagi sampai bertengkar di sana.“Jawab pertanyaanku, Nya, siapa bapak anak itu?” Raven kembali mendesak setelah mereka tiba di luar.Kanya menggelengkan kepala. Bukan karena tidak tahu, tapi juga akibat syok mendapati kenyataan yang tidak disangka-sangka.“Jadi kamu nggak tahu siapa bapak anak itu? Memangnya berapa banyak lelaki yang meniduri kamu, Nya?” Kanya membuat Raven hampir saja terpancing emosi.“Jangan pernah menuduhkku sembarangan, Rav! Aku bukan perempuan murahan yang akan tidur dengan laki-laki sembarangan! Aku masih punya harga diri,” bantah Kanya membela diri.“Tapi hasil tes itu nggak mungkin berbohong, Kanya!” ucap Raven gregetan. “Ini rumah sakit internasional, tenaga medis di sini juga profesional. Mereka nggak akan mungkin salah menentukan hasil tes. Jangan kamu pikir mamaku yang mengacaukan agar hasilnya berbeda. Ini kehidupan nyata, Kanya, bukan adegan sinetron!”Suara tinggi Raven m
“Kanya, aku rasa sudah saatnya kita lakukan tes DNA. Aku nggak mau menunggu lagi. Aku nggak bisa melihat kamu mengurus anak-anak kita sendiri.”Kanya menolehkan kepalanya kala mendengar ucapan Raven.Hari ini baby Qiandra berumur satu bulan. Kanya sudah sejak lama pulang dari rumah sakit. Kondisinya pasca persalinan juga sangat baik.Setelah saat itu Raven datang ke rumah sakit, Davva pergi tiba-tiba. Padahal Raven ingin mengucapkan terima kasih padanya.“Siang ini aku harus pulang ke NY, Nya.” Itu alasan Davva saat Kanya menelepon menanyakan keberadaannya.“Tapi kenapa kamu pergi nggak bilang aku dulu?”“Maaf banget ya, Nya, aku ada panggilan mendadak dan nggak sempat bilang ke kamu.”Setelah hari itu Kanya tidak pernah lagi berkomunikasi dengan Davva. Davva sibuk dengan pekerjaannya, Kanya juga sedang menikmati hari-harinya memiliki buah hati yang baru.“Kanya! Gimana?” tegur Raven meminta jawaban lantaran Kanya tidak menjawab.“Harus banget ya tes DNA itu?” Kanya masih merasa keber
Pria itu baru saja keluar dari mobil lalu menarik langkah cepat. Ia mengangguk sepintas pada seseorang saat berpapasan. Entah siapa orang itu tidak terekam di benaknya. Ia hanya ingin segera tiba secepatnya di kamar lalu beristirahat sepuasnya.Smart lock kamarnya berbunyi kecil saat mendeteksi kesesuaian. Pintu kamar pun terbuka.Raven—lelaki itu langsung masuk. Begitu melihat hamparan kasur ia langsung menghambur. Hari ini begitu melelahkan. Pertemuan serta dengar pendapat dengan pemerintah daerah tadi siang berlangsung dengan alot. Pemerintah setempat memberi banyak tuntutan yang kurang masuk akal kepada para pengusaha yang sebagian besar tidak bisa mereka penuhi.Tatapan Raven berlabuh pada benda seukuran telapak tangan yang terselip di antara bantal. Ternyata Raven lupa membawa ponselnya yang ternyata berada dalam keadaan mati.Sambil berbaring Raven menyalakannya. Beberapa detik kemudian setelah mendapat sinyal, notifikasinya berdenting. Raven terkesiap ketika membaca pesan dari
Sedikit pun tidak terlintas di pikiran Kanya bahwa dirinya akan menghadapi hal menakjubkan di dalam hidupnya, yaitu melakukan persalinan sendiri tanpa bantuan tenaga medis dan terjadi di tempat yang sama sekali tidak disangka-sangka.Setelah melahirkan di toilet SPBU ditemani Davva, Kanya mendapat pertolongan dan dibawa ke rumah sakit terdekat. Cerita tentang persalinan di toilet tersebut menjadi buah bibir di sekitar tempat itu, tapi untung tidak sampai viral, karena Kanya tidak ingin populer dengan cara tersebut.Setelah proses observasi, saat ini Kanya berada di ruang rawat. Kondisi Kanya masih terlihat lemah karena kehilangan banyak energi. Tapi perasaan bahagia yang begitu dalam menyelimuti hatinya melihat bayi perempuan yang dilahirkannya begitu sehat, normal, serta lengkap seluruh organ tubuhnya. Bayi mungil itu saat ini berada di dalam box yang diletakkan di samping tempat tidur Kanya.Monic begitu gembira karena pada akhirnya keinginan anak itu untuk memiliki adik perempuan m
“Kanya, maaf sekali, aku nggak bisa menemani kamu lahiran.”Kanya yang saat itu sedang menyesap juice apel refleks memandang ke arah Raven kala mendengar ucapan laki-laki itu. Bagaimana tidak, mereka sudah merencanakannya jauh-jauh hari. Bahkan Raven sudah mem-booking rumah sakit terbaik untuk proses persalinan Kanya. Lalu dengan seenaknya sekarang Raven mengatakan tidak bisa.Raven mengangkat tangan sebagai isyarat bahwa ia akan menjelaskan alasannya pada Kanya sebelum perempuan itu mengajukan aksi protes.“Aku baru mendapat telepon dari asistenku di daerah. Dia bilang ada undangan untuk pertemuan dari pemerintah daerah setempat, dan itu nggak bisa diwakilkan. Bukan hanya aku tapi semua pengusaha sawit yang berada di sana,” jelas Raven menyampaikan alasannya.Kanya memahami argumen Raven. Dalam hal ini ia tidak boleh egois dengan memikirkan dirinya sendiri. Ia juga harus mendukung karir Raven.“Nggak apa-apa, Rav, pergilah,” jawab Kanya merelakan.Raven memindai wajah Kanya, mencoba