Raven merealisasikan kata-katanya mengajak Kanya ke rumah Aline sekaligus yang menjadi rumah orangtuanya. Selama di perjalanan tadi Raven sudah menjanjikan pada Kanya bahwa semua akan berjalan dengan baik-baik saja dan tidak seorang pun berani menyakitinya.Masuk ke halaman rumah dan memarkir mobil dengan rapi, Raven membukakan pintu mobil untuk Kanya lalu mengulurkan tangan dan menggandeng Kanya. Raven berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia akan menebus segala kesalahannya dengan memperlakukan istrinya itu sebaik mungkin. Raven tahu, meski Kanya sudah memaafkannya, tapi ia yakin jauh di relung hati perempuan itu masih tersisa luka yang sulit untuk disembuhkan.Raven tidak perlu mengetuk pintu untuk masuk. Ia langsung membukanya dan mengajak Kanya ke dalam.“Tunggu di sini dulu, saya panggil Mama sebentar.” Raven meminta Kanya menanti di sofa ruang tamu.Dalam hitungan detik Raven sudah menghilang dari ruang pandang Kanya. Raven mencari Aline ke kamar, namun hanya ruang kosong yang di
Setelah meninggalkan rumah ibunya, Raven bermaksud membawa Kanya pulang. Tapi setelah mengetahui jalan yang mereka lalui, Kanya langsung melayangkan protes.“Lho, kenapa jalannya ke sini? Ini kan jalan ke rumah,” ujarnya heran.“Saya mau antar kamu pulang dulu setelahnya mau langsung ke kantor.”“Saya mau langsung ke butik aja, Rav, nggak usah mampir ke rumah.” Kanya sudah siap untuk langsung bekerja. Ia tidak perlu mengganti baju.“Jadi beneran kamu mau tetap kerja di sana?” Raven menatap Kanya lekat, menanyakan keseriusannya.Kanya mengangguk mantap menegaskan keputusannya. “Kita kan sudah sepakat soal ini. Kamu tetap mengizinkan saya kerja walaupun saya sedang hamil.”“Baik, saya antar kamu ke sana sekarang.”Tepat di putaran depan Raven membelokkan mobil menuju arah yang seharusnya. Maunya Raven Kanya tetap berada di rumah tanpa beraktivitas di luar. Namun karena sudah terlanjur berjanji, Raven menepatinya. Ia tidak ingin mengingkari ucapan yang telah diikrarkannya sendiri dan mer
Detik demi detik berlalu dengan cepat. Tanpa terasa sudah berjam-jam Kanya berkutat dengan pekerjaannya. Tadi Wanda mempertemukan Kanya dengan salah satu pelanggan tetap Queen Boutique. Si pelanggan akan mengadakan acara pernikahan untuk putrinya dan ingin memesan baju seragam untuk dipakai seluruh anggota keluarga pada acara tersebut. Mereka menginginkan model yang unik, belum ada yang memakai dan membuat semua mata terpukau. Kanya menawarkan dengan menunjukkan secara garis besar salah satu rancangannya yang saat itu masih berupa imajinasi. Si pelanggan pun setuju.Istirahat sejenak, Kanya melepaskan pensil dari pelukan jari-jarinya kemudian meraih gelas berisi air putih di meja dan menyeruputnya pelan-pelan.Kanya sudah berencana sebelum pulang nanti akan bicara dengan Wanda mengenai status yang selama ini disembunyikannya. Kanya merasa lega karena akhirnya berani mengambil keputusan itu. Hal yang sebelumnya tidak mampu dilakukannya. Sementara di luar butik Aline baru saja datang
Kanya terkesiap ketika telepon di ruangannya tiba-tiba berdering. Memutar kursi yang didudukinya, Kanya mengarah pada meja telepon dan mengangkat gagangnya.“Halo …,” sapanya pelan.“Kanya, kamu sedang sibuk?”“Sedikit, Bu,” jawab Kanya pada Wanda yang saat ini berbicara dengannya.“Bisa ke ruangan saya sebentar?”“Baik, Bu.”Kanya meninggalkan pekerjaaannya kemudian keluar dari ruangannya untuk menemui Wanda. Kanya pikir pastilah Wanda ingin membicarakan mengenai rancangannya, atau apapun yang berhubungan dengan pekerjaannya.Masuk ke ruangan Wanda, Kanya lalu duduk di hadapan perempuan itu. Kanya menunggu apa yang akan disampaikan Wanda padanya.Selama beberapa menit Wanda tidak bersuara. Hanya matanya yang jatuh di wajah Kanya dengan intens. Perempuan tersebut menatap Kanya begitu dalam. Kanya tidak tahu apa yang dipikirkan Wanda saat ini tentang dirinya. Namun, ditatap dengan sedemikian rupa membuatnya sedikit salah tingkah.Tampak gerakan Wanda menghela napas panjang seakan apa
