“Mau ke mana, Mbak?” tanya Mila saat bos kafe turun tangga membawa harum yang semerbak. “Ke rumah Yena sebentar, Mil.” Shanumi sumringah dan cerah. “Udah malem, Mbak.” Mila melongok jam dinding, pukul delapan malam. “Iya, nunggu hujan reda sih. Paling di sana bentar saja. Takut kejebak hujan jika turun lagi,” ucap Shanumi sambil berjalan ke belakang. Mengambil segunung parcel buah dan sekotak paket delivery kafe. Telah disiapkan untuk Yena dengan hati bahagia. Seminggu lebih tak bertemu membuat hatinya sangat rindu. Terlebih sedang ada hal gembira yang akan dia kabarkan. Shanumi berjalan ke depan lagi sambil salam sekilas pada anak kafe yang dijumpa terlebih pada Mila. Anak kafe selain Yena yang coba dia percaya. Terlihat cerdas dan jujur juga satu-satunya hijaber di antara anak kafe. Berharap penampilan luar seiring baiknya dengan kepribadian luar dalam. Selebihnya, Shanumi pasrahkan kepada yang di atas. Juga pada CCTV kafe yang belakangan dipasangnya.Blak! “Shanumi!”Bunyi p
Shanum merasa lega, suara riuh yang membuat merinding tetapi bukan seram telah redam perlahan dan sama sekali menghilang. Hanya deras jatuh hujan yang kembali menerobos ke gendang telinga. Keinginan untuk kembali tidur, nyatanya gagal total. Suara membuka pintu membuat Shanumi cepat memejamkan mata dan tidur pura-pura. Hingga lama, Yena tidak juga kembali menyusul. Berharap tidak usah, sebab perasaan jadi tidak nyaman. Mungkin Yena atau suami atau juga keduanya hanya pergi ke kamar mandi di belakang. Shanumi berusaha keras untuk santai dan tidur. Namun, Shanumi kembali tegang dan berdebar di pembaringan. Suara parau Yena kembali mengudara. Kian lama kian heboh. Mereka kembali berassyik massyuk di kamar sebelah dan mungkin sedang lupa di daratan, menganggap tengah berlayar seru di lautan. Atau lupa sedang berada di rumah tanpa kedap suara dan menganggap di stadion sepak bola Gelora Bung Tomo Surabaya yang bebas semaunya. “Aduh,” keluh Shanumi merasa sangat tidak nyaman. Menutup teli
“Aku ingin melihatmu.” Meski Daehan tidak berbuat apa pun dan Shanumi masih berselimut. Ucapan lelaki itu seperti menunjuk jika dia sudah berbuat lebih dari apa yang dikatakan. “Tidak sopan, emang aku cewek apaan?!” sembur Shanumi sengit dengan mata kian melotot. Daehan menahan tawa. Sikap Shanumi yang galak justru membuat gemas. Mata indah lebarnya juga membuat sangat cantik. Lagi-lagi jadi pemicu jiwa lelakinya bergolak hebat. “Kamu itu bukan cewek lagi. Tapi istri, Shanumi!” Daehan mendekati. Sudah sangat memahami, terlihat sengit sebegitu saja. Selebihnya, Daehan yakin akan mudah membuat luluh. “Istri, istri siapa aku?” tanya Shanumi mencemooh. Lelah raga dan hawa dingin seolah menguap, bertukar rasa tegang menghadapi Daehan. “Emang ada lelaki lain yang sudah mengawinimu selainku?” tanya Daehan sambil tertawa santai. Tidak sebanding dengan Shanumi yang berapi. “Emang nggak ada selainmu. Tapi nanti akan ada. Kita sudah putus. Nikahan hanya status rahasia di KUA. Selebihnya
