Bara mengacak rambutnya frustasi karena tidak tahu harus melakukan apa sekarang. Ia sedang diselimuti oleh amarah dan ingin meledakan semuanya. Namun, melihat wajah Indah putus asa membuat Bara tidak berkutik. Entah apa yang sebenarnya terjadi dengan dirinya. Bara sendiri tidak bisa memahaminya. Namun yang pasti ia sangat marah karena Indah pulang terlambat. "Untuk satu minggu ke depan aku enggak izinin kamu keluar dari rumah sekejal pun!" Pada akhirnya Bara memilih mengurung Indah di istana pernikahannya dari pada membiarkan Indah keluyuran malam-malam. Banyak hal yang Bara khawatirkan, tetapi ia tidak mampu mengatakan alasannya. Biar untuk saat ini ia yang mengatasinya. Sontak Indah terkejut mendengar larangan yang Bara berikan untuknya. Apa-apaan ini? Indah tidak bisa menerima begitu saja. "Mas, yang benar saja?" Indah duduk di tepi ranjang sambil mendongak--menatap Bara yang berdiri. Tidak langsung menjawab, Bara malah kembali mencondongkan tubuhnya lalu menumpukan kedua
"Apa sekarang sudah lebih baik?" tanya Bara begitu bangun dan mendapati Indah sudah mandi dan nampak lebih segar. Indah mengangguk seraya tersenyum manis. "Alhamdulillah, Mas." Mendengarnya cukup membuat Bara lega. "Syukurlah kalau kamu sudah baik-baik saja." "Iya, Mas. Em ... aku sudah siapkan air untuk mandi, Mas." Ragu-ragu Indah mengatakannya. Bara mengangguk saja lalu beranjak menuju kamar mandi. Melihat itu, Indah segera menyiapkan pakaian untuk Bara. Baru setelahnya ia ke dapur untuk membuat sarapan. Begitu Indah selesai, Bara datang sambil menenteng tas kerjanya. Indah nyambut Bara dengan senyuman hangat. Membuat Bara tersentuh dan membalas senyuman istrinya. "Mas, sarapan dulu. Aku udah siapkan," ujar Indah yang dibalas anggukan oleh Bara. Pria itu duduk di seberang Indah lalu menerima sarapan yang sudah disiapkan Indah. "Aku senang kalau kamu jadi istri penurut seperti ini." Satu alis Indah terangkat mendengarnya. Memang apa selama ini ia menjadi istri pembangkang?
Tidak banyak yang bisa Indah lakukan ketika dalam masa hukuman. Ia melakukan aktivitas seperti biasanya. Hanya saja ruangnya terbatas karena tidak boleh keluar dari rumah barng sejengkal pun. Sebagai wanita yang bisa sibuk dengan pekerjaan membuat satu mingggu terasa tersiksa bagi Indah. Sekarang baru sengah hari, tetapi Indah merasa jengah. Rasanya ingin kabur saja lewat jendela, tetapi ia mencoba menghargai keputusan yang diambil Bara. "Aku harus melakukan apa sekarang?" tanyanya pada diri sendiri. Indah baru saja membersihkan rumah. Padahal untuk masalah pekerjaan rumah biasanya ada asisten rumah tangga yang akan datang setiap pagi dan pulang setelah selesai. Hanya saja kali ini berbeda, sehingga Indah yang harus mengerjakannya. Tidak masalah bagi Indah karena hal itu cukup mengisi waktu luangnya. Pada akhirnya Indah memilih untuk membuat masakan untuk menyambut kepulangan Bara. Besar harapan bagi Indah jika Bara akan pulang malam ini. Dengan riang ia memasang celemek lalu mula
Sudah beberapa hari ini kondisi Indah tidak stabil. Ia menjadi sering pusing dan mual. Ingin rasanya memeriksakan diri, tetapi ia masih dalam masa kurungan yang akan berakhir satu hari lagi.Bara sendiri tidak pernah pulang ke rumah, membuat Indah kesulitan untuk mengadu. Beberapa kali ia mengirim pesan, tetapi statusnya hanya dibaca tanpa dibalas. Apa Bara sudah benar-benar tidak peduli padanya? Sehingga sengaja mengabaikannya. Sungguh, Indah merasa jika usahanya sia-sia dalam meluluhkan hati Bara kembali. Pria itu tetap kukuh pada pendiriannya yang terus bersama Mawar. Sekali lagi Indah mencoba menghubungi Bara ketika kepalanya merasa pusing. Namun, panggilannya tidak dijawab. Ia pun memutuskan untuk mengirim pesan kepada suaminya. [Mas, bolehkah aku pergi sebentar? Ada yang ingin aku lakukan. Ini mendesak.] Menunggu beberapa saat dan Indah tidak mendapatkan jawaban apa pun. Indah mendesah lalu membawa langkahnya menuju jendela kamar. Ia memastikan keadaan sekitar yang nampak s