Kanya berdiri di depan cermin. Matanya memindai sekujur tubuh lalu berhenti di tengah-tengah. Tepat pada bagian perutnya. Dari balik baju ia bisa melihat bagian tersebut sudah menunjukkan tonjolan. Perutnya sudah tidak lagi serata dulu. Ingin melihat lebih jelas, Kanya menyingkap bajunya ke atas dan menahan dengan mulutnya. Kanya tersenyum sambil meraba perutnya yang mulai membuncit. Ia mengernyit ketika merasakan getaran dari dalam sana. Tidak. Ia pasti salah. Gerakan itu pasti hanya perasaannya saja.Namun gerakan itu ternyata belum terhenti dan betul-betul ada.“Raven! Raven! Tolong ke sini dulu!” Kanya berteriak memanggil Raven.Raven yang keluar dari kamar mandi buru-buru menemui Kanya. Ia pikir ada sesuatu sampai Kanya menjerit memanggilnya.“Rav, dia gerak! Barusan saya ngerasa gerakannya di dalam sini!” ucap Kanya penuh semangat.Raven menempelkan tangannya ke perut Kanya dan merasakan sendiri gerakan halus itu. “Amazing.” Ia menggumam pelan. “Kanya, saya pikir sudah saatnya
Raven langsung memandang pada Aline begitu mendengar celetukan spontannya. Aline tahu pasti Raven merasa heran atas keinginan tiba-tibanya itu. Semua tidaklah direncana. Ide impulsif itu melintas begitu saja di benaknya. Tapi tentu saja semua itu bukan tanpa tujuan. Dengan adanya anak itu memang tidak akan memenuhi syarat untuk mencairkan warisan papanya Raven. Tapi setidaknya membuat Raven teralihkan dari Kanya.“Rav, aku sungguh-sungguh. Aku kasihan ngeliat anak ini. Kita adopsi ya?”“Yang benar aja, Lin?” Raven kurang setuju dengan rencana itu, masalahnya sebentar lagi mereka juga akan memiliki anak dari Kanya.“Rav, mungkin ideku ini terkesan mendadak tapi aku kasihan sama anak ini. Dia masih kecil, umurnya masih hitungan hari tapi udah yatim piatu. Aku sedih ngeliat dia. Apalagi aku sendiri juga yatim piatu."“Tapi kita nggak tahu siapa orang tuanya, dia berasal dari mana dan entah dari keturunan siapa.” Raven tidak akan lupa betapa selama ini Aline dan Marissa begitu concern p
Setelah Raven tiba di rumah ponselnya masih terus berbunyi. Aline tidak berhenti meneleponnya. Raven sampai gerah dan memutuskan untuk mengabaikannya.Turun dari mobil, Raven langsung melangkah masuk ke rumah. Begitu baru saja tangannya menyentuh knop pintu, daun pintu terbuka lebih dulu dari dalam. Kanya yang membukanya.Raven refleks mengembangkan senyum. Melihat wajah Kanya membuatnya merasa tenteram dan menemukan kedamaian.“Kamu belum tidur?” tanya Raven mengetahui sudah selarut ini Kanya masih bangun.“Saya menunggu kamu pulang dulu,” jawab istrinya itu.“Harusnya nggak usah ditunggu. Kalau kamu sudah ngantuk tidur saja dulu."“Sudah ngantuk, tapi nggak bisa tidur kalau nggak ada kamu.” Jawaban itu terlontar dengan begitu saja dari bibir Kanya tanpa direncana. Kanya tidak akan tahu betapa Raven sangat gemas mendengarnya. Raven merangkul perempuan itu ke kamar lalu mengunci pintu. Hal yang sangat ingin Raven lakukan saat ini adalah beristirahat dengan tenang sambil memeluk Kany