Yang dia yakini tidak salah, bukan susah membuat luluh Shanumi di depannya. Yang mula menolak keberatan, kini pasrah dengan tampilan menakjubkan. Mengingat selama ini tidak berbuat hal-hal melanggar bersama Erick, bahkan sempat dibanggakan pria itu di depan orang, kini Daehan merasa puas telah membuat Shanumi tanpa busana karenanya. Jiwa pongah sebagai lelaki sedang membahana. “Bagaimana perasaanmu…?” tanya Daehan parau. Menghentikan segala gerak cumbuann. Setelah lama terlena kini kepo akan perasaan gadis yang telah dibuatnya tak berdaya. “Aku tidak tahu…,” sahut Shanum tercekat menahan malu. Berpaling wajah ke samping dengan cepat, menyimpan rona pias dan memerah di kulit cerahnya. Daehan yang menindih pun mengambil wajah itu dan mereka saling pandang. “Ini yang pertama bagimu?” tanya Daehan sayu dengan napas yang ditahan. “Kalo bukan yang pertama, emang aku pernah melakukan seperti ini dengan siapa?” sahut Shanumi dengan membantah biasanya, tetapi dengan nada yang berbeda, m
Shanumi meninggalkan Daehan yang tidur pulas di kamarnya. Mandi dini hari dengan guyuran air dingin yang menyegarkan dan mensucikan di kamar sebelah. Bukan dingin, hawa Surabaya senantiasa gerah tanpa pandang musim dan waktu. Berulangkali meyakini jika Daehan tidak sampai menodai dalam artian diri tetap virgin. Meski tidak sesuci sebelumnya, masih ada mahkota yang dibanggakan dan bisa dibawa ke hadapan suami kelak dengan rela. Ah, siapa nanti suaminya?Mendadak bayang Daehan yang sedang membawa mengarungi nirwana barusan justru terbayang kencang. Begitu lihai dan seperti bukan pengalaman yang pertama. Mungkin seperti itulah lelaki, sudah naluriah sebagai pemimpin di segala situasi dan kondisi. Salutnya, pria itu bisa membawa terbang mengawang tanpa perlu membuat dirinya kesakitan. Seperti kata Yena saat making love pertama kali dengan suaminya! "Ah, tentu saja beda. Daehan kan tidak...," ucap Shanumi di bawah guyur shower. Bibirnya tersenyum tetapi tampak sedih. Kamar sebelah….Dae
Shanumi tidak meneruskan ucap sapanya. Sebab ragu akan nama lelaki yang lupa-lupa di ingatan. “Anthony …?” ucap lelaki itu menyambung keraguan Shanumi dan disusul senyum yang lebar. “Oh, iya. Anda Pak Anthony, benar sekali.” Shanumi menatap lekat seolah sambil memastikan. Gadis itu pun ikut lebar tersenyum sambil mengangguk mengingatnya. Nyeri di kepala terlupakan sementara. Juga merasa heran jika mereka bisa bertemu di hari sepagi ini.“Apa di Majapahit sedang tidak ada tamu hingga bapak besarnya bisa berlari ke sini pagi-pagi?” Shanumi ingin bercanda demi kian mengurangi rasa pening. Lelaki yang menyebut diri Anthony tertawa lebar karenanya. “Aku di sini bukan lari pagi, tetapi mengantar temanku pergi periksa. Dia bilang agak tidak enak badan hari-hari belakangan.” Anthony sambil menunjuk arah klinik. “Perempuan …?” tanya Shanumi dengan maksud jenaka. Anthony adalah CEO Hotel Majapahit rekan Daehan yang sempat menggodanya waktu itu.“Ya … ya … ya perempuan …,” ucap Anthony kian
Belakangan ini rasa di kepala, mulut, lidah dan perut seperti bersepakat. Pusing, mual dan muntah jika ada makanan, apalagi jika dimasukkan paksa ke perut. Hingga tubuh terasa lemah dengan lambung terasa lekat dan perih. Hanya ranjang yang jadi tempat favorit terbarunya. Ini pun sanggup kelayapan sebab ditunjang resep dokter. Juga emosi jiwa yang meletup tak ditahan. Mematikan sejenak mual dan pusing yang membuatnya sedikit memiliki kekuatan untuk mendatangi sang tunangan. Namun, tidak dengan napsu makan yang masih gagal juga dipaksakan. Semua rasa kini berbeda, melihat makanan yang barusan diantar kurir, rasa penasaran akan apa menu dibalik kemasan sangatlah menggebu. Mencium bau masakan apapun yang akan membuat mual dan pusing, kini beraroma begitu sedap dan ingin. Tidak sabaran membuka kemasan hingga koyak di pojok tutupnya. Intana tidak peduli dan segera disendoknya. Daehan hanya membiarkan dan sambil mengamati tingkah Intana yang kali ini cukup janggal. Merasa iba yang Intana
