Lega, dengan bantuan Sazlina, pernikahan rahasia dengan Daehan telah sampai di telinga ibunya. Meski sempat diwarnai drama serta ada ucapan dan kalimat tidak enak, wanita agung itu mau juga memahami dan menerima fakta statusnya yang sudah dinikahi oleh anak orang secara diam-diam. Bisa jadi sebab lelakinya adalah Daehan yang bukan orang sembarangan. Jika bukan, mungkin drama ibunya akan lebih panjang dan berliku. Kini Shanumi hanya penuh rasa syukur, akhirnya berjodoh dengan lelaki yang dikirimkan oleh-Nya melalui jalur musibah kala itu. “Jam berapa datang, Nok?” tanya kakaknya yang sudah rapi dan baru mandi. Mereka berada di dapur. “Katanya sore, Mbak. Ini kan sudah lama lewat ashar…,” jawab Shanumi galau.“Ya sudah, kamu mandi dulu saja. Nanti kelewat maghrib, tetapi mereka nggak datang juga!” seru Sazlina sambil menyambar tudung saji. “Iyalah, Mbak. Tungguin ya, nggak papa, kan?” tanya Shanumi sambil memandang saksama kakaknya. Bagaimanapun merasa tidak enak terus sebab mendahu
Daehan sudah memakai tshirt saat Shanumi selesai berwudhu dan keluar dari kamar mandi. Berusaha keras untuk tidak banyak kali memandang. Buru-buru dipakainya mukena dan pura-pura tidak perhatian. Lelaki yang sudah berbaju santai dan tidak lagi berkemeja atau berkostum formal itu justru terlihat keren di kamarnya. Sedang bermain ponsel dengan merebah santai di pembaringan. Rasanya luar biasa. Setelah berpuluh tahun usianya menghuni kamar tanpa orang. Kini ada teman tiba-tiba, bahkan lelaki yang disuka dan sudah sah suaminya. Ah, indah sekali rasa hidup di dunia! Shanumi menambah satu sujud sebelum melepas mukena. Tak habis beryukur akan takdir luar biasa yang tidak disangka tetapi sangat indah di hidupnya. Semoga jodohnya adalah kekal untuk di dunia dan kelak di jannahnya. “Cepat sedikit dong, Shan, ah!” seru Daehan mengejutkan. Membuat jantung Shanumi berdetak kencang dan lebih cepat. “Iya, ish! Ini dah selesai!” Buru-buru Shanumi melihat mukena dan meletakkan di meja semula. Sus
Shanumi yang dipeluk erat Daehan merasa janggal. Meski baru beberapa kali tidur seranjang bersama suami, tetapi mudah diendus jika gelagatnya seperti menyimpan sesuatu. Pandangannya sesekali terlihat jauh. “Ada apa? Kayak gelisah …,” tanya Shanumi sambil menowel lengan Daehan yang melingkar di perutnya. Daehan tidak membuka mulut. Justru mengubah posisi tangan dari memeluk pinggang bergeser ke dadda.“Mas … jangan mulai lagi, please. Tidur dulu, sambung besok aja habis mandi dan subuhan.” Shanumi menahan tangan Daehan yang kembali ingin nakal, merasa kali ini tidak nyaman. Tiba-tiba ponsel Daehan berbunyi kembali. Itu bukan pesan di aplikasi, melainkan sebuah panggilan. Lagi-lagi musik yang mengalun membuatnya frustasi. Lagu panggilan masuk spesial dan indah saat itu, kini membuatnya ingin muntah. “Nggak diangkat?” usik Shanumi yang merasa jika Daehan begitu tegang selama panggilan masuk berbunyi. “Nggak perlu.” Daehan menyahut kaku. Ada kesan marah yang bahkan wajahnya terlihat
Benar dugaan Shanumi. Pada akhirnya motif Intana ingin dirinya datang adalah faktor makanan. Terungkap jika perempuan hamil yang kini terbaring lemah di rumah sakit itu sangat menginginkan makan hasil masakan dari tangannya langsung. Mereka bertiga sudah sampai di Surabaya lebih cepat. Biasa waktu tempuh adalah dua hingga tiga jam, ini hanya memakan waktu satu jam setengah saja. Jalanan lengang tengah malam membuat Agung lancar meluncur meninggalkan kawasan dingin Batu dengan kecepatan cahaya sesuai permintaan Daehan. Bukan langsung ke rumah sakit, tetapi mereka menuju ke apartemen. “Sudah?” tanya Daehan yang baru menghabiskan secangkir kopi buatan istri. Dia berdiri dan keluar dari kursi. Selama Shanumi membuat bubur ayam di dapur, Daehan memilih menemaninya dengan duduk di meja makan. Memperhatikan kebaikan istri yang sedang beraktivitas demi memenuhi permintaan mantan rival. Sambil sesekali menyeruput kopi hingga selesai dibuat bubur ayam yang akan dibawa ke rumah sakit.