“Karena Bapak udah datang, saya tinggal dulu ya! Oh iya, bentar lagi kan gajian nih, jangan lupa shopping di Female Boutique ya. Lagi ada diskon gede-gedean lho, tapi cuma sampai weekend. Dan khusus buat kalian bakal ada diskon tambahan. Caranya tinggal tunjukin badge aja.” Aline pergi setelah mempromosikan butiknya yang disambut dengan senyum lebar dan cengiran para pegawai perempuan. Kerumunan para pegawai tersebut ikut bubar. Mereka kembali ke tempat masing-masing untuk bekerja.“Kamu sedang apa di sini, Lin?” tanya Raven yang berjalan ke ruangannya.“Aku cuma mau ngenalin anak kita sama pegawai kamu. Ada yang salah?” balas Aline yang merasa tidak melakukan kesalahan apapun. Yang ia lakukan adalah hal yang wajar menurutnya.“Jelas saja salah. Dia bukan anak aku. Anak aku belum lahir dan saat ini masih dikandung ibunya. Kenapa kamu selancang ini?” Raven membuka pintu dengan keras menumpahkan rasa jengkelnya.“Apa kamu lupa, Rav? Aku udah ngizinin kamu untuk menikah lagi demi warisa
Raven termangu sekian lama sambil memandang nanar cincin yang diberikan Kanya langsung ke telapak tangannya.“Nggak bisa begitu, Nya. Kamu nggak bisa membatalkan pernikahan kita hanya karena Qiandra terbukti sebagai anak Davva. Kita sudah merencanakan semua ini dengan matang. Undangan sudah dicetak, gedung sudah di-booking, belum lagi yang lainnya,” tukas Raven tidak terima. Ini bukan hanya semata-mata perihal persiapan pernikahan, melainkan tentang perasaannya pada Kanya. Ia tidak rela melepas Kanya justru setelah perempuan itu berada di genggamannya.“Rav, mengertilah, aku nggak bisa,” jawab Kanya putus asa. Entah bagaimana lagi caranya menjelaskan pada Raven bahwa dirinya benar-benar tidak bisa melanjutkan hubungan mereka.“Kamu minta aku untuk mengerti kamu, tapi apa kamu mengerti aku? Alasan kamu nggak jelas. Kenapa baru sekarang kamu bilang nggak bisa menikah denganku? Kenapa bukan dari sebelum-sebelumnya? Kenapa setelah kedatangan Davva? Semua ini terlalu lucu untuk disebut hany
Waktu saat ini menunjukkan pukul satu malam waktu Indonesia bagian barat, tapi tidak sepicing pun Kanya mampu memejamkan matanya. Adegan demi adegan tadi siang terus membayang. Saat ia bertemu dengan Davva, bicara berdua dari hati ke hati, serta mengungkapkan langsung kegalauannya pada laki-laki itu. Dan Davva dengan begitu bijak menjawab saat Kanya menanyakan apa ia harus memikirkan lagi hubungannya dengan Raven.“Aku rasa aku butuh waktu untuk mengkaji ulang hubungan dengan Raven. Aku nggak mau gagal lagi seperti dulu. Menurut kamu gimana kalau misalnya aku menunda atau membatalkan pernikahan itu?”Davva terlihat kaget mendengar pertanyaan Kanya. Ia memindai raut Kanya dengan seksama demi meyakinkan jika Kanya sungguh-sungguh bertanya padanya. Dan hasilnya adalah Davva melihat keraguan yang begitu kentara di wajah Kanya.“Aku bingung, aku nggak mau gagal lagi.” Kanya mengucapkannya sekali lagi sambil menatap Davva dengan intens.“Follow your heart, Nya. Ikuti apa kata hatimu. Dan ja
Kanya tersentak ketika mendengar ketukan di depan pintu. Pasti itu Raven yang datang, pikirnya. Beberapa hari ini memang tidak bertemu dengan laki-laki itu. Bukan karena mereka ada masalah, tapi karena Kanya sedang butuh waktu untuk sendiri.Mengayunkan langkah ke depan, Kanya membuka pintu. Tubuhnya membeku seketika begitu mengetahui siapa yang saat ini berdiri tegak di hadapannya. Bukan Raven seperti yang tadi menjadi dugaannya, tapi ...“Dav ...”Davva membalas gumaman Kanya dengan membawa perempuan itu ke dalam pelukannya.“Aku baru tahu semuanya dari Raven. Aku minta maaf karena waktu itu ninggalin kamu. Aku nggak tahu kalau kamu hamil anak kita,” bisik Davva pelan penuh penyesalan.“Kamu nggak salah, Dav, aku yang salah. Aku pikir Qiandra anak Raven,” isak Kanya dalam dekapan laki-laki itu.Kenyataan bahwa Qiandra adalah darah daging Davva membuat Kanya begitu terpukul. Beberapa hari ini ia merenungi diri dan menyesali betapa bodoh dirinya yang tidak tahu mengenai hal tersebut.