Erick sungguh kesal, Daehan abai dan tidak menjawab tanyanya. Kini mulai asyik menyendok makanan yang dengan cepat sudah diantar oleh Dena ke meja. Terlihat fokus dan seolah Erick tidak ada. Bahkan pura-pura menawari pun tidak. Erick mengedar pandangan sekilas. Takjub akan aliran pengunjung yang deras. Mungkin salah satu andalan SS Kafe adalah kecepatan dalam pelayanan dan penyajian. Sehingga pengunjung tidak sampai suntuk sebab menunggu. Mereka tidak akan ragu datang lagi. Tentu modal utama adalah kelezatan makanan dan harga yang sesuai. “Kubilang padamu, jangan coba mengambil hati Shanumi. Intana sudah aku relakan dan tidak lagi aku usik. Jagalah milikmu sendiri baik-baik.” Erick mulai bersuara, berusaha membuat Daehan berbicara. Andai bukan tempat orang yang bahkan milik Shanumi, ingin sekali mengajak Daehan berduel. Sebagai lelaki sangat tidak terima diabaikan.“Selama undangan belum disebar dan janur kuning belum dilengkung, apa salahnya, Mas Erick?” ucap Daehan yang tiba-tiba
Shanumi yang dipeluk erat Daehan merasa janggal. Meski baru beberapa kali tidur seranjang bersama suami, tetapi mudah diendus jika gelagatnya seperti menyimpan sesuatu. Pandangannya sesekali terlihat jauh. “Ada apa? Kayak gelisah …,” tanya Shanumi sambil menowel lengan Daehan yang melingkar di perutnya. Daehan tidak membuka mulut. Justru mengubah posisi tangan dari memeluk pinggang bergeser ke dadda.“Mas … jangan mulai lagi, please. Tidur dulu, sambung besok aja habis mandi dan subuhan.” Shanumi menahan tangan Daehan yang kembali ingin nakal, merasa kali ini tidak nyaman. Tiba-tiba ponsel Daehan berbunyi kembali. Itu bukan pesan di aplikasi, melainkan sebuah panggilan. Lagi-lagi musik yang mengalun membuatnya frustasi. Lagu panggilan masuk spesial dan indah saat itu, kini membuatnya ingin muntah. “Nggak diangkat?” usik Shanumi yang merasa jika Daehan begitu tegang selama panggilan masuk berbunyi. “Nggak perlu.” Daehan menyahut kaku. Ada kesan marah yang bahkan wajahnya terlihat
Daehan sudah memakai tshirt saat Shanumi selesai berwudhu dan keluar dari kamar mandi. Berusaha keras untuk tidak banyak kali memandang. Buru-buru dipakainya mukena dan pura-pura tidak perhatian. Lelaki yang sudah berbaju santai dan tidak lagi berkemeja atau berkostum formal itu justru terlihat keren di kamarnya. Sedang bermain ponsel dengan merebah santai di pembaringan. Rasanya luar biasa. Setelah berpuluh tahun usianya menghuni kamar tanpa orang. Kini ada teman tiba-tiba, bahkan lelaki yang disuka dan sudah sah suaminya. Ah, indah sekali rasa hidup di dunia! Shanumi menambah satu sujud sebelum melepas mukena. Tak habis beryukur akan takdir luar biasa yang tidak disangka tetapi sangat indah di hidupnya. Semoga jodohnya adalah kekal untuk di dunia dan kelak di jannahnya. “Cepat sedikit dong, Shan, ah!” seru Daehan mengejutkan. Membuat jantung Shanumi berdetak kencang dan lebih cepat. “Iya, ish! Ini dah selesai!” Buru-buru Shanumi melihat mukena dan meletakkan di meja semula. Sus