Tiga pasang mata menunggu dengan perasaan berdebar. Fokus pada seonggok badan kurus yang matanya rapat memejam di atas ranjang. “Sepertinya Intana tidak ingin bangun, Ma.” Daehan memutuskan setelah menunggu agak lama. Mamanya Intana tidak menanggapi, terus fokus pada posisi putrinya. “Jangan pulang, lihat! Intana mulai bangun! Dia tadi hanya tidur setelah minum vitamin!” seru mamanya Intana tiba-tiba. Bergeser mendekat lagi ke ranjang dan Shanumi kini yang menjauh. “Tan, lihat siapa yang datang… Shanumi!” Mamanya berbicara sambil mendekatkan bibir di telinga Intana. “Shanumi….” Intana yang dari membuka mata sudah memandang Shanumi pun menyapa. Sedikit tersenyum sebab untuk melebar pun terasa payah. “Iya, Tan. Aku datang dengan Mas Daehan. Apa yang kamu rasa…?” tanya Shanumi perhatian. Sungguh trenyuh dengan fisik Intana yang sangat kurus, pucat dan berbibir gelap yang kering. Bahkan rambutnya pun kusam dan kusut. “Aku… rasanya… aku… Ma, rasanya aku lapar sekali. Apa…,” jawab Int
“Aku minta maaf denganmu, Shanumi. Pada Mas Daehan, aku sudah minta maaf meski dia tidak pernah satu kata pun menjawabku. Sekali lagi aku minta maaf sudah curang di belakangmu, Mas. Mungkin, ini adalah takdir dari Tuhan untuk bertemu siapa sebetulnya jodoh kita.” Intana mulai bicara sungguh-sungguh dengan raut wajahnya yang cekung dan pucat. “Lebih tepatnya teguran, Intana.” Daehan meralat dingin. “Baiklah, aku tahu, Mas.” Intana memilih untuk mengalah. Toh, dirinya memang sudah salah fatal yang sangat mengecewakan seorang lelaki baik seperti Daehan. Meski dirinya juga sakit hati yang dalam. Sebab tiba-tiba Daehan sudah menikah dengan Shanumi di belakangnya. Menurut Intana ini juga curang sekaligus adalah Impas. “Shanumi, aku ingin jujur. Sebetulnya aku sudah tahu tentang kamu sejak lama. Aku sudah jahat, pernah mengirimkanmu foto tidak senonohku dengan Mas Erick. Seperti tujuanku, kalian kemudian berpisah. Saat itu aku senang dan merasa puas, padahal aku sudah dengan Mas Daehan.”
🍒Sazlina kerap digunjing oleh juliders sebab dianggap perawan tua yang dilangkahi. Merasa iba, Khaisan menawarkan diri menikahi.Mereka berdua adalah dua ipar, kakak dari kedua adik di pihak lelaki dan perempuan yang menikah. Memiliki kisah sama yakni dilangkahi. Sazlina mengira jalan pernikahan mereka akan mudah, rupanya salah. Khaisan ternyata adalah lelaki dingin yang tidak pernah menyentuhnya setelah menikahi. Walau begitu, Sazlina tidak putus asa untuk rela mengabdi demi mengambil hati suami meski kerap tersakiti. Namun, kenapa Khaisan tidak juga tersentuh? Ternyata, pria tampan dan mapan itu memiliki alasan kuat yang sangat membagongkan! 🍒🍓Happy Reading🍓Resepsi pernikahan pada hotel berbintang di Surabaya sangatlah hingar bingar. Semua tamu undangan yang datang sedang menyungging senyuman. Bersalam tangan dengan pengantin bahagia yang duduk berdua di pelaminan. Begitu juga dengan Sazlina Hanum, menunjuk gigi hingga bibir terasa kering meski semua senyumnya adalah palsu.