Davva menegakkan duduknya lalu memfokuskan pendengarannya pada Raven yang menelepon dari benua yang berbeda dengannya.“Sorry, Rav, ini kita lagi membicarakan siapa? Baby girl apa maksudnya?” Davva ingin Raven memperjelas maksud ucapannya. Apa mungkin Raven salah orang? “Ini aku Davva. Kamu yakin yang mau ditelepon Davva aku? Atau mungkin Davva yang lain tapi salah dial?”“Aku nggak salah orang. Hanya ada satu Davva yang berhubungan dengan hidupku dan Kanya, yaitu kamu," tegas Raven.Perasaaan Davva semakin tegang mendengarnya, apalagi mendengar nada serius dari nada suara Raven.“Jadi maksudnya baby girl apa? Kenapa kasih selamat sama aku?” tanya Davva tidak mengerti. Justru seharusnya Davvalah yang menyampaikan ucapan tersebut pada Raven karena dialah yang berada di posisi itu.“Aku tahu semua ini nggak akan cukup kalau hanya disampaikan melalui telepon. Ceritanya panjang. Tapi aku harus bilang sekarang kalau Qiandra adalah anak kandung kamu, Dav. Dia bukan darah dagingku. Hasil tes
Kanya mengajak Raven keluar dari ruangan dokter. Mereka tidak mungkin berdebat apalagi sampai bertengkar di sana.“Jawab pertanyaanku, Nya, siapa bapak anak itu?” Raven kembali mendesak setelah mereka tiba di luar.Kanya menggelengkan kepala. Bukan karena tidak tahu, tapi juga akibat syok mendapati kenyataan yang tidak disangka-sangka.“Jadi kamu nggak tahu siapa bapak anak itu? Memangnya berapa banyak lelaki yang meniduri kamu, Nya?” Kanya membuat Raven hampir saja terpancing emosi.“Jangan pernah menuduhkku sembarangan, Rav! Aku bukan perempuan murahan yang akan tidur dengan laki-laki sembarangan! Aku masih punya harga diri,” bantah Kanya membela diri.“Tapi hasil tes itu nggak mungkin berbohong, Kanya!” ucap Raven gregetan. “Ini rumah sakit internasional, tenaga medis di sini juga profesional. Mereka nggak akan mungkin salah menentukan hasil tes. Jangan kamu pikir mamaku yang mengacaukan agar hasilnya berbeda. Ini kehidupan nyata, Kanya, bukan adegan sinetron!”Suara tinggi Raven m
“Kanya, aku rasa sudah saatnya kita lakukan tes DNA. Aku nggak mau menunggu lagi. Aku nggak bisa melihat kamu mengurus anak-anak kita sendiri.”Kanya menolehkan kepalanya kala mendengar ucapan Raven.Hari ini baby Qiandra berumur satu bulan. Kanya sudah sejak lama pulang dari rumah sakit. Kondisinya pasca persalinan juga sangat baik.Setelah saat itu Raven datang ke rumah sakit, Davva pergi tiba-tiba. Padahal Raven ingin mengucapkan terima kasih padanya.“Siang ini aku harus pulang ke NY, Nya.” Itu alasan Davva saat Kanya menelepon menanyakan keberadaannya.“Tapi kenapa kamu pergi nggak bilang aku dulu?”“Maaf banget ya, Nya, aku ada panggilan mendadak dan nggak sempat bilang ke kamu.”Setelah hari itu Kanya tidak pernah lagi berkomunikasi dengan Davva. Davva sibuk dengan pekerjaannya, Kanya juga sedang menikmati hari-harinya memiliki buah hati yang baru.“Kanya! Gimana?” tegur Raven meminta jawaban lantaran Kanya tidak menjawab.“Harus banget ya tes DNA itu?” Kanya masih merasa keber