Lega, dengan bantuan Sazlina, pernikahan rahasia dengan Daehan telah sampai di telinga ibunya. Meski sempat diwarnai drama serta ada ucapan dan kalimat tidak enak, wanita agung itu mau juga memahami dan menerima fakta statusnya yang sudah dinikahi oleh anak orang secara diam-diam. Bisa jadi sebab lelakinya adalah Daehan yang bukan orang sembarangan. Jika bukan, mungkin drama ibunya akan lebih panjang dan berliku. Kini Shanumi hanya penuh rasa syukur, akhirnya berjodoh dengan lelaki yang dikirimkan oleh-Nya melalui jalur musibah kala itu. “Jam berapa datang, Nok?” tanya kakaknya yang sudah rapi dan baru mandi. Mereka berada di dapur. “Katanya sore, Mbak. Ini kan sudah lama lewat ashar…,” jawab Shanumi galau.“Ya sudah, kamu mandi dulu saja. Nanti kelewat maghrib, tetapi mereka nggak datang juga!” seru Sazlina sambil menyambar tudung saji. “Iyalah, Mbak. Tungguin ya, nggak papa, kan?” tanya Shanumi sambil memandang saksama kakaknya. Bagaimanapun merasa tidak enak terus sebab mendahu
Menjelang subuh yang dingin menggigit hingga tembus menusuk ke tulang, dua insan bergelung saling peluk di bawah selimut tebal dan lebar. Daehan terpaksa menyingkap selimut dan bangun sebab bunyi alarm yang terus bising meminta perhatian penuh paksaan. “Mas, jangan lagi, nggak sanggup. Lemes aku, laper,” ujar Shanumi saat Daehan menyelip diri kembali ke dalam selimut dengan tangan nakalnya yang mulai kembali berulah. “Masih sakit?” tanya Daehan tersenyum. Kini memeluk hangat istrinya dari belakang dan diam. Shanumi tidak menyahut, juga memeluk tangan Daehan yang anteng di dadanya. “Aku nggak ikut ke Surabaya dulu, ya. Gak papa, kan? Nggak enak sama ibuku… tahu-tahu aku pergi lama dengan lelaki tanpa izin langsung. Meskipun dengan suami, tetapi kita belum benar-benar dapat restu darinya.” Shanumi berbicara sedih saat bayang ibunya berkelebat. Daehan lama tidak menyahut. “Orang tuaku siang ini akan sampai di bandara, lepas ashar akan datang ke rumahmu.” Daehan mencium kepala Shanumi
Agung tidak juga pergi meski Daehan sudah menyelip lembaran merah cukup banyak di tangannya. Kang sopir memandang bingung dan segan pada dua insan dengan ekspresi yang susah dijabarkan. Sebab ini malam-malam dan mereka berdua tanpa ikatan sedang dirinya justru disuruh pergi keluar oleh sang tuan. “Sana, Gung, keluar. Kopimu pun sudah habis, kan?! Di samping garasi ada kamar jika kamu malas mencari penginapan.” Daehan susah payah menahan kesal. Shanumi telah pergi ke dapur membawa dua cangkir kopi yang sudah sangat kosong. “Kenapa, kamu mau protes? Aku tahu apa yang ada dalam kepalamu. Kamu pikir aku dan Shanumi mau kumpul kebo?" rutuk Daehan sangat kesal. "Kali ini terpaksa aku tunjukkan ke kamu. Aku memang wajib juga ngasih tahu kamu…,’" omel Daehan lagi sambil pergi ke kamar. Lelaki itu mengambil sesuatu dari dalam tas kerja dan dibawa pada Agung di ruang depan kembali. “Nih, lihat. Baca baik-baik hingga tamat dan ingat!” ucap Daehan.Telah menghempas keras badan besarnya ke s
Menuruti ingin hati, terus saling peluk hingga lama dan puas. Apa daya, ada Bik Rum di antara mereka yang perlu dijaga hati dan harus dihargai. Daehan dan Shanum buru-buru saling merenggang dan melepas pelukan untuk kembali menjauh. “Dari mana, badan dan bajumu dingin banget?” tanya Shanumi demi menghempas rasa kikuk. Daehan terus tersenyum memandangnya. “Ketemu teman, rumahnya lebih di atas. Dia ngajak joinan,” ucap Daehan tanpa berkedip dari Shanumi. “Join apa?” Shanumi memutus pandangan Daehan dengan berbalik dan melangkah lambat. Bik Rum telah menegur dan menyuruh duduk di sofa. Daehan mengikuti di belakang mereka. “Teman ingin bikin penginapan di daerah sekitar sini. Aku ditawarin tanam modal. Masih kupikir, sebab aku pun sangat sibuk,” jawabnya.Daehan duduk di depan Shanumi di ruang perapian. Berposisi lebih dekat nyala api sebab tubuhnya serasa kaku dan beku. Dirinya yang berhabitat di Kota Surabaya, sedikit susah untuk beradaptasi di tanah tinggi kota Batu. Meski aktualn