Kelar urusan dalam toilet, Sazlina berniat untuk kembali ke jantung acara. Botol minuman diambil lagi dan dibuka. Sebab meja cukup rendah tanpa benda lain di atasnya, dia duduk di situ sambil meminum isi botol hingga habis tanpa sisa. Lalu berdiri dan menghampiri tempat sampah untuk membuang botol di sana. Berjalan beberapa langkah menuju pintu, gadis itu berhenti dan merasa bingung. Dalam pandangan matanya semua pintu dalam toilet tiba-tiba jadi pudar dan berubah seputih dinding. “Kenapa seperti ini, ini halusinasi atau kepalaku yang bermasalah… apa aku darah rendah,” gumam Sazlina dengan berdiri tegak di tempat. Merasa untuk maju salah, mundur pun bermasalah. Mengharap seseorang akan masuk ke toilet dan menolong untuk lanjut berjalan. Kini bukan pandangan saja yang buram, tetapi kepala sudah tidak karuan rasanya. “Kamu kenapa, Mbak?” suara lelaki di depannya membuat Sazlina lega sebelum sempat teringat jika ini adalah toilet khusus wanita. “Maaf, Mas. Tolong bawa aku ke pintu k
Farida berekspresi waswas dan curiga. Matanya tidak lagi sayu, tetapi melebar dan nanar. Tanda tidak menyangka jika KTP nya diabadikan Daishin dalam ponsel dan wanita itu ternyata sangat tidak rela. Resah jika akan dijadikan apa-apa. Sikap Farida membuat Daishin semakin curiga tetapi hanya menghela napas panjang. Merasa sangat lelah dan tidak guna terus disanggah. “Sebaiknya kamu pergi dan jangan datang datang dulu sebelum mendapat kabar dariku, Farida. Tolong, saling mengertilah terhadap wanita hamil. Sudah jelas jika istri ku pun sedang berperut besar, kan? Sebagai sesama wanita, seharusnya paham dengan perasaan istriku. Apa kau siap kutuntut jika ada apa-apa dengan istriku dan kehamilannya?” tanya Daishin dengan tatapan berapi. Melirik Osara yang seperti tidak peduli. Kini tengah sibuk dengan ponselnya. Ah, apa dia pun juga tidak peduli andai ini benar? Sesaat Daishin justru tidak puas hati dengan sikap Osara yang tampak kelewat tenang. Apa justru terlalu marah, kecewa dan kesal
Daishin bungkam meski merasa semakin kesal melihat wanita spesial itu menangis. Kepalanya berputar kencang, bagaimana agar Clara benar-benar jera. Apakah harus menyerahkannya pada polisi? Tetapi kasus itu terjadi di luar negara, bisakah? Bagaimana jika dipermudah dengan keluar uang? Daishin bimbang dan bertanya-tanya sambil menahan marah. “Untuk apa menangis? Sudahlah, Ma! Yakinlah, Itu tidak lama. Atau jika Mama tega, sebaiknya kembalikan saja dia ke Jepang. Kurasa dia tidak akan berani mengusik Mas Kha di sana. Daripada Mama tersiksa. Di sini pun, aku yang dia incar. Mama pikir aku bisa menidurinya? Dia sudah seperti adik bagiku. Sayangnya dia gila.”“Oh, ya, Ma. Tolong, jangan lagi periksa di klinik itu. Osara benar-benar tidak ingin bertemu Clara. Bawa pergi dia dari sini segera. Aku permisi, Ma,” ucap Daishin dingin. Dengan mengeraskan hati, ditinggalkannya Mama Hana yang masih tersedu dan berlinang air mata. Merasa heran sendiri, kenapa Darhan dan Papa Samuel tidak berusaha men