Pria itu baru saja keluar dari mobil lalu menarik langkah cepat. Ia mengangguk sepintas pada seseorang saat berpapasan. Entah siapa orang itu tidak terekam di benaknya. Ia hanya ingin segera tiba secepatnya di kamar lalu beristirahat sepuasnya.Smart lock kamarnya berbunyi kecil saat mendeteksi kesesuaian. Pintu kamar pun terbuka.Raven—lelaki itu langsung masuk. Begitu melihat hamparan kasur ia langsung menghambur. Hari ini begitu melelahkan. Pertemuan serta dengar pendapat dengan pemerintah daerah tadi siang berlangsung dengan alot. Pemerintah setempat memberi banyak tuntutan yang kurang masuk akal kepada para pengusaha yang sebagian besar tidak bisa mereka penuhi.Tatapan Raven berlabuh pada benda seukuran telapak tangan yang terselip di antara bantal. Ternyata Raven lupa membawa ponselnya yang ternyata berada dalam keadaan mati.Sambil berbaring Raven menyalakannya. Beberapa detik kemudian setelah mendapat sinyal, notifikasinya berdenting. Raven terkesiap ketika membaca pesan dari
Sedikit pun tidak terlintas di pikiran Kanya bahwa dirinya akan menghadapi hal menakjubkan di dalam hidupnya, yaitu melakukan persalinan sendiri tanpa bantuan tenaga medis dan terjadi di tempat yang sama sekali tidak disangka-sangka.Setelah melahirkan di toilet SPBU ditemani Davva, Kanya mendapat pertolongan dan dibawa ke rumah sakit terdekat. Cerita tentang persalinan di toilet tersebut menjadi buah bibir di sekitar tempat itu, tapi untung tidak sampai viral, karena Kanya tidak ingin populer dengan cara tersebut.Setelah proses observasi, saat ini Kanya berada di ruang rawat. Kondisi Kanya masih terlihat lemah karena kehilangan banyak energi. Tapi perasaan bahagia yang begitu dalam menyelimuti hatinya melihat bayi perempuan yang dilahirkannya begitu sehat, normal, serta lengkap seluruh organ tubuhnya. Bayi mungil itu saat ini berada di dalam box yang diletakkan di samping tempat tidur Kanya.Monic begitu gembira karena pada akhirnya keinginan anak itu untuk memiliki adik perempuan m
“Kanya, maaf sekali, aku nggak bisa menemani kamu lahiran.”Kanya yang saat itu sedang menyesap juice apel refleks memandang ke arah Raven kala mendengar ucapan laki-laki itu. Bagaimana tidak, mereka sudah merencanakannya jauh-jauh hari. Bahkan Raven sudah mem-booking rumah sakit terbaik untuk proses persalinan Kanya. Lalu dengan seenaknya sekarang Raven mengatakan tidak bisa.Raven mengangkat tangan sebagai isyarat bahwa ia akan menjelaskan alasannya pada Kanya sebelum perempuan itu mengajukan aksi protes.“Aku baru mendapat telepon dari asistenku di daerah. Dia bilang ada undangan untuk pertemuan dari pemerintah daerah setempat, dan itu nggak bisa diwakilkan. Bukan hanya aku tapi semua pengusaha sawit yang berada di sana,” jelas Raven menyampaikan alasannya.Kanya memahami argumen Raven. Dalam hal ini ia tidak boleh egois dengan memikirkan dirinya sendiri. Ia juga harus mendukung karir Raven.“Nggak apa-apa, Rav, pergilah,” jawab Kanya merelakan.Raven memindai wajah Kanya, mencoba