"Apa yang kalian lakukan? Kenapa istriku bisa pergi dari rumah?" Bara nampak murka ketika mendapatkan panggilan telepon dari salah satu anak buahnya yang melaporkan jika Indah pergi dari rumah. Jelas ia yang baru saja selesai rapat langsung pulang untuk memastikannya. Benar, saat ia pulang rumah sudah dalam keadaan kosong. Indah tidak ada di mana-mana, membuat Bara khawatir sekaligus naik pitam. Ia mengecek rekaman CCTV yang ada di halaman rumah dan dapat melihat jika Indah keluar dari jendela. Sungguh, ia tidak mengira jika Indah akan pergi darinya. "Argh!" Pria itu berteriak frustasi. Ia tidak ingin kehilangan Indah, tidak Indah tidak boleh pergi dari hidupnya. Indah penyelamatnya dan ia bisa mati tanpa Indah di sampingnya. "Cari dan terulusuri tempat yang mungkin Indah datangi!" perintah Bara tidak ingin dibantah. "Baik, Tuan Muda." Setelah kepergian Indah, Bara mendudukan dirinya di sofa ruang tengah. Ia menunduk dalam sambil memegang kepalanya yang tiba-tiba saja k
Bara yang terjebak macet mengumpat kesal. "Sial! Aku kehilangan jejak kamu, Indah." Segera ia mengambil ponselnya lalu menghubungi seseorang. Namun, gerakan jarinya yang buru-buru malah membuka pesan dari nomor yang tidak ia kenal. Niatnya ingin diabaikan dan kembali menghubungi anak buahnya, tetapi sebuah pesan gambar membuatnya tertarik. Pria itu melihat gambar yang dikirimkan dari nomor yang tidak dikenal. Betapa kagetnya ia ketika gambar tersebut terbuka yang menampakkan sosok istrinya tengah berbincang dengan seorang pria. Tidak terlalu jelas siapa pria itu karena pengambiln foto dari belakang. Sehingga yang terlihat jelas hanya Indah. Sontak Bara merasakan tubuhnya memanas diiringi dengan nafasnya yang tersenggal-senggal. Masih teringat jelas ketika Indah pulang malam enam hari yang lalu. Mungkinkah saat itu Indah sedang ketemuan dengan pria tersebut? Membayangkannya saja sudah membuat Bara ingin membunuh seseorang. "Argh! Indah, kenapa jadi begini?" Bara menjambak
Cukup lama mereka saling diam dengan Indah yang mengkhawatirkan Bara. Tiba-tiba pria itu menoleh lalu menatap Indah dengan jijik. "Indah, aku tidak menyangka kamu setega ini padaku." Kedua alis Indah saling bertautan dengan samar mendengar ucapan Bara barusan. "Maksud, Mas?" "Kamu jangan pura-pura polos, Indah!" sentak Bara tidak terkendali. Tautan itu semakin jelas, hingga menimbulkan garis-garis halus di sekitar kening Indah. "Maskud, Mas, apa? Aku minta maaf karena sudah keluar dari rumah diam-diam, Mas." Indah yang berpikir jika Bara marah kapadanya gara-gara ia yang pergi diam-diam pun memilih meminta maaf. Ia sadar jika yang dilakukannya salah. Hanya saja ia memiliki alasan kenapa melakukannya. "Ck! Bagaimana bisa aku memaafkan istri yang diam-diam bertemu dengan pria lain, Indah?" Perempuan itu tersentak mendengar tuduhan dari Bara. "Tadi aku--' "Apa kamu sedang balas dendam karena aku kembali kepada Mawar, Indah?" Belum sempat Indah menjelaskan, Bara sudah le
Bara menatap Indah yang terlihat nampak pucat dengan tatapan yang tidak dapat Indah artikan. Indah merasa lelah malam ini, sehingga tidak ingin lagi berdebat dengan Bara. Untuk masalah kesalahpahaman yang terjadi, Indah sudah menjelaskan. Seberapa keras Indah berusaha, jika Bara tidak percaya padanya. Maka semuanya hanya akan sia-sia saja. "Aku sudah menjelaskan semuanya, kamu mau percaya atau tidak itu urusan kamu. Tapi aku harap kamu mau mempercayaiku meski itu sulit." "Apa maksudmu, Indah?" "Aku lelah, Mas, aku mau istirahat." Setelah mengatakan itu Indah langsung berbalik. Ia percaya jika Bara masih memiliki hati nurani, pria itu akan sedikit saja mempercayainya. Namun, jika Bara tetap menuduhnya yang tidak-tidak, mungkin memang tidak ada kesempatan untuknya meluluhkan hati Bara. Indah ingin berjuang, tetapi Bara selalu mendorongnya. Awalnya ia berharap dengan kehadiran calon buah hati mereka, maka Bara akan luluh. Namun, belum sempat mengatakannya Bara sudah lebih menud