Osara telah diantar hingga rumah dan Mak Yem siaga untuk membuka dan menutup pintunya. Istri kembali tampak bad mood sejak pagi menjelang siang. Daishin sangat tahu apa alasannya hingga terus diam-diam seperti itu. Menilai jika mama Hana tega sekali. Sudah pernah sepakat bahwa itu adalah klinik kandungan pilihan Osara dan Clara pun memiliki klinik kandungan biasanya. Jika sedang tutup, apa salahnya ditunda sejam dua jam atau sehari dua hari. Meski kebetulan, nyatanya berbenturan juga dengan jadwal kontrol istrinya hingga keduanya bertemu. Hal yang sangat ditakuti Osara. Daishin berniat akan membicarakan serius hal ini dengan Mama Hana. Lelaki tampan dan berkulit cerah tetapi sudah suami orang itu mendatangi ruang tunggu di butiknya. Seorang wanita cantik memandang ke arahnya sambil tersenyum sumringah. Daishin membalas ramah dan menyadari jika calon customernya itu sedang hamil besar. Pembicaraan pada negosiasi segera Daishin buka demi tidak banyak basa basi. Jiwanya memang pebisni
Enam bulan kemudian, di kota besar Surabaya. Jum'at pagi ini sepasangan suami istri yang berbahagia itu tampak cerah wajahnya. Tengah bersiap untuk pergi ke salah satu alamat klinik langganan di Kota Surabaya demi bertemu dengan seorang Dokter Kandungan langganan selama ini. Wanita cantik bergamis tetapi belum berkerudung sedang mengemas piring yang baru dipakai dari atas meja makan. Pembantu rumah yang tidak pernah menginap, baru saja datang dan meminta maaf sebab telat. Langsung mengambil alih piring dan wadah kotor dari tangan Osara. “Maaf, Mbak. Pagi-pagi udah macet, jadi saya terpaksa telat …,” jelas pembantu rumah dengan senyuman khas Jawa nya.anis dan polos. Berusia mendekati lima puluhan tahun tetapi teeltihat muda sebab wajahnya bersih dan berkulit sawo matang “Gak papa, Mak Yem.” Osara menyahut dengan membalas tulus senyumannya. Berjalan meninggalkan meja makan dan mengambil mesin pengering rambut untuk dibawa ke dalam kamar. Menempatkan diri di depan cermin rias
Seorang lelaki Jepang tua sedang menyapu pelataran sempit rumah baru dan menyadari kedatangan tuannya. Buru-buru meletak sapu, mengucapkan selamat sore dan berakhir dengan membungkukkan badan tuanya. “Apa rumah sudah bersih?” tanya Daishin bernada sopan dalam bahasa Indonesia. “Sudah, Mas. Silahkan.” Pria itu menyambut dengan berjalan memimpin. Langkah kakinya gesit meski tidak lebar. Bukan juga langkah panjang sebab tinggi badan sekadar pas pasan. Mungkin sebatas telinga Osara. “Kenapa guna bahasa Indonesia?” tanya Osara setelah mereka berada dalam rumah yang pintunya dibukakan oleh lelaki tadi dan kini terbiar terbuka. Lelaki tua pun menyapu di halaman kembali.“Asalnya dia orang Indonesia, orang dari Kabupaten Blitar, emak Jawa-bapaknya Jepang. Sama keluarga bapaknya, dia dicari dan dibawa ke sini sejak remaja,” Daishin menjelaskan sambil meletakkan koper mini yang setia dibawanya di samping sofa. “Kapan kita ke Surabaya?” tanya Osara sambil membuka koper. Menarik keluar beber
Mereka yang di sofa terlihat tegang. Apalagi Osara dan Daishin sama-sama tidak bersuara. Sepertinya sangat keberatan jika Clara dibawa Mama Hana ke Surabaya. Padahal ingin damai menyingkir jauh dengan pulang ke negara seberang. Sedang Daishin pun ingin merintis usaha baru di kota yang sama. Sangat tidak ingin melihat juga mendengar nama Clara di kehidupan masa depan. “Baiklah, jadikan ini saksi. Anggap lah kita semua setuju dengan keinginan Mama Hana yang akan bertanggung jawab dan membawa Clara ke Surabaya. Kita kasih kesempatan satu kali. Aku akan ikut memantau. Jika dia sekali lagi berbuat jahat. Aku yang akan menyerahkan dia ke polisi. Bagaimana, apa semua setuju? Osara juga Daishin, bagaimana? Mengingat kondisi Mama Hana seperti itu…,” ucap Erick tegas dan mendesak.. “Merasa tidak sabar dengan masalah yang tanpa ujung. Meski ini memang tidak adil bagi Osara, tetapi demi memeluk sekeluarga, kuharap … terutama Osara dan Daishin, kalian semua bisa rela. Jangan khawatir, aku akan i