Meski galau tidak berpamit pada ibu, tetapi support Sazlina yang menggebu, Shanumi pergi juga malam itu. Agung standby dalam mobil meski sempat susah dibangunkan. Kini melaju aman menuju Batu perbukitan. “Seneng betul ya, Mbak, tinggal di Kota Batu. Bisa cuci mata terus tiap waktu.” Agung berkomentar. Sambil fokus, matanya juga terus lirik ke kiri dan ke kanan. Melihat pemandangan elok yang sayang dilewatkan. “Iya kalo yang jarang ke sini, merasa bagus, Mas. Untuk kami, penduduk sini sih biasa saja.” Shanumi menanggapi. Sengaja duduk di depan untuk mengusir suntuk di perjalanan. Selain pandangan tak terhalang, bisa juga dengan Agung membuat bermacam obrolan. “Setidaknya ada yang indah alami untuk dipandang, Mbak. Kalo di Surabaya… hadeh, ngerti sendirilah, Mbak!” ucap Agung mengeluh sambil berdecak.“Iya juga sih, Mas!” sahut Shanumi merespon membenarkan. Tentu saja, pemandangan Kota Batu jauh beda dengan tampilan di Kota Surabaya. Di jalan tanjakan menuju kawasan tanah tinggi, ge
Ibunya mulai mengantuk saat Shanum sudah di puncak rasa suntuk. Perlahan bergeser turun dan menyandarkan Ibu dengan bantal tersusun tinggi di belakang punggung. Posisi tidur kesukaan Siti Arumi pasca kecelakaan yang menimpa. “Mau ke mana, Shan?” Mata yang setengah tidur, masih terjaga saat Shanumi hendak pergi. “Eh, anu, Buk. Ke kamarku, tadi belum shalat isya.” Shanumi diam di tempat dan berbicara tercekat. Daster ungu selutut yang terlihat cantik di tubuh cerahnya, sedang dipegang ujung bawah oleh Ibu dan menarik mundur kembali mendekat.“Ambilkan obat dan air dulu, Shan. Kakiku mulai ngilu dan sakit. Telat minum obat …,” keluh ibunya setengah merintih. Shanumi menghirup napas dan menghempasnya cepat. Coba membuang sisa kesal. Menyadari memang dirinya lalai mengulur obat petang ini. Juga ingat jika merawat orang tua dengan segala kondisi penuh sabar, penuh cobaan dan ikhlas lahir batin, maka hadiahnya kelak adalah surga. Apalagi yang surga di bawah telapak ibu, cepat diambilnya o
Seperti penembak jitu yang sedang membidik target, demikian kelakuan Shanumi sekarang. Mengintip hendap di balik pintu yang bercelah dan tidak ditutup merapat. Sayang sekali, usahanya sia-sia sebab orang di dalam sama sekali tidak bisa dilihat. Hanya segaris lurus meja lampu di samping tempat tidur yang tampak dan selebihnya tidak sama sekali. Namun, sudah jelas jika suara lelaki di dalam adalah milik si Daehan! Tidak ingin tenggelam sebab penasaran, pintu kamar didorong perlahan ke dalam hingga terbuka lebar-lebar. Napas terbaru nya seperti menggantung di ujung hidung. Semua kini melihat padanya. Ibu yang duduk menyandar ranjang dengan arah ke pintu, Sazlina yang berdiri di samping kaki ranjang telah berbalik melihatnya, juga… Daehan! Kini membalik punggung dan menatapnya dengan senyum yang samar.Tulang sendi Shanumi seolah aus hingga terasa berat dan tak bisa digerakkan. Diam, tegang dan kaku di tempat tanpa ingat melempar salam sapa pada Daehan. “Hei, Shanumi…." Daehan justru