Mereka bertiga memasuki rumah megah bercat putih bersih bak kastil modern dengan langkah cepat. Mobil sewa baru saja berlalu setelah mendapatkan upah jasa dari Erick yang membuat wajah driver tersenyum sangat cerah. Daishin melangkah panjang memasuki pintu rumah dan melewati taman menuju ruang utama. Telah duduk banyak orang yang menyebar di beberapa set sofa ruang tamu. Sekilas melihat SazLina duduk bersebelahan dengan Khaisan. Papa Samuel duduk berdampinban dengan Daehan. Di lain sofa, ada Shanumi yang duduk sendirian sambil melihat ponselnya. Satu lagi perempuan yang sepertinya seorang perawat. Memakai baju putih khas seragam divisinya. Mereka langsung berdiri serentak dan menyongsong kedatangan Osara, Daishin dan Erick. “Assalamu'alaikum. Bagaimana keadaan Mama, Pa?” Daishin tampak benar-benar panik meski yang dia tanyakan hanyalah berstatus mama asuh. “Wa'alaikumsalam!”“Wa'alaikumsalam!”“Wa'alaikumsalam!”“Wa'alaikumsalam!”“Wa'alaikumsalam!”Semua menjawab bersahutan dan m
Perjalanan turun dari kaki Fuji terasa jauh lebih cepat daripada kala berangkat. Padahal juga terasa singkat saat menaiki mobil Rashid bersama dua algojonya. Bedanya saat itu terasa singkat sebab rasa waswas dan rasa takut yang sangat. Kali ini terasa cepat sebab sangat menyenangkan dengan perasaan yang nyaman. Bersama para lelaki baik terutama suami yang duduk di sebelahnya. Mentari pagi semakin memperjelas pemandangan memukau di sepanjang sisi jalan. Dari padang rumput yang menghampar indah dengan warna hijau terang yang tenang. Menyambung bangunan kuil-kuil megah yang terlihat amat rumit dan indah. Serta bangunan kokoh Pagoda yang menakjubkan dan unik. Kini bergeser pada hutan lebat serta pepohonan raksasa di sepanjang tepian jalan. Serasa sedang berasa di alam dunia lain. Kemudian disambut beberapa genangan air super luas yang tak lain adalah danau-danau. Luar biasa mempesona dengan memantulkan bayangan Gunung Fuji. Mendadak Osara sangat ingin berhenti. Andai singgah seben
Pengatur suhu telah bekerja sangat baik dalam ruangan. Meski hawa di luaran lereng Fuji sangat lah membekukan, tetapi terasa dingin yang nyaman dalam kamar. Begitu pun dengan kamar yang semula di sewa oleh lelaki single dan sekarang bertukar isi oleh pasangan suami istri yang baru menikah. Mungkin adanya mereka membuat pengatur suhu bekerja lebih berat dan merasa jadi lelah. Sebentar memanas, lalu mereda, sebentar hangat yang kemudian kembali memanas. Mereka sedang tenggelam dalam percummbuan hebat saat ponsel menerbitkan alarm adzan tiba-tiba. Sesaat mereka abai tetapi sama-sama mematung kemudian. “Adzan, Shin….” Osara berkata sambil terengah. Wajahnya sudah memerah karena alir di darahnya berubah kencang sebab hasrat. “Hanya alarm…,” ucap Daishin berkilah. Tetapi juga mematung tidak lagi berulah. Wajahnya pun tidak kalah merah dari Osara. “Kalo hanya alarm, dimatikan saja, kan…,” ucap Osara memancing dengan napas yang masih terasa berat. Daishin menatapnya penuh bimbang.